DOI: 10.24843/SP.2018.v2.i01.p03

Arti dan Fungsi Tanah Adat Bagi Masyarakat Bali: Studi Kasus di Desa Adat Batubulan

I Ketut Kaler

Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana iketutkaler@gmail.com

Abstrak

Peraturan tentang penggunaan dan pemilikan tanah telah diupayakan oleh berbagai kesatuan masyarakat yang berlaku terbatas pada kesatuannya yang diatur sudah sejak jaman dahulu. Pengaturan tanah lazim diatur dalam suatu hukum adat atau pranata adat. Dalam hukum adat atau pranata adat terdapat aturan-aturan yang mengatur tentang penggunaan dan pemilikan tanah. Pranata-pranata yang mengatur masalah tanah akan sangat bervariasi atau berbeda pada tiap-tiap daerah atau suku bangsa. Masalah tanah merupakan masalah yang sangat pelik dan berdampak luas terhadap berbagai aspek kehidupan manusia. Persoalan tanah yang merupakan produk masa lalu salah satunya adalah tanah ulayat desa. Pemilihan topik ini berkaitan dengan merebaknya masalah tanah di Bali sejak tiga dasawarsa terakhir. Pemilihan topik tanah ini mengerucut kepada masalah tanah ulayat desa ditinjau dari sisi fungsinya. Aktualisasinya tanah-tanah adat tersebut dimanfaatkan untuk sarana dan prasarana seperti: tempat ibadah (Pura), rumah tinggal, kuburan (Setra), lapangan, sekolah, serta jalan-jalan desa dan fasilitas umum lainnya.

Kata kunci: Fungsi, Tanah, dan Hukum Adat

  • I.    PENDAHULUAN

Kehidupan manusia baik sebagai mahluk individu maupun sebagai mahluk social di dalam menopang keberlangsungan hidupnya tidak dapat terpisahkan dengan keberadaan tanah. Oleh karena itu keberadaan tanah menjadi faktor sentral di dalam kehidupan manusia. Demikian pula dengan mahluk-mahluk lain yang ada di muka bumi ini. Bagi manusia, tanah pada umumnya berfungsi sebagai tempat permukiman, dan tempat untuk memproduksi makanan (bertani, berkebun). Bahkan hampir di dalam keseluruhan hidupnya manusia selalu bergantung dengan tanah. Karena itu pula sulit dibayangkan bagaimana jadinya

kehidupan manusia tanpa ketersediaan tanah.

Begitu urgennya faktor tanah di dalam kehidupan manusia sehingga dapat mengandung nilai politis, social, ekonomis, dan bahkan juga nilai religi. Kecuali itu, tanah sangat mudah difragmentasi      untuk      berbagai

kepentingan baik perorangan maupun lembaga atau badan hukum. Oleh karena itu diperlukan regulasi bagi masyarakat agar kepemilikan atas tanah mendapat jaminan hokum. Dengan demikian kepemilikan atas sebidang tanah dapat terjamin di dalam mempertahankan hak miliknya dari gangguan pihak lain (Prodjodikoro, 1981: 22).

Peraturan tentang penggunaan dan pemilikan tanah telah diupayakan

Sunari Penjor: Journal of Anthropology

Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud


oleh berbagai kesatuan masyarakat yang berlaku terbatas pada kesatuannya yang diatur sudah sejak jaman dahulu. Pengaturan tanah lazim diatur dalam suaatu hukum adat atau pranata adat seperti dikemukakan oleh Prodjodikoro bahwa, dalam hokum adat atau pranata adat terdapat aturan-aturan yang mengatur tentang penggunaan dan pemilikan tanah. Pranata-pranata yang mengatur masalah tanah akan sangat bervariasi atau berbeda pada tiap-tiap daerah atau suku bangsa. Hal itu sangat tergantung dari pengetahuan kebudayaan masyarakat bersangkutan (1952: 37).

Masalah tanah merupakan masalah yang sangat pelik dan berdampak luas terhadap berbagai aspek kehidupan manusia. Persoalan tanah yang merupakan produk masa lalu salah satunya adalah tanah ulayat desa. Pemilihan topik ini berkaitan dengan merebaknya masalah tanah di Bali sejak tiga dasawarsa terakhir. Pemilihan topic tanah ini mengerucut kepada masalah tanah ulayat desa ditinjau dari sisi fungsinya.

Merunut kepada perjalanan sejarah bangsa Indonesia, bagi Belanda tanah jajahan di Indonesia merupakan sumber keuntungan yang sangat melimpah sekaligus menjadi sumber gantungan hidupnya. Bagi Belanda mempertahankan tanah jajahan di Indonesia adalah mempertahankan perkebunan-perkebunan dan tanah-tanah yang menjadi sumber kekayaan kaum pemodal yang selama ini betul-betul menjadi gantungan hidupnya (Tauchid, 1953: 13; Geertz,1983: 48). Kecuali itu, pemerintahan Jepang di Indonesia juga banyak mengambil tanah rakyat untuk keperluan militer, untuk membangun lapangan terbang baru, dan memperluas lapangan terbang yang sudah ada. Tanah pertanian rakyat yang luasnya berribu-ribu hektar diambil dengan paksa dengan

ganti rugi yang sangat rendah (Tauchid, 1953: 9).

Permasalahan tanah terus bergulir seakan-akan tidak akan pernah berakhir sejalan dengan terbit dan terbenamnya matahari. Pada era sesudah kemerdekaan pun permasalahan tanah menjadi tranding topic yang cukup menarik untuk diwacanakan (Hariadi dan Masruchah, editor, 1995; Bachriadi, Faryadi, dan Setiawan, editor, 1997: 191—363). Sepertinya rakyat Indonesia tiada merasa aman tinggal di tanah kelahirannya sendiri yang tidak ada bedanya dengan pada waktu jaman penjajahan.

Kini pada era pembangunan di Indonesia dewasa ini justru persoalan tanah menambah problematik yang cenderung semakin dilematis dan kompleks. Dikatakan dilematis karena di satu sisi pemerintah dengan kedok membangun fasilitas demi kepentingan umum membutuhkan tanah yang luas dengan menggusur perkampungan penduduk. Masalah tanah disampin karena tekananpertumbuhan penduduk yang memerlukan tempat permukiman (Harjono, 1990: 1—5) juga dikarenakan semakin meningkatnya pembangunan infrastruktur di sector pariwisata (Bali Post, 14-11-1977: 7; Ruwiastuti, Fausi, Bachriadi, 1977: vii).

Di Desa Batubulan sebagai obyek kajian dn banyak juga desa-desa lain di Bali, pemilikan dan penguasaan atas tanah komunal berada pada desa adat yang bersangkutan (lihat Bagus, 1984: 282—283). Implikasi pemilikan tanah seperti itu adalah dimanfaatkan sepenuhnya untuk kepentingan warga komunitas desa adat yang bersangkutan.

Tanah ulayat desa dapat diklsifikasikan menjadi beberapa bagian. Pertama, permukiman warga komunitas desa dibangun di atas tanah ulayat desa yang disebut Pekarangan Desa (PKD). Suasthawa menegaskan bahwa Pekarangan Desa adalah tanah yang

dimiliki oleh desa adat dan diberikan kepada warga desa (karma desa) untuk tempat mendirikan bangunan rumah dengan ukuran luas tertentu dan hamper sama untuk tiap-tiap keluarga (1987: 41). Berkaitan dengan hal ini masing-masing keluarga (song) yang menempati karang desa di desa Batubulan mendapat lagi Tanah Ayahan Desa (AYDs) berupa tanah sawah yang luasnya kurang lebih mencapai 12 are (1200 m2). Tanah ayahan desa mirip dengan tanah gogolan tetap di Jawa. Sementara itu, pengertian song dalam hal ini adalah sebuah istilah yang dipakai untuk menunjuk secara simbolis kepada sebuah Gapura tempat keluar masuk (pemesuan) bagi satu pekarangan rumah dengan tidak memperhitungkan berapa jumlah kepala keluarga (KK) yang ada di dalam pekarangan tersebut. Kedua, tanah ulayat desa yang dimanfaatkan untuk kepentingan tempat ibadah yaitu Pura Kahyangan Tiga, dan lain-lain Pura milik desa adat. Biasanya Pura milik desa adat ini disertai dengan tanah bukti berupa tanah pertanian atau tegalan yang masih produktif yang diklaim menjadi milik Pura (atas nama Pura) sesuai dengan Proyek Daerah Agraria (Dharmayuda, 1987: 40—41). Kendatipun demikian tanah bukti Pura itu masih di bawah monitoring desa adat. Ketiga, tanah desa sebagai kuburan (Setra), tanah lapang, dan lain-lain. Oleh karena itu desa adat sebagai komunitas yang berkaitan dengan tanah ulayat cukup menarik untuk dikaji.

Komunitas desa yang ada di Bali merupakan satu kesatuan dalam ikatan yang khas. Sebagaimana halnya dengan masyarakat, komunitas itu tidak dalam keadaan statis namun dinamis. Kedinamisan itu tampak dalam salah satu aspek yaitu pendukungnya semakin lama semakin besar dalam arti jumlah orangnya maupun kepala keluarganya karena perkawinan dan kelahiran.

Mengingat sistem perkawinan di Bali umumnya dan di desa Batubulan khususnya adalah menganut sistem patrilineal yang kini cenderung memilih pola menetap neolokal, maka hal itu akan membawa sejumlah implikasi terhadap penguasaan tanah desa secara kumunal. Pihak desa adat di masa mendatang tentu akan mengalami masalah di dalam pengaturan tanah tersebut. Kecuali itu, sector kepariwisataan (industri dan jasa) yang semakin semarak berkembang secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan komunitas desa bersangkutan.

Monitoring tanah desa semakin tidak jelas lagi ketika pemerintah menurunkan kebijakan dalam bidang pertanahan yang disebut Proyek Operasi Nasional Agraria yang disingkat dengan Prona berdasarkan keputusan Mendagri No. 189 Tahun 1981 (Prisma No.9 Tahun 1996: 13), maka di desa Batubulan pun terjadi perubahan yang menyangkut pemilikan dan penguasaan tanah ulayat desa. Dipandang dari perspektif persepsual dan konsepsual para warga komunitas local, usaha-usaha pembangunan yang diprakarsai pusat dan dilaksanakanoleh orang-orang yang datang mewakili pusat itu benar-benar merupakan suatu tindakan “memasuki wilayah pertuanan orang tanpa ijin (Wignjosoebroto, 1997: 4). Berkaitan dengan statemen ini tampak adanya intervensi sekaligus eksploitasi pemerintah terhadap keberadaan desa adat. Dari sudut pandang eksternal (orang luar desa adat Batubulan) tampaknya komunitas desa tidak menunjukkan gejolak social yang muncul ke permukaan. Akan tetepi kalau dicermati dari sudut pandang internal (orang dalam), komunitas desa bersangkutan tampaknya bagaikan api dalam sekam yang sewaktu-waktu dapat menimbulkan persoalan baru yang lebih serius yang dapat mengarah kepersoalan laten.

Sesungguhnya masing-masing desa adat di Bali umumnya telah memiliki pranata yaitu semacam peraturan yang menyangkut kedudukan dan peranan serta hak dan kewajiban warga yang disebut dengan Awig-Awig. Di desa Batubulan pengaturan penggunaan karang desa telah pula tertuang ke dalam awig-awig. Sebagaimana pula Korn menyatakan, bahwa pembagian tanah desa dari penduduk desa menentukan hak dan kewajiban keanggotaannya(1972: 78). Salah satu bunyi awig-awig desa adat Batubulan adalah sebagai berikut:

“ ………………..Sang ngamong karang ayahan desa (karang pecatu uutawi tan pecatu) tan kengin ngadol duaning karang inucap sinanggeh tatak ayah ring Kahyangan Tiga, " (artinya: bagi mereka warga yang menguasai tanah desa baik disertai dengan AYDs maupun tidak dengan AYDs., tidak diperkenankan menjual tanah tersebut karena tanah tersebut merupakan bekal untuk melaksanakan kewajiban di Pura Kahyangan Tga)………………..”

Senada dengan hal terurai di atas, Soebandi menyatakan bahwa semua tanah pekarangan desa dan tanah yang terletak di sekitar wiyah desa adat atau desa pekraman yang berarti termasuk tanah Kahyangan Tiga adalah milik desa adat yang berarti tanah tersebut tidak boleh diperjualbelikan (1981: 50). Kendati pun desa adat Batubulan telah memiliki awig-awig yang di dalamnya juga mengatur penggunaan tanah desa seperti tersirat dalam uraian di atas, namun faktanya awig-awig itu diperlakukan kurang adil oleh aparat pemerintah. Artinya awig-awig itu berada pada posisi tersubordinasi oleh desa dinas dan tidak diperlakukan sebagai peraturan yang saling melengkapi.

Berpijak dari pandangan di atas kiranya para antropolog dapat menentukan akses. Sebab bagaimana pun juga obyek kajian seperti ini juga menjadi kajian Antropologi. Hubungan penguasaan tanah bukan saja menyangkut hubungan antara manusia dengan tanahnya semata-mata. Melainkan juga menyangkut hubungan antara manusia dengan manusia. Hubungan manusia dengan benda hanya mempunyai makna jikalau hal itu merupakan hubungan aktivitas (Tjondronegoro dan Wiradi, 1984: 287). Pandangan seperti ini mengandung implikasi Antropologis si mana obyek kajiqn ini bukan ditujukan kepada tanah semata-mata, melainkan bagaimana tanah (ulayat desa).

  • II.    PROFIL DESA BATUBULAN

Secara umum keberadaan desa-desa di Bali tidak menunjukkan keberagaman yang berarti, karena dasar filosofis terbentuknya desa-desa itu dijiwai oleh ajaran-ajaran agama Hindu (Korn, 1932; Koentjaraningrat, 1964; Kartohadikoesoemo, 1984; Surpha,1995). Akan tetapi kalau dilihat dari sudut pandang Indonesia tampaknya desa-desa di Bali mempunyai kekhasan tersendiri. Kekhasan itu tampak dalam wujud simbolik berupa Pura Kahyangan Tiga (tiga kuil desa) yang bermakna sebagai pemersatu warga desa yang dilandasi oleh filosofi Tri Hita Karana.

Perkembangan lebih lanjut mengenai desa di Bali dibedakan menjadi dua bentuk sesuai dengan fungsinya yaitu: Desa Adat dan Desa Dinas. Desa Adat dirumuskan sebagai suatu ikatan komunitas yang bersifat social, tradisional, dan religius adalah suatu kesatuan wilayah di mana para warganya secara bersama-sama atas tanggungan bersama mengonsepsikan dan mengaktifkan upacara-upacara

keagamaan, kegiatan-kegiatan social yang ditata oleh suatu sistem budaya (awig-awig). Rasa kesatuan sebagai warga desa adat diikuti oleh faktor Tri Hita Karana (Raka, 1955: 19; Pitana, 1994: 147—148).

Sementara itu, pengertian Desa Dinas dirumuskan sebagai kesatuan komunitas yang lebih bersifat administratif atau kedinasan. Warga komunitas Desa Dinas disatukan oleh adanya fungsi yang dijalankan desa sebagai kesatuan administratif. Dengan demikian kedua pengertian desa di atas dapat diibaratkan sebagai dua sisi dalam satu mata uang yang hanya dapat dibedakan dalam fungsi dan substansinya.

Memfokuskan ke wilayah desa Batubulan yang menjadi obyek kajian ini akan merujuk pula kepada dua pengertian tentang Desa seperti terurai di dalam halaman terdahulu. Desa ini adalah salah

satu desa yang berada di wilayah kecamatan Sukawati, kabupaten Gianyar-Bali. Adapun luas wilayahnya meliputi 644.00Ha. dengan batas wilayah sebagai berikut:

Di sebelah Utara     : Desa Singapadu

Di sebelah Timur     : Desa Ketewel

dan Guwang

Di sebelah Selatan   : Desa Ketewel

Di sebelah Barat     : Desa Kesiman

Kertalangu, Kota Denpasar.

Pada mulanya desa Batubulan adalah sebuah desa agraris. Kecuali itu, desa ini mempunyai potensi yang cukup menjanjikan seperti Seni Tari dan Seni Ukir (Patung). Keberadaan kesenian ini semakin berkembang pesat sejalan dengan ditetapkannya desa ini sebagai Desa Wisata.

Desa Batubulan dibagi ke dalam tiga wilayah desa adat yaitu: 1) Desa Adat Tegaltamu, 2) Desa Adat Jero Kuta, dan 3) Desa Adat Delod Tukad. Secara adnministratif ketiga Desa Adat ini termasuk ke dalam satu Desa Dinas yaitu

Desa Batubulan. Berkaitan dengan keadaan tanah wilayah desa ini maka dikenal adanya dua jenis yaitu: 1) Tanah Pekarangan Desa (PKD), dan 2) Tanah Ayahan Desa (AYDs). Termasuk ke dalam tanah PKD. Adalah semua tanah di mana tempat para warga desa membangun rumah yang dalam terminology local disebut dengan Karang Sikut Satak. Sedangkan termasuk ke dalam tanah AYDs. adalah semua tanah pertanian yang dikerjakan oleh warga desa. Selain itu masih ada jenis tanah lain seperti: Tanah Bukti Pura (Pelaba Pura), Tanah Kuburan (Setra), dan tanah lapang lainnya. Kesemua tanah tersebut di atas diklaim oleh desa sebagai Tanah Desa atau Tanah Druwe Desa.

Kendati pun perkembangan sector pariwisata cukup pesat dan menjanjikan di desa ini, namun aktivitas di sektor pertanian sementara ini masih digeluti oleh sebagian warga masyarakat meskipun dalam jumlah areal dan personal yang semakin terbatas. Adapun tata guna tanah di desa ini pemanfaatannya terdistribusi sebagai barikut: Untuk persawahan 61%, Permuiman/Perumahan 20%, Tegalan 8,3%, dan sisanya 10,7% untuk fasilitas-fasilitas social-ekonomi (Monografi Desa Batubulan).

  • III.    ANALISIS ARTI DAN FUNGSI TANAH ADAT

Tata Guna Tanah

Secara historis pada jaman kekuasaan raja-raja di Bali yaitu sekitar abad XVII—XIX (lihat Tara, 1987: 11— 19; dan Wirawan, 1985), sistem penguasaan tanah didasarkan atas ikatan feudal dan hal ini berlaku pula di beberapa daerah lainnya di Indonesia. Implementasi penguasaan tanah seperti ini didasarkan atas beberapa faktor yaitu: 1) tanah pada prinsipnya adalah milik Raja atau Rajalah yang memiliki tanah yang ada di wilayah kerajaannya, 2)

Rakyat adalah milik Raja yang dapat dieksploitasi untuk kepentingan dan kehormatan Raja (Tauchid, 1953: 16; Suhendar, 1996: 10—11). Oleh karena ikatan feodal antara Raja dengan Rakyat demikian kuatnya, maka segala yang berkaitan dengan kehidupan rakyat ditentukan oleh raja termasuk juga pembagian atas tanah. Dengan demikian terjadilah hubungan yang sangat erat antara raja dengan rakyatnya yang dikenal dengan sebutan hubungan kaula-gusti (Onghokham, 1983: 61).

Awal mulanya di desa Batubulan tanah ulayat desa atau tanah komunal dikuasai oleh desa adat. Adapun tanah ini terbagi ke dalam dua jenis yaitu: 1) Tanah Pekarangan Desa (PKD), dan Tanah Ayahan Desa (AYDs). Kecuali untuk tata guna tanah seperti tersebut di atas, juga pemanfaatannya untuk fasilitas-fasilitas umum dalam arti untuk kepentingan bersama bagi warga masyarakat adat yang bersangkutan. Adapun fasilitas umum tersebut dapat meliputi: Pura Kahyangan Tiga (Kuil Desa), Kuburan (setra), Sekolah, Puskesmas, Lapangan, dan jalan-jalan desa.

Terkait dengan penggunaan tanah desa khususnya tanah pekarangan desa dimanfaatkan oleh warga untuk membangun rumah sebagai tempat tinggal. Rumah-rumah dibangun di sepanjang jalan propinsi yang membelah desa. Pola bangunan rumah-rumah ini sebagaimana lazimnya didaerah-daerah dataran mengikuti pola konsentris dalam arti rumah-rumah di bangun mengelompok terpusat di sepanjang jalan yang membelah desa. Sementara itu tanah-tanah persawahan berada pada posisi di sisi timur maupun barat dari kompleks permukiman penduduk.

Secara khusus masing-masing kompleks bangunan rumah di desa Batubulan dapat dijelaskan sebagai berikut. Di dalam satu pekarangan rumah

terdapat kompleks bangunan yang secara ideal kekinian terdiri dari satu bangunan rumah untuk tempat tidur, satu bangunan khas bali untuk aktivitas adat dan agama, satu kompleks bangunan kuil keluarga (Sanggah Pemerajan) yang biasanya diposisikan pada arah timur laut (kaja-kangin), satu bangunan kuil kecil (sanggah natah/pengijeng) yang diposisikan di tengah halaman rumah, dan satu lagi kuil kecil (penunggun karang) yang diposisikan pada arah Barat Laut (kaja-kauh). Selain berupa kompleks bangunan seperti tersebut di atas, biasanya masih menyisakan sedikit halaman kosong yang disebut dengan teba (“a” dibaca “e”). Biasanya fungsi teba ini adalah untuk mengandangkan ternak, membuang sampah, menyimpan kayu bakar, dan sebagainya. Satu bangunan lagi yang cukup penting untuk menyimpan hasil produksi pertanian khususnya padi adalah disebut Jineng. Namun dilain-lain tempat di Bali bangunan jenis ini sering disebut Kelumpu atau Gelebeg. Demikian sepintas gambaran umum bangunan rumah di desa Batubulan yang terdiri dari kompleks bangunan-bangunan.

Arti dan Fungsi Tanah Adat dari Perspektif Agama

Penduduk di desa Batubulan adalah mayoritas dari etnik Bali yang menganut agama Hindu. Hal itu ditandai dengan banyaknya tempat-tempat peribadatan berupa Pura, baik Pura keluarga (Kuil Keluarga) maupun Pura Kahyangan Tiga (Kuil Desa) yang tersebar di masing-masing desa. Kehidupan masyarakat di desa Batubulan maupun masyarakat Bali umumnya sangat dipengaruhi oleh ajaran Agama Hindu yang memiliki Lima Dasar Keyakinan yang disebut Panca Crada. Kelima keyakinan tersebut meliputi:

Widhi Tatwa—Percaya akan adanya Sanghyang Widhi (Tuhan)

Atma Tatwa—Percaya akan adanya Atma (Roh Leluhur)

Karmaphala—Percaya akan adanya hasil atau buah dari perbuatan

Punarbhawa—Percaya akan kelahiran berulang-ulang

Moksa—Percaya akan adanya kebebasan dari ikatan duniawi atau kehidupan kekal abadi

Terkait dengan sistem kepercayaan yang dilandasi oleh agama Hindu, maka masyarakat ini sangat yakin bahwa tanah mempunyai arti dan nilai religius tinggi. Tanah diyakini sebagai salah satu unsure pembentuk Bhuwana Agung (Alam Semesta) dan Bhuwana Alit (Tubuh Manusia. Arti dan nilai religious terhadap tanah diaktualisasikan ke dalam berbagai ekspresi baik dalam wujud benda maupun penamaan. Diantaranya yang berwujud benda seperti Tugu Penunggun Karang. di setiap pekarangan rumah. Demikian pula tanah dihormati sebagai sesuatu yang sacral sehingga diberi nama Hyang Ibu Pertiwi. Di dalam membangun sebuah rumah harus memperhatikan beberapa hal terkait dengan tanah khususnya tanah sawah. Pertama-tama harus dilakukan upacara yang disebut dengan Nyapuh Pundukan dilanjutkan dengan Nuntun Betara Sri. Adapun tujuan dari upacara ini adalah untuk mengembalikan Betara Sri ke tempat asalnya yaitu Pura Ulun Carik. Selain itu, sekaligus juga untuk memohon keselamatan bagi orang yang akan menempati rumah tersebut. Tahap selanjutnya, dilakukan upacara yang disebut dengan Ngeruak Karang sekaligus dengan upacara Pecaruan. Tujuannya juga untuk memohon keselamatan bagi penghuni rumah tersebut.

Sementara itu, pada sisi lain tanah adat mempunyai fungsi sosial-religius. Hal itu dapat diamati dari kewajiban warga desa untuk menyumbangkan tenaga dan atau benda (ngayahang) bagi

seluruh warga desa yang menempati atau mengusahakan tanah adat tersebut. Di dalam konsep ngayahang terkandung makna berupa bantuan tenaga maupun berupa benda. Hal itu dilakukan terkait dengan aktivitas warga desa berkenaan dengan tiga kuil desa atau Kahyangan Desa. Aktivitas semacam itu merupakan cerminan dari pelaksanaan terintegrasi dari konsep Tri Hita Karana yang merupakan landasan filosofis desa adat. Karena itu, antara Tuhan (Ida Sanghyang Widhi), manusia,dan alam semesta seharusnya diperlakukan secara serasi dan seimbang sesuai dengan kaidah-kaidah yang terkandung dalam ajaran Agama Hindu. Dengan demikian di dalam pemanfaatan tanah adat diusahakan untuk kepentingan diri dan masyarakatnya dan sekaligus pula sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepadaNya.

Konsep Tri Hita Karana pada dasarnya adalah “suatu sistem panutan” yang memedomani perilaku masyarakat Bali. Dengan adanya kenyataan ini, maka konsep ini sangat berpengaruh terhadap aktivitas masyarakat Bali. Konsep ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu:

  • 1.    Parhyangan

Parhyangan atau Kahyangan mengacu kepada tempat suci untuk memuja Dewa atau Hyang Widhi. Masyarakat Bali memiliki banyak tempat suci dalam berbagai unit-unit social seperti keluarga, Klen, dan juga Subak yang selalu dipersatukan oleh ikatan religious dalam wujud Pura. Namun dari sekian banyak Pura, diantaranya ada tiga yang dianggap penting untuk mengikat komunitas orang Bali ke dalam kesatuan desa adat yang disebut Pura Kahyangan Tiga (Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem).

  • 2.    Palemahan

Palemahan mengacu kepada lingkungan atau wilayah di mana kanusia berada. Lingkungan dapat dibagi ke dalam dua unsur yaitu: abiotik dan biotic. Unsure abiotik meliputi berbagai hal seperti cahaya, suhu, tanah, air, udara, zat kimia dan lain-lain benda mati. Sedangkan unsure biotic meliputi tumbuh-tumbuhan dan binatang (flora dan Fauna). Namun menurut konsep masyarakat Bali, mahluk hidup yang menghuni suatu lingkungan ataupun alam semesta mencakup pula berbagai mahluk halus yang statusnya lebih rendah dari Dewa bahkan dari manusia.

  • 3.    Pawongan

Pawongan mengacu kepada unsur manusia, baik sebagai mahluk individu maupun sebagai mahluk social yang lazim juga disebut Pakraman. Manusia sebagai pakraman membentuk suatu unit social atau disebut pula lingkungan social. Orang Bali selalu terikat pada beberapa aspek kehidupan social antara lain pada suatu tempat tinggal bersama, kesatuan administrasi tertentu, dan keanggotaan berbagai asosiasi (seka). Keterikatan orang Bali terhadap tempat tinggal tertentu melahirkan desa adat yaitu kesatuan masyarakat hokum adat yang mempunyai satu kesatuan tradisi, tata karma pergaulan hidup yang berpedoman kepada ajaran agama hindu dan secara turun-temurun

Kecuali contoh di atas terkait dengan tanah, dapat pula diajukan contoh lain yang terkai dengan upacara kematian. Sebagaimana halnya di Bali, di desa Batubulan juga dilaksanakan upacara pembakaran mayat (ngaben). Upacara ini merupakan satu tahap upacara Pitra Yadnya dengan tujuan untuk mempercepat proses pengembalian jasad manusia kepada asalnya yaitu Panca Maha Butha (Pertiwi, Apah, Teja, Bayu, Akasa). Masyarakat sangat yakin bahwa tubuh manusia dibentuk oleh lima

unsur ini. Oleh karena itu segera setelah manusia meninggal dunia dilakukan upacara ngaben. Demikianlah sesungguhnya manusia Hindu akan selalu terikat dengan tanah baik semasa hudup maupun setelah meninggal dunia.

Arti dan Fungsi Tanah Adat dari Perspektif Sosial

Tanah wilayah desa adat Batubulan adalah merupakan tanah ulayat. Pemanfaatannya diberikan kepada setiap kepala keluarga yang terdaftar secara resmi sebagai warga persekutuan desa adat. Arti dan fungsi tanah adat dipandang dari perspektif social tidak jauh berbeda dengan bunyi pasal 6 UUPA. Tahun 1960 yang menegaskan bahwa semua hak atas tanah mempunyai funggsi social. Hal itu berarti hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang atau badan hukum tidaklah dibenarkan tanahnya itu dimanfaatkan (tidak dimanfaatkan) semata-mata untuk kepentingan pribadi (pribadi bagi hukum desa adat). Apalagi hal itu dapat menimbulkan kerugian bagi masyarkat luas.

Secara de facto fungsi social atas tanah adat di desa Batubulan tampak dalam penyediaan tanah milik desa untuk kepentingan Pura, Bale Banjar, Balai Desa, Sekolah, Lapangan, Kuburan, jalan-jalan desa, serta sarana dan prasarana umum lainnya. Berkaitan dengan hal itu, sudah sewajarnyalah tanah dipelihara dan dijaga sebaik-baiknya agar sesuai dengan fungsinya. Karena itu, setiap orang, badan hokum, instansi, persekutuan hokum yang mempunyai hubungan hokum dengan tanah adat wajib memeliharanya. Penggunaan tanah adat haruslah disesuaikan dengan situasi dan sifat dari haknya, sehingga dapat memberikan arti, manfaat, serta fungsi optimal bagi masyarakat dan Negara. Hal itu bukan berarti mengabaikan kepentingan

perseorangan.     Sedapat     mungkin

kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan diusahakan berjalan secara seimbang. Karena itu pemanfaatan tanah desa oleh karama desa merupakan bagian dari fungsi sosial.

Seperti telah dijelaskan pada halaman sebelumnya, penggunaan tanah adat yang telah disesuaikan dengan situasi dan sifat dari haknya, sehingga dapat memberikan arti, manfaat, serta fungsi optimal bagi masyarakat dan Negara adalah merupakan bagian dari peranan dan fungsi desa adat itu sendiri. Bagi desa adat batubulan, tanah-tanah adat tersebut telah terdistribusi secara merata kepada warga komunitas adat menurut perhitungan song baik berupa tanah Pekarangan Desa (PKD) maupun tanah Ayahan Desa (AYDs). Hal itu sudah menunjukkan bahwa tanah-tanah adat tersebut memberikan nilai dan fungsi social bagi warga komunitasnya.

Arti dan Fungsi Tanah Adat dari Perspektif Ekonomi

Masyarakat     petani     adalah

masarakat yang konstan, dalam arti tidak mau secara cepat mengadakan perubahan-perubahandlam kehidupannya.       Mereka       ada

kecenderungan hidup tenteram dari hari ke hari mengolah tanahnya dan kemudian akan merasa puas jika hasil panennya baik dan dapat terjual dengan harga yang memadai.

Perubahan-perubahan yang terjadi di sekitarnya baik akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena pembauran dan integrasi serta hubungannya dengan dunia luar akibat terpecahnya isolasi akibat komunikasi maupun akibat-akibat langsung dari pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah disambutnya debgan baik. Akan tetapi apa yang telah mereka kerjakan dan dirasakan baik serta

memuaskan, maka kebiasaan itu masih akan tetap dilaksanakan.

Di dalam melaksanakan kegiatan pertanian khususnya pertanian sawah, para petani dewasa ini mengalami berbagai tantangan . Tantangan tersebut antara lain seperti terbatasnya persediaan air, terbatasnya tenaga kerja, adanya alih fungsi lahan menjadi permukiman dan penyediaan fasilitas pariwisata. Kesemua tantangan tersebut sangat berpengaruh kepada tingkat keberhasilan yang akan dicapai oleh para petani. Walaupun komunitas petani mengalami berbagai tantangan, namun para petani tetap berusaha menggarap lahan dengan sebaik mungkin disertai harapan agar dapat memberikan hasil yang semaksimal mungkin sehingga dapat menjamin keberlangsungan hidup keluarganya (pertanian subsisten). Adapun upaya yang ditempuh oleh para petani untuk meningkatkan hasil produksinya yaitu dengan mengadakan intensifiksi dan penganekaragaman jenis komoditi.

Di desa Batubulan jenis tanah pertaniannya tergolong subur dengan irigasi cukup memadai pada musim tertentu. Di dalam proses pengolahan lahan pertanian kemampuan petani untuk menggunakan teknologi sangat besar pengaruhnya terhadap peningkatan hasil produksi pertaniannya. Para petani dituntut kemampuannya secara optimal untuk memanfaatkan teknologi tepat guna dalam usahanya melipatkan hasil produksi dengan lahan yang terbatas. Sistem teknologi merupakan seperangkat peralatan dan cara menggunakannya di dalam segala macam sistem teknologi. Teknologi pertanian sesuai dengan tahap-tahap kegiatan yang dapat dikatagorikan ke dalam beberapa hal seperti: teknologi pengolahan tanah, teknologi penanaman, teknologi pemeliharaan tanaman, serta teknologi pemanenan dan pengolahan hasil.

Di dalam bentuk lain, teknologi dapat puladikatagorikan ke dalam dua hal yaitu teknologi tradisional dan teknologi modern. Pengertian teknologi tradisional selain dikaitkan dengan peralatan dan penggunaan peralatan yang sudah dipakai secara turun-temurun, adakalanya dikaitkan dengan efisiensi serta kepercayn yang berada di belakang teknologi tersebut.

Pada umumnya dalam teknologi tradisional efisiensi masih rendah dengan kata lain tenaga yang digunakan tidak sebanding dengan hasil yang dicapai. Tampaknya dengan penggunaan teknologi modern yang ditandai dengan pemakaian alat-alat baru sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai efisiensi yang jauh lebih tinggi, dengan unsure kepercayaan yang semakin memudar. Di desa ini, khususnya di dalam penerapan teknologi penanaman dan pemeliharaan tanaman, tidak sepenuhnya dapat dikatagorikan kedalam teknologi tradisional, sebab unsure tradisional dan unsure modern selalu dikombinasikan.

Peralatan meliputi semua alat-alat yang dipakai dalam proses penanaman dan pemeliharaaan tanaman. Pada prinsipnya setiap peralatan yang ada bertujuan membantu manusia , sehingga denngan keterbatasna fisik yang dimiliki dapat dilakukan beraneka ragam pekerjaan. Di dalam bentuknya yang lain teknologi dapat berupa peralatan, bibit atau benih, pupuk, serta obat-obtan pembasmi hama dan gulma serta penyakit tanaman. Keempat unsure teknologi ini sangat besar pengaruhnya terhadap pola penanaman dan pemeliharaan tanaman.

Di desa ini, tampaknya keempat unsure ini sudah dikenal dan diimplementasikan dalam kegiatan penanaman dan pemeliharaan tanaman. Walaupun demikian sesuai dengan kemajuan pendidikan dan pembangunan

fisik lainnya, keempar unsure itu telah mulai diadopsi dan mengarah kepada penerapan teknologi modern. Dalam hal peralatan/perkakas yang tampaknya memang tidak banyak keragamannya di dalam proses penanaman dan pemeliharaan tanaman khususnya tanaman padi. Tidak tampak terjadi perubahan yang drastic yang membawa perbedaan atau perubahan yang nyata dalam kegiatan pertanian tersebut.

Dalam hal peralatan yang digunakan untuk menunjang aktivitas pertanian masih menggunakan peralatan yang sederhana seperti cangkul, sabit, bajak, parang dan lain-lain. Selain alat tersebut dikombinasikan pula dengan handsprayer dan traktor yang dianggap modern. Tampaknya teknologi modern dibutuhkan dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi lahan pertanian.

Luas sempitnya lahan yang digarap oleh petani membawa implikasi terhadap tenaga kerja yang dibutuhkan. Dalam hal ini tampak adanya relasi positif antara jumlah tenaga kerja dengan dengan luas lahan yang digarapnya. Bagi petani yang menggarap lahan yang relative luas, maka pada tahap-tahap tertentu akan merasa kewalahan menggarap lahannya. Terlebih lagi bagi petani yang mempunyai pekerjaan sampingan akan sangat kewalahan proses pengerjaannya.

Untuk memperoleh tenaga tambahan mereka berusaha mencari buruh upahan untuk mengerjakan fase-fase pekerjaan tertentu seperti mengolah tanah, menanam, dan pada saat panen. Tenaga upahan ini bervariasi dari satu tempat dengan tempat lainnya. Upah umumnya tidaak dipatok secara ketat, karena daya dan kemampuan tidak diukur secara jelas tetapi dihitung sama untuk setiap tenaga kerja. Upah tenaga kerja atau buruh tani berbeda untuk pekerjaan yang satu dengan pekerjaan yang lainnya.

Para petani di desa batubulan telah mengolah tanah sawahnya dengan cukup

baik. Seperti telah dipaparkan pada halaman sebalumnya, bahwa sebagian besar tanah yang berada di lingkungan wilayah desa adat ini berada di bawah kekuasaan desa adat. Dengan demikian, tanah-tanah yang berada di wilayah lingkungan desa adat batubulan adalah merupakan tanah adat. Namun tidak dipungkiri sebagian kecil tanah di wilayah itu merupakan milik pribadi (perseorangan).

Tanah adat khususnya Ayahan Desa berupa tanah sawah, sejak berdirinya desa tersebut telah memberikan arti dan fungsi secara ekonomis. Seperti telah pernah diungkapkan pada halaman terdahulu, bahwa pemanfaatan tanah-tanah adat merupakan tanggung jawab terhadap kewajiban di desa adat. Pengelolaan tanah adat oleh wrga desa sejak dahulu telah memberikan manfaat ekonomis baik kepada keluarga bersangkutan maupun untuk kepentingan desa adat. Seperti misalnya sawah yang ditanami padi maupun palawija telah menghidupi warga komunitasnya. Demikian pula tanah tegalan dan pekarangan rumah dapat diusahakan tanaman keras seperti kelapa, mangga, rambutan, dan lain sebagainya. Hasil dari pemanfaatan lahan khususnya sawah dan tegalan digunakan sebagian untuk kebutuhan keluarga dan sebagian lagi untuk subsidi kepentingan desa adat. Hal itu menunjukkan bahwa tanah yang diusahakan telah memberikan hasil dan manfaat ekonomi tinggi.

Kendati pun di desa Batubulan akhir-akhir ini perkembangan sector pariwisata cukup pesat, namun aktivitas di sector pertanian sementara ini masih diusahakan oleh wargga masyarakat meskipun dalam jumlah arean dan personal yang semakin terbatas (Kaler, 2000: 28). Bertolak dari analisis di atas tampaknya sector pertanian masih dapat bertahan sekaligus masih memberikan

manfaat ekonomi walaupun hanya bersifat subsistensial.

Tidak dipungkiri lagi bahwa perkembangan sector pariwisata telah berimplikasi terhadap menyempitnya lahan pertanian. Alih fungsi lahan telah bergulir begitu cepat sehingga mendorong laju pertumbuhan sector jasa di bidang pariwisata. Hal itu tampak di dalam eksploitasi pemanfaatan lahan untuk kepentingqn-kepentingan seperti: munculnya artshop-artshop, rumah-rumah BTN., Terminal, Sekolah-sekolah (SMKI., SMSR., SMIK.) dan lain-lain. Kondisi seperti ini secara tidak langsung sedikit demi sedikit namun pasti akan menggeser sector ekonomi pertanian menuju sektor ekonomi industri khususnya dalam bidang industri jasa dan pariwisata. Sesungguhnyalah tanah akan tetap memberikan arti dan fungsi secara ekonomis walaupun dalam kapasitas dan pemanfaatan yang bervariasi.

Perubahan Orientasi

Semenjak masuknya Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA) tahun 1983/1984 di desa Batubulan, maka mulai terlihat adanya gejala perubahan orientasi terhadap arti dan fungsi tanah adat. Kecuali itu, perkembangan sektor pariwisata secara tidak langsung juga turut merangsang terjadinya perubahan orientasi tersebut. Tawaran pensertifikatan tanah adat khususnya tanah persawahan melqlui program Prona telah merangsang warga untuk mendaftarkan tanah yang dikelolanya. Perlu diketahui bahwa 74,3412 Ha. dari 644,00 Ha. Tanah adat telah disertifikatkan melalui jalur Prona atas nama perseorangan (Kaler, 2000: 71). Hal itu menunjukkan bahwa persekutuan hukum adat sebagai pemilik tanah adat semakin kabur. Oleh karena itu, konsekuensinya status tanah-tanah adat menjadi berada di wilayah abu-abu. Sementara itu secara de facto desa adat

menguasai tanah-tanah adat. Kondisi seperti ini memungkinkan terjadinya perubahan orientasi terhadap arti dan fungsi tanah adat yang bersifat komunal ke orientasi ekonomis yang cenderung bersifat individual yang dulunya menganut prinsip salunglung sabayantaka dalam arti satu untuk semua dalam satu kesatuan (Dharmayuda, 1987: 57).

Implikasi lebih lanjut menunjukkan bahwa tanah-tanah adat yang telah bersertifikat atas nama perseorangan mulai diperlakukan secara individual termasuk menjualnya. Semakin hari kebutuhan akan tanah semakin tinggi sejalan dengan pertumbuhan dan pertambahan penduduk. Hal itu menyebabkan nilai jual tanah juga akan semakin meroket. Karena itu, tidak dapat dipungkiri bahwa tanah-tanah mulai diperjualbelikan kepada pihak lain dengan harapan dapat memberikan keuntungan ekonomis tinggi. Dengan demikian hasil penjualan itu akan digunakan untuk kepentingan individu dan keluarganya, sehingga prinsip salunglung sabayantaka akan semakin oleh sikap fragmatis-ekonomis.

Perkembangan sektor pariwisata yang begitu pesat sejak dua dasawarsa terakhir juga turut andil di dalam proses perubahan orientasi tersebut. Keadaan seperti ini turut merangsang perilaku warga komunitas desa untuk menjual tanah dengan harapan hasil dari penjualan itu dapat dipakai sebagai tambahan modal pada sector kerajinan. Perlu diinformasikan bahwa ddi desa Batubulan telah berkembang jenis kerajinan khas yaitu patung batu padas (alami maupun imitasi).

Perubahan orientasi terhadap arti dan fungsi tanah adat juga tampak dalam aktivitas keagamaan, aktivitas social, dan terlebih aktivitas ekonomi. Di dalam aktivitas keagamaan perubahan menunjukkan kecenderungan positif.

Dulu sebelum maraknya kebiasaan menjual tanah aktivitas upacara agama dan adat dilihat dari perspektif kelengkapan materialnya menunjukkan masih sangat sederhana. Seperti diungkapkan oleh I Wayan Geriya sebagai berikut.

“…………………Yen pidan satonden warga dini ada ane ngadep tanah, kegiatan upacara adat lan agama tusing meriah cara jani (artinya: Kalau dulu sebelum warga di sini ada yang menjual tanah, kegiatan upacara adat dan agama tidak semeriah seperti sekarang ini)………………..”.

Pernyataan di atas didukung oleh I Made Lotring yang menegaskan bahwa warga yang menjual tanah sebagian hasil penjualan tersebut dibelikan tanah lain yang harganya lebih murah. Untuk hal ini sesungguhnya secara formal tidak ada aturan yang jelas, namun lebih kepada kesadaran dan keyakinan terhadap adanya hokum karmapala. Karena keyakinan inilah beberapa warga yang menjual tanah tersebut berinisiatif untuk membelikan tanah lain dalam jumlah yang kurang labih sama sebagai kompensasi. Hal itu menunjukkan bahwa warga komunitas adat masih yakin akan nilai spiritualitas tanah terlebih tanah adat. Jika tanah diperlakukan secara semena-mena diyakini pula dapat mengganggu secara psikologis (Niskala). Selain dibelikan tanah sebagi kompensasi, sisa hasil penjualannya diprioritaskan untuk keperluan agama dan adat. Baru kemudian sisanya lagi digunakan untuk keperluan-keperluan seperti: memperbaiki rumah, modal usaha, dan lain-lain keperluan.

Dari uraian di atas, tampaknya perubahan orientasi terhadap arti dan fungsi tanah dalam bidang agama dan adat hanya menyentuh pada tataran material saja. Sementara itu, secara

filosofis pelaksanaan upacara masih berpedoman kepada kaidah-kaidah dari sumbernya yaitu Sastra Weda. Tegasnya, kalau dulu pilihan tingkat upacara sebagian besar jatuh pada tingkat kanista, namun kini pilihannya jatuh kepada upacara tingkat madya bahkan ada kecenderungan memilih upacara tingkat utama. Hal itu tampak pada kemeriahan upakara atau segala sesuatu perlengkapan upacara yang dipersembahkan.

Kecuali itu, di dalam pelaksanaan upacara adat tampak mengalai peningkatan dipandang dari sisi materialnya. Misalnya, baik upacara manusa yadnya seperti: Perkawinan (Pawiwahan), Potong Gigi (Metatah/MMepandes); maupun upacara Pitra Yadnya seperti: Ngaben, Mamukur, tampak pelaksanaannya semakin meriah. Kalau dulu personal yang dilibatkan dalam kegiatan ini hanya pada kalangan terbatas. Namun kini hamper melibatkan seluruh warga banjar bahkan kadang-kadang sampai melibatkan warga desa.

Dipandang dari perspektif Sosial, perubahan orientasi akibat terjadinya penjualan tanah-tanah adat member implikasi yang cukup mengkhawatirkan. Adapun pemicu utama terjadinya penjualan tanah-tanah adat tersebut adalah pensertifikatan tanah-tanah adat lewat Prona. Konsekuensi logis dari Prona tersebut adalah munculnya dua kelompok yang mempunyai visi dan persepsi yang berbeda terhadap tanah adat. Disatu sisi, munculnya kelompok yang kami sebut kelompok konservatf. Kelompok ini mempunyai visi dan persepsi ingin tetap mempertahankan tanah wilayah desa dikuasai oleh desa adat. Argumentasinya adalah tanah-tanah adat yang dikuasai oleh warga komunitas adat merupakan kompensasi sekaligus jaminan atas kewajibannya terhadap desa adat. Karena itu, dapat dipahami kalau kelompok ini menolak mempronakan

tanah adat atas nama personal. Sementara itu, di sisi lain muncul kelompok yang kami sebut kelompok progresif-fragmatis. Kelompok ini mempunyai visi dan persepsi yang lebih rasional sesuai dengan tuntutan jaman. Orientasinya terhadap tanah (termasuk tanah adat) setelah disertifikatkan atas nama personal, dapat dikelola dan bahkan dapat dijual asalkan kewajiban terhadap desa adat tidak diabaikan. Tampaknya kelompok ini cenderung berpikiran fragmatis, praktis, sekaligus ekonomis. Oleh karena itu, kelompok ini beranggapan bahwa tanah adalah sebuah asset yang mempunyai nilai ekonomis tinggi bahkan cenderung menganggap tanah sebagai komoditas (lihat, Suhendar dan Kasim, 1995).

Kedua kelompok terurai di atas secara antagonis memunculkan perbedaan kepentingan dan orientasi terhadap tanah adat. Disatu pihak inging mempertahankan pola lama, sementara itu di pihak lain ingin mendobraknya. Keadaan itulah yang dikhawatirkan akan memicu terjadinya sikap ambiguitas komunitas adat (terutama bagi kelompok konservatif) terhadap tanah adat akibat pelaksanaan Prona.

Di atas telah disinggung bahwa di antara warga komunitas ada beberapa warga yang telah menjual tanahnya. Perilaku warga demikian itu dapat memicu kekhawatiran-kekhawatiran di antara warga komunitas lainnya. Di antara beberapa warga yang sempat diwawancara tertangkap kesan bahwa akan terjadi mala petaka jika penjualan tanah-tanah adat tersebut tidak segera diambil tindakan tegas oleh yang berwenang, dalam hal ini desa adat. Kekhawatiran itu memang cukup beralasan karena penguasaan tanah (PKD., AYDs.) oleh warga komunitas sesungguhnyalah melekat suatu kewajiban terhadap desa adat secara terus menerus dan dari generasi ke generasi.

Oleh karena itu, penjualan tanah adat tersebut sangat meresahkan sebagian warga. Opini-opini di kalangan warga mulai merebak, bahkan menunjukkan adanya gejolak di antara warga sebagaimana diungkapkan oleh I Wayan Puspa sebagai berikut.

“………………….Yan kasuwen-suwen tanah-tanah adat punika kaadol olih wargan ipun, sira sane nyugjugang kawentenan desa adate minakadi meliara lan ngalaksanayang pula-pali ring Pura Kahyangan Tiga (artinya: jika kelak tanah-tanah adat habis dijual oleh warganya sendiri, siapa yang bertanggungjawab atas keberlangsungan aktivitas desa adat termasuk pemeliharaan dan pelaksanaan upacara di Pura Kahyangan Tiga)………………………..”

Mengapa muncul pertanyaan seperti itu, oleh karena pada dasarnya tanah yang ditempati dan dikuasai oleh para warga sesungguhnya telah melekat kewajiban-kewajiban seperti disebutkan di atas. Dalam bahasa lokal disebut “tanah punika pinaka sanan anggen negen tetegenan ring desa adat” (tanah itu merupakan beban untuk melaksanakan kewajiban di desa adat).

Keadaan seperti itu membuat warga desa adat Batubulan menjadi bimbang dan bersikap ambigu terhadap keberadaan tanah-tanah adatnya. Sikap ambiguitas itu muncul akibat dari ketidaktanggapan pimpinan desa adat terhadap fenomena yang muncul. Disatu sisi ada warga yang dibiarkan menjual tanah adat, sementara di sisi lain sebagian warga merasa kecewa atas fenomena seperti ini. Bahkan informasi yang didaapat dari Bendesa Adat sendiri mengaku tidak tahu dengan adanya pensertifikatan tanah adat melalui Prona. Hal itu pula menunjukkan dominasi desa dinas terhadap desa adat. Segala sesuatu program pemerintah selalu mengikuti

jalur structural-formal dengan mengabaikan komponen-komponen social-budaya local yang disekitarnya. Akibatnya ada sebagian warga yang tidak diperhatikan aspirasinya yang pada akhirnya akan menimbulkan ketidakpuasan.

Bagaimana pun dominasi desa dinas terhadap desa adat sungguh sangat disayangkan. Pada hal keberhasilan suatu program hanya dapat berhasil dengan melibatkan seluruh komponen yang ada disekitarnya. Pendekatan yang dipakai oleh desa dinas lebih bersifat formalistic dengan mengabaikan nilai-nilai normatif di desa yang bersangkutan. Mengabaikan desa adat sama halnya dengan mengabaikan nilai-nilai normative yang berlaku dilingkungan desa adat yangbersangkutan.

Suatu bukti diabaikannya nilai-nilai normative yang ada di desa tersebut adalah terabaikannya peraturan tertulis desa adat yang berupa awig-awig. Di dalam aturan ini telah tercantum bahwa tidak diperbolehkan menjual tanah druwe desa oleh warga tanpa kecuali. Akan tetapi realitanya terjadi seperti apa yang telah diuraikan diatas. Kalau hal itu terus berlasung dikhawatirkan nilai-nilai normatif berupa awig-awig akan kehilangan pamornya, dan kemungkinan yang paling buruk sekalipun dapat terjadi yaitu hancurnya sebuah tatanan desa adat itu sendiri. Dengann demikian struktur social komunitas adat yang paling esensial telah mengalami perubahan mendasar pada tataran sistem sosialdan sistem budaya. Bagaimanapun juga setiap perubahan itu akan selalu disertai dengan konflik baik dalam intensitas rendah maupun dalam intensitas tinggi (Poerwanto, 1996: 45—57).

Masuknya nilai baru seperti Prona ke dalam wilayah struktur social tradisional seperti desa adat menyebabkan goyahnya nilai-nilai social yang ada. Hal itu pula menyebabkan

berkembangnya sikap ambiguitas warga. Apalagi sosialisasi prona tersebut tidak intensif menyentuh semua lapisan warga desa. Sikap ambiguitas tercermin di dalam sikap sebagian warga yang menerima dan sebagian lagi belum menerima prona tersebut. Lebih lanjut sikap itu mencerminkan keadaan dualism di dalam komunitas adat yaitu yang progresif dan yang konservatif. Kedua sikap warga itulah sesungguhnya bergejolak di desa Batubulan yang berpotensi menimbulkan konflik horizontal. Ketika konflikn itu tidak dapat dinetralisir maka terjadilah perubahan-perubahan pada tataran sosio-budaya seperti telah terungkap di atas.

Akhirnya dipandang dari perspektif ekonomi, juga menunjukkan perubahan orientasi yang cukup signifikan. Tanah yang dulunya bagi warga komunitas mempunyai arti dan fungsi sosio-religius, kini talah bergeser kea rah sosio-ekonomis. Hal itu terjadi selain dipicu oleh masuknya prona juga secara tidak langsung dipicu oleh perkembangan sector pariwisata.

Seperti telah disinggung di depan, bahwa desa Batubulan telah dijadikan desa wisata yang sekaligus dapat merubah corak kehidupan warganya. Perubahan itu tampak pada perubahan orientasi sumber okupasi yang dulunya sangat bergantung pada sector pertanian namun kini telah bergeser ke ektor industry pariwisata. Perubahan orientasi sector okupasi tersebut juga berimplikasi kepada perubahan orientasi terhadap tanah. Sawah-sawah yang hamper sebagian mulai tidak produktif oleh warga mulai dikelola dengan cara menjualnya. Hasil penjualan tanah tersebut sebagian dipakai modal usaha di sector industry pariwisata di samping untuk hal-hal lain seperti telah terungkap di atas. Kesemuanya itu dapat memicu terjadinya perubahan orientasi perlakuan terhadap tanah serta memberikan

implikasi ekonomis yang positif di satu sisi. Sementara itu, di sisi lain menimbulkan kekhawatiran yang mendalam bagi sebagian warga komunitas. Kalau penjualan tanah-tanah adat itu terus berlangsung dikhawatirkan dalam kurun waktu tidak terlalu lama akan berdampak luas terhadap eksistensi desa adat khususnya dalam hal pemeliharaan dan pelaksanaan upacara di kuil desa. Kecuali itu, dengan semakin heterogennya     penduduk     akibat

menetapnya penduduk dari desa lain bahkan dari luar Bali, akan turut meningkatkan sensitifitas emosional antara warga asli dengan warga pendatang. Bahkan bukan tidak mungkin akan menjurus kepada munculnya ketegangan-ketegangan sosial.

  • IV. SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

  • 1.    Bahwa Komunitas desa adat Batubulan secara historis memaknai tanah  adat sebagai  sesuatu yang

bersifat sosio-religius. Hal itu tampak di dalam aktualisasi keyakinannya bahwa tanah-tanah adat yang mereka tempati dan usahakan adalah merupakan tanggung jawab terhadap keberlangsungan eksistensi desa adat utamanya keberlangsungan Pura Kahyangan Desa. Kecuali itu, tanah diyakini mempunyai roh, sehingga di setiap pekarangan rumah dibuatkan kuil yang disebut Tugu Penunggun Karang yang biasanya dibangun pada pojok arah barat laut areal rumah.

  • 2.    Bahwa tanah-tanah adat berfungsi sepenuhnya untuk kepentingan komunitas adat yang bersangkutan baik kepentingan social, ekonomi, terlebih kepentingang religious. Aktualisasinya tanah-tanah adat tersebut dimanfaatkan untuk sarana dan prasarana seprti: tempat ibadah (Pura), rumah tinggal, kuburan (Setra),

lapangan, sekolah, serta jalan-jalan desa dan fasilitas umum lainnya.

  • 3.    Bahwa semenjak tiga dasa warsa terakhir mulai ada gejala perubahan orientasi terhadap arti ean fungsi tanah adat. Hal itu tampak semenjak masuknya program Prona yang memberikan kemudahan pembuatan sertifikat tanah. Implikasi dari program ini dapat memicu terjadinya perubahan orientasi yang dulunya bersifat kumunal menuju kea rah individual yang cenderung bersifat fragmatis-ekonomis.

Saran

Hendaknya sebelum terlambat, desa adat bekerja sama dengan pihak-pihak terkait mendata ulang tanah-tanah milik desa yang masih tersisa. Tujuannya untuk menjamin kewajiban warga terhadap keberlangsungan hidup desa adatnya. Perlu dilakukan rembug bersama di antara seluruh warga desa adat untuk mencapai kesatuan sikap dan visi serta persepsi yang sama terhadap eksistensi tanah adat. Perlu dituangkan ke dalam awig-awig desa adat yang terkait dengan tanah-tanh adat sekaligus konsekuen dan konsisten di dalam implementasinya.

Daftar Pustaka

Bagus, IGN., 1984. “Kebudayaan Bali” dalam     Manusia     dan

Kebudayaan di Indonesia. Diredaksi                oleh

Koentjaraningrat . Jakarta: Djambatan

Bachriadi, Faryadi, dan Setiawan (ed). 1997. “Perubahan Politik, Sengketa,    dan Agenda

Pembaruan   di   Indonesia”

dalam Reformasi Agraria. Jakarta: Lembaga Penerbit FE. UI.

Covarrubias, Miguel. 1996. Island of Bali. New York:Alfried A. Knop.

Dharmayuda, Suasthawa I M. 1987. Status dan Fungsi Tanah Adat Bali Setelah Berlakunay UUPA. Denpasar:    CV.

Kayumas.

Hariadi, Untoro, dan Masruchah (ed). 1995. Tanah, Rakyat, dan Demokrasi.       Yogyakarta:

Forum LSM—LPSM. DIY.

Korn, V. E. 1932. Het Adatrecht van Bali.  Diterjemahkan dengan

judul  “Hukum  Adat Bali”.

Proyek Pembinaan Hukum Biro Hukum dan Organisasi dan Tatalaksana Kantor Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali.

Koentjaraningrat, 1977. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.

Kartohadikoesoemo, Soetardjo. 1983. Desa.  Jakarta:   PN. Balai

Pustaka.

Kaler, I Ketut.2002. Tanah Ulayat di Desa Batubulan Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar Bali     (Kajian     Tentang

Penguasaan dan Perubahan Status   Kepemilikan serta

Implikasinya).   Thesis S2.

Jurusan Antropologi Program Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta.

Monografi Desa Batubulan. 1996.

Onghokham . 1983. Rakyat dan Negara. Jakarta: Sinar Harapan.

Pitana, I Gede. 1994. Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. Denpasar: Bali Post.

Raka, I Gusti Gede. 1955. Monografi Pulau Bali. Jakarta: Pusat Pertanian Rakyat.

Suhendar, Endang, dan Kasim. 1995. Tanah Sebagai komoditas: Kajian Kritis Atas Kebijakan Pertanahan Orde Baru. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi         Masyarakat

(ELSAM).

Tara Wiguna, IGN. 1987. “Hak-hak Atas Tanah Pada Masa Bali Kuna”, dalam Majalah    Widya

Poestaka, Tahun IV No.2, Fakultas Sastar Universitas Udayana Denpasar.

Tauchid, Mochamad. 1953. Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan            dan

Kemakmuran        Rakyat

Indonesia. Jakarta: Cakrawala.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1979.

Wirawan, AA Bagus. 1985. Tanah dan Perubahan Sosial di Bali 1882—1942. Thesis S2. Pasca Sarjana Universitas Gajah mada Yogyakarta.