DOI: 10.24843/SP.2018.v2.i01.p01

Posisi Diri dalam Aktivitas Belajar-Mengajar dan Penyebab Penyimpangan Implementasi Budaya: Perspektif Budaya Bali

I Nyoman Suarsana

Program Studi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud inyomansuarsana.58@gmail.com

Abstract

Every persons wishing to happy / prosperous live in a hope, any done all his life to run smoothly without a hitch and works well. Based on the full implementation of cultural and / consistently then that happiness can be realized. The pursuit of happiness, in particular can be guided and fully and correctly implement the concept of Luan-Teben, Tri Mandala, and catur guru in various activities, expecsially in learning. Thus philosophy is based on Balinese culture and the Tri Hita Karana Hindu spirit is able to give definite direction toward a happy life for the community of supporters. Dinamik aware of the nature of the implementation of culture change and very often the change is likely to show a discrepancy with a culture that should be inherited. It seems clear that the concept of luan-teben, Tri Mandala, and Catur Guru has not/is not implemented consistently in various activities, especially in teaching and learning activities. Basically these cultural changes caused by the situation and lack of insight into the cultural space for the community of supporters. And thus in a variety of system activity becomes apparent in the culture (the culture of Bali) and therefore often appear/things happen that are not desirable.

Key words: Tri Hita Karana, Luan-Teben, Tri Mandala, Catur Guru, Happiness.

  • 1.    Pendahuluan

Kebudayaan Bali adalah kebudayaan yang berlandaskan Tri Hita Karana (THK) dan berjiwakan Agama Hindu. Tri Hita Karana mengandung pengertian: Tri artinya tiga, Hita artinya baik, senang, lestari, dan sebagainya, dan Karana artinya sebab-musabab atau sumbernya sebab. Tri Hita Karana secara manunggal berarti tiga buah unsur yang merupakan sumbernya sebab yang memungkinkan timbulnya kebaikan. Ketiga penyebab kebaikan yang juga merupakan komponen THK adalah Parhyangan (hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan atau Ida Sanghyang Widhi), Pawongan (hubungan harmonis antara manusia dengan sesamanya), dan Palemahan (hubungan harmonis antara manusia dengan lingkungan alam) (Kaler, 1994: 86-87).

Berkenaan dengan isi dan wadah terkait dengan THK, lebih lanjut Kaler

(1994) mengemukakan bahwa manusia atau bhuana alit (Pawongan) adalah sebagai isi sedangkan secara alamiah lingkungan alam atau bhuana agung (Palemahan) adalah wadahnya. Agar tetap eksis, maka manusia tidak mungkin hanya berpijak pada wadah alamiah melainkan memerlukan wadah buatan berupa rumah atau gedung sebagai tempat untuk melakukan kegiatan. Wadah buatan tersebut tentunya juga diharapkan dapat mendatangkan kebahagiaan/kebaikan sebagaimana harapan kebahagiaan/kebaikan yang diperoleh dari wadah alamiah.

Demikian THK adalah landasan kebudayaan Bali, sedangkan agama Hindu adalah jiwanya. Itu berarti agama Hindu-lah yang menghidupkan kebudayaan Bali itu. Jika telah disepakati bahwa kebudayaan Bali merupakan kebudayaan yang di samping berlandaskan THK adalah juga

Sunari Penjor: Journal of Anthropology

Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud


berjiwakan agama Hindu, maka salah satu dasar agama Hindu yakni etika harus dimanfaatkan untuk menguatkan landasan kebudayaan (THK). Implementasi etika dalam rangka memperkuat landasan kebudayaan (THK) akan mewujudkan hubungan yang teratur (berstruktur) dan harmonis antara ketiga komponen THK, sehingga landasan kebudayaan Bali semakin kokoh. Identitas dari berbagai aktivitas dalam sebuah wadah buatan (rumah/gedung) yang berbudayapun olehnya akan semakin jelas adanya.

Sebelum melakukan aktivitas tertentu, maka wadah buatan (rumah/gedung) idealnya dibuat sedemikian rupa berpedoman pada budaya (budaya Bali). Terkait dengan hal itu, secara nyata dapat berupa pengaturan/penataan ruangan sebagai tempat beraktivitas dan pengaturan/penataan posisi diri bagi personal-personal yang melakukan aktivitas di dalamnya. Dengan demikian, ruangan berikut setiap aktivitas yang dilakukan di dalamnya akan mencerminkan sosok yang berbudaya (budaya Bali), sehingga setiap aktivitas akan dapat berlangsung dengan lancar tanpa hambatan (antar sidaningdon). Lebih lanjut harapan akan kebahagiaan/kebaikan dalam berbagai aktivitas sebagaimana yang terimplikasi dalam filosofi THK mudah-mudahan dapat terwujud. Untuk itu, THK yang berbasis ajaran agama Hindu sebagai landasan dalam melakukan aktivitas sudah seharusnya tidak dikesampingkan.

Aktivitas yang berlandaskan THK yang berbasis ajaran agama Hindu sesungguhnya meliputi hampir semua bidang kehidupan. Namun dalam pembicaraan ini mengangkat satu hal yaitu mengenai posisi diri terkait dengan status seseorang atau sekelompok orang dalam kegiatan tertentu pada sebuah ruangan. Posisi diri yang dimaksud

adalah posisi diri dalam aktivitas belajar-mengajar. Untuk mendapatkan kebaikan/kebahagiaan dalam aktivitas tersebut maka implementasi kebudayaan Bali secara benar dan konsisten sangat diperlukan. Untuk itu dapat mengacu/berpedoman pada konsep tata ruang, luan-teben, dan ajaran agama Hindu yakni Catur Guru.

Pengaturan/penataan ruangan dan posisi diri dalam berbagai aktivitas dalam ruangan rumah atau gedung khususnya yang ada di Bali, sering belum menunjukkan ciri implementasi sebagai suatu sosok yang berbudaya (budaya Bali). Konsep tata ruang berikut luan-teben dan Catur Guru terkait dengan posisi personal yang terlibat (guru/dosen dan siswa/mahasiswa) tampak tidak konsisten, sehingga antara status personal sebagai pemberi dan penerima menjadi beragam (variatif) dan tidak jelas secara budaya. Akibatnya, aktivitas yang sedang berlangsung sering diwarnai dengan situasi/peristiwa yang tidak diinginkan. Misalnya kerauhan (kesurupan), gelisah, kebingungan, dan hal-hal lain yang dapat menghambat proses berlangsungnya aktivitas. Singkat kata sering melahirkan situasi kurang kondusif ketika proses belajar-mengajar berlangsung. Akhirnya dari situasi yang demikian, kebaikan/kebahagiaan yang diharapkan dari aktivitas tersebut semakin menjauh. Tentunya hal yang demikian tidak diharapkan oleh semua orang terutama bagi pelaku yang berbudaya Bali berjiwakan agama Hindu.

Persoalan yang perlu dikaji adalah bagaimanakah posisi diri yang sesuai dengan budaya dalam aktivitas belajar-mengajar agar tercapai kebaikan dan mengapa sering terjadi penyimpangan atau ketidaksesuaian budaya mengenai posisi diri dalam aktivitas tersebut? Adapun tujuan membahas persoalan tersebut adalah: pertama, untuk memperoleh kejelasan mengenai posisi

diri dalam aktivitas belajar-mengajar yang sesuai dengan budaya dan kedua, untuk mengetahui penyebab terjadinya ketidaksesuaian budaya berkenaan dengan posisi diri dalam aktivitas belajar-mengajar. Atas dasar tujuan itu, selanjutnya diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai ciri/tanda untuk menunjukkan jati diri sebagai insan pendukung budaya Bali melalui posisi diri dalam aktivitas belajar-mengajar yang berbudaya (budaya Bali).

  • 2.    Pembahasan

Posisi diri dalam kegiatan belajar-mengajar pada sebuah ruangan sangat berkaitan dengan konsepsi tata ruang, luan-teben, dan hal-hal lain termasuk ajaran Agama Hindu. Oleh sebab itu sebelum berbicara mengenai posisi diri dalam aktivitas tertentu pada sebuah ruangan, terlebih dahulu akan dideskripsikan secara sepintas tentang tata ruang dan fungsinya secara budaya (menurut budaya Bali). Selanjutnya akan dideskripsikan mengenai posisi diri dalam aktivitas belajar-mengajar di dalam ruangan dengan memasukkan konsep luan-teben dan catur guru dalam ajaran agama Hindu. Berikutnya diuraikan penyimpangan implementasi budaya dan penyebab dari terjadinya penyimpangan itu.

  • 2.1    Sepintas Tata Ruang dan Fungsinya Menurut Budaya Bali

Secara garis besarnya, ruang menurut budaya Bali diatur sedemikian rupa berpedoman pada konsep Tri Mandala, yaitu pembagian ruang menjadi tiga bagian. Adapun bagian-bagian ruang dalam Tri Mandala itu adalah: Utama Mandala (bagian ruang yang dipandang mempunyai nilai utama), Madya Mandala (bagian ruang yang dipandang mempunyai nilai sedang atau madya), dan Nista Mandala (bagian ruang yang dipandang mempunyai nilai rendah atau nista). Berpedoman pada sistem nilai dari

masing-masing mandala yang merupakan inti dari kebudayaan itulah orang Bali-Hindu menata kehidupan yang berbudaya.

Ketentuan arah/zoning terkait dengan bagian-bagian ruang dalam Tri Mandala adalah sebagai berikut. Bagian Utama Mandala adalah arah utara/kaja, timur/kangin, dan timur laut/kaja-kangin. Arah tersebut (kaja, kangin, dan kaja-kangin) disebut luan. Arah ini (luan) berpedoman pada gunung untuk arah kaja yang diyakini/dimaknai sebagai tempat berstananya Ida Hanghyang Widhi dengan segala manifestasinya. Sedangkan arah kangin berpedoman pada matahari terbit yang diyakini/dimaknai sebagai awal dari adanya kehidupan. Selanjutnya, kaja-kangin adalah perpaduan arah kaja dan kangin yang diyakini/dimaknai bahwa adanya kehidupan di dunia ini berasal/bersumber dari Ida Sang Hyang Widhi. Jadi Ia mempunyai nilai utamaning utama.

Bagian ruang Nista Mandala adalah arah selatan/kelod, barat/kauh, dan barat daya/kelod-kauh. Arah tersebut (kelod, kauh, dan kelod-kauh) disebut teben. Arah ini (teben) berpedoman pada laut untuk arah kelod dan matahari terbenam untuk arah kauh. Kedua-duanya (laut dan matahari terbenam) termasuk juga kelod-kauh sebagai titik perpaduan antara kelod dan kauh diyakini/dimaknai sebagai akhir dari suatu proses kehidupan di dunia ini. Sedangkan bagian di tengah-tengah (Madya Mandala) secara simbolis dipandang/dimaknai sebagai ruang untuk menjalani proses dari berbagai macam bidang kehidupan.

Masing-masing bagian dari Tri Mandala, secara budaya memiliki nilai dan fungsi berbeda-beda satu sama lain. Bagian Utama Mandala utamanya bagian Utamaning Utama yaitu kaja-kangin dengan nilai paling utama adalah sebagai tempat atau tegak Parhyangan keluarga yang umumnya berwujud fisik kemulan-

taksu, padmasari, dan pelangkiran (dalam ruang bangunan). Sebagaimana diungkapkan oleh Suandra (1999: 25), bahwa ……..manut pangider-ngider, genah Kahyangan ring uluning pakarangan (kaja-kangin) kabawos “Purwaning Karang”. Diidentikkan dengan sebuah karang, maka dalam sebuah ruangan penempatan pelangkiran sebagai wujud fisik komponen Parhyangan adalah pada arah atau posisi kaja-kangin (Utamaning Utama Mandala), timur/kangin, dan utara/kaja menghadap ke barat/kauh atau ke selatan/kelod. Tingginya adalah apenyujuh atau lebih kurang 40—50 Cm di atas kepala orang dewasa (normal) dalam posisi berdiri.

Pelangkiran yang telah terpasang dengan posisi yang sudah ditentukan sebaiknya diisi kain putih dan kuning (wastra putih-kuning) atau menyesesuaikan dengan fungsi tertentu dari pelangkiran yang bersangkutan. Diisi pula kain putih dan kuning (rantasan putih-kuning) dilipat dalam sebuah bokor atau wadah lainnya. Di samping itu, dilengkapi pula dengan sebuah daksina linggih (daksina mapayas) yang secara simbolis dianggap sebagai perwujudan Ida Bhatara yang distanakan pada pelangkiran. Namun sebelumnya, pelangkiran diupacarai (diprayascita) terlebih dahulu dengan maksud agar bersih/suci secara niskala sehingga menjadi layak menurut fungsinya yakni sebagai tempat pengayatan Ida Bhatara.

Sebagai tempat pengayatan Ida Bhatara, maka pelangkiran ditempatkan pada ruang atas (lebih di atas dari manusia), berpedoman pada keyakinan akan keberadaan tiga dunia yang disebut Tri Loka yaitu Bhur Loka (dunia bawah atau dunianya para bhuta), Bhuah Loka (dunia tengah atau dunianya manusia), dan Swah Loka (dunia atas atau dunianya para dewa atau bhatara). Berdasarkan

pedoman tersebut (Tri Loka), maka pelangkiran ditempatkan pada dunia atas (Swah Loka) sebagai tempat berstananya para dewa/bhatara yang akan memantau dan mengatur/menuntun serta memberikan ganjaran/pahala sesuai dengan karma manusia sepanjang hidupnya.

Bertolak dari sifat Maha yang dimiliki oleh Ida Sang Hyang Widhi yang salahsatunya adalah Mahaada maka Beliau diyakini ada dimana-mana dan mengatasi segala yang ada (wyapiwyapaka nirwikara). Dimanapun ciptaannya berada maka Beliau-pun ada juga di tempat itu. Itu berarti di ruang belajar-mengajar juga ada Beliau sesuai manifestasinya. Oleh sebab itu sudah selayaknya dalam ruang belajar-mengajar dipasang tempat pengayatan berupa pelangkiran. Catatan: Jika memungkinkan, pemasangan pelangkiran adalah pada masing-masing ruangan. Jika tidak memungkinkan, maka pemasangan pelangkiran dapat dilakukan hanya pada ruang yang berada pada posisi Utamaning Utama Mandala (kaja-kangin), baik secara horizontal maupun secara vertikal (bangunan/gedung bertingkat). Demikian tata cara pemasangan pelangkiran di dalam ruangan sebuah bangunan/gedung sekolah.

Penempatan perwujudan fisik Parhyangan pada arah kaja, kangin, dan kaja-kangin, serta pada posisi Swah Loka, di samping merupakan arah yang bernilai utama adalah juga dipandang sebagai arah suci/sakral. Arah atau posisi tersebut disebut luan. Kemudian pada arah berikutnya (teben/ngetebenang) yakni tengah-tengah (nilai madya) adalah tempat yang berfungsi untuk melakukan kegiatan lain termasuk kegiatan belajar mengajar. Demikian dan yang terakhir arah paling di teben (nilai nista) adalah sebagai tempat istirahat termasuk tempat kamar kecil atau wc. Tata nilai seperti itu

berdasar atas Tri Angga yakni kepala, badan, dan kaki. Dalam THK maka Parhyangan adalah kepala dengan nilai utama/utamaning utama, Pawongan dengan berbagai aktivitas adalah badan dengan nilai madya, sedangkan Palemahan adalah kaki dengan nilai nista (Gelebet, 2002: 77).

Kembali kepada sifat Ida Sanghyang Widhi yang ada dimanamana, itu berarti Beliau ada di semua tempat tanpa kecuali. Jadi untuk berdoa/memohon apapun dari Beliau juga dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja. Namun demikian, bukan berarti serta merta bebas memilih tempat untuk menstanakan-Nya, melainkan secara budaya telah digariskan pada posisi di luan terutama arah timur laut (kaja kangin) yang oleh orang Bali-Hindu dianggap arah atau posisi yang bernilai paling utama (utamaning utama) dan sakral. Demikian penempatan fisik Parhyangan yang senantiasa pada posisi di luan dan tidak menempatkannya pada sembarang arah dengan alasan karena terbentur situasi ruang yang tidak memungkinkan. Situasi diusahakan dapat dikondisikan sedemikian rupa sehingga penempatan fisik Parhyangan tetap sesuai dengan budaya yang dianut (budaya Bali).

Demi tercapainya kebaikan dalam melakukan berbagai aktivitas kehidupan, maka Parhyangan merupakan komponen sentral. Dikatakan demikian, karena dalam komponen Parhyangan terimplikasi suatu kebenaran yang sejati yaitu sebagai sumber dari segala yang ada di dunia ini sebagaimana tertuang dalam ajaran Agama Hindu yakni Panca Srada (lima kepercayaan). Salah satu kepercayaan berkenaan dengan sumber dari segala yang ada di dunia ini adalah percaya terhadap Brahman (Ida Sang Hyang Widhi). Itu berarti, komponen Parhyangan mencerminkan adanya hubungan antara dunia sekala dengan

dunia niskala, dimana baikburuknya kehidupan pada dunia sekala bersumber pada keberadaan dunia niskala. Karena hal tersebut berupa kepercayaan, maka sifatnya sangat personal dan kebenarannya sangat tergantung pada kemampuan merasakan (rasa) di samping logika.

Terealisasinya hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan/Ida Sanghyang Widhi yang salah satunya diwujudkan dalam bentuk penempatan fisik Parhyangan sesuai dengan tatanan budaya maka hubungan-hubungan harmonis antara manusia dengan sesamanya dan lingkungan alam akan secara otomatis terwujud. Jadi aktivitas apapun yang dilakukan, atas kehendak Ida Sanghyang Widhi akan dapat berjalan dengan lancar tanpa hambatan (polih pamargi antar sidaningdon).

  • 2.2    Posisi Diri dalam Kegiatan Belajar-

    Mengajar

Sebagai fokus bahasan yakni posisi diri dalam aktivitas belajar-mengajar, tentunya ketiga komponen THK (Parhyangan, Pawongan, dan Palemahan) akan dilihat secara mikro (ruangan sebuah gedung sekolah). Parhyangan secara fisik di dalam ruangan gedung adalah berupa pelangkiran. Pawongan dalam kegiatan belajar-mengajar adalah guru/dosen dan siswa/mahasiswa. Sedangkan Palemahan adalah ruangan yang ada di dalam gedung atau gedung secara keseluruhan. Ketiga komponen tersebut secara integral diharapkan dapat mendatangkan atau menciptakan kebahagiaan/kebaikan selama proses belajar-mengajar berlangsung.

Berkaitan dengan kepercayaan sebagai dasar dari Parhyangan baik fisik (tempat) atau nonfisik (Bhatara atau Ida Sang Hyang Widhi dengan segala manifestasinya), agama Hindu mengajarkan adanya lima kepercayaan yang disebut Panca Srada. Salah satu

dari kelima kepercayaan itu adalah percaya terhadap adanya Brahman (Ida Sang Hyang Widhi dengan segala manifestasinya). Bukti dari adanya keyakinan tersebut adalah dibuatnya berbagai bentuk tempat pemujaan seperti berbagai macam pelinggih, pelangkiran, dan tempat pemujaan lainnya. Tempat pemujaan ini dalam konsep THK merupakan bentuk fisik komponen Parhyangan. Komponen ini (Parhyangan) dipandang memiliki nilai utama atau paling utama, oleh karena itu sesuai dengan fungsinya menurut tata ruang budaya Bali umumnya ditempatkan pada posisi di luan (kaja, kangin, atau kaja-kangin) dan lebih di atas dari manusia.

Bentuk fisik Parhyangan sebagai perwujudan kepercayaan terhadap Brahman (Ida Sang Hyang Widhi dengan segala manifestasinya) dapat ditempatkan baik di luar (ruang terbuka) maupun di dalam ruangan sebuah bangunan rumah/gedung. Pada ruang terbuka umumnya berbentuk pelinggih sedangkan pada ruangan rumah/gedung umumnya berupa pelangkiran. Namun demikian, semuanya berfungsi sebagai tempat pengayatan atau pemujaan sumber dari segala sumber yang ada di dunia ini yakni Ida Sang Hyang Widhi sesuai dengan manifestasinya.

Manfaat Pelangkiran yang terpasang pada ruang belajar-mengajar adalah sebagai tempat pengayatan manifestasi Ida Sang Hyang Widhi yakni Bhatara Brahma dengan saktinya Dewi Saraswati. Dewi Saraswati diyakini sebagai saktinya Bhatara Brahma dalam menganugrahkan ilmu pengetahuan kepada umat-Nya agar dapat lebih memudahkan dalam menjalani kehidupan. Jadi, di dalam ruang belajar-mengajar akan dapat diwujudkan jalinan hubungan dekat dengan-Nya melalui konsentrasi pada pelangkiran yang ada.

Ida Sang Hyang Widhi dengan segala manifestasinya bersifat Wiapiwiyapaka Nirwikara (berada dimana-mana dan mengatasi segala yang ada). Itu berarti dimanapun umat-Nya melakukan kegiatan, maka pada tempat itu keyakinan terhadap keberadaan Beliau sudah semestinya juga diekspresikan baik dalam bentuk fisik maupun perilaku. Tujuannya adalah atas tuntunan-Nya apapun yang dilakukan agar mendapat keselamatan dalam arti luas. Oleh karena itu keberadaannya sudah sepatutnya senantiasa diingat dan dipuja tanpa batas waktu atau tempat. Waktu pagi, siang, sore, malam, di dalam atau di luar ruangan, di pelangkiran, di pelinggih atau di tempat lain yang disesuaikan dengan etika agama semuanya tiada batas.

Di dalam ajaran susila atau etika Agama Hindu disebutkan adanya ajaran Catur Guru, berasal dari bahasa sansekerta yaitu Catur artinya empat, Guru artinya berat. Catur Guru berarti empat penuntun yang mengemban tugas yang berat tetapi mulia dan harus dihormati dalam kehidupan sehari-hari. Adapun keempat penuntun itu adalah Guru Swadyaya atau Guru Sejati (Ida Sang Hyang Widhi dengan segala manifestasinya) , Guru Pengajian (guru di sekolah), Guru Wisesa (pemerintah), dan Guru Rupaka (orang tua). Terhadap keempat guru itu pula bagi yang berguru harus berbhakti dan menempatkannya pada posisi yang diutamakan (luan menghadap ke teben).

Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa pelangkiran yang terpasang di ruangan tempat aktivitas belajar-mengajar adalah bentuk fisik dari Parhyangan, sedangkan bentuk nonfisiknya adalah Bhatara Brahma dengan saktinya Dewi Saraswati. Beliau diyakini sebagai penuntun dan memberikan kekuatan/kemampuan (roh/jiwa) bagi personal yang terlibat

dalam kegiatan belajar-mengajar terutama kepada guru/dosen, serta menurunkan ilmu pengetahuan kepada siswa/mahasiswa melalui guru/dosen. Jadi guru/dosen merupakan personal yang menjembatani sumber ilmu pengetahuan (Dewi Saraswati) untuk diterimakan kepada siswa/mahasiswa.

Aktivitas belajar-mengajar juga tidak bisa dilepaskan dari kekuatan supranatural yang disebut Taksu. Taksu itu merupakan roh/jiwa yang memberikan kekuatan atau menghidupkan aktivitas seseorang sesuai dengan profesinya. Lebih lanjut menurut Sudarsana (1998: 63-64), bahwa Taksu itu sesungguhnya adalah kekuatan magis dari Sang Hyang Widhi dimana kekuatan tersebut merupakan kekuatan gravitasi (gaya tarik), dan kekuatan tersebut menyatu dengan kekuatan magis manusia serta membangkitkan kekuatan manusia sehingga manusia memiliki karisma, kekuatan yang menarik dan kemampuan spiritual sesuai dengan profesinya. Menurut ajaran agama Hindu disebutkan ada sepuluh profesi (guna). Salah satu di antaranya adalah guna wibawa profesi sebagai pegawai dan pejabat. Profesi (guna) tersebut memerlukan anugrah Ida Sang Hyang Widhi melalui manifestasinya yaitu Sang Bhuta Kala Raja sebagai Sedahan Taksu (Dewa profesi).

Keterlibatan Taksu dalam setiap aktivitas yang berkaitan dengan profesi sangatlah penting. Dikatakan demikian karena dengan keterlibatan-Nya setiap aktivitas termasuk aktivitas belajar-mengajar akan menjadi hidup, menarik, menyenangkan, dan tidak membosankan. Oleh sebab itu Pelangkiran dalam ruangan sekolah juga dapat berfungsi sebagai pengayatan dewa profesi ( Sedahan Taksu) bersama-sama Dewi Saraswati yang keduanya merupakan Guru Swadyaya dalam Catur Guru. Jika diperhatikan pada masing-masing

merajan/sanggah, dewa profesi (Sedahan Taksu) ini distanakan di pelinggih Taksu yaitu salah satu pelinggih di merajan/sanggah yang didirikan pada sisi utara menghadap ke selatan.

Dari perspektif Catur Guru, maka Guru Swadyaya (Dewi Saraswati dan Sedahan Taksu) dan Guru Pengajian (guru/dosen) serta siswa/mahasiswa merupakan satu kesatuan yang di dalamnya terdapat prinsip hubungan resiprokal dalam kegiatan belajar-mengajar. Dewi Saraswati, Sedahan Taksu, dan guru/dosen sebagai yang memberi ilmu pengetahuan dan siswa/mahasiswa adalah sebagai yang menerimanya. Hubungan ini didasari oleh sifat maha pemurah bagi Dewi Saraswati dan Sedahan Taksu untuk menurunkan ilmu pengetahuan yang menyenangkan, ketulusan hati untuk memberi bagi guru/dosen, dan ketulusan berbakti dan menerima bagi penerima (siswa/mahasiswa).

Idealnya, yang memberi hendaknya dipandang sebagai sosok yang memiliki nilai utama. Sosok yang memiliki nilai utama ataupun utamaning utama dalam kebudayaan Bali (THK) adalah Parhyangan. Karena hal itu diyakini sebagai sumber dari segala sumber yang ada di dunia, maka hal itu ditempatkan pada posisi yang dipandang memiliki nilai utama atau utamaning utama yakni pada posisi utama atau utamaning utama mandala. Utama atau utamaning utama mandala disebut juga luan atau hulu dianggap sebagai kepala. Arah luan adalah kaja, kangin, dan kaja-kangin. Sebagai lawannya adalah teben yakni kelod, kauh, dan kelod-kauh.

Dewi Saraswati dan Sedahan Taksu serta guru/dosen sebagai sosok yang bernilai utama maka posisinya adalah di luan menghadap ke teben (kaja, kangin, dan kaja-kangin menghadap kelod, kauh dan kelod-kauh). Jelasnya, dalam aktivitas belajar-mengajar posisi

guru/dosen     berhadapan     dengan

siswa/mahasiswa dimana guru/dosen adalah pada posisi di luan. Dengan demikian tercermin keteraturan hubungan dimana Dewi Saraswati (sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan) sebagai penuntun dan Sedahan Taksu memberikan kekuatan/kemampuan/karisma kepada guru/dosen (posisi sama namun beratas-bawah) dalam rangka meneruskan ilmu pengetahuan      tersebut      kepada

siswa/mahasiswa (posisi   berhadap-

hadapan).

Keteraturan hubungan antara Ida Sang Hyang Widhi (Dewi Saraswati dan Sedahan Taksu), guru/dosen, dan siswa/mahasiswa kurang lebih dapat dideskripsikan sebagaimana hubungan beratas bawah (vertikal). Posisi atas adalah pemberi sedangkan posisi bawah adalah penerima. Keteraturan hubungan-hubungan tersebut diatur sedemikian rupa menurut etika agama dengan berpatokan pada status. Dewi saraswati sebagai penuntun guru/dosen, sedangkan guru/dosen menjembatani atau sebagai penuntun    siswa/mahasiswa,    dan

siswa/mahasiswa    adalah    sebagai

penerima      ilmu      pengetatuan.

Siswa/mahasiswa    sesuai    dengan

statusnya sebagai yang menerima adalah wajib berbakti penuh etika kepada guru dalam Catur Guru yang menuntunnya (Guru Swadyaya dan Guru Pengajian).

Posisi di luanan dari pelangkiran dan seorang guru/dosen tampak telah memenuhi etika agama Hindu khususnya dan budaya Bali umumnya. Sudah sepatutnya sebagai yang memberi ilmu pengetahuan berada pada posisi di luanan dan sebagai yang menerima pada posisi di tebenan, bukan sebaliknya. Demikian pula halnya pada aktivitas lain seperti posisi diri meminang (ngidih) calon mempelai wanita dimana pihak yang meminang idealnya menempati posisi di tebenan sedangkan pihak yang dipinang

adalah pada posisi di luanan. Serupa dengan itu, posisi personal dalam suatu instansipun sebaiknya diatur sedemikian rupa dimana ketua/kepala/ pimpinan menempati posisi di luan sedangkan staf pada posisi di teben secara berhadapan. Juga posisi saat makan sebaiknya menghadap ke luan (kaja dan kangin), karena makanan yang dimakan merupakan sumber kehidupan dan bersumber dari-Nya. Itu berarti bahwa makanan adalah diri-Nya, berbhaktilah saat makan menghadap ke luan, karena diri-Nya (makanan) adalah Ia yang utama. Atas tuntunan Ida Sang Hyang Widhi, jika sudah demikian semua aktivitas relatif dapat berjalan dengan lancar/selamat dan tiada halangan (prasida memargi antar sidaningdon dan tidak kena cakra bhawa tulah pamidi).

Bagi guru/dosen yang mempunyai kemampuan untuk merasakan, alangkah terasa aneh jika posisi itu dibalik. Rasa aneh itu sulit diungkapkan dengan katakata yang jelas suasana dalam ruangan kurang nyaman walaupun sarana dan prasarana belajar-mengajar relatif sudah memadai. Terlepas dari keperibadian dari personal yang terlibat, biasanya guru/dosen sering marah-marah (temperamental), tidak konsisten (ngacuh), siswa/mahasiswa selalu ribut dan tidak serius mengikuti pelajaran/perkuliahan, dan lain-lain. Semua itu merupakan dampak dari terselimutinya ruang belajar-mengajar oleh aura negatif yang muncul dari ketidak-sesuaian budaya mengenai posisi ketiga hal yang terkait (posisi pelangkiran/Guru Swadyaya, guru/dosen/ Guru Pengajian, dan siswa/mahasiswa).

  • 2.3    Penyebab Penyimpangan Implementasi Budaya

Walaupun budaya dikatakan sebagai sesuatu yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi yang mendahului ke generasi berikutnya, akan tetapi budaya tidak pernah statis adanya.

Itu berarti bahwa walaupun budaya itu diwariskan namun tidak menutup kemungkinan terjadi dinamika, yakni terjadi perubahan yang bersifat progresif (arah kemajuan). Perubahan budaya yang demikian menjadi harapan hampir bagi semua orang. Namun demikian, dalam banyak hal perubahan sering berupa sebuah penyimpangan yang sangat mendasar seperti sistem kepercayaan sampai pada level nilai.

Secara mendasar, bahwa penyimpangan implementasi budaya adalah disebabkan oleh kurangnya wawasan budaya bagi pelaku budaya. Wawasan yang dangkal dari pelaku budaya berlanjut menjadi perubahan orientasi nilai budaya. Orientasi nilai yang berubah maka berubah pulalah sikap dan perilaku dari pelaku budaya. Kebudayaan yang dipangku tidak lagi sepenuhnya dipakai sebagai pedoman hidup yang melekat padanya nilai simbolik dan kepercayaan. Akan tetapi lebih disikapi sebagai sosok yang mengekang, membatasi, bahkan mematikan kreativitas serta membelenggu dirinya dalam kehidupan kekunoan. Semua itu dipandang sebagai sebuah penolakan terhadap dunia global berteknologi tinggi dengan pengutamaan pada nilai praktis, logis, dan instan.

Perubahan orientasi nilai dan sikap yang berawal dari dangkalnya wawasan budaya bagi pelaku budaya berlanjut terjadi perubahan pada tataran perilaku dan perwujudan fisik kebudayaan. Berkenaan dengan aktivitas belajar-mengajar, pengaturan ruang yang terkait dengan posisi personal yang terlibat menjadi tidak konsisten sebagai cerminan kehidupan/ aktivitas yang berbudaya. Budaya luan-teben terkait dengan posisi diri dari personal yang terlibat tampak kurang diperhatikan. Sehingga dengan demikian posisi personal yang terlibat dalam aktivitas belajar-mengajar menjadi berdiferensiasi. Siswa/mahasiswa pada

posisi di luan sedangkan guru/dosen pada posisi di teben dan sebaliknya. Siswa/mahasiswa sering dijumpai berada pada posisi di luan sehingga membelakangi pelangkiran sebagai stana Dewi Saraswati dan Sedan Taksu. Posisi yang demikian disebut makalahtundun. Memohon dan menerima mengapa makalahtundun ? Hal inilah tampak tidak sesuai dengan etika berbhakti kepadaNya (Guru Swadyaya) sebagai yang memberi atau menganugerahkan ilmu pengetahuan. Demikian secara otomatis guru/dosen (berhadapan) akan berada pada posisi di teben, juga tidak sesuai dengan statusnya sebagai Guru Pengajian yang menjembatani ilmu pengetahuan untuk ditransfer atau diturunkan kepada peserta didik.

Berbhakti kepada-Nya (Guru Swadyaya) dan guru/dosen (Guru Pengajian) mutlak perlu dalam proses belajar-mengajar. Dikatakan demikian karena bhakti mengandung pengertian kasih sayang dan sujud bhakti kepada semua guru dalam Catur Guru (Wardana, 1994: 31). Amat tidak mungkin sesuatu dapat terlaksana dan diterima dengan baik tanpa landasan kasih sayang dan sujud bhakti bagi yang menerima. Kasih sayang dan sujud bhakti yang beretika dan berbudaya dapat diwujudkan melalui posisi diri beratas bawah dan berluan-teben sesuai dengan status. Secara berhadap-hadapan, Guru Swadyaya dan Guru Pengajian sebagai pemberi pada posisi di atas/luan sedangkan siswa/mahasiswa sebagai penerima pada posisi di bawah/teben.

Posisi diri/personal yang disebut makalahtundun seperti tersebut di atas, berawal dari penataan ruang (posisi pintu ruangan dan posisi tempat duduk serta podium) yang semata-mata berdasar nilai praktis (cepat dicapai). Begitu masuk sampai dan duduk, jadi langkah tidak terlalu banyak namun kadang-kadang tidak selamat. Semestinya tidak seperti

itu, melainkan walaupun langkahnya banyak dan lambat asal mendapat selamat. Untuk itu, idealnya ruangan diatur sedemikian rupa dengan berpedoman pada nilai budaya yang telah diwariskan secara turun-temurun sebagaimana cara pandang antropologi konvensional, sehingga identitas budaya menjadi jelas adanya.

Pengaturan ruangan yang tidak memperlihatkan sesuatu yang berbudaya (budaya Bali yang mapan) tampaknya terkontaminasi oleh nilai praktis kritis (antropologi kontemporer) sebagaimana pula cara pandang disiplin ilmu kajian budaya, dengan mencari kejelasan-kejelasan makna rasional realistis di balik fakta yang ada. Sebagai dampaknya adalah nilai budaya yang diwariskan secara turun-menurun menjadi tersisih dan bahkan tanpa daya (avasah). Sesuatu yang tanpa daya ini, Lassen menterjemahkannya dengan istilah “devoid of power” (Pudja, 1999: 215) Semua itu berawal dari dangkalnya wawasan budaya terutama sistem kepercayaan yang diwariskan dari generasi ke generasi bagi pelaku budaya pada saat itu. Sehingga pelaku budaya menjadi lebih banyak berpijak pada realita setelah melalui kajian-kajian kritis (berburu makna) tentang berbagai persoalan hidup termasuk mengenai posisi diri dalam proses belajar-mengajar. Demikian batas-batas ruang atas nilai yang diberkati oleh pemaknaan secara subyektif menjadi kehilangan batas (capuh) antara yang bernilai utamaning utama, utama, madya, dan nista. Harapan akan sosok yang berbudayapun olehnya akan kehilangan identitas.

Sesuai dengan landasan kebudayaan Bali yaitu THK yang menekankan pada keseimbangan atau keharmonisan hubungan , maka yang pertama harus dimiliki adalah wawasan dibidang kebudayaan. Wawasan budaya yang teramat rendah menjadikan

seseorang atau sekelompok orang melakukan aktivitas tanpa pedoman yang jelas sehingga banyak penyimpangan dan hasilnyapun kurang maksimal. Sebaliknya, seseorang atau sekelompok orang dengan wawasan luas/kompleks tentang kebudayaannya tentunya termotivasi untuk berbuat sesuai dengan tatanan budayanya. Setidak-tidaknya mau dan mampu berusaha menghindari bentuk-bentuk penyimpangan dan menganggap sebuah penyimpangan budaya sebagai sebuah dosa besar baik dalam melakukan aktivitas belajar-mengajar maupun dalam aktivitas lainnya.

Seseorang/sekelompok orang dikatakan berwawasan budaya apabila ia memiliki wawasan dan kesadaran serta motivasi berdasarkan budaya dalam mengekspresikan kehidupan sehari-hari. Dari wawasan budaya yang dimiliki itulah pelaku budaya memainkan peranannya (beraktivitas) sampai pada menciptakan hasil karya. Sehingga dengan demikian baik perilaku maupun hasil karya dapat dikatakan sebagai sesuatu yang berbudaya (budaya Bali).

Rendahnya wawasan tentang kebudayaan dapat mempengaruhi orientasi nilai terhadap suatu kenyataan yang sedang dihadapi. Kebudayaan terutama yang berkaitan dengan keyakinan/kepercayaan sering tidak bisa diterima dengan akal. Oleh sebab itu nilai yang terimplikasi di dalam suatu keyakinan/kepercayaan sering dipandang sebagai suatu hal yang tidak masuk akal karena tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Misal, apa hubungannya mengenai posisi diri dalam proses belajar-mengajar dengan baik buruknya suasana pada ruang belajar-mengajar. Menurut cara berpikir irasional, contoh tersebut memang ada hubungan akan tetapi secara rasional sulitlah diterima bahkan bisa jadi ditolak secara totalitas. Nilai kehidupan yang berdasar atas

kepercayaan menjadi turun bahkan akhirnya dipandang tanpa nilai yang jelas dan tidak konsisten. Pandangan dan perilaku akhirnya cenderung mengarah kepada pengimanenan dari berbagai hal yang transendent (maha abstrak).

  • 3.    Simpulan

Posisi diri berbasis budaya dalam proses belajar-mengajar berpedoman pada tata ruang atau pengaturan/pembagian ruang menjadi tiga bagian menurut fungsinya yang disebut Tri Mandala (utama mandala, madya mandala, dan nista mandala). Di samping itu juga berpedoman pada konsep luan-teben berikut nilai yang terkandung di dalamnya dan prinsip memberi-menerima yang terimplikasi dalam konsep Catur Guru. Kepekaan implementatif dari pedoman itu merupakan kunci untuk mencapai kebaikan dalam melakukan aktivitas belajar-mengajar dan aktivitas lainnya.

Terjadinya penyimpangan atau ketidaksesuaian budaya mengenai posisi diri dalam proses belajar-mengajar berawal dari ketersediaan tempat/ruang yang kurang/tidak berbudaya. Selanjutnya, ketidaksesuaian budaya juga disebabkan oleh kurangnya pengetahuan/wawasan budaya bagi personal yang terlibat. Daripadanya personal yang terlibat dalam proses tersebut menyesuaikan diri sehingga tampil suatu sosok sebagai realita yang kurang/tidak berbudaya (budaya Bali).

Untuk dapat tampil dalam sosok yang berbudaya demi terwujudnya kebaikan dalam beraktivitas, maka berpedomanlah/berpeganglah pada budaya itu dan jangan berpedoman pada yang lain. Dikatakan demikian, karena budaya yang berlandaskan Tri Hita Karana dan berjiwakan agama Hindu sudah tentu berisikan hal-hal/rambu-rambu normatif (etika) yang dapat

dipedomani dalam rangka pencapaian kehidupan yang lebih terarah ke hal-hal yang                 mencerminkan

kebaikan/kebahagiaan.

Daftar Pustaka

Gelebet, I Nyoman, dkk. 2002. Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Arinton Puja (Penyunting). Denpasar: Badan          Pengembangan

Kebudayaan Dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian Dan Pengembangan Budaya Bagian Proyek     Pengkajian     Dan

Pemanfaatan Sejarah Dan Tradisi Bali.

Kaler, I Gusti Ketut, 1994. Butir-Butir Tercecer Tentang Adat Bali. Denpasar: CV. Kayumas Agung.

Pudja, Gede, 2002. Kitab Suci Bhagawad Gita. Surabaya: Paramita.

Suandra, I Made, 1999. Tuntunan/Tata Cara Ngewangun Karang Paumahan Manut Smrti Agama Hindu. Denpasar: Upada Sastra.

Sudarsana, I. B. Putu, 1998. Ajaran Agama Hindu Manifestasi Ida Sang Hyang Widhi. Denpasar: Percetakan Anom.

Wardhana, Cok. Wisnu, dkk, 1994. Penuntun Belajar Agama Hindu 4. Bandung: Ganeca Exact