DOI: 10.24843/SP.2018.v2.i01.p02

Potret Kehidupan Lima Kosir Dokar Fenomena Kaum Terpinggir di Kota Denpasar: Perspektif Etnosains

I Nyoman Sama

Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Udayana nyoman.sama@gmail.com

Abstrak

Keberhasilan pembangunan sangat tergantung pada kualitas sumber daya manusia (SDM) yang tersedia, jika kualitas SDM tidak mampu merespon setiap rencana pembangunan yang dicanangkan Pemerintah Kota Denpasar dapat mengakibatkan timbulnya masalah baru yakni kelompok masyarakat terpinggir. Semakin terpinggir dan tersingkirnya masyarakat kecil di daerah perkotaan membawa implikasi terhadap kenyamanan, ketertiban, keamanan, dan kekumuhan Denpasar sebagai kota budaya. Oleh karena itu, harapan semua pihak program pembangunan ke depan agar berpihak pada rakyat.

Kata kunci (key word): Potret, Kusir Dokar, dan Etnosains

  • I.    Pendahuluan

    A.    Latar Belakang

Pembangunan di Indonesia, seperti halnya terjadi di negara-negara berkembang lainnya, ditandai oleh adanya ketimpangan pertumbuhan daerah pedesaan dan perkotaan yang relatif mencolok. Penjelasan yang paling umum dikemukakan mengenai sebab munculnya ketimpangan ini bertumpu pada pelaksanaan pembangunan yang cenderung mengutamakan sektor industri dan kota serta mengabaikan sektor pertanian dan pedesaan (Chris Mauning dan Tajuddin Noer Ed. 1996: 6).

Salah satu implikasi penting dari pelaksanaan pembangunan yang urban kias adalah semakin tingginya migrasi penduduk desa-kota (urbanisasi). Implikasi ini membawa konsekuensi sosial ekonomi, salah satunya adalah masalah penyediaan lapangan kerja di kota. Dalam kaitan ini, kebanyakan kasus urbanisasi dilatar-belakangi oleh motivasi mencari peluang ekonomi yang lebih

besar daripada yang terdapat di daerah asal.

Lapangan kerja di perkotaan yang mungkin dapat dimasuki para pendatang adalah lapangan kerja di sektor informal. Hal ini dimungkinkan karena lapangan kerja sektor ini tidak menuntut kualifikasi kerja tertentu yang sukar dipenuhi oleh pendatang yang umumnya memiliki potensi kerja seperti pendidikan, pengetahuan dan keterampilan yang rendah.

Walaupun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa sektor informal ini mampu survive dan bahkan tetap berkembang, meskipun titik berat kebijaksanaan pembangunan pada umumnya ditujukan pada sektor formal. Hal ini disamping menggelisahkan para perencana pembangunan, juga menggelitik para ahli untuk mencari penjelasan yang tepat. Langkah awal dan terpenting dalam usaha mendapatkan penjelasan ini ditempuh dengan cara meneliti dunia informal. Dari sini, akan ditemukan persoalan yang dihadapi dan perilaku yang dilakukan oleh orang-

Sunari Penjor: Journal of Anthropology

Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud


orang yang menggantungkan hidup dari sektor ini.

Salah satu jenis pekerjaan sektor informal yang ada ialah kosir dokar. Kosir dokar adalah orang yang menjalankan pekerjaan sebagai pengendali kendaraan tradisional yang disebut dokar. Sebagai orang yang bekerja di bidang angkutan, mereka bisa memberikan pelayanan kepada orang, barang atau benda lainnya. Dalam menjalankan pekerjaannya tenaga, peralatan dan binatang sebagai modal utama untuk bisa melakukan pekerjaan sebagai kosir dokar. Selain itu, keterampilan mengendalikan kuda sebagai penarik dokar harus pula dimiliki, yang dapat diperoleh sendiri tanpa harus melalui lembaga formal.

Jadi, kosir dokar merupakan suatu komunitas dari sekelompok orang yang terlibat dalam kegiatan sektor informal. Biasanya mereka beroperasi di tempat umum yang dipandang strategis seperti dekat pasar, di tempat-tempat pemberhentian angkutan kota, dan lain-lain.

Dalam memandang sektor informal ada kecenderungan mengacu pada dua sisi yang berlawanan. Pertama, sisi negatif yang menganggap sektor ini tidak produktif, menebar bau tidak enak, sering membuat macet lalu-lintas dan sedikit jorok; sektor ini dianggap sebagai pelarian pencari kerja yang urbanisasi ke kota-kota. Kedua, sisi positif melihat sektor informal sebagai kegiatan yang dinamis, efisien dan menguntungkan. Sektor ini dapat menyerap tenaga kerja. Selain itu, alat angkut seperti dokar memiliki ciri khas sebagai angkutan tradisional Bali yang sekaligus dapat memberikan pelayanan kepada wisatawan. Menurut hemat penulis alat angkut tradisional dokar disamping bebas polusi juga memberikan ciri khas tersendiri terhadap Denpasar sebagai kota budaya. Tampaknya, dokar merupakan

aset yang dapat diperjual-belikan kepada wisatawan, terutama kepada wisatawan manca negara yang ingin melihat dan menikmati pemandangan sekaligus keunikan Bali khususnya Denpasar. Hal di atas sesuai dengan pandangan Hidayat (1987) bahwa 65 % penduduk Kodya Bandung hidup dari sektor membecak.

Demikian pula halnya dengan kosir dokar di sekitar Pasar Kumbasari, Perumnas Monang-Maning, Pasar Badung, Pasar Kreneng, dan sekitar Denpasar masih cukup banyak. Kegiatan usaha jenis ini semakin banyak mendapat saingan, terutama dengan kemunculan berbagai jenis alat transportasi modern, sedangkan di satu sisi dokar sebagai aset budaya yang memiliki potensi dan peluang untuk mendukung pariwisata Daerah Bali. Di sisi lain, bagaimana agar mereka (pemilik dokar/kosir dokar) setiap hari mendapatkan uang untuk keperluan keluarganya adalah persoalan baru karena dokar sebagai alat angkut tradisional tidak banyak dilirik oleh calon penumpang. Sebagai kosir dokar tentu harus melakukan kiat-kiat agar mampu bersaing khususnya dengan alat angkut modern. Jika mereka mengandalkan penduduk lakol, para pedagang, dan konsumen pasar untuk menggunakan jasa mereka, jumlahnya tidaklah begitu banyak karena para pedagang dan konsumen pasar cenderung memilih angkutan kota karena lebih cepat dan ongkosnya murah. Sedangkan, yang menggunakan jasa angkutan dokar terbatas pada mereka yang tinggal di daerah yang tidak terjangkau angkutan kota, itupun hanya sebatas di lingkungan kota seperti Jalan Suli, Jalan Trijata, Jalan Seruni, termasuk wilayah di depan Setra Badung dan sekitarnya. Dengan dibatasinya ruang gerak dokar dapat diasumsikan kurangnya perhatian pemerintah terhadap sektor informal, sekaligus merupakan kecilnya kepedulian pemerintah terhadap aset budaya kota.

Bagaimana para kosir dokar ini bersaing untuk tetap survive juga merupakan persoalan. Fenomena inilah yang menarik minat peneliti untuk menelitinya.

  • B.    Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penelitian ini akan melihat segi-segi kehidupan kosir dokar di dua tempat yaitu di lingkungan Pasar Kumbasari dan kawasan Setra Badung. Kedua tempat di atas yang dijadikan sebagai tempat beroperasi (mangkal) merupakan tempat yang strategis dan sekaligus menjanjikan di sepanjang jalan-jalan seperti; Sulawesi, Kartini, Soetomo, Ubung, Kesiman, Sanur dan kawasan kompleks Perumnas Monang-Maning. Adapun permasalah pokok yang akan dijelaskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

  • 1.    Faktor apakah yang mendorong para kosir dokar untuk tetap menjadi kosir dokar?

  • 2.    Bagaimanakah sikap kosir dokar dalam menghadapi masalah semakin banyaknya alat transportasi umum yang lebih modern beroperasi?

  • 3.    Bagaimanakah cara para kosir dokar menentukan lokasi atau tempat beroperasi?

  • 4.    Apakah profesi sebagai kosir dokar dapat meningkatkan taraf hidup mereka ?

  • 5.    Faktor apa yang menyebabkan munculnya masyarakat terpinggir di Kota Denpasar?

  • C.    Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang disajikan di depan, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

  • 1.    Untuk mengetahui faktor yang mendorong para kosir dokar untuk menjadi kosir dokar.

  • 2.    Untuk mengetahui sikap para kosir dokar dalam menghadapi persaingan dengan    semakin    banyaknya

beroperasi alat transportasi yang lebih modern.

  • 3.    Untuk mengetahui cara para kosir dokar dalam menentukan tempat beroperasi.

  • 4.    Untuk mengetahui peranan kosir dokar dalam meningkatkan taraf hidup keluarga kosir dokar, terutama yang beroperasi di depan Pasar Badung.

  • D.    Kerangka Pemikiran

Hingga saat ini, di wilayah perkotaan       terdapat       dualisme

perekonomian. Di satu pihak, tumbuh dan berkembang sektor ekonomi modern, dan di pihak lain, tumbuh dan berkembang pula sektor usaha golongan ekonomi lemah yang terdiri atas golongan ekonomi lemah formal dan sektor informal. Golongan yang kedua ini pada umumnya belum menata diri dengan teknologi dan managemen modern, namun secara kualitatif sektor ini tetap ada dan dapat pula menyerap tenaga kerja yang lebih besar dibandingkan dengan sektor ekonomi modern (Garna, 1987: 114).

Teori dualisme formal dan informal berangkat dari permasalahan dunia kelima. Boeke (1953) mengemukakan tentang ketidaksamaan antara dua jenis sistem ekonomi, yaitu kota dengan perusahaan dan modal berskala besar dan pedesaan yang memenuhi keperluannya sendiri, yang disebut para kapitalis. Konsep dualisme yang digunakan untuk negara berkembang ini mengandung berbagai makna. Dalam mendekati masalah dari pandangan tentang pertumbuhan tak seimbang dalam ekonomi perkotaan, sampai pada kesimpulan bahwa suatu bagian penting dari penduduk kota dan angkatan kerja bukanlah terserap oleh sektor yang terdiri atas perusahaan yang terorganisasikan dengan baik, tetapi oleh jumlah sektor yang terdiri atas usaha-usaha berskala

kecil yang dikerjakan sendiri. Karakteristik struktur ketidakseimbangan tersebut diberi istilah sektor kaya yang mengandalkan modal luar, keterampilan dan teknologi. Sedangkan sektor miskin dikaitkan dengan masyarakat tradisonal (Garna, 1987: 65-66).

Dalam membahas sistem ekonomi perkotaan, Hans Diester Evers mengemukakan bahwa sektor subsistensi dapat diartikan sebagai swadaya sering luput dari perhatian. Sektor ini diartikan sebagai kegiatan untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri, yang tidak diperoleh lewat pasar atau pertukaran dengan uang. Sektor ini juga dianggap penting, khususnya bagi masyarakat miskin atau berpenghasilan rendah. Hal yang dikemukakan oleh Evers itu sebagai lima sektor sumber penghasilan, yaitu subsistensi, sektor formal, dan sektor informal. Subsistensi biasanya digunakan masyarakat pedesaan untuk memenuhi keperluan hidup dari usaha sendiri. Subsistensi murni tampaknya sudah tidak terdapat dalam masyarakat Indonesia, tanpa bantuan dari luar. Walaupun demikian, gambaran tentang subsistensi pada masyarakat Baduy di Jawa Barat menunjukkan bahwa subsistensi masih hadir dalam masyarakat modern (Garna, 1987: 69-70).

Meskipun terdapat perbedaan yang tajam mengenai dualisme perekonomian di perkotaan serta sangat sulit untuk membedakan antara ciri-ciri sektor informal dan ciri-ciri formal. Pada umumnya sektor informal dapat didefinisikan sebagai kegiatan usaha yang tidak diorganisasikan dengan baik, kebijaksanaan pemerintah tidak sampai pada sektor ini, sehingga sektor informal tidak mempunyai dukungan langsung dengan pemerintah; pola kegiatan tidak teratur, unit-unit usaha dapat berpindah dari satu sektor ke sektor lainnya; dengan tingkat teknologi yang sederhana; perputaran modal usaha relatif kecil dan

skala usaha terbatas; dalam mengelola sektor ini tidak diperlukan tingkat pendidikan yang tinggi; kebanyakan unit usahanya dimiliki oleh seorang pengusaha dan tenaga kerja yang dipergunakan berasal dari anggota keluarga; sumber dana berasal dari tabungan sendiri, dan hasil produksi atau jasa dari sektor ini terutama dikonsumsi oleh golongan masyarakat miskin dan kadang-kadang oleh golongan masyarakat menengah (Hidayat, 1986: 33-34).

Sehubungan dengan peranan sektor informal dalam menyerap tenaga kerja, maka Adi Sasono (1986: 86-87) memberikan gambaran bahwa sektor informal mampu menyediakan lapangan kerja dan memberikan kehidupan sendiri (self employment), memberikan penghidupan yang murah bagi si miskin, serta menampung pengangguran. Ini berarti bahwa sektor infomal telah memberikan sumbangan yang besar pada stabilitas sosial politik dan pertahanan nasional, walaupun sektor informal tidak mendapat proteksi dari pemerintah. Sektor ini mampu produktif, potensial untuk produktif serta efisien dalam kegiatannya. Sektor ini mampu tumbuh meskipun dampak multiplayer-nya lebih kecil daripada sektor formal. Sektor informal dapat mendekatkan produsen dengan konsumen akhir sehingga sektor ini merupakan bagian integratif dari seluruh kegiatan ekonomi nasional. Dengan kata lain, sektor informal adalah sisi lain dari perekonomian sektor formal yang tidak dapat dipisahkan. Sektor informal mendukung kegiatan sektor formal. Sektor informal dapat hidup karena upah buruh yang rendah, selain itu, sektor formal mampu menyediakan hidup secara murah. Dengan demikian sesungguhnya sektor informal telah mensubsidi sektor formal.

Menurut penulis pekerjaan sebagai kosir dokar termasuk pekerjaan sektor

informal dengan ciri-ciri sebagai berikut: mudahnya seseorang memasuki sektor ini, besarnya investasi dokar masih teratasi dengan sistem sewa; pekerjaan sebagai kosir dokar adalah pekerjaan tetap atau sampingan; belum sampainya kebijaksanaan pemerintah pada sektor angkutan ini; potensi dokar masih memungkinkan untuk dikembangkan. Secara keseluruhan, pekerjaan sebagai kosir dokar umumnya dilakukan oleh kaum laki-laki dengan tingkat pendidikan biasanya pada tingkat SD, SLTP, SMU dan sebagian lainnya tidak tamat sekolah atau tidak sekolah.

  • E.    Metode Penelitian

    a.    Pendekatan Penelitian.

Setelah melihat lebih jauh karakteristik permasalahan dan tujuan penelitian, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Aspek lain yang menjadi bahan pertimbangan adalah waktu yang tersedia untuk melaksanakan penelitian relatif singkat, yaitu enam bulan.

Agar tercapai kredibilitas penelitian kualitatif, ada 5 (lima) teknik yang harus dilalui, yaitu: (a) kegiatan, (b) tanya jawab, dengan teman sejawat, (c) analisis kasus penelitian, (d) referensi yang cukup, dan (e) pengecekan oleh subyek penelitian (Lingkoln dan Guba 1985: 301-304).

  • b.    Aktor Penelitian

Aktor penelitian dalam penelitian ini adalah mereka yang menjadi kosir dokar di Denpasar, khususnya yang beroperasi di depan kuburan atau Setra Badung. Oleh karena studi ini bersifat kualitatif, maka jumlah aktor ditentukan sebelumnya. Di antara sekian banyak kosir dokar yang beroperasi di sana, penulis memilih 5 (lima) aktor dengan menggunakan random sampling. Kelima aktor itu adalah Ida Bagus Gangga, I Nengah Simpen, I Wayan Putra, Mangku

Suarsana, dan I Nyoman Dauh. Kelima aktor tersebut beroperasi di sekitar Kota Denpasar. Dalam penelitian ini, pemilihan kelima aktor tersebut tidak dimaksudkan untuk mewakili seluruh populasi yang ada. Akan tetapi, studi ini paling tidak dapat menggambarkan keadaan dan kegiatan-kegiatan para kosir dokar yang dapat diperhitungkan dalam memahami fenomena sosial pada masyarakat marginal.

  • c.    Prosedur Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini digunakan dua metode utama dalam pengumpulan data, yaitu metode observasi dan metode interview (wawancara). Metode observasi yang dimaksudkan adalah bahwa peneliti mengamati dan mencatat secara langsung subjek maupun objek yang diteliti. Sedangkan pada metode interview (wawancara) digunakan in-depth interviewing. Metode ini merupakan metode wawancara secara mendalam di mana peneliti secara langsung dan berulang-ulang mengadakan pertemuan dengan aktor penelitian, baik di tempat beroperasi maupun di tempat tinggal (rumah).

Dalam proses penggalian informasi untuk mencapai obyektivitas data, terlebih dahulu penulis memperkenalkan diri dengan mengatakan bahwa penulis ingin belajar tentang kehidupan para kosir dokar di sekitar Kota Denpasar. Kemudian wawancara dilakukan dengan percakapan wajar dan tidak merupakan tanya jawab yang formal. Setelah terjalin keakraban, peneliti mulai mengejar informasi mengenai motivasi yang mendasari mereka menjadi kosir dokar, teknik bersaing, cara penentuan lokasi beroperasi, serta pengalaman dan kehidupan mereka setelah menjadi kosir dokar. Selain observasi dan interview, peneliti juga menggunakan kamera untuk bukti fisik penelitian dan untuk

memmudahkan pemahaman peristiwa di lapangan.

  • II.    Deskripsi Wilayah Penelitian

Wilayah penelitian mengenai kehidupan lima kosir dokar dipilih di lingkungan Pasar Kumbasari dan Depan Setra (kuburan) Badung. Dipilihnya kedua tempat mangkalnya para kosir dokar tersebut di atas, berdasarkan pertimbangan bahwa jalur itu jarang dilalui oleh kendaraan umum seperti angkutan kota.

Dari kelima kosir dokar yang dijadikan subjek penelitian, yaitu Ida Bagus Gangga, I Nengah Simpen, I Wayan Putra, I Ketut Suriasa, dan I Nyoman Dauh. Berdasarkan tempat berlangsung proses wawancara dapat dibedakan menjadi dua tempat, yaitu tempat mangkal dan tempat tinggal kosir dokar.

  • 1.    Tempat Mangkal.

Kelima kosir dokar yang mangkal di Depan Setra Badung mereka biasanya melayani penumpang yang ingin diantar ke Perumnas Monang-Maning dan sekitarnya. Sedangkan kosir dokar yang mangkal di sekitar Pasar Kumbasari umumnya melayani penumpang seperti para konsumen pasar dengan barang-barang belanjaan yang cukup banyak dengan tujuan yang sangat beragam. Kedua tempat tersebut selalu ramai dari pagi hingga sore hari baik mereka yang turun dari angkutan kota maupun mereka yang menunggu angkutan kota.

  • 2.    Tempat Tinggal

Peneliti juga melakukan observasi dan wawancara ke tempat tinggal para kosir dokar setelah ada kesepakatan antara si peneliti dengan si kosir dokar. Kelima kosir dokar tersebut bertempat tinggal di sekitar Monang-Maning. Wawancara yang dilakukan di rumah para kosir dokar terutama dimaksudkan

untuk mendapat informasi yang lebih mendalam. Selain itu, proses wawancara jauh lebih leluasa, dan terjalin hubungan komunikasi yang lebih akrab daripada di tempat mangkal. Dibalik itu, sesungguhnya peneliti ingin melihat relevansi antara aktor penelitian dan setting. Setting, tidak dapat diabaikan jika kita ingin mengungkap realitas kehidupan secara menyeluruh dan hal tersebut tidak bisa dipisahkan.

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara, setting dapat dideskripsikan sebagai berikut.

Ida Bagus Gangga asal Denpasar tinggal di Br. Penyaitan, Busung Yeh. Ia adalah seorang perjaka tua umur 55 tahun dan memiliki sebidang tanah sendiri seluas 7 are, sebagian dipergunakan untuk mendirikan bangunan rumah dengan ruang-ruang seperti: kamar tidur dan kamar mandi/wc, kuil keluarga dan warung. Bangunan rumahnya berukuran 8 x 10 x 1m2 dilengkapi 3 (lima) kamar tidur, ruang tamu, kamar mandi/wc. Sebuah bangunan dapur yang dibagi menjadi dua rungan, yaitu satu sebagai tempat memasak dan dua sebagai ruang makan. Perlengkapan rumah tangga masih terkesan sederhana di ruang tamu dipajang satu set sofa yang sudah agak tua. Untuk masing-masing kamar tidur terdapat dipan tua dengan kasurnya dan 2 (dua) kamar tidur lainnya dilengkapi lemari kayu yang cukup berumur satu lagi lemari plastik seperti baru. Di ruang tempat memasak terdapat perlengkapan seperti kompor minyak tanah, rak tempat piring, sedangkan di ruang makan dipajang satu set meja-kursi sebagai tempat makan. Barang dagangan yang dijual di warungnya jenis sembako seperti beras, gula (pasir dan merah), kopi, ikan/daging dan sayur-mayur. Dia hidup bersama dua orang keponakannya yang sudah ditinggal oleh kedua orang tuanya.

I Wayan Putra, umur 30 tahun asal Denpasar tinggal di Br. Buana Kubu. Ia hidup dengan seorang istri dan dua orang anak, anak pertama sudah duduk dibangku sekolah dasar dan yang kedua masih balita. Tanahnya yang seluas 125 meter persegi di atasnya dibangun sebuah rumah berukur 7 x 10 x 1m2 yang terdiri dari 2 (dua) kamar tidur, dapur, ruang tamu, kamar mandi/wc. Kedua kamar tidur tersebut lengkap dengan tempat tidurnya. Di rumahnya juga ada sofa yang masih agak baru, katanya si pemilik sofa tersebut barang yang dibeli secara kredit, televisi 14 inc, sumur, dan peralatan rumah tangga yang serba sederhana. Selain ia sebagai kosir dokar, ia juga sebagai petugas kebersihan di Pasar Kumbasari. Sebagai petugas kebersihan di Pasar Kumbasari dilakoni sejak kelahiran anak sulungnya. Kewajiban sebagai petugas kebersihan dilakukan setiap hari mulai sekitar pukul 06.30 sampai selesai.

I Nengah Simpen, umur 45 tahun sebagai ketua PERDODEN (Persatuan Dokar Denpasar) asal Karangasem tinggal di lingkungan Br, Buana Kubu. Ia memiliki tanah seluas 125 meter persegi di atasnya dibangun rumah berukuran 8 x 9 x 1m2 yang terdiri dari 6 kamar, 1 (satu) kamar dipergunakan sebagai dapur, 4 (empat) kamar berfungsi sebagai kamar tidur, 1 (satu) kamar dipergunakan sebagai ruang tamu, sedangkan kamar mandi/WC dibangun agak nempel dibangunan induk. Peneliti secara seksama dapat mengamati ke empat kamar tidurnya lengkap dengan tempat tidur yang tergolong sederhana, salah satu dari kamar tidur tersebut terdapat lemari kayu yang sudah agak tua, lima lainnya dilengkapi dengan lamari plastik. Di ruang tamu dipanjang sofa, televisi 17 inc, radio mini compo, untuk perabotan dapur kelihatan sederhana seperti kompor minyak tanah, dan rak kayu sebagai tempat piring.

Mangku Suarsana, umur 47 tahun tinggal di Br Buana Kubu dan berasal dari Desa Ulakan Karangasem. Ia hidup bersama istri dan lima orang anaknya. Pak Mangku, demikian panggilan akrabnya ia memiliki tanah luasnya sekitar 100 m2. Rumah berukuran 7 x 10 x 1 m2 yang dibagi menjadi empat kamar tidur yang relatif kecil, ruang dapur, dan kamar mandi/wc kelihatannya sangat sederhana. Di Rumahnya, ada juga perabotan seperti, meja dan kursi kayu sederhana, televisi 14 inc. Di ruang dapur yang berukuran kecil tersebut dilengkapi dengan perabotan seperti; 2 buah kompor minyak tanah, rak piring, lemari makan, tempat duduk seadanya. Apakah istri Pak Mangku tidak mengikuti program keluarga berencana (KB) yang dianjurkan pemerintah? Mendapat pertanyaan yang demikian Pak Mangku tidak langsung menjawab, kelihatan matanya Pak Mangku menerawang jauh ke sana sambil berdiam. Setelah Pak Mangku berdiam kira-kira selama lima menit barulah meluncur sebuah jawaban singkat yang mengundang gelak tawa di sekitar tempat penulis melakukan wawancara bebas. Begini jawaban Pak Mangku, “kadung kelangen nganti ensap ngacit”. Secara bebas jawaban dari Pak Mangku dapat diterjemahkan yaitu “karena terlena akhirnya lupa mengangkat” hal inilah yang menjadi alasan kelahiran dari kelima putra-putrinya. Untuk lebih mendalami persoalan ekonomi keluarga Pak Mangku dalam kesempatan berwawancara bebas kami pancing dengan pertanyaan sebagai berikut. Dalam situasi ekonomi yang carut-marut seperti saat ini apakah Pak Mangku, dapat memenuhi tuntutan kebutuhan keluarga (istri dan anak-anak) dari penghasilan sebagai kosir dokar?.

Tampaknya untuk menjawab pertanyaan di atas Pak Mangku lebih berhati-hati, hal demikian terlihat dari cara bicaranya agak pelan dan terkesan

sambil memikirkan jawaban yang lebih pasti. Menurutnya, untuk memenuhi tuntutan akan kebutuhan hidup keluarga dia tidak hanya tergantung dari penghasilannya sebagai kosir dokar, tetapi juga ditunjang oleh penghasilan istri sebagai pedagang sayur-mayur di Pasar Badung. Selain itu, dua orang dari kelima anaknya yang sudah bekerja turut menyangga kehidupan perekonomian keluarga Pak Mangku.

I Nyoman Dauh, umur 59 tahun asal Desa Abang Karangasem tinggal di Br. Busung Yeh. Ia tidak memiliki tanah dan sampai saat ini ia tinggal di tanah duwe Pura Dalem (Setra Badung) atas seijin Jro Mangku. Di sana pulalah ia mendirikan rumah yang sangat sederhana dan hidup bersama dua istri dan lima orang anaknya. Dengan istri pertama I Nyoman Dauh mempunyai anak dua orang yang paling tua dengan jenis kelamin perempuan dan sudah menikah sedangkan anak yang kedua dengan jenis kelamin laki-laki. Sementara istri kedua yang disunting I Nyoman Dauh merupakan pasien yang pernah ditolong. Setelah didesak apakah mempunyai istri kedua ini sudah menjadi rencana Bapak ? Pertanyaan yang saya ajukan tidak secara spontan mendapat jawaban, dalam waktu yang cukup lama baru meluncur jawaban tegas dari mulut I Nyoman Dauh, tidak. Setelah dikejar lagi dengan pertanyaan berikutnya kalau demikian mengapa menikah lagi ? I Nyoman Dauh kemudian menjawab bahwa memang benar istri keduanya bukan merupakan kehendak yang direncanakan, melainkan anugrah Sang Hyang Embang. Alasannya karena pasien (istrinya) tersebut sudah sembuh dan harus pulang untuk dapat berkumpul dengan sanak keluarganya di desa. Setelah rencana pulang mendapat kesepakatan dua belah pihak antara pihak I Nyoman Dauh yang bertindak sebagai balian (dukun) dengan pihak keluarga pasien barulah mereka pulang ke desa

asal. Sebelum mereka pulang terlebih dahulu keluarga pasien melakukan ritual kecil yang lazim disebut melukat dengan tujuan agar sang pasien mendapat kerahayuan atau keselamatan selama hayat masih dikandung badan. Akan tetapi yang terjadi bukannya si pasien mendapat keselamatan melainkan penyakitnya kambuh lagi. Kejadian bolak-balik untuk berobat ke rumah I Nyoman Dauh terjadi secara berulang-ulang, tiap kali si pasien dibawa pulang penyakitnya kambuh lagi dan demikian seterusnya. Dengan pengalaman seperti itu keluarga pasien akhirnya memutuskan jika anaknya sembuh akan diserahkan sepenuh kepada sang dukun. Tampaknya penggalan cerita singkat di ataslah sebagai latar belakang yang mengantar I Nyoman Dauh memiliki dua istri. Selain sebagai kosir dokar ia juga bekerja serabutan biasanya sangat tergantung dari permintaan orang yang memerlukan tenaganya.

  • III.    Hasil Penelitian

Di depan, sudah dijelaskan bahwa penelitian ini dilakukan terhadap kosir dokar di Kota Denpasar, khususnya di depan Setra (kuburan) Badung dan di Pasar Kumbasari. Salah satu ciri utama adalah sebuah pertigaan jalan ke arah Selatan menuju pusat resort pariwisata Kuta, ke arah Utara menuju jantung Kota Denpasar, dan ke arah Barat jalan menuju kompleks Perumnas Monang-Maning. Di jalan itu, angkutan kota sangat ramai datang dari Selatan yaitu Terminal Tegal Badung kemudian lurus ke utara di simpang empat Jalan Hasanudin berbelok ke kiri ada langsung ke arah Terminal Ubung, Terminal Kreneng, dan Terminal Batubulan yang terletak di pinggir Kota Denpasar. Pertigaan itu sangat strategis, bagi para kosir dokar untuk dapat memperoleh penumpang karena dari pagi hingga petang padat dengan hilir mudiknya orang-orang, baik yang

menunggu maupun yang turun dari angkutan kota. Di lokasi tersebut memberi kenyamanan bagi para kosir dokar menunggu atrian karena di sekitar tempat itu ditumbuhi oleh pepohonan yang besar.

Di situlah banyak kosir dokar yang mangkal menunggu penumpang dan siap untuk mengantarkannya ke kompleks Perumnas Monang-Maning termasuk juga ke berbagai tempat tujuan sesuai kesepakatan bersama. Tepatnya posisi mangkalnya para kosir dokar di utara jalan berjejer dari ujung timur jalan sampai di depan Pura Mrajapati (pura kuburan). Walau tidak memiliki aturan yang jelas mereka sangat tertib menunggu giliran, demikian pula mereka sangat toleran kepada para tukang ojek yang juga sama-sama mangkal di sana. Keteraturan dalam antrian sangat jelas bagi siapa saja yang datang lebih awal (duluan) dia akan menempati posisi paling timur dan demikian seterusnya, mereka yang datang belakangan menempati posisi paling barat.

Berbeda halnya dengan kosir dokar yang mangkal di sekitar Pasar Kumbasari tepat di Jalan Bukit Tunggal. Biasanya penumpang yang keluar dari pasar dengan banyak barang belanjaan dan mencari dokar, penumpang itu adalah hak kosir dokar paling ujung. Selama ini tidak pernah terjadi rebutan penumpang di antara kosir dokar karena mereka menjunjung tinggi azas musyawarah-mufakat. Akan tetapi jika penumpang tadi tidak mau, dan ia naik pada dokar yang lain, maka tidak menjadi masalah karena itu merupakan kehendak penumpang.

Mengenai ongkos, ada penumpang yang langsung naik dokar tanpa menanyakan ongkos, ada juga yang bertanya masalah ongkos, bahkan terjadi tawar-menawar. Mereka yang langsung naik biasanya mereka yang sudah sering menggunakan jasa angkut dokar dan

mengetahui ongkosnya. Kisaran ongkos yang sudah menjadi kesepakatan di antara kosir dokar dari depan Setra Badung ke kompleks Perumnas Monang-Maning Rp. 3.000,- sampai dengan Rp. 3.500,-perkepala. Tetapi tidak menutup kemungkinan jika penumpang memberikan lebih. Umumnya mereka berasal dari Madura, Jawa dan lainnya. Penumpang yang menanyakan ongkos atau tawar-menawar biasanya mereka tergolong pendatang baru. Sebagian lainnya penumpang adalah penduduk lokal. Hal inilah yang juga menjadi ciri kosir dokar di tempat tersebut, yaitu bahwa penumpang dokar di tempat itu tetap.

Demikianlah suasana di daerah penelitian dari pagi hingga sore menjelang petang. Pada hari raya-hari raya keagamaan tertentu seperti Hari Raya Lebaran, baik menjelang maupun sesudahnya keadaan menjadi lebih ramai. Seminggu menjelang hari raya arus penumpang yang akan mudik menjadi sangat ramai demikian pula yang terjadi pada arus balik. Saat seperti itu para kosir dokar dapat mengais uang lebih banyak.

Rangkaian aktivitas tersebut, peneliti amati selama dua bulan sehingga penulis sangat dekat dengan mereka. Para kosir dokar yang berpenampilan sederhana itu, celana panjang, kaos oblong, sandal jepit, bahkan ada yang memakai sarung, sarungnya mirip pir, kendati demikian mereka sangat ramah dengan peneliti. Di tengah-tengah mereka peneliti memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud kedatangan peneliti. Di sana pula peneliti mohon agar diperkenankan berkunjung ke rumahnya guna mengobservasi dan wawancara.

Atas dasar kesepakatan bersama dan waktu luang mereka itu, peneliti datang ke rumah para kosir dokar secara berulang-ulang untuk observasi dan wawancara. Observasi peneliti lakukan ke tempat tinggal kelima orang kosir

dokar yang menjadi sasaran penelitian, yaitu Ida Bagus Gangga, I Wayan Putra, I Nengah Simpen, Mangku Suarsana, dan I Nyoman Dauh.

  • IV.    Hasil Wawancara

Dalam menggali informasi yang lebih mendalam mengenai keadaan para kosir dokar, baik keadaan fisik maupun yang terkait dengan aktivitas-aktivitas kesehariannya sebagai kosir dokar, maka dilakukan wawancara. Wawancara dilakukan terhadap lima kosir dokar yaitu Ida Bagus Gangga, I Wayan Putra, I Nengah Simpen, Mangku Suarsana, dan I Nyoman Dauh. Adapun hasil wawancara tersebut disajikan secara berturut-turut sebagai berikut.

  • 1.    Ida Bagus Gangga

Ida Bagus Gangga adalah orang yang sejak kecil kurang beruntung. Laki-laki yang berwajah polos ini lahir di Banjar Penyaitan, Desa Busung Yeh Denpasar pada tahun 1948. Pria ini yang hingga kini masih tetap membujang. Dia hidup bersama dua orang keponakannya yang berjualan berbagai kebutuhan pokok seperti; beras, gula, kopi, gula merah, bumbu tradisional, minyak goreng, ikan, daging ayam, daging babi, dan sebagainya.

Ketika ditanya “Mengapa Bapak memilih hidup sebagai kosir dokar, tidak usaha lainnya?” Ia menceritakan latar belakang kehidupannya sejak kecil. “Saya ini sejak kecil sudah menderita, Pak”. Pada waktu saya pertama kali menginjakkan kaki di bangku SR (sekolah rakyat atau sekarang sekolah dasar), Aji (ayah) saya meninggal. Sejak saat itu saya tidak lagi mampu melanjutkan pendidikan dikarenakan faktor ekonomi yang kurang mampu. Jadi, saya hidup bersama ibu. Kehidupan ekonomi keluarga saya ketika itu sangat prihatin alias pas-pasan. Bagaimana cara Bapak menanggung kehidupan ? Pulang

sekolah saya bekerja serabutan yang penting dapat uang, seperti cari kerja mencangkul (numbeg), menuai bibit padi (memula), kadang-kadang jual rumput kepada pemilik kuda, dan sebagainya. Perjalanan itulah yang mengantarkan sosok Ida Bagus Gangga menjadikan kosir dokar sebagai pilihan hidupnya hingga kini.

  • 2.    I Wayan Putra

I Wayan Putra lahir pada tanggal 12 September 1973 di Banjar Buana Kubu, Busung Yeh, Denpasar. Ia yang sejak kecil tinggal bersama kedua orang tuanya di tanah kelahirannya. Menurut pengakuannya masa-masa menuntut ilmu, baik di jenjang SD (sekolah dasar), SLTP (sekolah lanjutan tingkat pertama), maupun SMU (sekolah menengah umum) dia sering berpindah-pindah sekolah semua itu disebabkan oleh faktor ekonomi semata. Dicermati dari ciri-ciri tubuhnya yang agak kurus tetapi kekar, kelihatan dia adalah tipe laki-laki pekerja keras. Selain hidup sebagai kosir dokar dia juga melakoni pekerjaan sebagai petugas kebersihan di Pasar Badung.

Ketika ditanya “Mengapa Bapak memilih hidup sebagai kosir dokar, tidak usaha lainnya?”. Mendengar pertanyaan yang penulis ajukan tidak langsung direspon oleh I Wayan Putra, raut mukanya kelihatan seperti menyimpan getirnya kehidupan yang dialami. Lantas, ia mengisahkan perjalanan hidupnya sejak kecil. Seingat saya, sejak kecil memang hidup ini penuh penderitaan, ketika itu saya duduk di bangku sekolah dasar (SD) selepas dari sekolah saya selalu diajak kemana saja orang tua sebagai pekerja serabutan (meburuh) untuk dapat memenuhi kebutuhan pokok minimal. Bagaimana cara Bapak menanggung kehidupan ini ? Di atas tadi sudah saya katakan sepintas mengenai pekerjaan apa saja saya lakukan untuk dapat memenuhi kebutuhan pokok

minimal keluarga. Asal pekerjaan tersebut tergolong halal, maksudnya pekerjaan yang tidak bertentangan dengan norma-norma ketimuran. Demikianlah cara saya guna dapat menanggung segala kebutuhan keluarga, baik dari kebutuhan sandang-pangan, papan maupun biaya pendidikan anak-anak.

  • 3.    Nengah Simpen

Nengah Simpen tidak tahu persis tanggal dan tahun kelahirannya. Konon ia dilahirkan dari keluarga yang amat sangat sederhana di sebuah desa kecil yang terpencil di kaki Gunung Abang yang bernama Desa Kesimpar. Dilihat dari raut muka dan perawakannya Nengah Simpen agak beda dengan teman seprofesinya. Perawakannya yang kurus dengan raut muka yang agak kusam menunjukkan betapa berat beban tanggung jawab yang dipikul sebagai seorang suami dan orang tua dari ketiga anaknya. Wawancara dengan Pak Nengah demikian sapaan teman seprofesinya dilakukan di tempat mangkal pada saat ia menunggu antrian yaitu pada tanggal 2—9 Juli 2014.

  • 4.    Mangku Suarsana

Mangku Suarsana lahir di Ulakan, Kabupaten Karangasem pada tahun 1956, tetapi sejak kecil ia tinggal di Denpasar. Sosok tubuhnya agak pendek tetapi kekar, menanda ia adalah seorang pekerja keras. Wawancara dengan Pak Mangku demikian ia sering dipanggil teman-teman seprofesinya dilakukan di tempat mangkal pada saat-saat ia menunggu penumpang, yaitu pada tanggal 10—17 Juli 2014.

Ketika ditanya mengapa Bapak memilih hidup sebagai kosir dokar di Denpasar ? Ia menjawab, “saya menjadi kosir dokar di Badung (sekarang Denpasar) karena saya menghindari “pengaruh lingkungan” di desa asal.

Apakah Bapak dapat menceritakan “pengaruh lingkungan” yang Bapak maksudkan ? Ketika pertanyaan tersebut saya lontarkan Pak Mangku tidak langsung memberi jawaban, ia diam sejenak, mungkin merekonstruksi ingatannya pada masa itu. Lalu, ia mulai mengisahkan latar belakang ia meninggalkan desa kelahirannya. “Di sana (Desa Ulakan, Karangasem) teman-teman sebayanya sering minum-minuman keras, seperti arak dan tuak. Saya bingung melihat keadaan mereka, demikian penuturan Pak Mangku polos. Ketika masih duduk di bangku SD Desa Ulakan saya ikut membantu orang tua menyabit rumput untuk sapi peliharaannya. Pekerjaan menyabit rumput terus saya lakoni hingga tamat SD.

Pada tahun 1978, ia mencoba merantau ke Denpasar dan tinggal di rumah pamannya di jalan Nangka. Sejak tinggal di rumah paman ia mulai mengenal kehidupan pamannya sebagai kosir dokar. Pada mulanya ia hanya membantu pamannya seperti : memberi pakan kuda, memandikan kuda, dan termasuk menyiapkan dokar dengan berbagai kelengkapannya jika paman berangkat nambang. Berawal dari sanalah ia terjun dan menekuni kehidupan sebagai kosir dokar hingga kini.

  • 5.    I Nyoman Dauh

I Nyoman Dauh, tidak dapat memastikan tanggal, bulan, dan tahun berapa ia lahir. Menurut penuturan I Nyoman Dauh, konon orang tuanya buta huruf oleh karena itu tidak dicatat hari kelahiran Dauh sebagai putranya. Desa Lempuyang adalah desa tempat kelahiran I Nyoman Dauh dari keluarga yang sangat sederhana. Pada saat I Nyoman Dauh lahir kondisi perekonomian Bali sangat menyedihkan, kondisi ini kemudian sebagai faktor penyebab I

Nyoman Dauh tidak bisa mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Apalagi untuk dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah untuk memenuhi kebutuhan pokok saja sudah syukur, akunya. Ketika penulis kejar dengan pertanyaan Apakah Bapak Dauh di desa asal tidak punya tanah ? Mendengar pertanyaan demikian, I Nyoman Dauh tidak langsung menjawab. Kemudian dengan raut muka yang teramat sedih ia mengatakan bahwa di desa asalnya keluarga orang tuanya hidup dari nandingan atau sistem bagi hasil dari tuan-tuan tanah di desanya.

Tepatnya pada tahun 1960-an dengan tekad bulat I Nyoman Dauh pergi merantau ke Badung. Di Badung ia tinggal bersama teman baik orang tuanya di sekitar lingkungan Br. Taensiat. Dari sinilah awalnya ia mengetahui seluk-beluk kehidupan Badung sebagai salah satu kabupaten diantara delapan kabupaten. Ia banyak menimba pengalaman hidup dari teman baik orang tuanya yang hidup sebagai kusir dokar. Pengalaman demi pengalaman yang diperoleh semakin hari semakin mengkristal dalam ingatan I Nyoman Dauh bahkan pada akhirnya ia memilih pekerjaan sebagai kosir dokar sebagai pilihan hidupnya.

  • V.    Analisa Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini mengungkapkan persoalan hidup lima kosir dokar di Denpasar, maka yang terlintas dalam pikiran saya adalah sebuah potret kemiskinan mereka. Jika dicermati lebih jauh, pada dasarnya struktur sosial di pedesaan lebih sering sebagai penyebab timbulnya permasalahan. Dari hasil wawancara ditemukan bahwa 80 % kosir dokar yang mangkal di depan Setra Badung (kuburan) berasal dari Karangasem, kemudian yang lainnya berasal dari Klungkung, dan Denpasar. Bila ditelusuri

secara geografis daerah asal para kosir dokar tersebut termasuk daerah pertanian kering sehingga hasil yang diperoleh dari bertani tidak dapat memenuhi kebutuhan subsistensi keluarga mereka. Tampaknya faktor tersebut di atas mendorong mereka melakukan urbanisasi ke Denpasar dengan harapan dapat memperoleh pekerjaan dengan hasil layak.

Meski sangat sulit mendapatkan pekerjaan di Denpasar, mereka tidak mau merantau ke luar Bali karena sebelumnya ada kerabat mereka yang berhasil secara ekonomis. Adanya bentuk kepedulian dan rasa solidaritas yang tinggi di antara mereka patut kita kagumi. Hal inilah yang mendasari pemahaman mereka bahwa hidup di Bali lebih baik daripada hidup di luar Bali. Persepsi hidup lebih baik di Bali merupakan kristalisasi pandangan mereka tentang hidup dan kehidupan. Oleh karena itu kebudayaan umumnya diberi makna sebagai suatu sistem pengetahuan, gagasan, ide, yang dimiliki oleh suatu kelompok manusia tertentu yang berfungsi sebagai pemberi arah bagi mereka yang menjadi warga kelompok itu dalam bersikap dan bertingkah laku (Geertz, 1987, Sairin 1991). Bahkan mereka menunjuk contoh kasus “orang Jawa datang ramai-ramai ke Bali mencari pekerjaan apa saja, termasuk sebagai tukang titig”. Alasan lain yang mendorong mereka memilih kosir dokar sebagai pilihan kerja satu-satunya adalah bahwa pekerjaan ini tidak menunutut pengetahuan dan keterampilan khusus yang merupakan produk institusi pendidikan formal. Disamping itu, pekerjaan sebagai kosir dokar tidak terikat oleh ruang dan waktu, artinya mereka bebas menentukan jadual kerja sesuai dengan kehendak mereka.

Kerangka analisis penelitian ini akan lebih difokuskan pada beberapa aspek, untuk lebih jelasnya perhatikan uraian di bawah ini.

  • 1.    Faktor Ekonomi

Kelima kosir dokar yang diwawancarai         memberikan

pengakuan yang hampir sama yaitu kesulitan ekonomi yang selalu melilit kehidupan     merekalah     yang

mendorong mereka untuk jadi kosir dokar. keadaan geografis dan terbatasnya luas lahan pertanian yang dimiliki serta tingkat pendidikan mereka relatif rendah. Selain itu, tidak adanya kemampuan daerah asal menyediakan lapangan kerja, menuntut mereka agar melakukan pilihan untuk bisa tetap survive. Dalam bayangan mereka ketika itu hanya Badung sebagai satu-satunya tempat yang menjanjikan dan dapat meningkatkan taraf hidupnya.

Menurut penuturan Ida Bagus Gangga, ia menjadi kosir dokar sekarang diawali dengan kematian orang tuanya yaitu, ayahnya. Sepeninggal ayahnya, kehidupan Ida Bagus Gangga bagaikan kapal tanpa nakhoda, dan akhirnya putus sekolah. Sejak itulah, dia mulai dengan kehidupan sebagai kosir  dokar.

Pekerjaan sebagai kosir dokar hingga kini tetap ditekuni, selain tidak memerlukan modal yang terlalu besar, tidak menuntut keterampilan formal serta hasilnya cukup untuk menopang kehidupan di hari tuanya. Berbeda dengan Ida Bagus Gangga yang tidak tamat SR atau setara SD sekarang, I Wayan Putra yang berbekal selembar tanda tamat belajar SMA menjadi kosir dokar diawali dengan kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan di berbagai instansi pemerintahan. Selain itu, karena tuntutan tanggung jawab terhadap keluarga yang mengharuskan I Wayan Putra hingga kini tetap melakoni sebagai kosir dokar. Bahkan untuk mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga I Wayan Putra

tidak malu-malu menjadi petugas kebersihan di Pasar Kumbasari.

Lain lagi penuturan Mangku Suarsana yang memiliki tingkat perekonmian lebih baik dibandingkan dengan teman-teman seprofesinya. Kemungkinan karena faktor ekonomi Mangku Suarsana dipercaya oleh teman-teman seprofesinya sebagai koordinator. Walau dipercaya sebagai koordinator Mangku Suarsana dalam menjalankan tugas dan kewajibannya selalu berkoordinasi dengan para kosir dokar, baik menyangkut teknik antrean, menjaga kebersihan dokar, memberikan pelayanan prima kepada para penumpang, arisan, dan kebutuhan lainnya. Menurut Mangku Suarsana menjaga kebersihan dokar dan memberikan pelayanan prima merupakan program pokok yang harus ditaati oleh semua para kosir dokar.

Kisah Nengah Simpen sebagai kosir dokar rupanya karena keterpikatanya dengan cerita dari teman sekampungnya yang lebih duluan berhasil menjadi kosir dokar di Denpasar. Kisah keberhasilan inilah yang mengantarkan Nengah Simpen bermigrasi ke kota untuk menjadi kosir dokar agar dapat membantu ekonomi orang tua di kampung asalnya. Selama menggeluti profesi sebagai kosir dokar ternyata lambat laun ia tidak hanya berhasil membantu ekonomi orang tetapi juga berhasil membeli sebidang tanah seluas satu are. Selanjutnya, Nengah Simpen mulai merajut kehidupannya di atas tanah yang dibeli dari hasil kerja keras sebagai kosir dokar di tengah hiruk-pikuk Kota Denpasar. Rutinitas sebagai kosir dokar dilakoni dengan amat disiplin hal tersebut dilakukan karena dorongan motto hidupnya yang sederhana yaitu “ingin hidup lebih baik”.

Tampaknya, I Nyoman Dauh telah memiliki kebulatan tekad bahwa menjadi kosir dokar adalah pilihan hidupnya. Menurut penuturan I Nyoman Dauh pilihan hidup ini merupakan hasil gemblengan teman baik orang tuanya yang telah lebih duluan tinggal di Denpasar. Walau I Nyoman Dauh sudah lama tinggal di Denpasar namun secara ekonomi kehidupan keluarganya sangat memprihatinkan dengan beban tanggungan yang sangat berat. Pada hal dia tidak hanya menyambung kehidupan keluarganya dari penghasilannya sebagai kosir dokar, melainkan juga sebagai pekerja serabutan. Penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan tersebut hanya dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan subsistensi keluarga.

Angan-angan untuk memiliki tanah dan rumah sendiri semakin jauh dari mimpinya, apalagi di tengah persaingan ekonomi yang semakin ketat akan semakin menjauhkan harapannya. Harapan dan tumpuan I Nyoman Dauh untuk memiliki tanah dan rumah tidak pernah pupus hingga kini. Bahkan belakangan ini putra-putrinya telah berhasil mencicil sebidang tanah dengan luas satu setengah are. Keberhasilan putra-putrinya mencicil sebidang tanah dilandasi konsep jengah sekaligus merupakan wujud bakti sang anak kepada orang tua. Kini di atas tanah tersebut telah dibangun rumah yang sangat sederhana, di sanalah I Nyoman Dauh beserta keluarga melawan kerasnya kehidupan Kota Denpasar.

  • 2.    Faktor Kebijakan Pemerintah

Sejak adanya kebijakan Pemerintah Kota Denpasar tentang tertib administrasi di bidang kependudukan membawa dampak terhadap

kehidupan para kosir dokar di kota ini. Dampak yang paling dirasakan oleh para kosir dokar menurunnya secara dratis para penumpang yang menggunakan jasa mereka. Pada umumnya para penumpang berasal Jawa Timur seperti Banyuwangi, Pasuruan, Besuki, dan sebagainya sedangkan para penumpang yang berasal dari Lombok, wilayahnya meliputi Lombok tengah dan Lombok Timur. Kebijakan pemerintah yang membuat jenis angkutan tradisional semakin terpinggiran bahkan semakin tersingkir adalah adanya larangan terhadap jenis angkutan ini tidak boleh masuk kota.

Selanjutnya,     seiring     semakin

pesatnya perkembangan sektor pariwisata di Bali Pemerintahan Kota Denpasar    pernah    menggagas

menjadikan kota sebagai objek wisata.       Terkait       rencana

pengembangan Kota Denpasar sebagai objek wisata selanjutnya disusun kebijakan menyangkut angkutan tradisional seperti dokar, agar dapat melayani wisatawan yang ingin menikmati keindahan dan keasrian kota sebagai kawasan wisata. Kebijakan ini disambut baik oleh para kosir dokar karena adanya perhatian pemerintah kepada komunitas yang dipinggirkan. Rupanya tiupan angin sejuk dari rencana pemerintah merupakan politik pencitraan bahwa pemerintah peduli kepada kaum termarginalkan, bahkan kenyataannya terbalik.

  • VI.    Penutup

Berpangkal tolak dari analisis data di atas, penelitian ini melahirkan sejumlah kesimpulan sebagai berikut:

  • 1.    Pada hakikatnya yang mendorong para kosir dokar di depan Setra Badung untuk tetap menarik dokarnya adalah rendahnya tingkat

pendapatan     dan     sempitnya

kesempatan kerja di desa asal sehingga mereka berusaha melakukan urbanisasi untuk mencari pekerjaan. Selain itu, tingkat pendidikan mereka relatif rendah sehingga di kota mereka tidak mampu bersaing di sektor formal. Dengan demikian, satu-satunya jalan adalah bergerak di sektor informal, yang salah satunya adalah menjadi kosir dokar. Pada umumnya mereka berasal dari Karangasem tetapi ada juga yang berasal dari Badung (sekarang Denpasar). Di desa asal para kosir dokar kebiasaan minum minuman keras seperti tuak dan arak sudah menyatu    dengan    kehidupan

keseharian masyarakat di sana, hal inilah yang dikhawatirkan sebagian dari generasi muda. Oleh karena itu, wajar kalau mereka ramai-ramai memasuki sektor informal seperti menjadi kosir dokar di Denpasar.

  • 2.    Dalam menjalankan profesi sebagai kosir dokar banyak terjadi persaingan. Khususnya persaingan yang terjadi diantara kosir dokar tidak     sampai     menimbulkan

kecemburuan sosial karena mereka semua bersahabat. Persaingan hanya terjadi dalam hal datang lebih pagi, dan cepat-cepat kembali ke tampat mangkal dan pulang lebih malam. Cara seperti itu dilakukan mereka hanya untuk mendapatkan hasil lebih dari teman-temannya. Walau tidak ada peraturan resmi yang mengatur kegiatan para kosir dokar di Depan Setra Badung mereka sangat tertib misalnya dalam menentukan ongkos. Ongkos yang mereka tarik dari tempat mangkal ke lingkungan Perumnas Munang-Maning berkisar Rp. 2,500. sampai Rp. 3,000. namun tidak menutup kemungkinan jika penumpang memberikan lebih. Mereka tidak boleh rebutan

penumpang karena sudah ada antrean yang diatur sedemikian rupa di tempat mangkal. Kosir dokar yang datang pertama akan menempati posisi paling depan (timur), sedangkan mereka yang datang belakangan posisinya ada di sebelah barat dan demikian seterusnya. Bilamana ada angkutan umum menurunkan penumpang yang berhak mendapatkan penumpang tersebut adalah kosir dokar yang paling depan atau timur. Jika penumpang berkenan, langsung diangkut ke tempat tujuan. Akan tetapi, jika ada calon penumpang memilih kosir dokar yang lain, kosir dokar yang punya hak tidak boleh menggugat karena hal itu kemauan penumpang. Jasa angkutan dokar ini, diminati juga oleh wisatwan mancanegara. Bilamana ada wisatawan yang menggunakan jasa angkutan ini penarikan ongkos    ditentukan

berdasarkan tempat tujuan. Adapun ketentuan yang disepakati mengenai ongkos misalnya Kuta dan Sanur Rp. 25,000; Kesiman (Denpasar Timur) Rp. 15,000; dan Ubung Rp. 10,000. Ketentuan seperti itu ditaati oleh sesama kosir dokar dengan harapan tumbuh sistem persaingan yang sehat.

  • 3.    Menentukan lokasi mangkal, ternyata para kosir dokar memperhitungkan secara cermat dan logis seperti memilih lokasi Depan Setra Badung merupakan tempat yang benar-benar strategis, karena jalan menuju arah komplek Perumnas Munang-Maning tidak dilalui oleh angkutan umum. Pada hal kompleks Perumnas Munang-Maning merupakan daerah pemukiman yang luas dan padat penduduk. Jalan di sebelah timur tempat mangkalnya para kosir dokar tepatnya jalan Imam Bonjol adalah jalur angkutan umum yang sangat ramai. Sudah tentu penduduk

Perumnas Munang-Maning yang datang dari bepergian, termasuk mereka yang datang dari kampung numpang angkutan umum dan turun di sana untuk kemudian mencari dokar. Lokasi Depan Setra Badung hampir tidak pernah sepi, baik mereka yang menunggu angkutan umum maupun mereka yang turun dari angkutan kota sangat ramai dari pagi hingga sore sekitar pukul 18.00 Wita. Terutama menjelang hari raya besar seperti Galungan-Kuningan, hari raya Idul Fitri, baik penumpang arus mudik maupun penumpang arus balik. Dengan demikian, ojek bukan saingan bagi para kosir dokar dalam merebut penumpang, bahkan bisa saling memberikan penumpang. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa mereka mangkal di tempat itu.

  • 4.    Pandangan sementara orang bahwa kehidupan para kosir dokar selalu melarat, dan gambaran demikian tidaklah benar adanya. Sebagaian besar para kosir dokar yang beroperasi di Depan Setra Badung telah memiliki tanah dan rumah sendiri walaupun sangat sederhana. Sejak mulai hidup sebagai kosir dokar kehidupan mereka berubah semakin baik. Pada awalnya mereka hanya dapat memenuhi kebutuhan dasar seperti makan, namun lambat laun mereka dapat membeli televisi, sepeda motor, hingga mampu membiayai sekolah anak-anak mereka. Suatu usaha yang patut kita kagumi dimana mereka dalam keterdesakannya tetap berupaya untuk dapat survive di tengah derasnya arus modernisasi di segala bidang. Jadi, dokar sebagai alat transportasi tradisional satu-satunya di Bali memberi sumbangan yang berarti terutama lapangan kerja bagi sekelompok orang. Tentu hal ini dapat     mengurangi     jumlah

pengangguran yang ada di Kota Denpasar di tengah-tengah ketidak mampuan pemerintah menyediakan lapangan kerja bagi para pencari kerja. Seiring dengan harapan mereka (kosir     dokar)     yaitu dapat

meningkatkan taraf hidup yang lebih layak, keberadaan mereka perlu terus diberdayakan misalnya dengan memberikan kursus bahasa inggris hal ini tidak dapat dipisahkan dengan sebutan Denpasar sebagai kota budaya, jaringan serta organisasi yang sudah ada selama ini perlu terus ditingkatkan      untuk      dapat

berpartisipasi dalam berbagai event termasuk konsumerisme pariwisata. Banyak kalangan yang menganggap bahwa sektor informal seperti dokar perlu ditertibkan, karena dokar menebar bau yang tidak sedap, sering bikin macetnya lalu lintas, dan sebutan lain yang bernada miring serta meminggirkan.

  • 5.    Selama ini, kebijakan pemerintah tidak berorientasi pada kehidupan rakyat kecil, dan selalu kelompok seperti kosir dokar menjadi terpinggir dan tersingkir.

VII Saran

Selain butir-butir kesimpulan sebagai temuan dalam penelitian ini, sangat diharapkan dapat menindak lanjuti dari hasil tersebut. Sebagai tindak lanjut yang dapat disumbang yaitu berupa saran-saran :

  • 1.    Pemerintah     dalam     membuat

kebijakan, hendaknya memperhatikan sektor informal, jika sektor informal tidak dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan dikhawatirkan dapat menimbulkan gejolak. Misalnya, penertiban angkutan bemo roda lima, masalah penertiban penduduk dengan kipemnya Kota Denpasar;

  • 2.    Pemerintah kurang menaruh perhatian terhadap sektor di atas, terbukti tidak adanya kucuran kredit dari bank, baik bank pemerintah mapun bank swasta, bahkan dokar hanya sebagai pelengkap penderita dari sebuah event yang diselenggarakan pemerintah;

  • 3.    Dalam merancang Denpasar sebagai kota budaya dan sekaligus city tour dokar hendaknya diberdayakan sebagai alat angkut tradisional satu-satu oleh pemerintah.

Daftar Pustaka

Garna, Judistira, 1987. “Profil Sektor Informal Bandung”, Makalah Seminar Mobilitas Penduduk dan Sektor Informal. Pusat antar Universitas Studi Sosial Devisi           Demografi

Kependudukan   Universitas

Gadjah Mada, 6-7 Januari, Yogyakarta.

Geertz, 1987. Tafsir Kebudayaan,

Hidayat, S., 1978. Studi Penentuan Jenis Lapangan Usaha Bagi Tukang Becak di  Sektor

Informal di Kotamadya Bandung. PPES, Universitas Padjadjaran, Bandung.

_______, 1987. “Menuju Kebijaksanaan Tepat     Guna     dalam

Menunjang Peranan Sektor Informal”. Makalah dalam Konferensi         Nasional

Pertumbuhan Penduduk, Urbanisasi             dan

Kebijakasanaan Perkotaan” Jakarta, 15-18 Oktober.

Lewis, Oscar, 1978. Lima Keluarga Penggali Pasir di Mexico

Lingkoln, Y.S. and Guba E.,  1985.

Naturalistic Inguiry. Beverly Hills, Sage Publication.

Manning, Chris dan Tadjudin Noer Effendi      (ed),      1989.

Urbanisasi, Pengangguran dan Sektor Informal di Kota Yogyakarta. Yayasan Obor Indonesia.

Sairin, Sjafri, 2003. “Beberapa Catatan Tentang      Kebudayaan”,

Makalah. Yogyakarta Balai Kajian Sejarah dan Tata Nilai Tradisional.

Sasono, Adi. 1986. “Peluang Kerja Sektor Informal di Daerah Perkotaan”, dalam Makalah Lokakarya Pembinaan Sektor Informal, Kantor Lingkungan Hidup, Jakarta 6-8 Pebruari.

Suardjo, Suwarno. 1978. “Ketenagaan di Sektor Informal”, dalam Makalah        Lokakarya

Pembinaan Sektor Informal, Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pertambangan dan Energi, Jakarta 11-19 Januari.