DOI: 10.24843/SP.2018.v2.i01.p05

Makna Mitos Dewi Saraswati dan Mitos Dewi Durga: Suatu Analisis Struktural

I Wayan Suwena

Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Udayana

wsuwenas58@yahoo.com

Abstrak

Dari perspektif struktural Levi-Strauss terungkap adanya struktur tersembunyi (struktur dalam) pada mitos Dewi Saraswati dan Mitos Dewi Durga. Dari hasil ana-lisis dan interpretasi kedua mitos tersebut dapat dipahami mengenai kepercayaan orang Bali yang beragama Hindu, yaitu pertama, umat Hindu di sini bersifat mono-theisme. Ini terungkap dari miteme dan ceriteme kedua mitos tersebut yang meng-indikasikan adanya kemiripan, baik Dewi Saraswati maupun Dewi Durga sama-sama sebagai sakti dewa. Kedua, umat Hindu di Bali menganut animisme dan dinamisme. Hal ini ditandai terjadinya jalinan hubungan bersifat harmonis antara umat Hindu dan kaki-tangan (bhuta-bhuti) Dewi Durga yang ditempuhnya dengan cara melakukan kegiatan-kegiatan ritual di tempat-tempat yang biasanya diyakini sebagai tempat per-semanyamannya. Ketiga, umat Hindu di Bali bersifat religius. Hal ini ditandai dengan pelaksanaan pengorbanan suci, yaitu upacara keagamaan yang terakumulasi dalam panca yadnya yang telah menyatu dengan adat-istiadat di Pulau Dewata.

Kata kunci: Makna, Mitos, dan Struktural.

  • A.    PENGANTAR

  • 1.    Latar Belakang Masalah

Orang Bali secara mayoritas memeluk agama Hindu. Agama Hindu sudah menjadi identitas bagi orang Bali. Komponen-komponen agama Hindu yang di-anutnya terakumulasi pada sebuah sistem yang disebut kerangka agama Hindu, yang terdiri atas tatwa (filsafat), etika, dan ritual (upacara). Dalam sistem kepercayaan umat Hindu, menyebutkan bahwa Tuhan itu satu tetapi orang bijaksana menyebut dengan berbagai nama (Mas, 2008:   1).

Pemberian nama kepada Tuhan berdasarkan atas manifestas-Nya atau fungsi-NYa bagi umat manusia.

Dalam konteks ini, teologi Hindu menjelaskan bahwa manifestasi Tuhan

dibedakan menjadi tiga nama, disebut Sang Hyang Trimurti (trinitas), yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa (Maswinara, 2007: 16). Sesuai dengan mani-festasi-Nya, Dewa Brahma berfungsi sebagai pencipta alam semesta dan segala isinya, Dewa Wisnu sebagai pelindung dan pemelihara segala ciptaan Tuhan, sedangkan Dewa Siwa sebagai pemusnah atau pelebur.

Tuhan sebagai pemegang kekuasaan yang mahatinggi (supreme power) mempunyai kekuatan yang bersifat dinamis dan kreatif serta memelihara yang berbudi luhur berada pada aspek female (perempuan), yang disebut shakti. Shakti juga diasosiasikan sebagai yang bertuah tinggi. Pada shakti mempunyai nama berbeda-beda (Pidada, 1997: 39). Misalnya, Shakti Brahma

Sunari Penjor: Journal of Anthropology

Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud


disebut Dewi Saraswati; Shakti Wisnu bernama Dewi Sri, Dewi Laksmi, Dewi Pertiwi; Shakti Siwa bernama Dewi Durga, Dewi Parvati.

Umat Hindu secara intensif memuja para dewa (manifestasi Tuhan) dan shakti-nya untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan, baik lahir maupun batin. Pemujaan terhadap Tuhan atau bentuk manifestasi-Nya yang disebut Dewa dan shakti-Nya yang disebut dewi dilegitimasi oleh mitos. Dalam tulisan ini hanya dianalisis mitos Dewi Saraswati dan mitos Dewi Durga yang masih tetap survive di kalangan orang Bali beragama Hindu. Bagaimana struktur dan makna yang ada dalam mitos Dewi Saraswati dan Dewi Durga menjadi permasalahan yang dijawab dalam tulisan ini. Dengan demikian, penulis ingin mencoba untuk mengungkap tentang makna dan struktur yang tersembunyi pada dua mitos tersebut dengan menggunakan paradigma strukturalisme Levi-Strauss. Dengan menggunakan paradigma ini diharapkan dapat diketahui mengenai sistem kepercayaan orang Bali sebagai penutur mitos tersebut.

  • 2.    Kerangka Teori

Levi-Strauss dalam bukunya berjudul Mythologique menegaskan bahwa strukturalisme adalah suatu teologi dan mitos adalah pemikiran religius (via Baal, 1988). Menurut Bascom, ceritera dalam mitos diterima dengan keyakinan, dipercaya dapat menjawab atas ketidaktahuan atau kesangsian. Mitos adalah pengejawantahan dogma yang disakralkan dan sering diasosiakan dengan teologi dan ritual (via Dundes, 1984). Mitos pada umumnya mengisahkan terjadinya alam semesta, dunia, manusia pertama, terjadinya maut, bentuk khas binatang, bentuk topografi, gejala alam, dan sebagainya. Mitos juga mengisahkan petualangan para dewa,

kisah per-cintaan, hubungan kekerabatan, kisah perang mereka, dan sebagainya (Bascom, 1965b: 4—5; via Dananjaya, 1992: 51). Dalam hubungan ini, mitos Dewa Saraswati dan mitos Dewi Durga mengisahkan tentang turunnya para dewa ke bumi dalam manifestasinya sebagai dewi.

Mitos Dewi Saraswati dan mitos Dewi Durga yang dijumpai di kalangan orang Bali mempunyai sifat religius, bahkan disakralkan karena kedua mitos ini mele-gitimasi kepercayaan umat Hindu untuk melaksanakan ritual pemujaan terhadap Dewi Saraswati dan Dewi Durga. Menurut Durkheim, hal-hal yang sakral selalu dianggap superior, sangat kuasa, terlarang dari hubungan normal, dan pantas mendapat penghormatan tinggi. Perhatian bagi umat beragama tertuju kepada hal-hal yang bersifat sakral, bukan kepada hal-hal yang bersifat profane (Pals, 2001: 167).

Levi-Strauss juga menjelaskan mitos tersebut dari dimensi waktu. Dalam hal ini ditegaskan bahwa mitos berada dalam dua waktu sekaligus, yaitu waktu yang bisa berbalik, dan waktu yang tidak bisa berbalik. Fakta menunjukkan bahwa mitos senantiasa merujuk pada fenomena yang terjadi pada masa silam. Selain itu, pola-pola tertentu yang diungkap mitos menjelaskan apa yang terjadi di masa silam, tetapi sekaligus juga dapat menjelaskan apa yang tengah terjadi sekarang, dan yang akan terjadi di masa mendatang (Levi-Strauss, 1963; via Ahimsa-Putri, 2009: 81). Sebagaimana ceritera mengenai keberadaan Dewi Saraswati dan Dewi Durga di kalangan orang Bali (Hindu) dipercayai sebagai suatu peristiwa yang pernah terjadi pada masa lampau, karena kisah itu masih dapat digunakan untuk memahami dan menjelaskan apa yang diyakini dan yang terjadi pada masa kini dan masa mendatang.

Berdasarkan atas uraian di atas dapat mempertegas lagi bahwa mitos dapat berfungsi untuk melegitimasi atau mengesahkan tindakan ritual yang dilakukan oleh warga masyarakat pendukung mitos tersebut. Sehubungan dengan hal ini, Levi-Strauss (via Ahimsa-Putra, 2009: 92) menegaskan bahwa mitos bukan lagi hanya dongeng pengantar tidur, tetapi merupakan kisah yang memuat sejumlah pesan. Pesan-pesan ini tersimpan dalam keseluruhan mitos. Akan tetapi si pengirim pesan tidak jelas, yang jelas hanyalah penerima pesan tersebut.

  • 3.    Metode Analisis

Prosedur yang ditempuh untuk menganalisis kedua mitos itu adalah terlebih dahulu mencari miteme-miteme yang terdapat dalam mitos Dewi Saraswati dan Dewi Durga. Jenis analisis mitos yang diterapkan di sini mengikuti analisis struktural sebagaimana yang dikembangkan oleh Levi-Strauss (1963). Apabila miteme yang diperoleh dipandang tidak bermakna maka diteruskan untuk dicari ceriteme-ceriteme. Dalam upaya memahami struktur yang tersembunyi yang ada pada kedua mitos tersebut, dicoba miteme dan ceritemenya disusun secara diakronis (sintagmatis) dan sinkronis (paradigmatis). Kemudian, dicari pula relasi-relasi yang terkecil agar dapat menjelaskan mengenai makna dan struktur yang ada dalam kedua mitos tersebut.

Sementara ini, data utama yang menjadi bahan analisis diperoleh melalui penelitian kepustakaan. Di perpustakaan penulis mengumpulkan informasi atau data bersumber dari beberapa buku yang relevan dengan masalah karya tulis ini. Di samping itu, juga dilengkapi dengan data primer yang diperoleh melalui pengamatan dan wawancara terhadap beberapa informan. Informasi yang telah

terkumpul, kemudian dianalisis secara struktural. Levi-Strauss (via Baal, 1988) dalam hal ini menegaskan lebih jauh bahwa struktur itu baru muncul dengan studi dan analisis.

  • B.    PEMBAHASAN MITOS DEWI SARASWATI DAN MITOS DEWI DURGA

  • 1.    Teks Mitos Dewi Saraswati dan Mitos Dewi Durga

  • a.    Mitos Dewi Saraswati

Baik, mitos Dewi Saraswati maupun mitos Dewi Durga saya peroleh melalui penelitian kepustakaan. Dalam hal ini, teks mitos Dewi Saraswati menceritakan bahwa Dewi Saraswati merupakan personifikasi Tuhan dalam manifestasinya dan fungsinya sebagai Dewi Ilmu Pengetahuan. Beliau turun ke dunia      untuk      meng-anugrahi

kesempurnaan batin (ilmu pengetahuan suci). Sebagai shakti-nya Dewa Brahma, yaitu dewa yang mempunyai kekuatan di dalam ilmu pengetahuan, Dewi Saraswati digambarkan sebagai seorang wanita cantik bertangan empat yang masing-masing       memegang:       genitri,

cakepan/lontar, wina/rebab, dan bunga padma/teratai. Genitri melambangkann bahwa ilmu pengetahuan tidak habis-habisan dipelajari, juga sebagai lambang atau alat untuk melakukan aktivitas ritual yang sering disebut japa mantra. Dengan mengucapkan japa mantra secara berulang-ulang memiliki makna bahwa menuntut ilmu pengetahuan merupakan upaya manusia mendekatkan diri kepada Tuhan, yang senantiasa mengajarkan untuk berbuat baik untuk dunia. Cakepan/lontar merupakan lambang sumber ilmu pengetahuan itu bersifat estetik;       bunga       padma/teratai

melambangkan alam semesta (bhuana agung), yakni istana Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sedangkan, angsa (tunggangan Dewi Saraswati) me-

lambangkan sifat-sifat bijaksana. Ini berarti bahwa orang yang mampu menguasai ilmu pengatahuan akan mampu untuk ber-wiweka, yakni suatu kemampuan untuk membedakan antara baik-buruk dan benar salah.

Hari Raya Haji Saraswati dirayakan setiap 210 hari, bertepatan pada Sabtu Umanis Watugunung. Menurut kisahnya, sehari sebelum Dalem Waturenggong dikalahkan, dan keesokan harinya ilmu pengetahuan diturunkan. Oleh karena itu, setiap Hari Haji Saraswati dirayakan sebagai pemujaan Dewi Saraswati dengan cara penyucian buku dan pustaka suci, serta menyucikan pikiran.

Seluruh umat Hindu menghaturkan sesaji sebagai ucapan terima kasih atas segala rakhmat-Nya. Semua pustaka sebagai wahana Dewi Saraswati dikumpulkan dan ditata rapi pada waktu piodalan Sang Hyang Haji Saraswati.

  • b.    Mitos Dewi Durga

Mitos ini menceritakan bahwa Dewi Durga adalah sumber dari segala pe-nyakit. Dewi Durga, menurut cerita adalah perwujudan dari dua dewi yang datang ke bumi untuk membuat malapetaka, karena telah mendapatkan kutukan dari suami masing-masing, yaitu pertama bernama Dewi Uma, yang bersuamikan Dewa Siwa. Dia diberi hukuman oleh Sang Suami, karena dianggap terlalu kejam terhadap anak sendiri yang bernama Sang Hyang Kumara sehingga Dewa Siwa menjadi sangat marah, lalu mengusir Dewi Uma dari Sorga dan harus tinggal di bumi, di kuburan umat manusia.

Dewi Uma tidak mampu melawan kutukan Dewa Siwa. Oleh karena itu, dalam waktu sekejap, dia terlempar dari sorga, tubuhnya melayang turun ke bumi. Dia melayang dalam posisi sungsang, kepalanya yang terlebih dahulu menyentuh tanah dan berubah menjadi Bhatari Durga. Wajahnya yang semula

cantik berseri. Seketika berubah menjadi raksasa seram dan menakutkan. Di sini dia disambut oleh seorang raksasi bernama Sang Kalika Maya. Raksasi ini mengalami nasib yang serupa dengannya, yaitu sama-sama mendapat kutukan dari suaminya. Dia sebenarnya seorang bidadari, tetapi karena telah berani berselingkuh, akhirnya diusir pula dari sorga. Raksasi ini memiliki wajah dan tubuh yang hampir sama sehingga mereka akhirnya disebut sebagai Dewi Durga, harus hidup dari mayat yang baru di kuburan.

Mengingat jumlah orang meninggal semakin hari semakin sedikit, sebagai akibat dari meningkatnya keasadaran manusia memuja Tuhan, Dewi Durga menjadi bingung. Jumlah makanan mereka semakin hari semakin berkurang. Tidak tahan menghadapi penderitaan seperti itu,mereka kemudian menghadap Dewa Brahma, sebagai Dewa Utpatti (kelahiran atau pencipta) dan menjabat juga sebagai dewa penerima atma orang mati. Maksud dan tujuan mereka memohon kekuatan agar terus-menerus tersedia “makanan”. Dewa Brahma bersedia memberikan bantuan, tetapi dengan syarat mereka harus bersedia tinggal di Pura Dalem, dekat kuburan. Dewi Uma menyanggupi persyaratan tersebut. Untuk itu Dewa Brahma memberikan tiga kesaktian kepada mereka, yaitu mampu menguasai bhuta-bhuti/makhluk halus, dapat mengubah manusia menjadi leak, dan mampu menyebarkan segala jenis penyakit.

Di samping itu, Dewa Brahma memberikan pula ciri manik yang berisi ajaran pangiwa, ilmu hitam atau ajaran kiri dan ajaran ugig padengenan atau kemampuan membencanai orang dengan kejahatan. Kesaktian tersebut hanya dapat digunakan pada saat-saat tertentu saja. Karena sudah memiliki kemampuan dan beberapa tempat tinggal maka mereka disebut Bhatara Durga Dewi,

kalau tinggal di Pura Dalem; Bhatari Ragawati kalau tinggal di Pura Kahyangan lainnya, dan Bhuta Berawi kalau di kuburan. Untuk dapat menjalankan tugas membuat kejahilan dan kejahatan, mereka kemudian memanggil kelima saudaranya yang masih berada di kahyangan sehingga di bumi ini ada tujuh raksasa.

Dari ketujuh raksasa tersebut, dua di antaranya menjadi pemimpin. Sementara, lima menjadi pembantu pelaksana, mereka disebut Panca Durga, di mana kelimanya dikirim ke berbagai penjuru mata angin dan menjadi penguasa di tempat masing-masing. Di antara ketujuh raksasa tersebut, Bhatari Durga yang paling sakti, bertugas di atas. Setiap saat melayang-layang di udara mencari-cari kelengahan manusia. Kalau sudah melihat manusia yang tidak kuat imannya, yang tidak pernah menyembah para dewi, dia akan melayang turun, kemudian membunuh dengan menggunakan kesaktiannya.

Semua Raksasa Durga itu membawa pasukan yang disebut bhuta-bhuti, dengan wujud beraneka ragam yang jumlahnya paling tidak ada tujuh (bentuk bhuta-bhuti) berwujud manusia yang diyakini bergentayangan di berbagai tempat. Misalnya, pertama yang disebut bake, memiliki ciri-ciri bertubuh hitam, tempat tinggalnya di semak-semak. Dia akan muncul mencari mangsa di tengah malam hari. Kedua, yang disebut bakis-botong, tubuhnya kerdil (kate), berkepala plontos, kulitnya putih pucat pasi. Demikian pula bhuta-bhuti yang lainnya memiliki tempat tinggal, ciri-ciri, dan sebutan tersendiri, serta muncul mencari mangsa pada waktu-waktu tertentu.

Ada juga bhuta-bhuti berwujud bagian dari tubuh manusia, yang jumlahnya sekitar lima. Misalnya, (a) berbentuk kepala dengan rambut seperti api senjata, disebut kemangmang; (b)

lewean yang berwujud badan manusia tetapi tanpa lengan, tungkai, dan kepala; (c) berbentuk sebelah tangan yang terbang melayang-layang di udara; (d) berbentuk potongan paha hingga kaki, hanya sebelah tungkai saja, tanpa badan; dan (e) berbentuk lutut ke bawah, muncul pada malam hari, yang disebut katugtug. Selain itu, ada bhuta-bhuti yang lain berwujud rangka manusia tetapi dapat bergerak, disebut jerangkong. Ada pula bhuta-bhuti berwujud binatang yang disebut Banaspati-raja, wujudnya tidak jauh berbeda dengan macan. Dari tubuhnya keluar api sehingga tampak seperti macan terbakar. Banaspati-raja ini muncul pada tengah malam, dan tempat tinggalnya di tengah hutan yang lebat.

C. MITEME DAN CERITEME MITOS DEWI SARASWATI DAN MITOS DEWI DURGA: ANALISIS            DAN

INTERPRETASI.

  • a.    Miteme dan Ceriteme Mitos Dewi Saraswati.

  • 1.    Miteme :  “…Dewi Saraswati

merupakan personifikasi Tuhan dalam manifestasinya dan fungsinya sebagai Dewi Ilmu Pengetahuan…”

Miteme ini dapat ditafsirkan bahwa Dewi Saraswati tiada lain wujud manifestasi dari Tuhan (Ida Sang Hyang Widi Wasa) yang fungsinya sebagai dewi yang menjadi sumber dari ilmu pengetahuan, Ilmu pengetahuan itu kemudian diturunkan kepada umat manusia.

Pada jaman Rgveda, Saraswati diasosiasikan dengan sungai yang mengalir di dataran Sindhu. Sungai ini juga disebut Sungai Saraswati, yang menjadi salah satu sungai suci di India tempat mensucikan diri.

Pada jaman berikutnya, Saraswati memperoleh arti yang lebih luas, Saraswati diidentifikasikan dengan

ucapan, juga suara, tentunya suara suci, yang dikenal dalam komunitas Hindu sebagai OM. Om ini adalah vibrasi yang keluar dari dalam badan, dari situ kemudian Saraswati juga disebut berstana di lidah. Sebagai ucapan, Saraswati adalah perlambang intelegensia karena dari ucapan manusia dapat mengekspresikan buah pikiran dan lahirlah bahasa. Saraswati adalah juga intelek itu sendiri. Saraswati adalah sumber inspirasi penciptaan dan kekuatan penciptaan, dari tingkat yang lebih rendah sampai ke tingkat penciptaan yang paling tinggi, yang termasuk di dalamnya ilmu pengetahuan tentang spritualitas.

Dalam kepustakaan Hindu yang mutahir, Saraswati disebut terlahir sebagai belahan dari Dewa Brahma sebagai aspek Tuhan terbelah menjadi dua sisi, yaitu sisi wanita adalah Saraswati, dan sisi laki-laki adalah Brahma. Keduanya melakukan pertemuan     yang     kemudian

menciptakan dunia manu, manusia pertama di bumi ini.

  • 2.    Miteme : “…Dewi Saraswati yang turun ke dunia untuk menganugrahi ilmu pengetahuan suci (kesempurnaan bathin).

Miteme ini menunjukkan ilmu pengetahuan memiliki peranan yang sangat penting bagi hidup manusia. Ilmu pengetahuan adalah jalan untuk menuju kebenaran absolut, yaitu Tuhan. Ilmu pengetahuan adalah jalan untuk menemukan kebenaran relatif, yaitu pengetahuan berdasarkan hasil penelitian empiris atau hasil pemikiran manusia. Ilmu pengetahuan membuat manusia mampu mengubah alam (nature) menjadi budaya (culture).

Hadirnya Dewi Saraswati dalam agama Hindu, umat Hindu diajarkan untuk terus menerus melakukan pendakian rokhani untuk mencapai kesempurnaan dan kesucian hidup.

Saraswati menjadi penuntun menuju pada kesucian rokhani. Selain itu, juga memahami hakikat perubahaan dan hakikat yang abadi. Saraswati menjadi simbol penyadaran dan pencerahan dalam masyarakat yang beragama Hindu.

  • 3.    Miteme : “…sebagai shakti Dewa Brahma, yaitu Dewi Saraswati mempunyai kekuatan di dalam ilmu pengetahuan…”

Miteme ini menunjukkan shakti sendiri berarti kekuatan. Dari kata shakti itulah datangnya kata kesaktian dalam Bahasa Indonesia. Walaupun kata shakti itu berarti kekuatan, shakti selalu diidentikkan sebagai bersifat wanita. Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Brahma, yaitu sebagai pencipta shakti-nya Dewi Saraswati. Dewi Saraswati sebagai pencipta dan menurunkan ilmu pengetahuan ke bumi ini. Dalam konteks ini, muncul suatu asumsi bahwa tidak ada penciptaan tanpa penyatuan unsur laki-laki dengan unsur perempuan. Demikian pula halnya, penciptaan dan perkembangan ilmu pengetahuan dari masa ke masa melalui suatu generasi ke generasi berikutnya terus mengalir tiada henti.

  • 4.    Miteme :  “…Dewi Saraswati

digambarkan sebagai seorang wanita cantik bertangan empat yang masing-masing     memegang:     genitri,

cakepan/lontar, wina/rebab, dan bunga padma…”

Dewi     Saraswati     yang

dilambangkan sebagai seorang wanita cantik apabila disimak makna filosofisnya mengandung nilai-nilai yang sangat mendalam. Dewi cantik dan berwibawa dimaknai bahwa ilmu pengetahuan menunjukkan sesuatu yang    sangat menarik dan

mengagumkan.

  • 5.    Miteme : “…orang yang mampu menguasai ilmu pengetahuan akan

mampu untuk ber-wiweka, yaitu suatu kemampuan untuk membedakan antara baik-buruk dan benar-salah…”

Miteme ini untuk mengingatkan umat manusia bahwa ilmu pengatahuan dapat memperingan dan mempermudah hidup di dunia. Dalam pandangan komunitas Hindu di Bali dengan jelas ditegaskan bahwa persembahan berupa        ilmu

pengetahuan lebih mulia daripada persembahan     materi     dalam

keseluruhannya semua kerja ini berpusat pada ilmu pengetahuan. Jadi, peranan ilmu pengetahuan sangat mulai. Dalam hal ini, tiada sesuatu di dunia ini dapat menyamai ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, menyumbangkan ilmu pengetahuan merupakan sedekah yang tidak dapat dinilai dan lebih mulia dari persembahan materi, merupakan hutang budi bagi yang menerimanya karena akan dibawa sampai mati.

  • 6.    Ceriteme : “…Hari Raya Haji Saraswati dirayakan setiap 210 hari, yaitu pada    Sabtu Umanis

Watugunung. Menurut kisahnya, sehari sebelum Dalem Waturenggong dikalahkan   dan keesokan harinya

ilmu pengetahuan diturunkan.

Pada   ceriteme ini dapat

dipahami bahwa hari raya adalah hari-hari yang dirayakan oleh masing-masing penganut agama untuk mendekatkan diri, memanjatkan puji syukur,     memohon     tuntunan

keselamatan, berdoa, bersembahyang, dan memohon maaf kepada-Nya. Pada perayaan Hari Raya Haji Saraswati mengambil dua waku, yaitu Wuku Watugunung (wuku terakhir) dan Wuku Sintha (wuku pertama). Menarik untuk dimaknai di balik mitologi runtuhnya Watugunung karena      setelah      kehancuran

Watugunung, justru diikuti dengan turunnya ilmu pengetahuan, dan bukan

diperingati sebagai kemenangan atau peleburan       atas       kebathilan.

Watugunung adalah tokoh yang memiliki kesaktian luar biasa serta memiliki “ilmu” tidak mudah untuk dikalahkan, Dalam konteks mitologi dapat diinterpretasi bahwa kebiadaban harus diatasi dengan proses belajar lewat ilmu pengetahuan. Apabila ilmu pengetahuan sudah dimiliki, bila tidak didasari dengan tingkah laku dan perbuatan yang baik kepada Tuhan maka akan menjerumuskan manusia kembali kepada kebiadaban dan kehinaan.

  • 7.    Miteme : “…seluruh umat Hindu menghaturkan sesaji sebagai ucapan terima kasih atas segala rahmatNya…”

Hal ini mengingatkan manusia untuk menopang hidupnya dengan ilmu pe-ngetahuan yang dimohon dari Dewi Saraswati. Dalam konteks ini tradisi beragama, Dewi Saraswati adalah obyek pemujaan dalam kaitannya dengan proses belajar. Saraswati dimaknai sebagai pelindung proses belajar-mengajar,      ilmu

pengetahuan      dan      kesenian.

Pelaksanaan upacaranya dilaksanakan sebelum matahari condong ke barat karena berpengaruhi terhadap tingkat kecerdasan yang diperoleh.

Pada Hari Raya Haji Saraswati, umat Hindu merayakan pada tempat-tempat suci. Adapun tempat-tempat yang     dipilih     antara     lain

sanggah/pemerajan dan pura, serta disertai dengan persembahan berupa sarana upacara, yaitu sesaji sebagai ucapan terima kasih.

Menurut tradisi yang diwarisi secara turun-temurun, pada Hari Raya Haji Saraswati dilaksanakan suatu pantangan, yaitu tidak membaca dan menulis sastra dan kesusastraan selama dua puluh empat jam. Makna melakukan pantangan ini agar

pemujaan disertai dengan perenungan Dewi Saraswati sehingga yang dipuja dapat dihadirkan dalam pikiran dan sanubari.

  • b.    Miteme dan Ceriteme Mitos Dewi Durga

  • 1.    Miteme : “…sumber dari segala penyakit adalah Dewi Durga…”

Miteme ini dapat ditafsirkan bahwa Dewi Durga turun ke dunia mempunyai peran untuk menyebarkan penyakit kepada umat manusia. Secara kodrati, penyakit menjadi bagian dari hidup manusia. Dapat dipahami, manusia diuji kesabarannya melalui penyakit yang dideritanya. Manusia yang mampu bersabar menahan rasa sakitnya berarti dapat dikatakan berhasilan menghadapi ujian hidupnya di dunia.

  • 2.    Miteme : “… Dewi Durga adalah

perwujudan dari dua dewi yang datang ke bumi untuk membuat malapetaka karena telah mendapatkan kutukan dari suami masing-masing, yaitu yang pertama bernama Dewi Uma yang bersuamikan Dewi Siwa…”

Dalam konteks ini dapat ditafsirkan, Dewi Uma turun ke bumi berubah nama menjadi Dewa Durga atas kutukan suaminya bernama Dewa Siwa, demikian pula raksasi yang bernama Sang Kalika Maya juga atas kutukan suaminya kemudian turun ke dunial. Oleh karena itu, sifat-sifat setelah sampai di dunia juga tetap sama, yaitu ke arah yang negatif. Penggabungan dua orang dewi menjadi satu mengandung makna supaya Dewi Durga mampu menyebarkan malapetaka ke penjuru arah mata angin.

  • 3.    Miteme : “…Dia diberi hukuman oleh Dewa Siwa karena dianggap terlalu kejam terhadap anak sendiri yang bernama Sang Hyang Kumara sehingga Dewa Siwa sangat marah melihat kelakuan istrinya, lalu

mengusir Dewi Uma dari sorga dan harus tinggal di bumi, di kuburan umat manusia…”

Sesuai     dengan      derajat

kesalahannya maka Dewi Uma turun ke bumi bertempat tinggal di lokasi yang pada umumnya tidak disenangi oleh umat manusia, yaitu kuburan. Di kuburan ini, Dewi Durga berkuasa. Keberhasilannya       menyebarkan

penyakit di bumi dapat dideteksi dari sedikit-banyaknya      orang yang

meninggal dunia. Miteme ini dapat juga ditafsirkan, yaitu tempat tinggal Dewi Durga shakti Dewa Siwa sangat tepat karena Dewa Siwa berperan sebagai pelebur atau penghancur. Salah satu tempat pemujaan Dewa Siwa adalah di Pura Kahyangan yang lokasinya dekat dengan kuburan. Dengan demikian, suasana kuburan di Bali terkesan angker.

  • 4.    Ceriteme : “…Dewi Uma tidak mampu melawan kutukan Dewa Siwa karena itu, dalam waktu sekejap, dia terlempar dari sorga, tubuhnya melayang turun ke bumi. Dia melayang dalam posisi sungsang dan berubah menjadi Bhatari Durga…”

Ceriteme ini dapat menunjukkan bahwa Dewi Uma yang dikutuk oleh suami-nya (Dewi Siwa) untuk menjadi seorang dewi yang mempunyai tabiatnya jahat maka bentuk rupanya pun menyesuaikan, yaitu bodi dam tabiatnya bersifat keraksasaan. Wujud Dewi Durga sebagai seorang raksasa sangat menakutkan umat manusia.

  • 5.    Ceriteme :  “…Dewa Brahma

memberikan tiga kesaktian kepada mereka, yaitu mampu menguasai bhuta-bhuti, dapat mengubah manusia menjadi leak, dan mampu menyebabkan segala jenis penyakit. Dewa Brahma memberikan pula Ciri Manik berisi ajaran pengiwa, ilmu hitam atau ajaran kiri dan ajaran ugig pade-ngenan atau kemampuan

membencanai     orang     dengan

kejahilan/kejahatan…”

Di Bali masih ada suatu keyakinan apabila ingin belajar ilmu hitam dan bisa berubah wujud menjadi leak (berupa binatang, raksasa, bola api, kain putih, dan lain-lain) maka pujalah dan mintalah “kesaktian” pada Dewi Durga. Tempat pemujaan Dewi Durga dengan maksud untuk memohon “kesaktian” adalah di tanah kuburan dan pura kahyangan yang dilakukan pada malam hari keramat. Orang yang berhasil memujanya akan mendapat “kesaktian”, yaitu mampu berubah wujud menjadi leak, mampu membencanai orang, mampu membuat penyakit dan menyakiti orang sampai orang yang disakiti tersebut meninggal dunia.

  • 6.    Ceriteme : “…karena sudah memiliki kemampuan dan beberapa tempat tinggal maka mereka disebut (1) Bhatari Durga Dewi bila tinggal di Pura Dalem; (2) Bhatara Ragawati kalau tinggal di Pura Kahyangan lainnya; dan (3) Bhuta Berawi kalau tinggal di kuburan. Untuk dapat menjalankan    tugas    membuat

kejahatan, mereka      kemudian

memanggil kelima saudaranya yang masih berada di kahyangan sehingga di bumi ini ada tujuh raksasa…”

Cerita ini mempertegas lagi bahwa umat Hindu menyebut manifestasi Tuhan secara berbeda-beda sesuai dengan tempat bersemanyam    dan    fungsinya.

Penyebutan yang berbeda-beda ini dapat dilihat pada nama-nama yang diberikan kepada Dewi Uma setelah turun ke bumi. Dewi Uma sampai di bumi yang berperan sebagai pelebur isi alam semesta berubah nama menjadi Dewi Durga.

  • 7.    Miteme : “…Dari ketujuh raksasa tersebut, dua di antaranya menjadi pemimpin, lima menjadi pembantu

pelaksana, mereka disebut Panca Durga, di mana kelimanya dikirim ke berbagai penjuru mata angin dan menjadi penguasa di tempatnya masing-masing…”

Miteme ini memberikan penjelasan bahwa di berbagai penjuru mata angin di Bali dipercayai diuni oleh Panca Durga. Masing-masing raksasa itu mendapat kekuasaan dari Dewi Durga. Mereka menyerang umat manusia dari segala penjuru mata angin. Dengan menggunakan media angin mereka menyebarkan penyakit untuk menbencanai manusia.

Meteme ini juga memberikan penjelasan bahwa di segala penjuru mata dan tengah sebagai pusat dihuni oleh raksasa yang selalu siap mencelakakan umat manusia yang tidak kuat imannya. Miteme ini juga mengandung makna supaya umat manusia selalu memuja para dewi dengan melaksanakan upacara agar imannya tidak lemah.

Dengan demikian, orang Bali percaya di delapan penjuru mata angin di Bali bersemanyam para dewa dan para bhuta (raksasa). Di delapan penjuru mata angin dan tengah sebagai pusat berdiri Pura Kahyangan Jagat sebagai tempat suci untuk menyemanyamkan dan memuja Dewata Nawa Sanga (Sembilan dewa yang menguasai mata angin).

  • 8.    Ceriteme : “…Bhatari Durga, yang paling sakti dari ketujuh raksasa tersebut, bertugas di atas. Setiap saat melayang-layang di udara mencari-cari kelengahan manusia. Kalau sudah melihat manusia yang tidak kuat imannya, yang tidak pernah menyembah para dewi, dia akan melayang turun, lalu membunuh dengan menggunakan kesaktiannya. Masuk melalui ubun-ubun, setelah mengubah dirinya menjadi angin…’

Ceriteme ini dapat ditafsirkan, yaitu memberikan peringatan kepada umat Hindu bahwa Bhatari Durga akan marah dan mencelakan umat manusia yang tidak memuja dan menyembah para dewi. Dalam hubungan ini, para dewi yang merupakan manifestasi Tuhan, berfungsi sebagai penghancur dan pelebur adalah sakti dari Dewa Siwa. Kekuatan Dewa Siwa supaya dapat berfungsi sebagai pelebur dan penghancur yang bertempat tinggal di Pura Dalem, Pura Kahyangan, dan di kuburan melalui manifestasi Dewi Durga.

Memaknai miteme ini manusia dinasehati untuk selalu memperkuat iman agar terhindar dari kemarahan dan malapetaka yang disebarluaskan Bhatara Durga yang setiap saat melayang-layang di udara mencari manusia yang tidak kuat imannya. Umat Hindu dihimbau untuk selalu memuja dan menyembah para dewi. Dalam konteks ini, umat Hindu pada hari-hari raya keagaman akan menghaturkan sesaji dan bersembahyang ke pura kahyangan tiga (pura desa, pura puseh, dan pura dalem) sebagai wujud bakti kepada para dewi dan dewi sebagai manifestasi Tuhan.

  • 9.    Miteme : “…Semua Raksasa Durga tersebut membawa pasukan yang disebut-sebut bhuta-bhuti, dengan wujud beraneka ragam, jumlahnya paling tidak ada tujuh (bentuk bhuta-bhuti) berwujud manusia yang diyakini bergentayangan di berbagai tempat…”

Miteme ini lebih memperjelas lagi bahwa Raksasa Durga ini memiliki pasukan yang disebut bhuta-bhuti dengan wujud beraneka ragam (wujud manusia) yang sewaktu-waktu dan      tempat-tempat      tertentu

mengganggu atau menbencanai umat manusia dan kadang-kadang dapat dilihat dengan mata sendiri. Seseorang yang imannya lemah dan tidak senang sembahyang memuja-Nya maka akan mendapat gangguan dari tujuh raksasa dan pasukan Dewi Durga yang berupa bhuta-bhuti. Berlatar belakang dari inilah di Bali relatif banyak dijumpai tempat-tempat angker dan di tempat-tempat itu diaturkan sesaji (sesajen) untuk dipersembahkan kepada penghuninya yang berupa makhluk halus.

  • D.    Struktur Mitos Dewi Saraswati dan Mitos Dewi Durga

  • a. Agama Hindu Bersifat Monotheisme

Secara diakronis Dewi Saraswati adalah menjadi sakti atau istri Dewa Brahma, sedangkan Dewi Durga adalah sakti atau istri Dewa Siwa. Yang menarik di sini, Dewi Durga rurun ke bumi karena mendapat kutukan suaminya yang bernama Dewa Siwa, sedangkan Dewi Saraswati bisa berada berdampingan dengan suaminya yang bernama Dewa Brahma. Di sini tampak bahwa ada yang diposisikan istri atau shakti (para dewi) dan dipertentangkan dengan suami (para dewa), atau dengan bahasa yang sederhana, yaitu ada dewa yang berposisi laki-laki dan perempuan, yang ceritemanya dapat disusun sebagai berikut.

D S: Istri/Perempuan - Shakti/Suaminya bernama Dewa Brahma - Tuhan

D D: Istri/Perempuan - Shakti/Suaminya bernama Dewa Siwa - Tuhan Catatan :

DS = Dewi Saraswati

DD = Dewi Durga

Susunan ceriteme seperti di atas menampakkan oposisi pasangan (binary opposition), yaitu dewi adalah dewa perempuan atau disebut sakti yang dipertentang-kan dengan, dewa (dewa laki-laki). Sakti dalam hal ini biasa diterjemahkan dengan energi. Untuk

lebih memperjelas susunan ceriteme di atas, dijelaskan terlebih dahulu mengenai posisi dan peranan para dewa yang dipuja di kalangan orang Bali (Hindu). Walaupun riwayat tokoh-tokoh dewa itu dapat diidentifikasi dengan nama dewa (mempunyai sifat laki-laki) dan dewi (mempunyai sifat perempuan) sesuai dengan manifestasinya masing-masing, pada dasarnya mereka tiada lain adalah tunggal, yaitu Tuhan. Di Bali para dewa dan dewi sering pula disebut bhatara dan bhatari. Istilah dewa yang berarti sinar. Kata bhatara dan bhatari dari bahasa Sansekerta (bhatr), bermakna dewa, raja, yang dipertuankan, pelindung, dan pengayom.

Di kalangan orang Bali (Hindu), menyebut nama Tuhan secara lengkap, yakni Ida Sang Hyang Widi Wasa. Tuhan ini dalam manifestasi-Nya sebagai Trimurti (dari sudut pandang klasifikasi tiga/ trinitas), ada yang dikenal dengan nama Dewa Brahma, Dewa Wisnu, Dewa Siwa. Masing-masing dewa ini memiliki sakti atau istri sebagai sumber energi/kekuatan untuk berkuasa. Manifestasi Tuhan sebagai Sang Hyang Tri Murti di puja kahyangan tiga yang terdapat di masing-masing desa adat (desa pakra-man) di Bali. Kata sang adalah partikel penghormatan, kata tunjuk, sedangkan kata hyang berarti dewa, bhatara atau yang dipuja dan dihormati (Pekandelan, 2009: 16).

Pura kahyangan tiga tersebut terdiri atas tiga nama pura, yaitu pura desa, pura puseh, dan pura dalem. Dewa Brahma dipuja di pura Desa, Dewa Wisnu dipuja di pura Puseh, dan Dewa Siwa di Pura Dalem atau Pura Kahyangan lainnya. Pura kahyangan tiga inilah yang melegatimasi keberadaan desa adat (desa pekraman) di Bali. Jadi, setiap desa adat (desa pekraman) memiliki pura kahyangan tiga tempat bersemanyam dan memuja Sang Hyang Trimurti. Apabila orang laki-laki di Bali

telah melaksanakan upacara perkawinan secara sah menurut adat dan agama akan mulai masuk sebagai anggota desa dinas dan anggota desa adat (desa pekraman) yang ada di desanya. Pada satu wilayah desa dinas di Bali seringkali terdapat lebih dari satu desa adat (desa pekraman). Peranan desa dinas adalah menangani hal-hal yang berkaitan dengan kedinasan. Sebaliknya, desa     adat

menangani hal-hal yang menyangkut dengan keadatan (adat dan agama), terutama bertanggung jawab terhadap keberadaan pura kahyangan tiga yang ada di wilayah desanya masing-masing.

Trimurti

Tempat Pemujaan

  • - Dewa Brahma dan Sakti-Nya - bersemanyam / dipuja di Pura Desa

Tuhan:   - Dewa Wisnu dan Sakti-Nya

  • -    bersemanyam / dipuja di Pura Puseh

  • -    Dewa Siwa dan Sakti-Nya

  • -    bersemanyam / dipuja di pura Dalem

Ceriteme-ceriteme     di     atas

menunjukkan bahwa struktur dalam berwarga desa adat (desa pekraman) adalah pemujaan terhadap Sang Hyang Trimurti. Nilai-nilai budaya dalam berwarga desa adat ini sebagai media pemersatu umat Hindu di Bali pada masing-masing desa adat (desa pekraman).

Dalam lingkup yang lebih luas dapat dilacak mengenai manifestasi Tuhan sebagai Dewata Nawa Sanga. Dewata Nawa Sanga merupakan sembilan dewa dalam agama Hindu. Dewata Nawa Sanga terdiri atas tiga kata, yaitu dewa yang berarti sinar suci Tuhan, nawa yang berarti sembilan dan sanga yang berarti kumpulan. Sebagai tempat menyemanyamkan dan pemujaan para dewa yang tergabung dalam dewata nawa sanga, para leluhur terutama para maharsi, para mpu, maka di pulau Bali dibangunlah pura di delapan arah mata

angin dan ditengah sebagai pusat. Adapun nama-nama manifestasi Tuhan sebagai dewata nawa sanga yaitu : (1) Dewa Iswara bersemanyam di Pura Lempuyang, penguasa arah timur; (2) Dewa Brahma bersemanyam di Pura Andakasa, penguasa arah selatan; (3) Dewa Mahadewa bersemanyam di Pura Batukaru, penguasa arah barat; (4) Dewa Wisnu bersemanyam di Pura Ulun Danu Batur, penguasa arah utara; (5) Dewa Sambu bersemanyam di Pura Besakih, penguasa arah timur laut; (6) Dewa Maheswara bersemanyam di Pura Goa Lawah, penguasa arah tenggara; (7) Dewa Rudra bersemanyam di Pura Uluwatu, epnguasa arah barat daya; (8) Dewa Sangkara bersemanyam di Pura Puncak Mangu, penguasa arah barat laut; (9) Dewa Siwa, ditengah yaitu bersemanyam di pura Pusering Jagat. Para dewa yang disebut Dewata Nawa Sanga inilah yang menjaga kesucian pulau Bali dan menjadi “benteng pertahanan” di Bali sehingga Bali mendapatkan beberapa julukan, antara lain Pulau Dewata, Pulau Seribu Pura, Pulau Kahyangan, dan Pulau Sorga.

Kesembilan pura ini termasuk pura kahyangan jagat. Semua lapisan masyarakat, tanpa memandang adanya perbedaan klen, kasta, atau golongan wajib memuja dan bersembahyang di pura tempat pemujaan Dewata Nawa Sanga. Masing-masing pura tersebut memiliki hari-hari piodalan sendiri-sendiri yang biasanya dirayakan setiap 210 hari sekali. Pada waktu hari-hari piodalan di pura-pura tersebut, umat Hindu dari berbagai desa di Bali menghaturkan “sembah-bakti” ke pura yang bersangkutan sebagai wujud bakti kepada Tuhan (Ida Sang Hyang Widi Wasa) untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan, baik lahir maupun batin. b. Umat Hindu sebagai Pemuja dan Penyembah Dewa-Dewi sebagai Manifestasi Tuhan

Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa manifestasi Tuhan dalam bentuk trimurti (trinitas) yang terdiri atas Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada ceriteme sebagai berikut.

  • -    DB Saktinya DS - Pencipta

Tuhan :      - DW Saktinya

DSri, DL     - Pemelihara

(Trimurti)      - DSw Saktinya

DD          - Pelebur

Catatan :     DB    = Dewa

Brahma.           DSri     =

Dewi Sri

DW  =  Dewa

Wisnu      DL     =

Dewi Laksmi

DSw= Dewa Siwa

Dalam ceriteme ini nampak jelas bahwa supaya manifestasi Tuhan itu bisa produktif maka diperlukan kekuatan, tenaga, atau energi. Kekuatan, tenaga, atau energi yang dimaksud dalam hal ini adalah sakti. Tanpa didampingi oleh sakti-Nya masing-masing para dewa yang termasuk Trimurti itu tidak dapat berfungsi sebagai-mana mestinya. Dengan demikian, ceriteme-ceriteme yang ada dalam mitos Dewi Saraswati dan mitos Dewi Durga dapat disusun sebagai berikut.

  • -    DB -Sakti DS – Pencipta Ilmu Pengetahuan – Kesejahteraan

Tuhan :

  • -    DSw -Sakti DD –

Pencipta wabah penyakit     –

Kemelaratan

Di kalangan orang Bali (Hindu) tidak henti-hentinya memohon ilmu penge-tahuan ke hadapan Dewi Saraswati. Pemujaan terhadap Dewi Saraswati dilakukan secara khusus setiap 210 hari sekali yang disebut dengan nama Hari Raya Saraswati. Sebagai tampak dalam ceriteme di atas bahwa Dewi Saraswati sebagai sakti Dewa

Brahma yang merupakan salah satu manifestasi Tuhan yang berfungsi sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan, dengan huruf (aksara) sebagai tempat bersemanyamnya. Pada hari raya inilah merupakan hari beryoganya Dewi Saraswati untuk dipuja, guna memohon tuntutan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan, sumber bahasa, sastra, ilmu dan seni.

Walaupun Dewi Durga diyakini mempunyai “kesaktian” yang dapat menyebarkan penyakit pada manusia, tetapi umat Hindu tidak mengutuk keberadaan Dewi Durga. Mereka pada umumnya percaya bahwa Dewi Durga itu akan mencelakakan sesorang yang tidak mau berbakti kepada-Nya. Dengan demikian, sebagai umat Hindu, mereka mengaturkan sembah bakti dan memohon keselamatan supaya terhindar dari segala penyakit yang disebarkan oleh Dewi Durga. Umat Hindu di Bali pada waktu hari-hari suci keagamaan, seperti hari raya Galungan, hari Pagerwesi, hari-hari piodalan di pura-pura yang termasuk Dewata Nawa Sanga, dan hari-hari piodalan di Pura Dalem, Pura Puseh, dan Pura Kahyangan berduyun-duyun bersembahyang untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan. Dengan rajin bersembahyang di pemerajan/sanggah dan di pura diyakini imannya akan menjadi kuat sehingga tidak diganggu oleh Dewi Durga yang memiliki kaki-tangan berupa bhuta-bhuti begitu banyak yang menyebar di muka bumi ini.

Pada dasarnya pemujaan terhadap Dewi Saraswati dan Dewi Durga sekaligus merupakan pemujaan terhadap Dewa Brahma dan Dewa Siwa sebagai manifestasi Tuhan. Dengan demikian, ritual keagamaan ini bermakna pemujaan terhadap Tuhan (Ida Sang Hyang Widi Wasa).

Secara diakronis, memang sejak awal perkembangan Hindu sudah dikenal

banyak pemujaan dalam wujud dewi. Dalam sejarah peradaban dan kebudayaan Hindu pemujaan kepada figur wanita sudah lazim dan makin populer. Menurut buku The Principle of Shakti yang mengutip Skanda Purana di India ada empat puluh delapan pemujaan kepada dewi yang berbeda-beda dan masing-masing berdiri sendiri. Masing-masing mempunyai makna tersendiri dan hari suci yang berbeda dan mempunyai penganut yang mendukungnya (Pidada, 1997: 39). Seperti hari suci untuk memuja Dewi Saraswati dan Dewi Durga yang secara intensif dilaksanakan di Bali. Selain itu, di kalangan masyarakat petani memuja Dewi Sri, dan di kalangan pedagang memuja Dewi Laksmi sebagai sumber rejeki. Setiap 210 hari dilaksanakan upacara untuk pemujaan Dewi Sedana yang “berstana” pada kekayaan (biasanya pada uang) yang dimiliki oleh umat Hindu di Bali.

  • c.    Umat Hindu Penganut Animisme dan Dinamisme

Sesuai dengan ceriteme-ceriteme yang ada dalam mitos Dewi Durga menyebabkan umat Hindu di Bali sampai saat ini masih percaya terhadap kekuatan animisme. Animisme adalah suatu sistem kepercayaan yang berdasarkan kepada berbagai macam roh/ jiwa dan makhluk halus berada di alam sekeliling tempat tinggal manusia (Suyono, 26: 1985; Tylor dan Frazer, 2001).

Dari hasil analisis miteme dan ceriteme yang diidentifikasi dari mitos Dewi Durga dapat diketahui bahwa di semua penjuru mata angin dan apa yang ada di muka bumi ini dikuasai juga oleh para bhuta-bhuti yang menjadi kaki-tangan Dewi Durga untuk mencelakakan umat manusia yang tidak kuat imannya. Dengan demikian, umat Hindu di Bali tetap menjaga keharmonisan dengan para kaki-tangan Dewi Durga yang berupa raksasa, bhuta-bhuti, dan makhluk halus

lainnya. Di Bali, relatif banyak dijumpai tempat-tempat yang berkesan angker atau keramat karena di tempat itu dihaturkan sesaji / sesajen secara kontinyu dan dihiasi dengan kain putih dengan motif warna hitam-putih berkotak-kotak. Di beberapa tempat tertentu, juga dibangun sebuah bangunan kecil (bernama tugu dan sanggar agung) untuk tempat menghaturkan sesaji atau canang yang dipersembahkan kepada makhluk halus yang bersemanyam di tempat tersebut. Tujuannya menghaturkan sesaji itu adalah untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan agar terhindar dari penyakit dan gangguan dari makhluk halus kaki-tangan Dewi Durga. Selain itu, juga memohon kesejahteraan supaya mudah mendapatkan rejeki.

  • d.    Umat Hindu di Bali Bersifat

    Religius

Berdasarkan hasil analisis dan interpretasi mitos Dewi Saraswati dan Dewi Durga dapat juga diketahui bahwa umat Hindu di Bali bersifat religius. Derajat religiusitas umat Hindu di Bali dapat diketahui dari frekuensi tindakan ritual yang dilakukan oleh umatnya, yaitu setiap 210 hari menyelenggarakan upacara untuk merayakan Hari Raya Saraswati.

Pemujaan terhadap Dewi Durga guna memohon keselamatan dan kesejahteraan dilakukan pada hari-hari raya keagamaan (Hindu) dan menghaturkan persembahan di tempat-tempat tertentu seperti telah disebutkan di atas. Hari-hari raya keagamaan ini datangnya setiap 210 hari (kecuali Hari Raya Nyepi yang dirayakan setahun sekali).

Melakukan persembahan kepada para dewa dan dewi termasuk jenis pengorbanan kepada para dewa yang disebut dewa yadnya. Dewa yadnya merupakan salah satu pengorbanan yang termasuk dalam panca yadnya (lima bentuk pebgorbanan suci). Panca yadnya

yang merupakan lima bentuk pengorbanan suci, yaitu (a) dewa yadnya (pengorbanan kepada dewa/dewi). (b) rsi yadnya (pengorbanan kepada para rsi/pendeta), (c) pitra yadnya (pengorbanan kepada leluhur), (d) manusa yadnya (pengorbanan kepada sesama manusia), (e) bhuta yadnya (pengorbanan kepada para bhuta-bhuti/makhluk halus).

Setiap umat Hindu melakukan pengorbanan suci pada umumnya menggunakan sarana upacara yang disebut upakara yang berupa sesaji (bebanten atau sesajen). Akhir-akhirnya ini, umat Hindu di Bali semakin intesnif melaksanakan persem-bahyangan pada setiap hari piodalan di pura-pura yang termasuk Pura Kahyangan Tiga (Desa, Puseh, Dalem) dan Pura Kahyangan Jagat (Pura Besakih, Pura Batur, Pura Uluwatu, dan pura lainnya) yang datangnya setiap 210 hari sekali.

Pemujaan yang dilakukan ketika melakukan persembahyangan ditujukan kepada roh leluhur dan para dewa/ dewi sebagai manifestasi Tuhan (Ida Samg Hyang Widi Wasa). Pada intinya tujuannya melaksanakan persembahyangan untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan, baik lahir maupun batin.

E. PENUTUP

Dari hasil analisis dan interpretasi tentang mitos Dewi Saraswati dan mitos Dewi Durga, ada beberapa hal yang perlu diungkapkan kembali sebagai kesimpulan yang berkaitan dengan adanya struktur yang tersembunyi dalam mitos tersebut. Selain itu, dari strategi menganalisis kedua mitos tersebut dapat diketahui mengenai sistem kepercayaan orang Bali (Hindu). Pertama, umat Hindu bersifat monotheisme. Hal ini dapat dipahami dari miteme dan ceriteme mitos-mitos itu yang menunjukkan adanya kemiripan.

Kemiripan itu terungkap pada kedudukan Dewi Saraswati dan Dewi Durga samasama sebagai sakti para dewa yang termasuk sang Hyang Trimurti. Sang Hyang Trimurti terdiri atas Dewa Brahma sebagai pencipta, Dewa Wisnu sebagai pemelihara, dan Dewa Siwa sebagai pelebur, baik Dewi Saraswati, Dewi Durga (sebagai sakti) Dewi Brahma, Dewi Wisnu maupun Dewa Siwa (sebagai Sang Hyang Trimurti) adalah semuanya termasuk manifestasi Tuhan (Ida Sang Hyang Widi Wasa) sesuai dengan fungsinya. Ini artinya, umat Hindu hanya mengenal satu Tuhan tetapi diberi nama berbeda-beda sesuai dengan manifestasi-Nya atau fungsi-Nya.

Kedua, umat Hindu sebagai pemuja dan penyembah dewa-dewi sebagai manifestasi Tuhan. Dalam manifestasi-Nya, Dewa Brahma memerlukan energi atau kekuatan sebagai pencipta. Demikian juga Dewa Siwa memerlukan energi atau kekuatan untuk melebur. Energi atau kekuatan yang ada pada Dewa Brahma dan Dewa Siwa sebagai pencipta dan pelebur itulah disebut dengan sakti. Sakti ini mengandung aspek kewanitaan sehingga disebut dewi. Walaupun ada wujud sakti, keduanya tidak terpisahkan karena sakti adalah Tuhan itu sendiri. Dengan demikian, umat Hindu yang memuja dan menyembah dewa atau dewi tiada lain yang dipuja dan disembah itu adalah Tuhan Yang Mahaesa sesuai dengan manifestasi-Nya.

Ketiga, umat Hindu penganut animisme dan dinamisme. Hal ini dapat di-jelaskan dari miteme dan ceriteme yang ada pada mitos Dewi Durga. Umat Hindu menjalin hubungan yang harmonis dengan kaki-tangan (bhuta-bhuti) Dewi Durga dengan cara melakukan kegiatan-kegiatan ritual di tempat-tempat bersemanyamnya kaki-tangan (bhuta-bhuti) Dewi Durga tersebut. Umat Hindu percaya bahwa di tempat-tempat tertentu

dihuni oleh berbagai makhluk halus yang mempunyai      kekuatan      untuk

mempengaruhi kehidupan manusia.

Keempat, umat Hindu bersifat religius. Umat Hindu melaksanakan pengor-banan   suci   dengan   cara

melaksanakan upacara keagamaan yang

terakumulasi  dalam  panca yadnya.

Pelaksanaan upacara keagamaan telah

menyatu dengan adat di Bali.

DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 1997. “Claude Levi-Strauss: Butir-butir Pemikiran Antropologi”, Levi-Strauss.    Empu Antropologi

Struktural,      Oktavio      Paz.

Yogyakarta: LKis. vii-xlvii.

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2009. Strukturalisme Levi-Strauss. Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Kepel Press.

Baal, J. van. 1988. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia.

Dananjaya, James. 1991. Folklor Indonesia. Ilmu Gosif, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Temprini.

Dundes, A. 1984. Sacred Narrative; Reading in the Theory of Mith. Berkeley. University of California of Press.

Durkheim, Emile. 2001. “Masyarakat sebagai yang Sakral”. Seven Theories of Religion. Dari Animisme E.B. Tylor, Materialisme karl Marx Hingga Antropologi Budaya C. Geertz, Daniel L. Pals (ed.). Yogyakarta:   Qalam: 149

206.

Levi-Strauss, Claude. 2005. Antropologi Struktural. Yogyakarta:   Kreasi

Wacana.

Mas, Arbawa Tanjung. 2008. Memahami Konsep Siwa-Buda di Bali. Surabaya: Paramita.

Maswinara, I Wayan. 2007. Dewa-dewi Hindu. Surabaya: Paramita.

Pekandelan, Mangku Alit. 2009. Kanda Empat Dewa. Manusia Setengah Dewa Sakti Manderaguna. Surabaya: Paramita.

Pidada, Ida Ayu Utami. 1997. Saraswati. Denpasar. Warta Hindu Dharma.

Suyono, Ariyono. 1985.     Kamus

Antropologi. Jakarta: Akademika Pressindo.

Tylor, E.B. dan J.G. Frazer. “Animisme dan Magi”. Seven Theories of Religion. Dari Animisme E.B. Tylor, Materialisme Karl Marx Hingga Antropologi Budaya C. Geertz, Daniel L. Pals (ed.). Yogyakarta: Qalam: 27—90.