Napak Tilas Jati Diri Orang Bali Aga
on
Napak Tilas Jati Diri Orang Bali Aga
Purwadi Soeriadiredja1, Aliffiati2
Program Studi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas 1[[email protected]], 2[[email protected]]
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah terwujudnya keharmonisan sosial berbasis masyarakat. Fokus penelitian adalah pandangan masyarakat Bali Aga tentang keberadaan diri mereka; keterkaitan budaya antara masyarakat Wong Aga di lereng Gunung Raung dengan masyarakat Bali Aga di Pulau Bali; dan hubungan masyarakat Bali Aga dengan masyarakat di luar mereka. Metode penelitian yang digunakan bersifat kualitatif, berparadigma fenomenologis, dan interpretatif. Data diperoleh melalui pengamatan, wawancara mendalam, dan analisis data untuk memperoleh pengetahuan tentang gagasan-gagasan, pemikiran, keyakinan dalam masyarakat setempat.
Temuan penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Desa Bumiharjo bukanlah keturunan Wong Aga pengikut ajaran Rsi Markhandeya. Mereka adalah pendatang baru di wilayah itu pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Sedangkan keberadaan keturunan Wong Aga di sekitar lereng Gunung Raung kini tidak diketahui lagi. Masyarakat Desa Sukawana sebagai bagian dari orang Bali Aga lebih suka disebut sebagai orang Bali Mula yang menganggap diri mereka sebagai keturunan nenek moyang pertama yang telah tinggal di wilayah itu. Masyarakat Bali Aga terkesan memiliki eksklusivitas dalam sistem keagamaan dan pemerintahan adat ulu apad di tengah keterbukaan mereka terhadap perubahan.
Kata kunci: jati diri, Wong Aga, Bali Aga, Bali Mula, harmonis.
ABSTRACT
The purpose of this research is to create a community-based social harmony. The focus of research is the view of the people of Bali Aga of their existence; cultural linkages between communities Wong Aga on the slopes of Mount Raung with the people of Bali Aga in Bali; and public relations of Bali Aga with the people outside them.
The research method is qualitative, phenomenological paradigm, and interpretive. Data obtained through observation, in-depth interviews, and data analysis to gain knowledge of ideas, thoughts, beliefs in the local community.
The findings showed that the villagers in Bumiharjo were not the descendants of Wong Aga who were followers of Markhandeya teachings. They are newcomers in the region in the Dutch colonial administration. While the existence of descendants of Wong Aga around the slopes of Mount Raung now is no longer known. Sukawana’s community as part of the Bali Aga people prefer to be called as the Bali Mula who regard themselves as descendants of the first ancestors who have lived in the area. The people of Bali Aga impressed to have exclusivity in the system of religious and customary government ”ulu apad” in their openness to change.
Keywords: identity, Wong Aga, Bali Aga, Bali Mula, harmony.
Sunari Penjor: Journal of Anthropology
Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana citra masyarakat Bali Aga dibentuk berdasarkan hubungan yang kooperatif antara kelas-kelas penguasa Bali dengan dunia luar yang pada gilirannya memberi masyarakat Bali Aga berkedudukan sebagai kelompok marginal secara sosial-budaya, politik dan ekonomi.
Hal tersebut diketahui berdasarkan hasil penelitian Reuter (2005) yang mengungkapkan bahwa banyak penggambaran etnografis yang ditulis oleh para peneliti mengalami bias dan tidak bisa dipercaya. Menurut Reuter, penggambaran keliru masyarakat Bali Aga bukan sekedar isu dalam perjumpaan lintas budaya dengan orang lain, tetapi juga bias subyektif dalam konstruksi identitas pribadi dan budaya. Adanya intervensi penjajahan Belanda dan menumpuknya pengetahuan antropologis tentang masyarakat Bali telah mengubah kedudukan orang Bali Aga. Kenyataan tersebut dapat membuat adanya ketidakharmonisan.
Permasalahan tersebut sangat urgen, karena bila tidak diatasi bisa mencoreng citra pariwisata budaya Bali yang dijiwai falsafah Tri Hita Karana yang mengidealkan keharmonisan sosial (pawongan). Oleh karena itu, tujuan penelitian ini mengemukakan permasalahan itu dari perspektif masyarakat pendukung budaya tersebut, agar diperoleh pengetahuan yang dapat dimanfaatkan untuk membangun strategi dalam memecahkan masalah adanya ketidakharmonisan sosial.
Berdasarkan kajian pustaka mengungkapkan bahwa orang Bali Aga merupakan keturunan dari Wong Aga, berasal dari daerah Gunung Raung (Jawa Timur) yang bermigrasi ke Pulau Bali dipimpin oleh Rsi Markhandeya pada abad ke-8. Mereka merambah hutan dan membangun tempat-tempat pemukiman
yang umumnya terletak di daerah pegunungan (Wikarman, 1998:14-19; Gunawan, 2014:76-77). Oleh karena itu, penelitian ini menelusuri pula jejak sejarah siapa sebenarnya orang Bali Aga itu dan bagaimana keterkaitan budaya antara masyarakat Wong Aga di lereng Gunung Raung dengan masyarakat Bali Aga di Pulau Bali, dan hubungan masyarakat Bali Aga dengan masyarakat di luar mereka.
Bagaimanapun suatu komunitas yang “terpinggirkan” selalu dipahami sebagai kelompok masyarakat yang tidak berdaya dalam menghadapi campur tangan “orang luar“ terhadap kehidupan mereka. Hal tersebut dapat diartikan bahwa representasi orang lain secara budaya merupakan struktur pengetahuan yang dimaksudkan untuk melayani kepentingan strategis dari orang-orang yang telah membangunnya, dan kepentingan strategis khusus dari kelompok yang merepresentasikan pasti bertentangan dengan kepentingan orangorang yang diwakili. Seperti halnya ketika Anna L. Tsing (1998) yang melihat orang Dayak di pegunungan Meratus sebagai kelompok yang berada dalam keadaan berbeda dalam pengetahuan dan kekuasaan dengan komunitas di luar mereka. Seperti juga beberapa peneliti lain seperti Cederroth (1996), Hefner (1999), Budiwanti (2000), Beatty (2001), Maunati (2004), Topatimasang (2004), Fauzan (2005), Adhan (2005), Picard (2006), Utama (2015) yang telah mengungkapkan bagaimana masyarakat di daerah penelitian mereka ketika menghadapi penetrasi politik, ekonomi dan kultural dari pihak luar yang berdampak serius bagi tatanan hidup mereka.
Metode penelitian yang digunakan bersifat kualitatif. Penerapan metode ini diwujudkan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut; mengumpulkan data dengan pengamatan dan wawancara mendalam; analisis data secara interpretatif
dengan pendekatan fenomenologis untuk memperoleh pengetahuan tentang gagasan, pikiran, keyakinan yang ada di balik aktivitas masyarakat setempat; kemudian hasil interpretasi digunakan membuat hipotesis kerja yang dipakai untuk menggali informasi lebih mendalam hingga diperoleh informasi yang memadai untuk mencapai tujuan penelitian. Selain itu dipakai juga metode pengalaman individu yang disebut metode individual life history (Koentjaraningrat, 1989 : 158) untuk memperoleh pengetahuan tentang gagasan-gagasan, pemikiran, keyakinan dalam masyarakat setempat, dan diskusi kelompok terfokus (FGD). Penelitian dilakukan di Desa Sukawana, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli sebagai pusat kegiatan masyarakat Bali Aga di Bali; dan Desa Bumiharjo, Kecamatan Glenmore, Kabupaten Banyuwangi, yang diduga sebagai wilayah Wong Aga berada.
-
3. Hasil Dan Pembahasan
-
3.1. Gambaran Umum Desa Sukawana dan Desa Bumiharjo
-
Desa Sukawana merupakan daerah pegunungan dengan ketinggian 1.745 meter di atas permukaan laut dengan luas wilayah 3.361 ha yang merupakan perbukitan, lembah, dan hutan. Jumlah penduduk sebanyak 5.670 orang, termasuk ke dalam 1.576 KK yang sebagian besar hidup dari pertanian, perkebunan dan peternakan. Sedangkan Desa Bumiharjo merupakan dataran tinggi di lereng Gunung Raung dengan luas wilayah 5.978,25 ha yang diantaranya berupa hutan, pemukiman, sawah dan ladang. Kondisi alam Desa Bumiharjo cukup subur dengan sumber air yang cukup melimpah. Jumlah penduduk sebanyak 7.183 orang dengan jumlah kepala keluarga 821 KK yang umumnya hidup dari pertanian, perkebunan, peternakan dan mengolah hasil hutan.
Warga desa Sukawana mempunyai tradisi keagamaan yang berbeda dengan tradisi keagamaan Hindu Dharma di Bali
umumnya yang secara resmi diakui pemerintah Republik Indonesia. Bentuk keagamaan masyarakat Desa Sukawana didasarkan pada bentuk keagamaan pra-Hindu yang berpusat pada pemujaan para arwah leluhur. Walaupun demikian pengaruh agama Hindu mulai terasa menyebar di wilayah itu. Konon di masa lalu masyarakat Desa Sukawana dan sekitarnya menganut ajaran Siwa, sehingga di Pura Puncak Penulisan banyak terdapat lingga sebagai media pemujaan kepada Dewa Siwa. Menurut Reuter (2005:33,37) pola hubungan sosial di wilayah Bali pegunungan ditentukan oleh jaringan regional aliansi ritual antara kelompok-kelompok di desa-desa bersangkutan yang dinamakan banua (kawasan ritual). Banua tersebut sebagai asosiasi ritual dari kalangan kelompok-kelompok orang dari sejumlah desa yang berhubungan untuk memenuhi kewajiban keagamaan bersama kepada leluhur pendiri kawasan dan pura-pura mereka. Piodalan (ritual pura) selalu dilaksanakan sebagai upaya bersama yang melibatkan partisipasi ritual semua warga banua, dan tradisi ritual itu tidak dapat diubah.
Di Desa Sukawana terdapat sebuah pura bernama Pura Pucak Penulisan yang merupakan ulu (kepala) dari perbukitan di mana kompleks pura itu berada yang juga dianggap kaja (arah gunung) oleh desa-desa yang mengelilinginya. Pura Puncak Penulisan merupakan tempat persembahyangan yang dianggap sebagai lambang asal-usul orang Bali yang suci dan pusat dunia sosial-ritual mereka. Setiap dua puluh tahun sekali diadakan ritual besar (odalan) untuk pemujaan terhadap leluhur yang di-empon oleh masyarakat setempat. Secara tradisi, masyarakat Desa Sukawana memiliki Hari Raya Nyepi sendiri (nyepi desa) yang didasarkan pada kalender tahun Bali Mula yang hanya diketahui oleh para penglingsir (orang yang dituakan) dan pinandita (pendeta) setempat. Nyepi bagi masyarakat
Desa Sukawana adalah penanda tutup tahun atau akhir tahun.
Adapun agama yang dipeluk mayoritas warga Desa Bumiharjo adalah agama Islam. Walaupun demikian, adanya penduduk desa yang menganut agama Hindu mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat desa. Hal itu disebabkan oleh adanya candi yang dianggap sakral oleh umat Hindu setempat dan juga umat Hindu di Bali, yaitu Candi Agung Gumuk Kancil petilasan Maha Resi Markhandeya. Beliau adalah seorang resi yang menuntut ilmu keagamaan di India dan datang ke Indonesia (Jawa) untuk menyebarkan agama Hindu. Semula tempat pertapaan beliau di Gunung Dieng (Jawa Tengah), kemudian pindah ke lereng Gunung Raung (Jawa Timur) dan membangun pasraman di sana. Selanjutnya bersama murid-muridnya yang dikenal sebagai Wong Aga (orang gunung), Resi Markhandeya pergi menuju pulau Bali dengan tujuan utama menyebarkan ajaran agama Hindu. Di Bali setelah menghadapi beberapa rintangan beliau beserta pengikutnya merabas hutan dan membangun pura yang disebut Pura Basukihan yang kini dikenal sebagai Pura Besakih. Umat Hindu di desa Bumiharjo melakukan peribadatan agamanya seperti halnya penganut agama Hindu lainnya di Bali. Mereka melakukan berbagai ritual keagamaan berdasarkan kalender adat yang dipimpin oleh seorang pemangku. Tugas dan tanggungjawab seorang pemangku menjadi “penjaga” pura dan harus ngayah (berbakti) kepada Sang Hyang Widhi. Seorang pemangku dianggap dapat menjadi penghubung atau pembawa pesan dari “Beliau” ataupun makhluk halus yang mendiami suatu tempat tertentu.
Sistem kekerabatan pada masyarakat Desa Sukawana dikenal istilah dadia (klen), yang menunjukkan bahwa seseorang memiliki garis keturunan yang sama. Di Desa Sukawana terdapat 30 klen (dadia) yang masing-masing memiliki pura dadia yang tersebar di wilayah desa.
Sistem perkawinan yang berlaku untuk masyarakat setempat adalah apabila seseorang menikah dengan orang dari dalam Desa Sukawana, maka akan dikenakan sanksi untuk menyerahkan dua ekor babi ke desa. Sedangkan seseorang yang menikah dengan orang di luar Desa Sukawana wajib menyerahkan satu ekor babi ke desa. Babi tersebut akan dipotong dan dibagikan kepada warga desa secara merata. Penduduk Desa Sukawana tidak diperbolehkan atau ditabukan untuk menikah dengan orang dari Desa Batur. Menurut kepercayaan, penduduk Desa Batur masih satu ikatan darah dengan mereka.
Di Desa Bumiharjo sendiri menganut sistem kekerabatan bilateral. Sistem perkawinan endogami dan juga eksogami, artinya masyarakat desa membolehkan warganya untuk menikah dengan sesama penduduk desa ataupun dari luar desa. Di Desa Bumiharjo hidup berkerabat erat hubungannya dengan toleransi antar umat beragama, selain itu biasanya penduduk tidak melarang untuk saling berkunjung. Suatu keluarga batih meskipun sudah berpisah atau sudah memiliki keluarga sendiri masih sering berhubungan bersama anggota keluarga intinya.
Sistem pemerintahan di Desa Sukawana selain sistem pemerintahan kedinasan, berlaku pula sistem pemerintahan adat yang disebut Ulu Apad. Istilah Ulu Apad merupakan sebuah kiasan ruang yang menunjuk pada proses kenaikan tingkat. Secara harfiah Apad berarti “tangga” dan Ulu berarti “kepala”; mendaki tangga sampai ke ujung kepala. Istilah “mendaki tangga sampai ke ujung kepala” dimaksudkan sebagai kedudukan orang dalam pemerintahan adat dimana setiap orang akan naik satu per satu anak tangga sesuai giliran. Jabatan adat dalam sistem Ulu Apad ini terdiri dari 23 orang yang dibagi menjadi dua sisi, yaitu sisi kiri (kiwa) dan kanan (tengen). Kedua sisi ini sama-sama kuat peranannya di dalam
sistem pemerintahan Ulu Apad tersebut. Di sebelah kanan disebut Tuaan (lebih tua) dan yang sebelah kiri disebut Nyomanan (lebih muda). Secara simbolis Tuaan adalah laki-laki (kanan) dan Nyomanan adalah perempuan (kiri), yang masing-masing mempunyai hak dan kewajiban sendiri.
Tingkatan posisi dalam kedua sistem pemerintahan adat itu yang paling tinggi di sebelah kanan disebut Jro Bayan Mucuk, di sebelah kiri disebut Jro Bayan Kiwa yang dibantu oleh empat orang Jro Bau yang bertugas mengatur pelaksanaan upacara. Di bawahnya ada dua Jro Nyingguk yang bertugas memberi sanksi terhadap warga yang melanggar peraturan. Di bawahnya ada tiga orang Jro Nakeh yang bertugas sebagai penimbang, salah satunya bertugas menjadi juru tulis atau biasa disebut keset don. Namun untuk yang ini diambil dari keturunan di sebelah kanan (Tuaan), sedangkan yang di sebelah kiri hanya ada dua Jro Nakeh, tidak ada juru tulis atau keset don-nya. Di bawahnya lagi ada dua orang Jro Ngelan / Kelih yang bertugas sebagai pembagi dari apa yang sudah didapat dari Jro Nakeh, kemudian dibagi-bagikan kepada jro yang lainnya dan masyarakat. Setiap jabatan di dalam sistem pemerintahan Ulu Apad dipegang oleh seorang laki-laki, sementara perempuan atau istrinya berperan sebagai pendamping sang suami dan juga diberi gelar jro.
Setiap orang di Desa Sukawana (seketurunan dari wilayah tersebut) secara otomatis akan masuk ke sistem Ulu Apad apabila orang tersebut sudah menikah. Sistem ini tidak memandang umur ataupun pendidikan. Bila sudah menikah, maka mereka langsung terdaftar dalam sistem Ulu Apad, namun untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi harus menunggu giliran. Bila salah satu orang sudah keluar dari sistem Ulu Apad, entah karena meninggal atau karena anak atau cucu sudah menikah semua, orang tersebut akan berstatus baki atau nyada (bebas dari
sistem), maka yang memiliki posisi di bawahnya naik memenuhi posisi orang yang sudah keluar tersebut.
Adapun di Desa Bumiharjo terdapat pula dewan adat, namun sistemnya berbeda sesuai agama masing-masing. Untuk pemilihan kepemimpinan diadakan secara musyawarah. Pada Dewan Adat Hindu untuk menjadi bakal calon adalah orang yang memiliki pengalaman lebih dan bersifat “ngayah”. Jabatan itu berlaku selama ia mampu mengemban tugas kewajiban, dan bertanggungjawab atas jabatan tersebut. Untuk menjadi calon dewan adat tidak mimiliki persyaratan khusus dan tidak memandang kelas atau status golongan, karena mereka meyakini bahwa semua manusia sama dan siapa pun dapat menjadi anggota dewan adat.
Berdasaran bukti arkeologis yang ditemukan, sejarah Desa Sukawana dimulai pada abad ke-8 masehi dengan ditemukannya Prasasti Raja Singa Mandawa yang mengatakan bahwa ada sebuah desa terletak di dekat Pura Pucak Penulisan bernama Desa Wangun Urip. Sebelum prasasti tersebut ditemukan, ada peninggalan batu megalitik berupa menhir yang membuktikan bahwa sejak jaman dahulu sudah ada komunitas yang menetap di sana.
Desa Sukawana merupakan Desa Bali Mula yang masih memegang teguh tradisinya. Menurut seorang tokoh adat setempat, terdapat perbedaan antara Bali Aga dan Bali Mula. Bali Aga merupakan masyarakat asli Bali yang telah terkena pengaruh dari Majapahit, sedangkan Bali Mula belum. Desa Sukawana merupakan Desa Bali Mula, karena tidak terkena pengaruh dari Majapahit dan tidak mengenal bangunan meru (bangunan suci dengan atap bertingkat). Jaman dahulu tempat pemujaan mereka hanya berupa batu-batu seperti pada waktu jaman megalitik. Berdasarkan versi lain, orang
Bali Mula adalah orang-orang keturunan orang Austronesia dari zaman megalithikum. Orang-orang keturunan Austronesia itu menyebar dan tinggal berkelompok-kelompok di suatu tempat tertentu yang membentuk suatu persekutuan hukum yang disebut thani (dusun) dan banua (mencakup wilayah yang lebih luas yang terdiri dari beberapa thani), dan kelak menjadi cikal bakal banyak desa di Bali. Mereka memuja para arwah leluhur yang dipercaya selalu melindungi mereka. Untuk keperluan pemujaan, mereka membuat menhir (tiang atau tugu batu), bangunan punden berundak, arca-arca batu dan dolmen atau altar tempat bersaji (Wikarman,1998:10-11).
Kedatangan Rsi Markhandeya di Bali membawa ajaran agama baru, yaitu agama Hindu. Rsi Markhandeya beserta para muridnya dari Gunung Raung yang dikenal sebagai Wong Aga membuka pasraman dan menyebarkan ajaran Hindu di Bali. Beliau mengajarkan ajaran Hindu itu selalu berpindah dari satu wilayah ke wilayah lain, antara lain ke Gunung Agung, Gunung Tohlangkir, Puwakan (Taro), Payogan, Payangan dan lainnya. Murid-murid beliau, yaitu wong aga menetap di desa-desa yang dilalui dan bercampur baur dengan orang Bali Mula. Keturunan percampuran Wong Aga dari Gunung Raung dengan orang Bali Mula itulah yang kemudian menjadi atau dikenal sebagai orang Bali Aga. Selain menyebarkan ajaran Hindu mereka mengajarkan pula cara bertani dan bidang-bidang lainnya (Wikarman,1998:14-19).
Di sisi lain, sejarah desa Bumiharjo tidak lepas dari keberadaan Rsi Markhandeya yang datang ke wilayah itu pada abad ke-8. Rsi Markhandeya adalah seorang resi yang menyebarkan agama Hindu berasal dari India dan mengajarkan agama Hindu di lereng Gunung Raung (kini wilayah desa Bumiharjo) kemudian ke Pulau Panjang (Bali). Beliau adalah murid dari Dewa Siwa dan datang ke
Bumiharjo pada saat Dewa Siwa turun ke bumi. Di Bumiharjo Sang Rsi membangun pasraman untuk mengajarkan ajaran Hindu pada para muridnya yang dikenal dengan sebutan Wong Aga (orang gunung). Sang Rsi dan pengikutnya pernah mengadakan perjanjian dengan Kerajaan Majapahit sekitar 500 tahun yang lalu. Perjanjian itu berisi bahwa masyarakat Hindu boleh masuk ke Islam asalkan setelah 500 tahun akan kembali ke Hindu. Jika tidak, maka akan terjadi “kutukan sabda palon” yang mengakibatkan bencana.
Menurut versi lain mengatakan bahwa Rsi Markhandeya adalah pendeta yang didatangkan dari India untuk mengajarkan ajaran Hindu di Nusantara. Pertama kali beliau datang ke Kutai pada abad ke-7. Setelah dari Kutai beliau melanjutkan perjalanan ke Jawa, yaitu ke pegunungan Dieng, kemudian terus mengajarkan ajaran Hindu ke Timur. Beliau menetap di lereng selatan Gunung Raung dan mendirikan pasraman di sana. Di sepanjang lereng selatan Gunung Raung itulah dipercaya masyarakat setempat sebagai wilayah pasraman yang ditempati Wong Aga, yaitu sebutan bagi orang-orang Jawa kuna yang tinggal di pegunungan. Pasraman-pasraman mereka dikenal dengan nama Diwang Ukir Damalung, yang dahulu banyak terdapat di sekitar Banyuwangi hingga Situbondo.
Setelah menetap di lereng Gunung Raung, Rsi Markhandeya berencana membangun peradaban di Pulau Bali. Awal kedatangannya ke Bali, beliau membawa 800 pengikutnya untuk menetap dan menyebarkan ajaran Hindu di Bali, tepatnya di Desa Taro, Gianyar. Namun kedatangan pertamanya ke Bali mendapat banyak cobaan. Banyak dari pengikut Rsi Markhandeya ini meninggal karena dimangsa hewan buas atau sakit. Rsi Markhandeya kemudian kembali ke lereng gunung Raung untuk bersemedi agar mendapat petunjuk untuk. Setelah bersemedi, beliau kembali membawa 400
orang pengikutnya ke Bali, dan yang kedua ini berhasil (lihat Wiryana,2007; Mann,2015).
Di wilayah lereng Gunung Raung (desa Bumiharjo), banyak terdapat peninggalan arkeologis berupa situs-situs dan candi. Antara lain; situs Batu Dampit, Beji (sumber mata air), situs Pura Giri Mulyo, situs Lingga Siwa, arca Ganesha, batu lumping, situs Pura Puncak Raung, dan Candi Agung Gumuk Kancil yang merupakan peninggalan terpenting. Menurut Suartawan (2016) potensi arkeologis yang terkandung yaitu lingga-yoni alami yang berada di belakang candi, tepatnya di atas gumuk, menyerupai gundukan batu di atas bukit. Menurut informasi masyarakat setempat, disebut lingga-yoni alami karena batu yang bertumpuk secara alami disebut sebagai lingga, dan di bawahnya terdapat lubang. Tempat ini diyakini sebagai bekas tempat pertapaan Rsi Markhandeya. Sejak dulu Gumuk Kancil dikenal mistis. Sebelum ada pura, pengikut kejawen sering bersembahyang di tempat itu. Para pemburu binatang pun sebelum berburu berdoa dahulu di tempat itu. Sampai sekarang masih disakralkan sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang boleh naik ke gundukan suci tersebut. Berdasarkan fakta-fakta tersebut , kemungkinan adanya pemukiman di sekitar lokasi beji dan beberapa situs itu ada benarnya. Karena salah satu syarat suatu tempat bisa digunakan untuk lokasi pemukiman adalah tersedianya sumber air yang memadai sudah terpenuhi pada lokasi itu. Sehingga kemungkinan besar mengenai mitos tentang lokasi bersemadinya Rsi Markhandeya serta tempat tinggal para pengikutnya yang di ajak untuk melakukan perjalanan suci ke Bali benar adanya. Suatu hal yang mengecewakan adalah tidak seorang pun ditemui warga masyarakat di sekitar wilayah desa Bumiharjo yang merupakan keturunan dari Wong Aga. Warga desa Bumiharjo bukan keturunan dari Wong
Aga yang telah mengikuti ajaran Hindu dari Rsi Markhandeya. Mereka adalah kelompok-kelompok pendatang baru di wilayah itu ketika ada pembukaan hutan pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Keturunan Wong Aga di lereng Gunung Raung tidak diketahui lagi keberadaannya. Mungkin dahulu diajak semuanya ke Bali oleh Rsi Markhandeya, atau menyebar ke wilayah lain di sekitarnya.
Hubungan antar kelompok dan di luar kelompok di kedua desa penelitian, yaitu Desa Sukawana dan Desa Bumiharjo, selama ini belum memperlihatkan kendala yang berarti. Suatu konflik yang disebabkan oleh adanya ketidakharmonisan antara orang luar dan orang dalam bisa saja terjadi di daerah yang sama. Namun segala permasalahan yang timbul di kedua desa tersebut selalu dipecahkan melalui jalan musyawarah. Masyarakat asli Desa Sukawana pada dasarnya menerima kedatangan orang luar, baik melalui pernikahan maupun perpindahan penduduk. Para pendatang tetap hidup berdasarkan aturan yang ada di Desa Sukawana, sehingga keharmonisan di dalam masyarakat tetap terjaga. Penduduk pendatang di Desa Sukawana dikenal dengan istilah krama giringan. Krama giringan memiliki organisasi sendiri dengan seorang kelian krama giringan sebagai pemimpin organisasi mereka. Sejauh ini, antara krama giringan dengan penduduk asli bisa hidup bersama dengan damai. Apabila krama giringan tersebut memiliki sifat ramah dan mudah bergaul, maka penduduk asli pun akan bersikap ramah kepada mareka.
Demikian pula halnya dengan hubungan antar kelompok di Desa Bumiharjo. Meski di Desa Bumiharjo dibagi atas tiga kepercayaan atau agama besar, namun masyarakatnya bisa hidup bersama dengan rukun, saling berhubungan erat dan sejahtera bersama. Seluruh ketua adat yang ada di daerah itu memiliki visi yang sama, yaitu hidup rukun tanpa memandang ras, suku, agama
dan golongan dengan hidup bersama saling menghormati. Masyarakat Bumiharjo dengan segala perbedaan budaya kedaerahan dan kesukuan ataupun agama yang mereka miliki, tetap dapat hidup bersama dan saling mengisi hidup berdampingan dan saling menjaga satu sama lainnya. Hubungan antar warga masyarakat baik sesama agama maupun berbeda agama tetap menunjukkan solidaritas yang tinggi dikarenakan mereka hidup dengan saling bergotong royong.
Penempatan pemukiman khusus bagi para pendatang tidak ada. Tempat tinggal mereka berbaur dan berdampingan. Tidak ada perbedaan hukum antara penduduk asli desa ataupun penduduk pendatang. Bila terjadi konflik atau permasalahan di tengah masyarakat dapat diselesaikan melalui tiga pilar, yaitu: Kepolisian, TNI, dan Kepala Desa. Semua permasalahan sebisa mungkin dipecahkan melalui jalan kekeluargaan dan musyawarah.
Berdasarkan pembahasan dalam penelitian ini, ditarik kesimpulan bahwa ada sedikit saja kesamaan diantara kedua tradisi sosial-budaya masyarakat Desa Bumiharjo di lereng Gunung Raung dan masyarakat Desa Sukawana di pegunungan Kintamani, Bali. Walaupun ada sebagian masyarakat desa Bumiharjo memeluk agama Hindu, namun mereka bukanlah keturunan dari Wong Aga yang telah mengikuti ajaran Hindu dari Rsi Markhandeya. Mereka adalah kelompok-kelompok pendatang baru di wilayah itu ketika ada pembukaan hutan pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Suatu hal yang tersisa adalah ditemukannya situssitus arkeologis dan benda-benda sakral yang menandai bahwa wilayah itu pernah digunakan sebagai tempat tinggal menetap. Situs-situs itu kini dipugar kembali untuk memperingati dan menghormati atas jasa-jasa Rsi Markhadeya serta para pengikutnya yang telah mengajar dan
mengembangkan ajaran agama Hindu sampai ke pulau Bali. Sedangkan keberadaan keturunan wong aga di sekitar lereng Gunung Raung kini tidak diketahui lagi. Bangunan terpenting sebagai petilasan Rsi Markhandeya adalah Candi Agung Gumuk Kancil di Dusun Wonoasih. Kini candi tersebut menjadi salah satu pusat kunjungan umat Hindu di Jawa dan Bali untuk menjalankan ibadah keagamaan di sana, dan juga sebagai tujuan wisata religi.
Adapun masyarakat Desa Sukawana sendiri, sebagai bagian dari orang Bali Aga lebih suka disebut sebagai orang Bali Mula yang menganggap sebagai keturunan dari nenek moyang pertama yang telah tinggal di Bali. Masyarakat Desa Sukawana masih tetap menjalankan ibadah keagamaan mereka sendiri, dan mempunyai tempat pusat peribadatan di Pura Puncak Penulisan, Kintamani. Selain itu walaupun dikatakan sebagai masyarakat Bali Aga atau Bali Mula yang terkesan memiliki ekslusifitas dalam sistem keagamaan dan sistem pemerintahan adat ulu apad, masyarakat Desa Sukawana adalah masyarakat yang terbuka terhadap perubahan. Suatu ganjalan yang dihadapi ialah adanya pandangan bahwa praktik keagamaan yang mereka jalankan sebagai tradisi lokal harus disesuaikan dengan ajaran Hindu formal dan resmi seperti yang dilegitimasi oleh negara. Urusan bidang keagamaan selalu menjadi tanggung jawab pemerintah pusat hingga daerah. Semuanya diperlakukan sebagai suatu kerangka tunggal dengan sistem terpadu. Penyeragaman melalui indoktrinasi yang dilegitimasi oleh negara akan mengabaikan bahwa sesungguhnya ada keragaman dalam kelokalan pada bidang keagamaan. Oleh karena itu, untuk mencapai keharmonisan yang sesuai dengan prinsip Tri Hita Karana, masyarakat Desa Sukawana, dan orang Bali Aga umumnya, diberi kebebasan atau kelonggaran dalam menentukan hidup keagamaan mereka
sendiri. Selama hal itu tidak bertentangan dengan UUD ’45 dan Pancasila.
Daftar Pustaka
Adhan, Syamsurijal. (2005) Islam dan Patuntung di Tanah Toa Kajang : Pergulatan Tiada Akhir, dalam Hak Minoritas : Dilema
Multikulturalisme di Indonesia, H. Budiman (ed.), Jakarta : The
Interseksi Foundation.
Beatty, Andrew. (2001) Variasi Agama di Jawa : Suatu Pendekatan
Antropologi, terjemahan
A.F.Saifuddin, Jakarta : Murai
Kencana.
Budiwanti, Erni. (2000) Islam Sasak : Wetu Telu versus Waktu Lima, Yogyakarta : LkiS.
Cederroth, Sven. (1996) From Ancestor Worship to Monotheism Politics of Religion in Lombok Temenos 32, via H. Prasetia, Masyarakat Adat Wet Semokan,IF-TIFA.
Fauzan, M. Uzair. (2005) Politik Representasi dan Wacana
Multikulturalisme dalam Praktek Program Komunitas Adat Terpencil, Kasus Komunitas Sedulur Sikep Bombong-Bacem, dalam Hak Minoritas : Dilema
Multikulturalisme di Indonesia, H. Budiman (ed.), Jakarta : The
Interseksi Foundation.
Gunawan, Daddi H. (2014) Perubahan Sosial di Pedesaan Bali : Dualitas, Kebangkitan Adat, dan Demokrasi Lokal, Tangerang : Marjin Kiri.
Hefner, Robert W. (1999) Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Pekelahian Politik, Yogyakarta : LKIS.
Koentjaraningrat. (1989) Metode
Penggunaan Data Pengalaman Individu”, dalam Metode-Metode Penelitian Masyarakat
(Koentjaraningrat, red.), halaman 158-172, Jakarta : Gramedia.
Mann, Richard. (2015) Bali’s First People The Untold Story, 2nd edition,
Gateway Books.
Maunati, Yekti. (2004) Identitas Dayak : Komoditas dan Politik Kebudayaan, Yogyakarta : LKiS.
Picard, Michel. (2006) Bali : Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata, terjemahan Couteau dan Wisatsana, Jakarta : KPG.
Reuter, Thomas A. (2005) Custodian of the Sacred Mountains : Budaya dan Masyarakat di Pegunungan Bali, terjemahan A.R.Zainuddin, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Suartawan, I Gede Arya, dkk. (2016) Potensi Tinggalan Arkeologi di Desa Bumiharjo, Kecamatan Glenmore, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur : Laporan Penelitian Eksploratif, Denpasar : FIB UNUD.
Topatimasang, Roem (ed.). (2004) Orangorang Kalah; Kisah Penyingkiran Masyarakat Adat Kepulauan Maluku,Yogyakarta : Insist Press.
Tsing, Anna L. (1998) Di Bawah Bayang-bayang Ratu Intan : Proses
Marjinalisasi Pada Masyarakat Terasing, terjemahan A.F.Saifuddin, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Utama, I Wayan Budi. (2015) Wajah Bali Tanpa Kasta : Pudarnya Identitas Bali Aga, Tabanan : Pustaka
Ekspresi.
Wiryana, I Ketut. (2007) Candi Agung Gumuk Kancil : Petilasan Maha Resi Markandeya di Gunung Raung Sebelum ke Bali, Denpasar : FT Universitas Warmadewa.
Wikarman, I Nyoman Singgih. (1998) Leluhur Orang Bali : Dari Dunia Babad dan Sejarah, Surabaya : Paramita.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Des) Desa Sukawana Tahun 2014-2019.
http://phdi.or.id/artikel/candi-agung-gumuk-kancil, diakses tanggal 2706-2016
http://www.babadbali.com/pura/plan/gumu k-kancil.htm, diakses tanggal 27-062016
Discussion and feedback