Mencermati Permasalahan Gender dan Pengarusutamaan Gender (PUG)
on
Mencermati Permasalahan Gender dan Pengarusutamaan Gender (PUG)
Ni Made Wiasti
Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud [email protected]
Hp. 081237427045
Abstrak
Walaupun berbagai usaha telah dilakukan, dan telah pula terjadi perubahan terhadap peran serta perempuan di segala bidang kehidupan, namun tidak dapat dipungkiri kesetaraan gender yang diharapkan terjadi belum sepenuhya tercapai. Kesenjangan gender tampak masih terjadi di berbagai bidang pembangunan, misalnya di bidang pendidikan, kesehatan, politik, dan di bidang pemerintahan. Gender diartikan sebagai konstruksi sosial tentang bagaimana menjadi laki-laki dan perempuan sebagaimana dituntut oleh masyarakat. Gender berkaitan dengan pembagian peran, kedudukan dan tugas antara laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat yang dianggap pantas bagi laki-laki dan perempuan menurut norma, adat, kepercayaan dan kebiasaan masyarakat. Ketika konstruksi sosial itu dihayati sebagai sesuatu yang tidak boleh diubah karena dianggap kodrati dan alamiah, menjadilah itu ideologi gender. Berdasakan ideologi gender yang dianut, masyarakat kemudian menciptakan pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki diposisikan pada peran produktif, publik, sedangkan perempuan diposisikan pada peran reproduktif, domestik. Perbedaan-perbedaan antara laki-laki dan perempuan terutama perbedaan gender (gender differences) ternyata menimbulkan ketidakadilan gender yang umumnya lebih banyak menimpa kaum perempaun. Bentuk-bentuk manifestasi ketidakadilan akibat diskriminasi gender itu meliputi: marginalisasi, subordinasi, stereotype, kekerasan, dan beban kerja. Munculnya berbagai bentuk kesenjangan gender antara laki-laki dan perempuan, maka dipandang perlu ditempuh suatu strategi untuk mengurangi atau bahkan menghapus kesenjangan tersebut sehingga tercapai kondisi yang adil dan setara gender (KKG). Intervensi pemerintah dalam mempercepat tercapainya kesetaraan dan keadilan gender (KKG) adalah dengan membentuk suatu kebijakan yang disebut Strategi Pengarusutamaan Gender disingkat menjadi PUG (Gender Mainstreaming). Pengarusutamaan Gender (PUG) adalah suatu strategi untuk mencapai keadilan dan kesetaraan gender (KKG) melalui kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan.
Kata Kunci: gender, ketidakadilan gender, dan pengarusutamaan gender (PUG).
Sunari Penjor: Journal of Anthropology
Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud
Sesungguhnya berbagai upaya telah dilakukan oleh berbagai lembaga untuk meningkatkan harkat dan martabat perempuan, bahkan lembaga negara sejak awal secara eksplisit telah menjamin persamaan hak dan kedudukan setiap warga negara, laki-laki dan perempuan. Dalam konstitusi dasar negara UUD 1945, misalnya, dikemukakan jaminan negara atas persamaan hak bagi setiap warga dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat 1), pekerjaan dan penghidupan yang layak (Pasal 27, ayat 2), usaha bela negara (Pasal 30) dan dalam memperoleh pendidikan (Pasal 31). Secara lebih operasional, GBHN 1999 mengamanatkan perlu adanya lembaga yang mampu mengemban kebijakan nasional untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Selain itu, pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi berbagai konvensi dunia dan menandatangani sejumlah deklarasi internasional berkaitan dengan
persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Hal itu dijelaskan seperti berikut.
-
1. Konvensi ILO No. 100 tahun 1950 dengan UU No. 80/1957 tentang Pengupahan yang Sama bagi Laki-laki dan Wanita untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya,
-
2. Konvensi Hak Politik
Perempuan (New York) dengan UU No 68/1958,
-
3. Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskrimanisi Terhadap Perempuan (CEDAW) dengan UU No 7/1984,
-
4. Konvensi ILO No. 111 tahun 1985 dengan UU No. 21/1999 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabata,
-
5. Konferensi Dunia ke IV tentang Perempuan (Beijing tahun 1985).
-
6. Deklarasi Jakarta (ASPAC tahun 1994),
-
7. Konferensi Internasional tentang Pembangunan Sosial
(Copenhagen tahun 1994);
-
8. Optional Protocol 28 Februari 2000;
Adanya jaminan konstitusi dan berbagai kebijakan formal tersebut ternyata tidak dengan sendirinya bisa mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan nyata. Dalam kenyataan, masih tampak berbagai bentuk ketimpangan gender pada berbagai aspek kehidupan. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kesenjangan ini
adalah Gender Empowerment
Measurement (GEM) dan Gender-related Development Index (GDI) yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Human Developement
Index.Berdasarkan Human Development Report 2000, GDI Indonesia menduduki urutan ke 109 dari 174 negara yang diukur, dan lebih rendah dari Negara-negara ASEAN lainnya.
Kesenjangan gender tampak terjadi di berbagai bidang
pembangunan, misalnya di bidang pendidikan, kesehatan, politik, dan di bidang pemerintahan. Untuk
memperkecil kesenjangan gender yang terjadi pada berbagai sektor kehidupan, maka kebijakan dan program pembangunan yang dikembangkan saat ini dan di masa mendatang harus mengintegrasikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan
perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi, pada seluruh kebijakan dan program pembangunan nasional. Guna menjamin penyelenggaraan pembangunan seperti ini, pemerintah menerbitkan Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan yang mewajibkan seluruh
departemen maupun lembaga pemerintah non departemen di pusat dan di daerah untuk melakukan pengarusutamaan gender dalam kebijakan dan program yang berada di bawah tugas dan tanggung jawab masing-masing.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka persoalan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah kesenjangan gender dan solusi untuk mengatasinya, yakni melaksanakan Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG). Untuk memahami konsep Pengarusutamaan Gender (PUG) dan mekanisme kerjanya terlebih dahulu akan dibahas konsep gender dan permasalannya, konsep Pengarusutamaan Gender (PUG), lingkup kegiatan dan alur kerja Pengarusutamaan Gender (PUG).
Sebagian orang mungkin telah memahami istilah gender dengan benar, tetapi bagi sebagian lain masih perlu penjelasan. Ketidakpahaman tentang istilah gender sesungguhnya bukan saja terjadi pada masyarakat awam, tetapi juga di di kalangan akademisi sekali pun masih banyak yang belum tahu apa itu gender. Hal ini terbukti dari seringnya istilah gender digunakan untuk menyebut kaum perempuan. Selain itu, kesalahan memahami arti gender juga tercermin dari cara menyebutkan kata ”gender”, misalnya ada yang menyebutnya dengan istilah ”jender” atau ”gender”.
Untuk menghilangkan ketidaktahuan dan keraguan tentang arti istilah gender, maka ada baiknya membahas istilah seks dan kodrat terlebih dahulu. Pembahasan istilah seks dan kodrat ini dianggap penting karena kedua istilah ini sangat terkait dan sering dikacaukan dengan istilah
gender. Misalnya, banyak orang yang berkata bahwa ” mengerjakan pekerjaan rumah tangga adalah kodrat bagi seorang perempuan”. Anggapan dan ucapan semacam itu sudah pasti keliru.
Untuk menghindari kesalahpahaman tentang pengertian gender perlu juga dipahami dua istilah yang berkaitan dengan konsep ini yakni seks dan dan kodrat. Ketiga istilah ini merupakan hal yang saling berkaitan satu sama lain, tetapi secara harfiah mempunyai pengertian sangat berbeda.
Seks, diartikan sebagai jenis kelamin yang bersifat biologis, dan membedakan laki-laki dan perempuan. Sejak masih dalam kandungan Tuhan sudah menganugrahkan kepada bayi sesuatu yang berbeda yakni penis dan buah zakar, serta vagina. Yang dianugrahi penis dan buah zakar disebut laki-laki, dan yang dianugrahi vagina adalah perempuan. Selain itu kepada kedua jenis kelamin itu, Tuhan juga membekali seperangkat alat reproduksi yang memiliki bentuk serta fungsi yang berbeda. Kepada laki-laki Tuhan menganugerahkan alat reproduksi berupa sperma, dan untuk perempuan dianugerahkan sel telur, rahim, alat untuk memproduksi susu, serta organorgan lainnya. Dengan seperangkat alat-alat reproduksi tersebut, maka ketika saatnya tiba, laki-laki dan perempuan akan menjalankan fungsi atau peran kodratinya. Dalam menjalankan fungsi atau peran kodratinya, perempuan akan mengalami menstruasi (haid), mengandung, melahirkan, menyusui dan menopause, yang sering disingkat menjadi 5 M, dan laki-laki menjalankan peran kodratinya dengan membuahi sel telur perempuan.
Alat reproduksi laki-laki dan perempuan hanya dapat berfungsi kalau dipadukan. Artinya alat reproduksi
perempuan tidak bisa bekerja sendiri. Alat reproduksi laki-laki juga tidak bisa bekerja sendiri.
-
• Alat reproduksi perempuan,
yaitu: vagina, kandung telur,
rahim, beserta fungsi hormon yang antara lain membantu
mengeluarkan air susu ibu (ASI)
-
• Alat reproduksi laki-laki yaitu penis, zakar, sperma, dan fungsi-fungsi hormon laki-laki yang melengkapi.
Semua yang dibicarakan di atas adalah hal-hal yang terkait dengan pengertian seks dan kodrat. Jika diamati dalam realitasnya, sepanjang sejarah kehidupan tidak pernah terjadi adanya pertukaran jenis kelamin atau peran kodrati antara laki-laki dan perempuan. Artinya, tidak pernah laki-laki yang mengalami peristiwa menstruasi (haid), mengandung, melahirkan, menyusui dan menopause, yang sering disingkat menjadi 5 M. Walaupun ada pergantian
jenis kelamin, tetapi hal tersebut bersifat rekayasa yang dikonstruksi oleh manusia, dan tidak disertai kemampuan untuk melaksanakan peran kodratinya. Untuk lebih jelas, seks dan kodrat dapat ditunjukkan dengan karakterisiitk sebagai berikut.
-
• Merupakan pemberian Tuhan dan telah dibawa sejak bayi masih berada didalam kadungan (given);
-
• Tidak dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan;
-
• Tidak dapat digantikan
fungsinya yang satu oleh yang lainnya;
-
• Bersifat statis (tidak dapat
berubah), dan;
-
• Bersifat biologis.
Secara rinci perbedaan gender dan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1.
Perbedaan Gender dan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin (Sex) |
Gender |
antara laki-laki dan perempuan.
sementara laki-laki tidak, sifatnya Universal.
tidak dapat hamil. |
kesempatan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan masyarakat,
perkembangan masyarakat di satu wilayah, sifatnya lokal.
mengubah hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. |
Identitas seseorang untuk disebut laki-laki atau perempuan tampaknya tidak cukup hanya mengacu pada ciri-ciri yang bersifat fisik atau biologis. Hal ini terjadi karena setelah hidup di masyarakat pada prinsipnya laki-laki dan perempuan mengalami hal-hal yang berbeda satu dengan yang lain. Untuk itu manusia atau masyarakat kemudian memberi ciri-ciri lain yang merupakan interpretasi mereka atas fungsi dan kemampuan dari masing-masing jenis kelamin tersebut. Di setiap kebudayaan/masyarakat, manusia lalu memberi atau melengkapi ciri-ciri biologis tadi dengan ciri-ciri yang bersifat nonbiologis (sosial) terkait dengan ciri, sifat, pekerjaan, norma dan kepantasan-kepantasan (nilai) bagi laki-laki maupun perempuan.
Gender adalah “konstruksi sosial tentang peran lelaki dan perempuan sebagaimana dituntut oleh masyarakat dan diperankan oleh masing-masing mereka” (Hafidz, 1995: 5). Gender berkaitan dengan pembagian peran, kedudukan dan tugas antara laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat yang dianggap pantas bagi laki-laki dan perempuan menurut norma, adat, kepercayaan dan kebiasaan masyarakat (Buddi, dkk, 2000). Seperti halnya kostum dan topeng di teater, gender adalah seperangkat peran yang menyampaikan pesan kepada orang lain bahwa kita adalah feminim atau maskulin (Mosse, 1996). Ketika konstruksi sosial itu dihayati sebagai sesuatu yang tidak boleh diubah karena dianggap kodrati dan alamiah, menjadilah itu ideologi gender.
Berdasakan ideologi gender yang dianut, masyarakat kemudian menciptakan pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang bersifat
operasional (Ortner, dalam Saptari & Holzner, 1995). Dalam pembagian peran gender ini, laki-laki diposisikan pada peran produktif, publik, maskulin, dan pencari nafkah utama, sementara perempuan diposisikan pada peran reproduktif, domestik, feminim, dan pencari nafkah tambahan (Fakih, 1997). Menurut Slavian (1994), penelitian-penelitian kross-kultural mengindikasikan bahwa peran seks itu merupakan salah satu hal yang dipelajari pertama kali oleh individu dan bahwa seluruh kelompok masyarakat memperlakukan laki-laki dengan cara yang berbeda dengan perempuan.
Dalam praktiknya, menurut Fakih (1996), dikotomi peran ini kemudian ternyata memunculkan berbagai bentuk ketidakadilan gender, seperti adanya marginalisasi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja yang lebih panjang dan lebih banyak (burden) dan sosialisasi ideologi nilai peran gender.
Cara pikir stereotipe tentang peran gender sangat mendalam merasuki pikiran mayoritas orang. Sebagai contoh, perempuan dianggap lemah, tidak kompeten, tergantung, irrasional, emosional, dan penakut, sementara laki-laki dianggap kuat, mandiri, rasional, logis, dan berani (Suleman, 2000) Selanjutnya ciri-ciri stereotipe ini dijadikan dasar untuk mengalokasikan peran untuk lelaki dan perempuan (Wardah, 1995 : 20).
Di bawah ini dikemukakan beberapa contoh konstruksi sosial tentang ciri, sifat pekerjaan, norma dan nilai-nilai.
Tabel 2.
Ciri-ciri dan Sifat-sifat Gender
Konstruksi Sosial tentang |
Laki-laki |
Perempuan |
Realitas |
Ciri-ciri |
-rambut pendek -pakai celana panjang |
-rambut panjang -pakai rok dan anting |
Ada laki-laki berambut panjang dan pakai anting, ada juga perempuan pakai celana panjang dan berambut pendek |
Sifat |
Tegas, keras, tegar, rasional |
Lemah lembut, perasa, cengeng, pemalu |
Ada laki-laki yang cengeng, lemah lembut, perasa, pemalu, ada juga perempuan yang tegas dan tegar |
Pekerjaan/peran |
Mencari nafkah (publik) |
Mengerjkan pekerjaan rumah tangga (domestik) |
Ada laki-laki yang menganggur, mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dan ada juga perempuan yang bekerja mencari nafkah atau keduanya mencari nafkah |
Norma |
Ahli waris |
Bukan ahli waris |
Di Minang perempuan sebagai ahli waris, tetapi di Bali perempuan tidak berhak mewaris, sedangkan di Jawa laki-laki dan perempuan sama-sama mewaris. |
Status |
Sebagai pemimpin, kepala keluarga |
Pendamping suami, ibu Rt |
Perempuan ada yang menjadi pemimpin, dan ada laki-kaki yang dipimpin |
Nilai |
Mahluk kelas satu |
Mahluk kelas dua |
Setara |
Hal tersebut di atas adalah suatu konstruksi sosial yang disebut dengan istilah gender. Jika dicermati kondisi tersebut menunjukkan tanda-tanda seperti berikut.
-
• Hal tersebut dapat berubah dari waktu ke waktu
Hal tersebut dapat dipertukarkan ataupun diganti dari yang satu oleh yang lain
Hal tersebut dapat berbeda di masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya
Bersifat dinamis
Konstruksi sosial budaya
Dengan demikian jelaslah bahwa seks dan kodrat di satu sisi, dan gender di sisi yang lain memiliki perbedaan.
Gender tidak menjadi masalah apabila terjadi kesepakatan kedua pihak (laki-laki perempuan) didalam pembagian tugas dan kedua belah pihak memiliki kesempatan yang sama untuk melakukan kegiatan lain di luar untuk memenuhi kebutuhan bemasyarakat dan mengembangkan diri.
Gender akan dipermasalahkan apabila adanya perbedaan (diskriminasi) perlakuan dalam akses, partisipasi, kontrol dalam menikmati hasil pembangunan antara laki-laki dan perempuan. Dan juga tidak adanya kesetaraan dan keadilan antara laki-laki dan perempuan didalam pembagian peran, tanggung jawab, hak, kewajiban serta fungsi sebagai anggota keluarga maupun masyarakat yang akhirnya tidak menguntungkan kedua belah pihak. Jadi dapat disimpulkan bahwa gender menjadi masalah jika ada ketimpangan relasi atau ketidakadilan antara laki-laki dan perempuan di mana satu pihak menjadi korban. Ketidakadilan gender bisa dialami oleh laki-laki ataupun perempuan, tetapi karena budaya kita yang patriarki atau mengutamakan laki-laki sehingga peempuanlah yang paling terkena dampaknya.
Perbedaan-perbedaan antara laki-laki dan perempuan terutama perbedaan gender (gender differences) ternyata menimbulkan ketidakadilan gender yang umumnya lebih banyak menimpa kaum perempaun. Bentuk-bentuk manifestasi ketidakadilan akibat diskriminasi gender itu meliputi:
-
• Marginalisasi
(peminggiran/pemiskinan) yang mengakibatkan kemiskinan
perempuan tidak hanya terjadi di masyarakat di negara
berkembang, bukan saja tempat kerja tetapi juga dalam rumah tangga, masyarakat/kultur dan Negara.
-
• Subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya.
-
• Pandangan stereotype yang seringkali bersifat negatif secara umum selalu melahirkan
ketidakadilan..Misalnya label
kaum perempuan sebagai “ibu runah tangga” sangat merugikan mereka di dunia politik, bisnis maupun birokrasi.
-
• Berbagai kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan peran muncul dalam berbagai bentuk. Kekerasan
adalah serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas mental sesorang, misalnya
pemerkosaan, pelecehan seksual, dan sebagainya.
-
• Beban kerja sebagai suatu bentuk diskriminasi atau ketidak adilan yang banyak dialami oleh kaum perempuan, misalnya dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Dengan adanya berbagai kesenjangan gender antara laki-laki dan perempuan, maka dipandang perlu ditempuh suatu strategi untuk mengurangi atau bahkan menghapus kesenjangan tersebut sehingga tercapai kondisi yang adil dan setara gender.
Seperti yang telah diterangkan diatas, gender menjadi masalah bila ada salah satu pihak yang dirugikan. Pihak
yang mengalami kerugian itu disebut mengalami ketertindasan atau ketidakadilan gender. Keadaan salah satu jenis gender lebih baik keadaan dan kedudukannya dari jenis gender lain, disebut juga ketimpangan gender. Ketimpangan atau ketidakadilan gender tidak mutlak berarti penindasan perempuan, walaupun benar perempuan lebih banyak mengalami ketimpangan. Karena ketertinggalan salah satu jenis kelamin ini akan menimbulkan ketidakseimbangan dalam masyarakat.
Seringkali muncul kebingungan tentang artinya “kodrat” dan bukan “bukan kodrat” bagi laki-laki perempuan. Susunan tubuh perempuan (kodrat) menyebabkan perempuan memiliki tugas tertentu, begitu juga laki-laki. Kerena itu, muncul pertanyaan: Apakah gender dipengaruhi jenis kelamin? Sering terjadi, kita menerima perbedaan gender sebagai kodrat karena beranggapan bahwa perempuan sudah dikodratkan memiliki tubuh yang lemah, sedangkan laki-laki memiliki tubuh yang kuat, bahkan ada anggapan bahwa laki-laki lebih cerdas dan terampil (otaknya lebih besar), daripada perempuan. Rupanya sulit bagi kita melihat hal itu sebagai ‘hasil bentukan atau latihan’, karena sudah terlalu biasa mengangapnya sebagai kodrat” karena rata-rata perempuan kurang dilatih, sehingga kelihatannya sudah kodrat bahwa peempuan itu lemah).
Kenyataannya, perbedaan secara fisik antara laki-laki dan perempuan bersifat relatif atau tidak pasti bahwa perempuan tidak mampu melakukan pekerjaan berat, Laki-laki juga banyak yang menyukai pekerjaan yang halus atau lembut.
Pemikiran tentang bagaimana memperlakukan jenis kelamin tertentu namun belum tentu sesuai dengan yang sesungguhnya. Misalnya: perempuan lemah, laki-laki kuat? Pada kenyataannya tidak semua perempuan lemah, dan tidak semuanya laki-laki ku
Konstruksi sosial seperti diuraikan di atas ternyata dalam hal-hal tertentu menimbulkan ketidakberuntungan bagi salah satu pihak dan umumnya adalah perempuan. Mengapa demikian? Jawabannya tiada lain karena konstruksi sosial ini umumnya dilakukan oleh kaum laki-laki dan dari sudut pandang laki-laki, sehingga pengalaman, kebutuhan dan permasalahan perempuan seringkali dilupakan dan tidak diperhitungkan. Hal inilah yang pada akhirnya memunculkan isu-isu gender.
Selain hal-hal yang disebutkan di atas intervensi pemerintah dalam mempercepat tercapainya kesetaraan dan keadilan gender (KKG) adalah dengan membentuk suatu kebijakan yang disebut Strategi ”Pengarusutamaan Gender” disingkat menjadi PUG (Gender Mainstreaming). Istilah pengarusutamaan gender (PUG) berasal dari bahasa Inggris ” Gender Mainstreaming”. Istilah ini digunakan pada saat Konferensi Wanita Sedunia ke IV di Beijing dan dicantumkan pada ”Beijing Platform of Action”. Semua negara peserta termasuk Indonesia dan organisasi yang hadir pada konferensi tersebut secara eksplisit menerima mandat untuk mengimplementasikan ” Gender Mainstreaming” tersebut di negaranya masing-masing.
Adapun yang dimaksud dengan Pengarusutamaan Gender (PUG) adalah suatu strategi untuk mencapai keadilan dan kesetaraan gender (KKG) melalui
kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Pengarusutamaan gender atau disingkat PUG adalah strategi yang dilakukan secara rasional dan sistimatis untuk mencapai dan mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam sejumlah aspek kehidupan manusia (rumah tangga, masyarakat dan negara), melalui kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program diberbagai bidang kehidupan dan pembangunan.
Pengarusutamaan gender (PUG), atau dalam istilah Inggeris: Gender Mainstraiming, merupakan suatu strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan.
Tujuan pengarusutamaan gender adalah memastikan apakah perempuan dan laki-laki:
-
• memperoleh akses yang sama
kepada sumberdaya
pembangunan,
-
• berpartisipasi yang sama dalam
proses pembangunan. Termasuk proses pengambilan keputusan,
-
• mempunyai kontrol yang sama
atas sumberdaya pembangunan, dan
-
• memperoleh manfaat yang sama dari hasil pembangunan.
Penyelenggaan pangarusutamaan gender mencakup baik pemenuhan kebutuhan praktis gender maupun pemenuhan kebutuhan strategis gender. Kebutuhan praktis gender adalah kebutuhan-kebutuhan jangka pendek dan berkaitan dengan perbaikan kondisi perempuan dan/atau laki-laki guna menjalankan peran-peran sosial masing-masing, seperti perbaikan taraf kehidupan, perbaikan pelayanan kesehatan, penyediaan lapangan kerja, penyediaan air bersih, dan pemberantasan buta aksara. Kebutuhan strategis gender adalah kebutuhan perempuan dan/atau laki-laki yang berkaitan dengan perubahan pola relasi gender dan perbaikan posisi perempuan dan/atau laki-laki, seperti perubahan di dalam pola pembagian peran, pembagian kerja, kekuasaan dan kontrol terhadap sumberdaya. Pemenuhan kebutuhan strategis ini bersifat jangka panjang, seperti perubahan hak hukum, penghapusan kekerasan dan deskriminasi di berbagai bidang kehidupan, persamaan upah untuk jenis pekerjaan yang sama, dan sebagainya.
Dalam buku Panduan Pelaksanaan Inpres No 9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan, yang diterbitkan oleh Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, dikemukakan sejumlah kondisi awal dan komponen kunci yang diperlukan rangka menyelenggarakan pengarusutamaan gender. Kondisi awal dan komponen kunci yang dimaksud, dikemukakan pada tabel berikut.
Tabel 3.
Kondisi Awal dan Komponen Kunci Pengarusutamaan Gender
No |
Kondisi Awal yang Diperlukan |
Komponen Kunci |
1. |
Political will dan kepemimpinan dari lembaga dan pemimpin eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Adanya kesadaran, kepekaan, dan respons, serta motivasi yang kuat dalam mendukung terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender. |
Peraturan perundang-undangan, misalnya:
|
2. |
Adanya kerangka kebijakan yang secara jelas menyatakan komitmen pemerintah, propinsi, kabupaten/kota terhadap perwujudan kesetaraan dan keadilan gender |
Kebijakan-kebijkan yang secara sistemik mendukung penyelenggaran PUG, termasuk kebijakan, strategi, program, kegiatan, beserta penyediaan anggarannya, seperti:
kebijakan dan peraturan yang responsive gender
kerja akuntabilitas
pemantauan dan evaluasi yang responsive gender
pelaksana dan penunjang PUG. |
3. |
Struktur dan mekanisme pemerintah, propinsi, kebupaten/kota yang mengtegrasikan perspektif gender |
Struktur organisasi pemerintah dalam rangka pelaksanaan PUJ di lingkup nasional, propinsi, dan kabupaten/kota, yang ditandai oleh terbentuknya:
Mekanisme pelaksanaan PUG diintegrasikan pada setiap tahapan pembangunan, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, penganggaran, |
pemantauan, dan evaluasi. | ||
4. |
Sumber-sumber daya yang memadai |
kesadaran, kepekaan, keterampilan, dan motivasi yang kuat dalam melaksanakan PUG di unitnya.
sarana yang memadai untuk melaksanakan PUG |
5. |
Sistem Informasi dan data yang terpilah menurut jenis kelamin |
Data dan statistik yang terpilah menurut jenis kelamin |
6. |
Alat analisis |
Analisis gender untuk:
|
7. |
Dorongan dari masyarakat madani kepada pemerintah |
Partisipasi masyarakat madani yang dilakukan dalam mekanisme dialog dan diskusi dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi. |
Di Indonesia definisi tersebut diadopsi dalam Inpres No. 9 tahun 200 dan Presiden telah mengintruksikan kepada jajaran ekskutif di tingkat pusat dan daerah, instansi dan lembaga pemerintah yang dipimpin oleh Menteri, Kepala Lembaga Pemerintah nondepartemen, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi, Panglima Negara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung RI, Gubernur, dan Walikota untuk melaksanakan PUG sebagai pembangunan nasional. Mereka diharuskan untuk melakukannya disetiap tahap mulai dari penyusunan perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan berbagai kebijakan, program, dan kegiatan termasuk penganggarannya sesuai dengan bidang tugas, fungsi dan kewanangan masing-
masing. Dengan Inpres ini juga memberi mandat kepada Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan untuk bertindak sebagai koordinator dan fasilitator dalam melaksanakan strategi PUG.
Pada dasarnya pengarusutamaan gender adalah menarik perempuan ke dalam arus utama pembangunan bangsa dan masyarakat sebagai warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki. Mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender di dalam keluarga, masyarakat, bangsa dan negara melalui perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kebijakan program pembangunan nasional. Pengarusutamaan gender berfungsi untuk menciptakan mekanisme-mekanisme kelembagaan bagi kemajuan perempuan di semua bidang kegiatan
dan kehidupan masyarakat dan pemerintahan.
Lebih nyata penyelenggaraan PUG dimaksudkan untuk mencapai kebutuhan praktis dan strategis gender. Kebutuhan praktis adalah pemenuhan jangka pendek, seperti penyediaan lapangan pekerjaan, pelayanan
kesehatan, pemberantasan buta aksara dan sebagainya. Pemenuhan kebutuhan strategis merupakan kebutuhan jangka panjang, seperti perubahan posisi subordinasi perempuan dalam berbagai bidang ke dalam posisi setara dan adil gender. Pentingnya melaksanakan PUG di dalam berbagai bidang pembangunan bertujuan untuk memastikan apakah laki-laki dan perempuan benar-benar sudah memperoleh akses yang sama terhadap sumberdaya pembangunan, dan memperoleh manfaat sama dari hasil pembangunan.
Ada berbagai faktor yang mempengaruhi munculnya kesenjangan gender. Faktor-faktor tersebut dapat diklompokkan menjadi empat, yakni:
-
• faktor partisipasi,
-
• faktor akses,
-
• faktor kontrol,
-
• dan faktor manfaat/keuntungan. Dengan mengetahui keempat hal tersebut, maka kesenjangan gender akan dapat teridentifikasi yang apada akhirnya untuk menemukan isu-isu gender. Dengan cara-cara ini akan dapat pula ditempuh upaya-upaya untuk meminimalisir bahkan menghilangkan kesenjangan gender melalui perumusan kebijakan, program dan kegiatan yang responsif gender, dengan menggunakan teknik analisis yang disebut Gender Analysis Pathways (GAP) dan Policy Outlook And Action Plan (POP).
Pengarusutamaan gender
dilakukan dalam seluruh rangkaian kegiatan pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemantuan, hingga evaluasi. Alur Kerja Analisis Gender, dalam perencanaan yang responsif gender, terdapat tiga tahap utama, yaitu: 1) melakukan analisis kebijakan gender, 2) memformulasi kebijakan yang responsif gender, dan 3) menyusun rencana aksi
kebijakan/program/proyek/kegiatan yang responsif gender.
Tahap pertama dalam
perencanaan, yaitu Analisis Kebijakan Gender, perlu dilakukan karena pada umumnya kebijakan pemerintah hingga saat ini masih netral gender (gender neutral) dan kadang-kadang, secara tidak sengaja, mempunyai dampak kurang menguntungkan bagi salah satu jenis kelamin. Dengan menggunakan Data Pembuka Wawasan kita dapat melihat bagaimana kebijakan dan program yang ada ssat ini memberikan dampak berbeda kepada laki-laki dan perempuan. Tahap kedua, Formulasi Kebijakan Gender, dilakukan untuk menyusun Sasaran Kebijakan
Kesetaraan dan Keadilan Gender yang menggiring kepada upaya mengurangi atau menghapus kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Selanjutnya, tahap ketiga, Rencana Aksi Kebijakan Kesetaraan dan Keadilan Gender disusun sebagai suatu rencana aksi berupa kebijakan/program/proyek/kegiatan pembangunan yang perlu dilakukan untuk mengatasi kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Seluruh kegiatan dalam rencana aksi harus sesuai dengan tujuan yang telah diidentifikasi dalam tahap Formulasi Kebijakan Kesetaraan dan Keadilan
Gender di atas. Rencana aksi kebijakan ini perlu disertai dengan indikator keberhasilan untuk mengukur kinerja pemerintah dalam mengimplemtasikan rencana aksi.
Pelaksanaan kebijakan,
program, dan kegiatan pembangunan yang berperspektif gender
diselenggarakan setelah tahap-tahap perencanaan yang responsif gender seperti dikemukakan di atas dilakukan. Dalam upaya mendukung dan mengefektifkan pelaksanaan
pengarusutamaan gender, perlu dilakukan beberapa hal, antara lain.
-
• Pemampuan dan peningkatan kapabilitas pelaksana
pengarusutamaan gender
-
• Penyusunan perangkat
pengarusutamaan gender, seperti perangkat analisis, perangkat pelatihan, serta perangkat pemantauan dan evaluasi.
-
• Pembentukan mekanisme
pelaksanaan pengarusutamaan gender, seperti forum
komunikasi, kelompok
kerja, stering commite antar
lembaga, dan
pembentukan focal point pada masing-masing sektor.
-
• Pembuatan kebijakan formal
yang mampu mengembangkan komitmen segenap jajaran
pemerinah dalam upaya pengarusutamaan gender.
-
• Pembentukan kelembagaan dan penguatan kapasitas
kelembagaan untuk
pengarusutamaan gender
-
• Pengembangan mekanisme yang mendorong terlaksananya proses konsultasi dan berjejaring.
Pengarusutamaan gender
merupakan suatu strategi yang bertujuan untuk menjamin tercapainya kesetaraan dan keadilan gender, yaitu memastikan apakah perempuan dan laki-laki memperoleh akses kepada, berpartisipasi dalam, mempunyai kontrol atas, dan memperoleh manfaat yang sama dari berbagai kebijakan dan program di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan.
Keadilan dan kesetaraan gender sebagai salah satu cita-cita dan arah dalam pembangunan nasional hanya dapat terwujud jika masyarakat, khususnya aparat negara, memiliki kesadaran, kepekaan, dan respons serta motivasi yang kuat dalam mendukung terwujudnya keadilan dan kesetaraan gender tersebut.
Keadilan dan kesetaraan gender (KKG) merupakan kondisi ideal yang diinginkan, dan dicita-citakan oleh setiap masyarakat. Kesetaraan adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh
kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya serta kesamaan dalam menikmati hasil-hasil pembangunan. Keadilan gender adalah suatu proses untuk menjadi adil terhadap laki-laki dan perempuan. Dengan kesetaraan dan keadilan gender berarti adanya perubahan, baik secara praktis maupun ideal.
Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan, 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Badan Koordinasi Keluarga Berencana, Kementerian Negara
Pemberdayaan Perempuan, dan
UNFPA, 2005. Panduan & Bunga Rampai: Bahan
Pembelajaran
Pengarusutamaan Gender.
Darwin, Muhadjir M., 2005. Negara dan Perempuan: Reorientasi Kebijakan Publik.
Yogyakarta: Media Wacana.
Dewi, Sinta R. 2006. Gender Mainstreaming, Feminisme, Gender dan Transformasi Institusi, dalam Jurnal Perempuan No. 50. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Fakih, Mansour, 1996. Analisis Gender & Transformasi Sosial.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
------------------ 1979. Penyadaran gender: Buku panduan untuk para pekerja. Jakarta: ILO
Indonesia.
Hartian Silawati. ”Pengarusutamaan Gender, Mulai dari mana?”, dalam Jurnal Perempuan untuk Pencerahan dan Kesetaraan No. 50.
Hafidz, Wardah (1995). Daftar istilah jender. Jakarta: Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita.
Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. (2000) Rencana Induk Pembangunan Nasional Pemberdayaan Perempuan
2000-2004.
Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (2001). Panduan pelaksanaan Inpres No. 9 tentang pengarusutamaan
gender dalam pembangunan. (Draft 26 April 2001). Jakarta: Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
Moser, C.O.N. (1989) “Gender planning in the Third World: Meeting practical and
Mosse, J.C. (1996). “Apakah gender itu?” Dalam Mansour Fakih, Gender dan pembangunan. Yogyakarta: Rifka Annisa.
Mustari, B., Hasyah, H., Bella, R., Pandang, A., & Tahir, N.M. (2000). Konsep dasar jender: Materi pelatihan. Makasar: TPP2W Sulawesi Selatan dan Biro Bina Sosial Sekretariat Daerah Sulawesi Selatan.
W iasti, Ni Made, 1998. Konstruksi Gender pada Mayarakat Bali: Kasus Wanita Pekerja Kerajinan Bambu di Desa Blahbatuh, Gianyar. Tesis S2, Program Studi
Antropologi Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Discussion and feedback