Mandor sebagai “Petit Bourgeois” dalam Industri Konstruksi

Purwadi Soeriadiredja

Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud [email protected]

Abstrak

Para pekerja di bidang jasa konstruksi merupakan bagian penting dalam proses industri konstruksi. Keberhasilan dari penyelesaian suatu konstruksi bangunan rumah sebenarnya tidak terlepas dari peran, fungsi dan kualitas para pekerja tersebut. Dalam lingkup kerja di bidang jasa konstruksi ini seorang mandor memegang peran utama yang merupakan faktor penentu dalam memberdayakan tenaga kerja. Peran mandor ini di Indonesia seringkali disebut sebagai sub-kontraktor tenaga kerja, dan dalam lingkup industri konstruksi itu sendiri terdapat taraf diferensiasi yang menyangkut keterampilan dan juga struktur usaha. Pengerjaan suatu bangunan tentunya menyangkut pula suatu proses kerja dari banyak orang yang terlibat dalam proses pembangunannya. Tinjauan dalam lingkup kegiatan kerja yang menyangkut suatu proses kerja pada bidang jasa konstruksi itulah yang akan dikaji dalam tulisan ini, khususnya bagaimana peran mandor yang terlibat dalam berbagai kegiatan yang lebih produktif pada sektor informal. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa peran mandor dalam bidang industri, khususnya industri konstruksi, mempunyai kedudukan penting. Merupakan posisi kunci yang menjadi perantara hubungan majikan dengan para buruh. Menjadi “middleman“, atau titik temu antara dua kepentingan yang berbeda tapi saling membutuhkan. Titik temu tersebut diperankan oleh mandor yang dalam hal ini dapat dikatakan bersifat ambivalen, karena bersifat dua muka yang justru mempertautkan dua sisi muka lainnya yang berbeda. Dapat dikatakan peran mandor mempunyai fungsi sosial yang merupakan sumber serta gagasan keseimbangan yang bersifat kompromistis.

Kata kunci : mandor, industri konstruksi, sektor informal

  • 1.    Pendahuluan

Rumah atau tempat tinggal adalah salah satu kebutuhan manusia yang utama. Dengan membuat rumah, manusia dapat mengurangi usaha dan kebutuhan dalam penyesuaian biologisnya dengan kondisi alam sekitarnya. Dapat dikatakan semua orang memerlukan tempat berlindung ini, baik berupa gubuk, bangunan semi-permanen, bangunan permanen, dari rumah yang sederhana sampai rumah mewah, di penginapan atau di hotel, menyewa atau milik pribadi dan sebagainya yang merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia. Oleh

Sunari Penjor: Journal of Anthropology

Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud

karena itu, mungkin hampir semua orang, terutama yang sudah berkeluarga, pernah membuat, memperbaiki, atau setidaknya pernah melihat bangunan rumah yang sedang dikerjakan oleh para pekerja di bidang jasa konstruksi. Para pekerja tersebut merupakan bagian penting dalam proses industri konstruksi. Dengan demikian, keberhasilan dari penyelesaian suatu bangunan rumah itu sebenarnya tidak terlepas dengan peran, fungsi dan kualitas para pekerja tersebut.

Dalam lingkup kerja di bidang jasa konstruksi ini seseorang yang disebut mandor memegang peran utama yang merupakan faktor penentu dalam

memberdayakan tenaga kerja. Peran mandor ini di Indonesia seringkali disebut sebagai sub-kontraktor tenaga kerja (Garna,1984), dan dalam lingkup industri konstruksi itu sendiri terdapat taraf diferensiasi yang menyangkut keterampilan dan juga struktur usaha. Bila berbicara tentang industri konstruksi, tentu ada hubungannya pula dengan masalah pengadaan kesempatan kerja, peningkatan mutu dan produktivitas dalam sektor informal yang telah menampilkan kenyataan sebagai sumber masukan penting bagi sektor industri konstruksi modern, terutama tenaga kerja tidak tetap (casual labour) dan bahan bangunan (building material). Selain itu menyangkut pula kemampuan usaha-usaha berskala kecil yang tumbuh secara mandiri dan juga menyediakan kesempatan kerja. Kondisi-kondisi tersebut memperlihatkan bahwa sektor informal banyak menyerap tenaga kerja dan menjadi sumber penghidupan orang banyak yang mampu memberi kualitas tertentu bagi orang yang bersangkutan, yaitu kualitas hidup yang dikehendakinya.

Menurut Garna (1984), walaupun kualitas manusia itu ditentukan oleh berbagai aspek, yaitu oleh apa yang dipikirkan, dirasakan, direncanakan, dilaksanakan dan dialami seseorang sebagai warga masyarakat, tetapi kemampuan dan peluang kerjalah yang menjadi indikator penting. Peluang kerja sudah jelas memberi kesempatan pada seseorang untuk membuktikan kemampuannya, dan dari peluang kerja itulah datang imbalan tertentu yang dapat berupa material atau moral yang akan dimanfaatkannya dalam membentuk kualitas diri yang pada akhirnya akan mempengaruhi pula kualitas bangunan yang dikerjakannya. Pengerjaan suatu bangunan tentunya menyangkut pula suatu proses kerja dari banyak orang yang terlibat dalam proses

pembangunannya. Tinjauan dalam lingkup kegiatan kerja yang menyangkut suatu proses kerja pada bidang jasa konstruksi itulah yang akan dikaji dalam tulisan ini, khususnya peran para mandor yang oleh Garna adalah orang-orang yang berperan sebagai middleman yang terlibat dalam berbagai kegiatan yang lebih produktif pada sektor informal dan merupakan kelas tersendiri yang disebut kaum petit bourgeois (kaum borjuis kecil).

  • 2.    Karakteristik dan Peran

    Mandor

Di dalam cerita-cerita Lenong Betawi, mandor atau mandur yang pada jaman ‘Kompeni’ disebut opzichter itu, yang biasanya dibantu pula oleh tukang-tukang kepruk-nya yang kejam, sering digambarkan sebagai orang berpenampilan tidak simpatik yang memerintah dan mengarahkan suatu pekerjaan kepada para pelayan atau para buruh yang bekerja pada majikannya. Bisa dikatakan mandor merupakan pegawai pertama yang bertugas sebagai pengawas kerja para buruh atau pekerja di bawahnya. Mandor merupakan orang kuat dalam hubungan sosial dan berpenghasilan relatif tinggi dibandingkan dengan para pekerja yang lebih banyak menanggung beban pekerjaan dengan ketidakpastian dan tereksploitasi.

Peran mandor ‘gaya tempo doeloe’ itu mempunyai wewenang dan kekuasaan yang tidak diragukan lagi sehingga memberinya kebebasan dari tugas-tugas rutin lainnya di tempat yang sama. Secara positif peran tersebut memberinya pula kesempatan yang lebih banyak untuk mengembangkan diri dengan menambah pengetahuan atau keterampilan tentang bidang lainnya, misalnya keahlian dalam proses produksi atau kepemimpinan. Pendek kata peran tersebut dapat menumbuhkan daya

kreativitasnya, yaitu suatu kemampuan yang menurut Supriadi (1994:7) merupakan kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata yang relatif berbeda dengan apa yang telah dipunyai sebelumnya. Suatu peran yang dapat menimbulkan rasa iri hati para buruh rendahan. Menjadi seorang mandor merupakan suatu impian bagi para buruh, karena dapat meningkatkan status sosial mereka dan memberi imbalan upah yang lebih besar, selain itu merupakan suatu pengakuan nyata atas pengetahuan dan keterampilan yang lebih tinggi dari para buruh biasa lainnya.

Akan tetapi sebaliknya, secara negatif dapat pula peran mandor itu membuat dia bertindak sewenang-wenang. Dengan seenaknya saja dia mengangkat atau memecat pekerja, menaikkan dan menurunkan pangkat atau gaji, kadang-kadang menyiksa bahkan “menghilangkan jejak” pekerja yang tidak mematuhi perintahnya. Singkatnya nasib hidup dan mati para buruh atau pekerja berada di dalam genggaman tangannya. Tindakan mandor semacam itu tentunya akan menimbulkan ketegangan, kebencian atau dendam. Mudah-mudahan kekejaman semacam itu hanya ada di dalam dongeng saja.

Peran mandor dan cara pengorganisasian untuk mengerahkan tenaga kerja ini rupanya sudah dikenal lama dalam masyarakat Indonesia. Misalnya saja di Jawa Barat, istilah mandor dapat berarti orang yang memimpin, suatu wilayah kekuasaan, suatu lingkup kerja dan pengawasan terhadap kerja orang lain. Dalam kegiatan pertanian istilah ngamandoran berarti seseorang yang bertindak mengawasi sejumlah orang yang sedang bekerja. Di wilayah perkebunan besar, mandor adalah pemimpin informal, pengawas dan juga mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan kerja para buruh

atau kelompok kerjanya. Di daerah pantai selatan Jawa Barat sampai kini banyak bagian wilayah desa yang disebut kamandoran, yaitu suatu kampung atau sejumlah kampung yang dipimpin oleh seorang mandor yang bertugas atas nama kepala umpi (kepala keluarga) atau seluruh warga kamandoran yang dipimpinnya itu untuk melestarikan kehidupan yang ada dan membawa warganya ke kehidupan yang sejahtera, baik material maupun spiritual (Garna,1984:5). Fungsi wilayah-wilayah seperti itu kini sudah melemah, dan perkembangannya kemudian peran mandor berfungsi kembali khususnya dalam bidang jasa konstruksi. Untuk menghadapi bermacam kebutuhan akan tenaga kerja maka berkembang pula sistem “kamandoran” dalam bentuk lain, yaitu mandor dengan kelompok kerjanya yang terdiri dari tukang ahli (bas), tukang dan laden.

Secara teoritis, seperti yang dikemukakan oleh Schneider (1986:172), status mandor dalam birokrasi industri sudah jelas. Mandor adalah bagian dari manajemen dan anggota organisasi lini. Friedman dan Sullivan memasukkan mandor ini ke dalam kelompok corporate supervision (Manning,1996:5). Akan tetapi, gambaran teoritis tersebut dalam industri konstruksi, dan mungkin juga industri lainnya, telah menjadi kabur. Walaupun ada persamaan dan perbedaan antara peran mandor “gaya tempo doeloe“ dengan mandor masa kini, tetapi rupanya mandor dalam birokrasi industri konstruksi menduduki posisi yang meragukan. Mungkin merupakan suatu peran yang unik, karena merupakan suatu posisi yang sulit dikategorikan sebagai majikan atau buruh.

Apabila dilihat dari sudut majikan, yaitu si pemberi perintah, pengambil keputusan atau pemberi kerja, mandor hanyalah salah satu atau bagian dari para buruh saja. Setidaknya hanya

sebagai kepala buruh atau kepala tukang saja. Jadi masih merupakan “orang bawahan“ yang tidak menentukan keputusan akhir atau mendapat bagian keuntungan. Paling tinggi hanya mempunyai perasaan bangga bahwa dia bukan buruh biasa. Sedangkan bila dilihat dari sudut para buruh, walaupun mandor bukan sebagian dari manajemen puncak, mandor merupakan “majikan kecil” yang dekat hubungannya dengan “majikan besar”. Jadi, walaupun “kecil” dan merupakan posisi yang kepepet tetapi masih majikan juga, dan tetap dianggap menduduki “posisi kunci” karena berperan pada titik temu antara majikan dengan buruh. Dalam hal ini mandor menjadi semacam perantara atau media yang menjembatani antara kepentingan majikan dan kepentingan buruh. Majikan memerlukan tenaga kerja, sedangkan buruh memerlukan kesempatan kerja, dan dua kepentingan tersebut dihubungkan melalui mandor. Dengan demikian mandor mempunyai peranan yang turut menentukan dalam pasaran tenaga kerja dan pengadaan tenaga kerja. Bisa dikatakan pula bahwa mandor mempunyai peranan strategis untuk pengembangan industri konstruksi dan pintu masuk bagi pengembangan tenaga kerja tidak tetap yang berupa peningkatan kesempatan kerja.

Mandor, bila ditinjau dari kedudukan dan keterkaitannya dengan majikan pemberi kerja dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu mandor formal dan mandor informal. Mandor formal ialah mandor yang memperoleh jabatan dari kontraktor dan pekerjaannya sebagai mandor diperoleh secara tetap atau sementara, dalam arti mereka akan mendapat upah secara tetap karena statusnya sebagai pegawai tetap dalam suatu perusahaan, dan dapat pula mendapat upah secara sementara karena statusnya bukan sebagai pegawai tetap melainkan berdasarkan perjanjian yang

dibuat antara pihak-pihak yang bersangkutan. Adapun mandor informal ialah seseorang yang memperoleh pengakuan sebagai mandor berdasarkan kemampuan, pengalaman kerja, pemilikan anak buah (para buruh, tukang) atau alasan lainnya sebagai akibat dari berbagai faktor tersebut. Mandor semacam ini mungkin dapat dimasukkan ke dalam kelompok petit bougeous yang oleh Jan Breman (Manning,1996:4) adalah mereka yang dengan usaha dan modal sendiri serta memiliki keterampilan melakukan suatu kegiatan tertentu. Status mandor semacam ini dapat saja diperoleh secara turun temurun. Misalnya bila ayahnya menjadi mandor, mungkin saja anaknya pun mengikuti jejaknya. Demikian pula hubungan kekerabatan atau sedaerah asal dapat pula menjadi motivasi seseorang menjadi mandor.

Hubungan kerja mandor dengan kelompok kerjanya bersifat informal dan langsung, dalam arti bahwa hubungan itu terbentuk berdasarkan hubungan ideal, saling kenal antara satu dengan lainnya, lebih personal dan tidak ada sangkut pautnya dengan situasi formal. Mandor secara lisan memerintahkan dan mengatur segala hal yang harus dikerjakan para buruh atau tukang bawahannya, demikian pula antara tukang dengan pembantunya. Hubungan antara mandor dan buruh hampir selalu lebih daripada sekedar masalah atasan dan bawahan, walaupun hal itu tidak menutup kemungkinan adanya rasa kesal atau kemarahan. Jika seorang mandor bersikap impersonal, kasar atau mungkin pula terlambat dan bahkan tidak membayar upah para buruh, maka tidak mengherankan jika sikap buruh kepadanya akan bersifat agresif dan bermusuhan. Hubungan mandor dan buruh di perusahaan besar dan formal mungkin berbeda, karena menyangkut kepentingan banyak orang dengan latar

belakang sosial-budaya yang berbeda pula.Walaupun sifatnya lebih kompleks, tapi hubungan informal seperti hubungan persahabatan atau hubungan bersenda-gurau masih bisa timbul antara orangorang yang tidak mempunyai hubungan sosial apa pun sebelumnya. Dalam situasi seperti itu hubungan-hubungan informal mempunyai aturan main sendiri pula.

Sedangkan hubungan kerja antara mandor dengan kontraktor atau majikan biasanya lebih bersifat formal. Hubungan formal ini dimaksudkan untuk mendapat kepastian atau saling percaya dari kedua belah pihak. Dalam kontrak kerja berskala kecil hal tersebut tidak menjadi masalah, karena kedua belah pihak umumnya telah berusaha saling mencocokan diri. Namun dalam hubungan kerja berskala besar dengan kontraktor besar yang mengembangkan real estate misalnya, kontrak kerja biasanya tertulis. Hubungan kerja dengan kontrak lisan akan lepas begitu saja apabila pekerjaan selesai dan pembayaran upah sudah diterima, dan mungkin hubungan itu pun dapat dilanjutkan lagi bila ada pekerjaan baru dan ada kecocokan diantara kedua belah pihak. Hubungan informal antara mandor dan majikan bisa saja terjadi, tapi biasanya hanya sebatas masalah kerja saja. Suatu hal yang umum terjadi bahwa hubungan itu lebih dekat bila dibandingan hubungan antara majikan dengan para buruh biasa. Walaupun mandor ini tidak satu ‘level’ dengan majikannya, tapi di lain pihak dia bisa menjadi kaki-tangan si majikan itu.

Bila suatu proyek konstruksi akan dimulai pengerjaannya, kontraktor melalui mandor mengerahkan sejumlah tenaga kerja. Untuk memperoleh tenaga kerja, banyak cara yang dilakukan oleh pak mandor kita ini. Mandor mengatur sedemikian rupa arus datang dan pergi tenaga kerja yang diperlukan, baik menghubungi secara langsung maupun

melalui perantara. Seringkali tenaga kerja yang dikelola itu berasal dari satu daerah, dari satu kampung atau masih ada hubungan kerabat dengannya. Misalnya di Bali, tenaga kerja ini dihimpun oleh si mandor dari kampungnya sendiri yang satu banjar dan masih ada hubungan kerabat. Atau bisa pula tenaga kerja yang didatangkan dari Jawa atau Lombok melalui perantara. Pemilihan tenaga kerja tidak berdasarkan pendidikan formal mereka, tetapi berdasarkan keterampilan dan keahlian kerja menggunakan alat kerja mereka masing-masing. Mandor mengetahui benar di daerah-daerah mana saja yang merupakan sumber tenaga kerja. Semua anggota kelompok kerja mempunyai ikatan terbatas dengan mandor berdasarkan kesepakatan lisan. Dengan demikian tenaga kerja itu semua merupakan tenaga kerja lepas tapi terikat, dalam arti walaupun tenaga kerja itu dapat saja beralih kerja di tempat lain namun berdasarkan kesepakatan sebelumnya, dan kondisi itu selalu dijaga untuk tetap membina hubungan baik satu sama lain.

Kesempatan untuk memperoleh pekerjaan dapat pula melalui hubungan yang bersifat “KKN”, yaitu mempunyai “hubungan baik“ dengan kontraktor, rekan mandor, tukang, kerabat dan sebagainya, atau dapat pula karena prestasi kerja yang lalu. Sedangkan bagi para buruh, yaitu para tukang dan laden, hubungan baik dengan mandor akan memudahkan untuk mendapat pekerjaan dan menjadi anak buah si mandor. Cara pengelolaan yang dilakukan mandor itu antara lain menempatkan tenaga kerja sesuai dengan keterampilan dan keahlian kerjanya. Selain itu melaksanakan pengawasan kerja, hasil kerja, pembagian upah dan menjaga hubungan baik antar anggota kelompok kerjanya. Guna mengikat dan menjaga hubungan baik dengan para buruh atau pekerja, mandor selain melakukan pengawasan kualitas

kerja dan pembinaan, kadangkala memberi para pekerja sebagian upah sebagai uang muka, atau pinjaman uang dan hal lainnya yang dianggap perlu untuk tetap mengikat mereka. Kadang-kadang seru juga jadinya bila salah satu dari mereka itu melanggar kesepakatan yang dicapai hingga menimbulkan ketegangan bahkan perkelahian.

Proses peredaran tenaga kerja bisa merupakan proses yang berkelanjutan karena ada kalanya seorang mandor mempunyai proyek konstruksi lebih dari satu. Begitu pula halnya dengan para buruh yang tidak terikat pada satu mandor saja, tetapi juga dengan mandor di tempat kerja lainnya yang dirasakan lebih memadai tingkat upahnya.

Para buruh atau tenaga kerja yang bertempat tinggal tidak jauh dari proyek konstruksi biasanya tinggal di rumahnya masing-masing. Sedangkan para buruh yang bertempat tinggal jauh atau datang dari desa yang berjauhan, ditempatkan dalam bedeng-bedeng yang sengaja dibangun untuk tempat tinggal mereka. Bedeng merupakan suatu bangunan sementara yang letaknya berdekatan di dalam wilayah proyek itu sendiri. Selain untuk tempat tinggal sementara, bedeng merupakan juga dapur umum, tempat pengorganisasian dan pendistribusian tenaga kerja. Ada juga sebagian dari buruh laki-laki yang membawa serta istri mereka tinggal bersama di bedeng tersebut. Bagi buruh laki-laki yang “nakal” ada kalanya pula mereka membawa perempuan “nakal” yang diakuinya sebagai istrinya atau saudara perempuannya untuk tinggal bersama sementara waktu.Tinggal bersama di bedeng memberi kesempatan kepada para buruh untuk saling berkomunikasi, mengembangkan dan mempertahankan jaringan kerjanya. Adanya pertukaran informasi dapat membuka peluang bagi mereka untuk kelanjutan kerja

selanjutnya, dan kelanjutan kerja itu mau tidak mau harus berurusan lagi dengan para mandor. Di sinilah letak posisi kunci mandor itu. Suatu posisi yang nampaknya kejepit tapi penting. Betapa pentingnya peranan mandor ini dalam bidang industri sehingga Schneider (1986:172-176) menyatakan bahwa barangkali tidak ada peran dalam industri yang mengalami perubahan lebih drastis karena perkembangan modern daripada peran mandor.

Peranan adalah suatu pengenal atau ciri kewajiban yang dimainkan oleh seorang individu dalam suatu organisasi sosial. Ruang lingkup peran dalam suatu jabatan menunjukkan suatu perluasan kewajiban yang dimainkan dalam suatu organisasi kerja. Semakin tinggi status pekerjaan, semakin banyak dan semakin spesifik elemen-elemen peranan yang ada di dalamnya. Begitu kata Weinstock seperti yang diungkapkan oleh Parker (1985:216). Beberapa peranan pekerjaan dikarenakan ada unsur jasa yang diberikan terhadap pihak-pihak lain yang berhubungan dengan pekerjaan tersebut, cenderung menyerap peranan dari pihak-pihak lain tersebut. Misalnya saja peran mandor. Dengan bertambah besarnya industri, mekanisasi, spesialisasi, rasionalisasi dan serikat kerja, semuanya secara bersama-sama telah mengubah peran mandor secara drastis, terutama sistem kerja mandor gaya tradisional tempo doeloe. Banyak fungsi peran mandor hilang yang diambil alih oleh para spesialis yang berpengetahuan lebih luas. Walaupun demikian, karena tanggungjawabnya pada produksi, peran mandor masih tetap memegang posisi kunci dalam manajemen. Tetapi fungsinya adalah untuk melaksanakan perintah manajemen dalam bidang yang ditentukan serta dibatasi dengan cermat. Selain itu kekuasaan mandor atas para buruhnya telah berkurang.

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa peran mandor menuntut keterampilan dan pengetahuan teknis yang tinggi serta mempunyai hubungan sosial tertentu. Maka dengan berkembangnya industri yang mengembangkan juga kebutuhan akan seperangkat keterampilan baru, dengan sendirinya peran mandor tergeser oleh para spesislis yang menjadi saingannya. Mandor dihadapkan pada situasi dan kondisi harus selalu berhubungan baik atau menyesuaikan diri dengan berbagai peran lain. Untuk itu mandor dituntut pula mengembangkan keterampilan baru dalam berhubungan dengan manajemen dan para buruh. Konsekuensi ini harus dihadapinya karena ada kecenderungan kuat untuk memilih seorang mandor yang mendapat pendidikan khusus yang lebih tinggi, baik dalam keterampilan teknis maupun sosial seiring dengan berkembangnya teknologi dan ilmu pengetahuan.

Keterampilan teknis diperlukan agar mandor masih “punya muka” dihadapan para buruh di bawahnya, dalam arti peran mandor masih mempunyai status tertentu baik di kalangan buruh maupun majemen. Demikian pula keterampilan dalam kehidupan sosial yang kini harus berhadapan dengan serikat buruh atau serikat kerja yang dapat melunturkan kekuasaan dan wewenangnya. Tambahan lagi kini mandor jaman modern ini tidak dapat memperoleh imbalan dan kepuasan seperti mandor gaya lama. Jadi dia harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial barunya itu.

Manusia memang harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Penyesuaian ini adalah suatu proses untuk memenuhi beberapa syarat dasar tertentu untuk dapat melangsungkan kehidupannya dalam lingkungan tempatnya hidup. Salah satu syarat dasar itu adalah syarat dasar sosial,

yaitu membutuhkan berhubungan dengan orang lain untuk tidak merasa terkucil dan dapat belajar mengenai kebudayaannya, sehingga secara keseluruhan, manusia, kebudayaan dan lingkungannya merupakan suatu kesatuan sistem yang berada dalam hubungan saling mempengaruhi (Suparlan,1980:242-245). Akan tetapi, dalam proses penyesuaian itu dapat pula berjalan tidak lancar seperti yang diharapkan. Dalam hidup manusia kadang-kadang terdapat gesekan-gesekan atau tekanan-tekanan yang dapat menimbulkan ketegangan-ketegangan. Ketegangan-ketegangan yang dihadapi peran mandor rupanya ditandai oleh ketegangan-ketegangan yang cukup berat yang muncul dari kondisi-kondisi serta kecenderungan yang terdapat dalam industri.

Menurut Schneider (1986:176180) sumber utama ketegangan timbul dari fakta bahwa mandor semakin terjepit diantara kelompok-kelompok yang sangat kuat, yang mempunyai kepentingan khusus dan berada dalam konflik terhadap satu sama lain, yaitu dengan manajemen, para spesialis dan serikat buruh. Dikatakannya bahwa mandor adalah orang yang berada di tengah, atau orang marginal dalam industri. Dengan manajemen, mandor merasa mendapat tekanan untuk meningkatkan produksi dan mengurangi biaya dengan membuat beberapa keputusan, tetapi pendapatnya jarang diminta dalam membuat keputusan itu. Dengan para spesialis, mandor sering dituduh membuat kesalahan dengan mengadakan perubahan-perubahan yang mengakibatkan kepentingan pihak buruh dirugikan. Sedangkan dengan serikat buruh, kekuasaan dan wewenang mandor tidak berjalan semestinya hingga terjadi konflik antara pihak menajemen dengan pihak buruh. Dalam perselisihan ini, mandor terjepit diantara dua kekuatan

yang berkuasa dan berselisih. Bagi para buruh dia adalah lambang manajemen, bagi manajemen dia adalah pejabat rendahan yang mudah diganti. Pokoknya payah.

Sumber ketegangan kedua adalah imbalan yang tidak sesuai dengan perannya sebagai mandor. Pendapatannya tidak jauh lebih tinggi daripada pendapatan buruh terampil. Seorang buruh masih mendapat semacam jaminan dalam kerja, sedangkan mandor bila tidak bisa menunjukkan kemampuannya, yaitu kemampuan mengikuti perubahan teknologi, kemampuan bergaul dengan para buruh, dan kemampuan menjalin hubungan baik dengan atasan, maka setiap saat dia bisa saja dipecat dari pekerjaannya.

Kondisi serta ketegangan-ketegangan peran mandor ini, lanjut Schneider, tercermin dalam pemikiran mandor yang berupa pola-pola ideologi mandor. Pertama, sekelompok mandor berusaha memecahkan dilema posisi marginal mereka dengan lebih memperkuat kesetiaan mereka kepada manajemen dan identifikasi mereka dengan manajemen. Kedua, kelompok mandor lainnya karena latar belakang sosial dan keyakinan pribadi mengidentifikasikan diri dengan buruh. Ketiga, sebagian besar mandor berada diantara kedua ekstrim ini dan sering terjadi ambivalensi perasaan. Mandor tipe ini pada dasarnya tidak merasa identik dengan manajemen, tetapi lebih tinggi dari para buruh dan mendapat pengakuan dari atasan. Kepentingan mereka berbeda dengan kepentingan manajemen maupun kepentingan buruh. Menurut mereka, manajemen dan para buruh hanya memikirkan diri sendiri, bukan memikirkan kebaikan industri. Mereka menerima kehadiran serikat buruh, seperti halnya mereka menerima kehadiran manajemen. Keduanya merupakan kekuatan, dan karenanya

mandor harus menyesuaikan diri sehingga sama sekali tidak menimbulkan rasa simpati atau rasa permusuhan terhadap keduanya.

Demikianlah, berdasarkan uraian-uraian di atas maka dapat dilihat bahwa peran mandor dalam bidang industri sangat penting dan menentukan. Paling tidak, peran mandor ini telah turut membantu kelancaran perputaran roda ekonomi di banyak tempat di dunia, termasuk Indonesia. Dewasa ini Indonesia masih terkena wabah krisis berkepanjangan, walaupun demikian pasaran konstruksi masih menjanjikan selaras dengan meningkatnya kebutuhan akan tempat tinggal. Keadaan seperti itu menyebabkan terjadinya polarisasi ke dalam sektor kehidupan modern dan juga tradisional. Hal tersebut dimungkinkan karena pusat atau sumber tenaga kerja konstruksi banyak berasal dari daerah pedesaan atau semi perkotaan. Tenaga kerja umumnya kurang terdidik secara formal, sedangkan sumber tenaga kerja sebenarnya korelatif pula dengan keterampilan khusus. Dalam hal ini pihak pemerintah sudah pula mengadakan berbagai usaha guna membina industri konstruksi termasuk tenaga kerja tersebut, namun sejauh itu dirasakan masih kurang memadai. Faktor “D” (duit) atau pemutaran modal lagi rupanya yang menjadi masalah utama.

Sehubungan dengan hal tersebut, sangat diperlukan identifikasi akan kebutuhan pengembangan tenaga kerja industri konstruksi, terutama yang bergerak di sektor informal, melalui berbagai jalur program dan kegiatan. Adapun masalah-masalah pada tingkat proyek konstruksi adalah bahwa para tukang atau tenaga kerja itu memerlukan kesinambungan kerja, mandor memerlukan pendidikan kepemimpinan dan keadministrasian untuk mengorganisasikan kelompoknya, kontraktor memerlukan aspek

pengelolaan, dan para pemilik proyek masih memerlukan kinerja teknis yang berkualitas.

  • 3.    Kesimpulan

Apa yang telah diuraikan tersebut di atas sebenarnya masih belum cukup untuk memahami siapa dan bagaimana sistem mandor itu berlaku di Indonesia. Hal itu disebabkan data belum cukup tersedia walaupun sistem itu memiliki fungsi penting dalam industri konstruksi dan berakar dalam kehidupan masyarakat. Namun secara singkat dapat disimpulkan bahwa peran mandor dalam bidang industri, khususnya industri konstruksi, mempunyai kedudukan penting. Merupakan posisi kunci yang menjadi perantara hubungan majikan dengan para buruh. Menjadi titik temu antara dua kepentingan yang berbeda tapi saling membutuhkan. Titik temu tersebut diperankan oleh mandor yang dalam hal ini dapat dikatakan bersifat ambivalen, karena bersifat dua muka yang justru mempertautkan dua sisi muka lainnya yang berbeda.

Hubungan majikan-mandor-buruh ini memberi pengertian bahwa kedua kategori (majikan – buruh) sebenarnya saling mengisi. Adanya pertentangan dalam dua kategori itu merupakan keharusan untuk membentuk suatu totalitas atau kesatuan, dan totalitas tersebut dipertautkan oleh mandor yang berfungsi sebagai perantara, penengah atau pengimbang antara majikan dan buruh. Di dalam proses penyatuan tersebut, ada kalanya terjadi perpindahan kategori ke dalam lingkungan yang berlawanan. Seperti halnya peran mandor, dari sudut pandang buruh dia (mandor, walaupun “kecil“) termasuk majikan, tapi sebaliknya dari sudut pandang majikan dia adalah bagian dari buruh juga, jadi mandor adalah majikan sekaligus buruh. Dapat dikatakan peran

mandor mempunyai fungsi sosial yang merupakan sumber serta gagasan keseimbangan      yang      bersifat

kompromistis. ***

Daftar Pustaka

Garna, Judistira. 1984. Kualitas Manusia dalam Industri Konstruksi, Bandung : Magaplan Development Services.

Manning, Chris et al. 1996. Struktur Pekerjaan, Sektor Informal dan Kemiskinan di Kota, Yogyakarta : Pusat Penelitian Kependudukan UGM.

Parker, S.R. 1985. Pekerjaan, Perubahan dan Konsekuensi-Konsekuensinya, dalam      Sosiologi      Industri,

S.R.Parker et al, Jakarta : Bina Aksara.

Schneider, Eugene V. 1986. Sosiologi Industri,  New Delhi : Aksara

Persada-Tata McGraw Hill Pub.Co. Ltd.

Sjahrir, Kartini. 1996. Kualitas Manusia Indonesia Masa Depan : Suatu Studi Antropologis Terhadap Sejumlah Buruh Bangunan di Jakarta, dalam Membangun Martabat Manusia, Sofian Effendi et al, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Suparlan, Parsudi. 1980. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungannya : Perspektif Antropologi  Budaya,

Jakarta : Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia IX 2-3.

Supriadi, Dedi.   1994. Kreativitas,

Kebudayaan  & Perkembangan

Iptek, Bandung : Alfabeta.