Implementasi “One Student Saves One Family (Ossof)” Sebagai Strategi dalam Menanggulangi Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak

Ni Luh Arjani

Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud [email protected]

Abstrak

Dewasa ini fenomena kekerasan terhadap perempuan dan anak di masyarakat tampaknya semakin marak dan mengkhawatirkan karena kasus ini hampir setiap tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 2014 di Bali tercatat 186 kasus kekerasan terhadap anak dan meningkat menjadi 197 kasus di tahun 2015, sementara kasus kekerasan terhadap perempuan yang tercatat sebagai kasus KDRT di Kota Denpasar pada tahun 2015 mencapai 78 kasus, dan meningkat menjadi 82 kasus pada tahun 2016 (P2TP2A Provinsi Bali dan Kota Denpasar, 2014-2016). Ada berbagai macam bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di masyarakat di antaranya: (1) kekerasan fisik (2) kekerasan seksual (3) kekerasan Psikis; (4) kekerasan ekonomi. Pada kelompok muda, kekerasan dapat terjadi dalam relasi berpacaran, praktik perdagangan anak perempuan, sampai dengan bentuk-bentuk tradisi yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan. ( https://act.oxfam.). Hal ini beralasan, karena ternyata kekerasan merupakan manifestasi perilaku emosional manusia, ketimbang perilaku rasionalnya. Oleh sebab itu, menjadi persoalan bagi kita semua adalah, sejauhmana kita semua ikut merasa bertanggungjawab untuk mencari solusi pemecahan masalah ini. Untuk kepentingan ini, kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mendorong perguruan tinggi untuk ikut berperan dalam menciptakan ketahanan keluarga melalui program “one student saves one family (OSSOF)”. Program OSSOF merupakan program yang khusus ditujukan untuk perguruan tinggi yang mengintegrasikan kebutuhan keluarga dan anggota keluarganya (laki-laki, perempuan, orang tua, anak) ke dalam kegiatan yang memberikan pengalaman praktis mahasiswa untuk langsung belajar dan bekerja bersama masyarakat serta dapat berlanjut pada kegiatan tri dharma perguruan tinggi yakni: pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Program OSSOF berbentuk partisipasi aktif mahasiswa dalam menangani berbagai persoalan yang dihadapi oleh keluarga yang ada di masyarakat. Peran utama mahasiswa adalah sebagai fasilitator dalam melakukan pendataan keluarga, menyusun rencana kegiatan dan memberikan penyuluhan dan edukasi secara partisipatif yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kepekaan serta perilaku kepedulian terhadap permasalahan yang dialami oleh keluarga terutama yang ada di daerah pedesaan (KPPA,2015,11). Target program ini adalah individu (perempuan), keluarga (orangtua, pasangan suami-istri), dan komunitas (opinion leader, kelompok, warga komunitas). Strategi yang digunakan melalui pendekatan partisipatif (subject-to-subject), berorientasi kebutuhan, membangun empathy, dan berbasis personal atau komunitas. Salah satu strateginya, menjadikan mahasiswa sebagai sahabat yang membantu keluarga serta menggerakan komunitas dalam mengatasi kasus kekerasan, perlindungan terhadap perempuan dan anak. Selain itu, mahasiswa juga menjadi konselor keluarga di daerah-

Sunari Penjor: Journal of Anthropology

Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud

daerah pelosok dalam bentuk Kuliah Kerja Profesi (KKP) atau Kuliah Kerja Nyata (KKN).

Kata kunci: One Student Saves one family, kekerasan, perempuan dan anak.

  • 1.    Pendahuluan

Pada dasarnya tujuan seseorang membina rumah tangga adalah untuk mencapai kesejahteraan lahir dan bathin, namun tujuan ini seringkali ternoda oleh persoalan rumah tangga terutama karena terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yang kadangkala berujung pada perceraian. Kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di masyarakat pada umumnya lebih sering menimpa perempuan dan anak-anak. Ini ditengarai karena dalam lingkup keluarga mereka ini tergolong individu yang menduduki posisi yang lemah baik secara ekonomi, sosial maupun budaya. Kondisi ini merupakan implikasi dari berkembangnya ideology gender dalam masyarakat yang menempatkan perempuan pada posisi di ranah domestik dan laki-laki di ranah publik yang pada gilirannya akan membatasi akses peremnpuan ke berbagai aspek kehidupan seperti ke pekerjaan nafkah, pendidikan, dan lain-lain. Ketika perempuan maupun anak-anak tidak memiliki sumber daya pribadi baik berupa penghasilan maupun pendidikan maka mereka tidak akan mempunyai otoritas dan kekuasaan dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat yang lebih luas. Dalam posisi seperti ini maka mereka menjadi rentan akan perlakuan kekerasan baik di rumah tangga maupun di luar rumah tangga.

Dewasa ini fenomena kekerasan terhadap perempuan dan anak di masyarakat tampaknya semakin marak dan mengkhawatirkan karena kasus ini hampir setiap tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 2014 di Bali tercatat 186 kasus kekerasan terhadap

anak dan meningkat menjadi 197 kasus di tahun 2015, sementara kasus kekerasan terhadap perempuan yang tercatat sebagai kasus KDRT di Kota Denpasar pada tahun 2015 mencapai 78 kasus, dan meningkat menjadi 82 kasus pada tahun 2016 (P2TP2A Provinsi Bali dan Kota Denpasar, 2014-2016).

Kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan salah satu pelanggaran Hak Asasi Manusia yang paling umum di seluruh dunia. Di Indonesia, setiap hari sebanyak 12 perempuan telah mengalami kekerasan baik secara seksual, fisik, psikologis, maupun ekonomis. Menurut data Komisi Nasional Perempuan, pada tahun 2014 kekerasan terhadap perempuan di ranah personal mencapai 8.626 kasus dengan 3 kasus terbanyak meliputi kekerasan terhadap istri (5.102 kasus atau 59%), kekerasan dalam pacaran (1.748 kasus atau 21%), kekerasan terhadap anak perempuan (843 kasus atau 10%). (https://www.google.com). Sementara itu, dari hasil Survey Biro Pusat Statistik (BPS) tentang Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2016 ditemukan bahwa 1 dari 3 perempuan usia 15–64 tahun mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan dan selain pasangan selama hidupnya, dan sekitar 1 dari 10 perempuan usia 15–64 tahun mengalaminya dalam 12 bulan terakhir. Kekerasan fisik dan/atau seksual cenderung lebih tinggi dialami perempuan yang tinggal di daerah perkotaan (36,3%) dibandingkan yang tinggal di daerah pedesaan (29,8%). Kekerasan fisik dan/atau seksual lebih banyak dialami perempuan usia 15–64 tahun dengan latar belakang pendidikan

SMA ke atas (39,4%) dan status pekerjaan tidak bekerja mencapai 35,1% (https://www.bps.go.id/brs/view/id/1375) . Kondisi ini membuktikan bahwa perilaku kekerasan terhadap perempuan dan anak masih tetap menjadi hal yang patut mendapat penanganan yang serius dari semua elemen masyarakat baik lembaga swadaya masyarakat. maupun pihak pemerintah termasuk lembaga perguruan tinggi melalui penerapan strategi “one student save one family”. Pelibatan mahasiswa sebagai generasi muda dalam upaya menanggulangi terjadinya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak diharapkan dapat membantu menciptakan ketahanan keluarga di masyarakat Bali.

  • 2.    “ONE STUDENT SAVES ONE FAMILY (OSSOF)”   SEBAGAI

STRATEGI         DALAM

MENANGGULANGI

KEKERASAN     TERHADAP

PEREMPUAN DAN ANAK

Berbicara tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak tampaknya tidak akan pernah ada habisnya. Sepanjang budaya patriarkhi masih kuat tertanam di masyarakat maka selama itu pula akan terjadi kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Disadari atau tidak budaya patriarkhi telah mengkonstruksi posisi perempuan sebagai mahluk yang subordinat dan tidak mempunyai kekuasaan. Dominasi kekuasaan ada pada pihak laki-laki. Artinya bahwa kekerasan terhadap perempuan telah tumbuh sejalan dengan pertumbuhan kebudayaan manusia.

Kekerasan terhadap perempuan menurut perserikatan bangsa-bangsa dalam deklarasi penghapusan kekerasan terhadap perempuan pasal 1 kekerasan terhadap perempuan adalah segala bentuk tindakan kekerasan yang berbasis gender yang mengakibatkan atau akan

mengakibatkan rasa sakit atau penderitaan terhadap perempuan baik secara fisik, seksual, psikologis, termasuk ancaman, pembatasan kebebasan, paksaan, baik yang terjadi di area publik atau domestik. Sementara itu, menurut Herkutanto, kekerasan terhadap perempuan adalah tindakan atau sikap yang dilakukan dengan tujuan tertentu sehingga dapat merugikan perempuan baik secara fisik maupun secara psikis. Hal penting lainnya ialah bahwa suatu kejadian yang bersifat kebetulan (eccidental) tidak dikategorikan sebagai kekerasan walaupun menimbulkan kerugian pada perempuan (http://lsfciputat.blogspot.co.id, diunduh 3 Mei 2017).

Sementara menurut UU RI No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologi, atau penelantaran rumah tangga termasuk juga hal-hal yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak percaya, atau penderitaan psikis

berat pada seseorang (KPPA, 2004).

Mengacu pada realitas terkait kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak seperti data yang telah terpapar tersebut di atas, maka berbagai upaya pun telah diambil oleh pemerintah beserta lembaga-lembaga terkait. Untuk membantu dalam penanganan kasus KDRT pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah membentuk lembaga Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) di setiap Provinsi/ Kabupaten dan Kota yang ada di Indonesia. Disamping itu, secara

normatif pemerintah juga sudah mengesahkan Undang-undang no. 23 tahun 2004 tentang Pencegahan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT). UU ini telah disosialisasikan ke semua lapisan masyarakat oleh lembaga terkait sejak mulai diundangkan.

Selain penerbitan UU ini, berbagai dasar hukum yang terkait pencegahan KDRT juga sudah disahkan seperti Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-undang No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 23/2002 tentang perlindungan anak, Instruksi Presiden Mo. 5 tahun 2014 tentang gerakan nasional anti kejahatan seksual terhadap anak, dan PERDA Perlindungn Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Tk Provinsi /Kab/Kota.

Segala upaya yang telah dilakukan tersebut juga dilatarbelakangi komitmen dunia terhadap kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan yang dinyatakan dalam tujuan ketiga dari delapan tujuan Millenium Development Goals (MDGs), serta tujuan kelima Sustainable Development Goals (SDGs). Pencapaian delapan tujuan MDGs mengacu pada Konvensi Anti-Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) yang telah disepakati oleh Negara Pihak serta Deklarasi Beijing dan Landasan Aksi (1995) menghasilkan sejumlah rekomendasi yang harus dilaksanakan oleh negara-negara anggota PBB dalam upaya meningkatkan akses dan kontrol kaum perempuan atas sumber daya ekonomi, politik, sosial dan budaya.

Adanya berbagai landasan yuridis seperti tersebut di atas tampaknya belum mampu menekan terjadinya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, hal ini terbukti dengan semakin

maraknya perilaku kekerasan yang terjadi di masyarakat seperti ditunjukkan oleh data tersebut di atas. Data yang tercatat hanyalah kasus yang tampak dipermukaan, sementara kasus yang tidak tercatat kecenderungannya masih cukup banyak, ibaratnya seperti gunung es yang hanya tampak dipermukaan sementara di bawah masih banyak yang tidak kelihatan karena tidak dilaporkan. Enggannya masyarakat melaporkan kasus KDRT ke lembaga yang berkopeten dikarenakan masih adanya anggapan bahwa kasus KDRT merupakan peristiwa yang sifatnya pribadi sehingga tidak perlu diekspus ke ranah publik. Masih kuatnya Pandangan bahwa melaporkan kasus KDRT berarti membuka aib keluarga sendiri yang dalam istilah Bali sama seperti “mekecuh marep menek” (berludah menghadap ke atas akhirnya yang kena kita sendiri).

Ada berbagai macam bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di masyarakat di antaranya: (1) kekerasan fisik yaitu perbuatan yg mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat, ini dilakukan melalui pemukulan dan penganiayaan lainnya; (2) kekerasan seksual yakni Pemaksaan hubungan seksual yg dilakukan seseorang thd orang lain; Ini dapat terjadi karena perilaku perkosaan, pelecehan seksual, pemaksaan kehamilan, pemaksaan penggunaan kontrasepsi, dan pemaksaan aborsi; (3) kekerasan Psikis yakni perbuatan yg mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri dan hilangnya kemampuan utk bertindak, rasa tdk berdaya dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Ini bias terjadi dalam bentuk perilaku diskriminatif berbasis gender, pemaksaan perkawinan, bentakan, penghinaan, dan lain-lain; (4) kekerasan ekonomi adalah kekerasan yg mengakibatkan kerugian ekonomi bagi orang lain, ini bias dalam bentuk perilaku perampasan penghasilan.

Pada kelompok muda, kekerasan dapat terjadi dalam relasi berpacaran, praktik perdagangan anak perempuan, sampai dengan bentuk-bentuk tradisi yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan. ( https://act.oxfam.). Hal ini beralasan, karena ternyata kekerasan merupakan manifestasi perilaku emosional manusia, ketimbang perilaku rasionalnya. Oleh sebab itu, menjadi persoalan bagi kita semua adalah, sejauhmana kita semua ikut merasa bertanggungjawab untuk mencari solusi pemecahan masalah ini. (http://fhukum.unpatti.ac.id).

Untuk kepentingan ini, kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mendorong perguruan tinggi untuk ikut berperan dalam menciptakan ketahanan keluarga melalui program “one student saves one family (OSSOF)”. Program OSSOF merupakan program yang khusus ditujukan untuk perguruan tinggi yang mengintegrasikan kebutuhan keluarga dan anggota keluarganya (laki-laki, perempuan, orang tua, anak) ke dalam kegiatan yang memberikan pengalaman praktis mahasiswa untuk langsung belajar dan bekerja bersama masyarakat serta dapat berlanjut pada kegiatan tri dharma perguruan tinggi yakni: pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Program OSSOF berbentuk partisipasi aktif mahasiswa dalam menangani berbagai persoalan yang dihadapi oleh keluarga yang ada di masyarakat. Peran utama mahasiswa adalah sebagai fasilitator dalam melakukan pendataan keluarga, menyusun rencana kegiatan dan memberikan penyuluhan dan edukasi secara partisipatif yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kepekaan serta perilaku kepedulian terhadap permasalahan yang dialami oleh keluarga terutama yang ada di daerah pedesaan (KPPA,2015,11).

. Program ini penting untuk membantu meminimalisir ancaman tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak yang dinilai mengkhawatirkan terutama di daerah-daerah pedesaan. Hal ini dapat dilakukan melaui penyuluhan dan edukasi bagi keluarga-keluarga yang berada di daerah pelosok yang akan dilakukan oleh para mahasiswa sebagai salah satu bentuk partisipasi melibatkan anak muda sebagai penggerak bangsa. Konsep Program One Student Saves One Family (OSSOF) merupakan penyuluhan dan edukasi yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan perilaku (pengetahuan, sikap, dan keterampilan) untuk melindungi perempuan dan anak dari ancaman KDRT. Hal ini penting mengingat bahwa isu terkait ketahanan keluarga yang tergolong strategis diantaranya adalah berkaitan dengan perceraian, pernikahan usia anak, kerentanan terhadap media social, ekonomi/kemiskinan dan kekerasan dalam rumah tangga (KPP, 2015:1). Isu-isu seperti inilah yang memerlukan penanganan serius untuk menjaga ketahanan keluarga dengan melibatkan partisipasi mahasiswa. Dalam konteks ini,satu mahasiswa akan langsung mendampingi satu keluarga (one student saves one family).

Target program ini adalah individu (perempuan), keluarga (orangtua, pasangan suami-istri), dan komunitas (opinion leader, kelompok, warga komunitas). Strategi yang digunakan melalui pendekatan partisipatif (subject-to-subject), berorientasi kebutuhan, membangun empathy, dan berbasis personal atau komunitas. Salah satu strateginya, menjadikan mahasiswa sebagai sahabat yang membantu keluarga serta menggerakan komunitas dalam mengatasi kasus kekerasan, perlindungan terhadap perempuan dan anak. Selain itu, mahasiswa juga menjadi konselor

keluarga di daerah-daerah pelosok dalam bentuk Kuliah Kerja Profesi (KKP) atau Kuliah    Kerja    Nyata    (KKN)

(http://ham.go.id/program-one-student-save-one-family-berperspektif-ham).

Pada setiap akhir perkuliahan mahasiswa wajib melaksanakan kuliah kerja nyata (KKN) dengan maksud agar mereka mampu menerapkan teori yang sudah diperoleh selama dibangku kuliah. Sebelum      melaksanakan KKN,

mahasiswa diberikan pembekalan tentang berbagai materi yang terkait dengan berbagai persoalan di lokasi KKN. Salah satu materi yang diberikan adalah tentang one student saves one family. Dalam konteks ini mahasiswa diberikan pelajaran bagaimana melakukan strategi OSSOF. Dengan bekal pengetahuan yang diperoleh ketika pembekalan, selanjutnya mereka menyusun program kerja yang terkait OSSOF. Tahapan perencanaan program OSSOF diawali dengan melakukan identifikasi persoalan yang dihadapi oleh keluarga yang akan didampingi, Selanjutnya jika persoalan sudah di identifikasi, mahasiswa memfasilitasi peningkatan kapasitas kader pembangunan baik laji-laki maupun perempuan seperti kader posyandu, kader paud, dasawisma tentang pengetahuan, pemahaman konsep gender dan relasi kuasa, ketahanan keluarga dan keterampilan melakukan pendataan ketahanan keluarga. Dalam konteks ini hal yang paling penting adalah penekanan pada upaya penanggulangan masalah KDRT.

Secara umum permasalahan KDRT sering dipicu oleh dua faktor utama yakni:   faktor internal dan

eksternal. Secara internal, KDRT dapat terjadi sebagai akibat dari semakin lemahnya kemampuan adaptasi setiap anggota keluarga di antara sesamanya, sehingga setiap anggota keluarga yang memiliki kekuasaan dan kekuatan cenderung bertindak deterministik dan

eksploitatif terhadap anggota keluarga yang lemah. Secara eksternal, KDRT muncul sebagai akibat dari intervensi lingkungan di luar keluarga yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi sikap anggota keluarga, terutama orangtua atau kepala keluarga, yang terwujud dalam perlakuan eksploitatif terhadap anggota keluarga yang sering kali ditampakkan dalam pemberian hukuman fisik dan psikis yang traumatik baik kepada anaknya, maupun pasangannya.

Fenomena KDRT ternyata bukan sekedar masalah ketimpangan gender, namun hal tersebut acapkali terjadi karena: kurang komunikasi, ketidakharmonisan, alasan ekonomi, ketidakmampuan mengendalikan emosi, ketidakmampuan mencari solusi masalah rumah tangga apapun, dan juga kondisi mabuk karena minuman keras dan narkoba (Wahab, dikutif Arjani dan Wiasti, 2013). Dari hasil kajian yang dilakukan oleh Arjani dan Wiasti (2013) menunjukkan bahwa faktor-faktor yang memicu terjadinya KDRT khususnya yang menimpa kaum perempuan adalah: pertama, perselingkuhan suami dengan perempuan lain; kedua, ketergantungan secara ekonomi istri dengan suami: ketiga, campur tangan keluarga, keempat, pemahaman yang salah terhadap mitos dan pemahaman ajaran agama, kelima, kebiasaan suami yang temperamental: keenam, ketimpangan gender (relasi kuasa) dalam keluarga: Ketujuh, kemiskinan baik kemiskinan ekonomi maupun pendidikan (Arjani dan Wiasti, 2014).

Ada kecenderungan bahwa persoalan seperti tersebut di atas pada umumnya juga terjadi pada keluarga di daerah lain di Bali baik di perkotaan maupun di pedesaan. Oleh karena itu hal-hal yang seperti inilah yang perlu ditanggulangi melalui penerapan strategi

“one student saves one family” sehingga kasus KDRT dapat diminimalisir.

  • 3.    Penutup

Terjadinya ketegangan dan konflik, baik antara suami dan istri, maupun antara orang tua dengan anak merupakan hal yang wajar dalam sebuah keluarga atau rumah tangga. Tidak ada rumah tangga yang berjalan tanpa konflik atau ketegangan, karena itu konflik dalam rumah tangga bukanlah sesuatu yang harus ditakuti karena hampir semua keluarga pernah mengalaminya. Menjadi sangat penting adalah bagaimana cara mengatasi     dan     menyelesaikan

permasalahan atau konflik tersebut. One student saves one family (OSSOF) merupakan satu strategi yang dapat diterapkan dalam mengatasi berbagai konflik yang terjadi dalam rumah tangga. Dalam hal ini peranan perguruan tinggi terutama melalui partisipasi mahasiswa untuk mendampingi satu keluarga memfasilitasi penyuluhan dan edukasi untuk peningkatan pemahaman dan perbaikan perilaku (sikap, pengetahuan dan keterampilan) keluarga.

Pelibatan satu mahasiswa untuk satu keluarga dalam menangani berbagai persoalan dalam keluarga akan dapat membantu mengurangi ketegangan-ketegangan yang terjadi sehingga pada gilirannya kasus KDRT dapat ditekan.

Daftar Pustaka

Arjani dan Wiasti, 2013. Kajian Kekerasan Terhadap Perempuan di Kabupaten

Badung, Denpasar, Pusat Studi Wanita dan Perlindungan Anak

UNUD.

Arjani dan Wiasti, 2014. Kajian Kekerasan Terhadap Perempuan dan anak di

Kota Denpasar : Denpasar, Pusat Studi Wanita dan Perlindungan

Anak UNUD.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, 2015.

Pedoman     Pelaksanaan

Program One Student Saves One Family (OSSOF); Jakarta. KPPA.

Wahab, Rochmat. 2000. Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Perspektif Psikologi dan Edukatif.

http://staff.uny.ac.id/site/default/files/pen elitian

https://www.google.com

https://www.bps.go.id/brs/view/id/1375)

http://lsfciputat.blogspot.co.id,

https://act.oxfam

http://fhukum.unpatti.ac.id)