“Mekare-Kare” Wujud Ritualitas Keagamaan Desa Adat Tenganan Pegringsingan Sebagai Obyek Wisata dan

Dampaknya Terhadap Kehidupan Masyarakat, Karangasem, Bali

Ketut Darmana

Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud [email protected]

Abstrak

Tradisi ritus mekare-mekare diselenggarakan sekitar bulan Juni atau Juli yang berlandaskan pada awig-awig kalender kegiatan yang diberlakukan di desa setempat. Kegiatan ini rutin dilaksanakan setiap tahun sekali yang dirangkaikan dengan upacara ngusaba sebagai upacara korban suci tulus iklas (yadnya) kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Mahaesa) atas rahmat dan waranugrahaNya yang diberikan kepada seluruh ciptaannya di alam semesta ini. Ritual mekare-mekare dalam praktik tindakan agama sebagaimana diunkapkan oleh peneliti religi (Tylor, 1893; Marett, 1891; Lang, 1898; Frazer, 1910; Otto (1917); dan Evans-Pritchard (1984 mempunyai kemiripan dengan praktik religio-magic warisan kepercayaan masyarakat di masa lalu. Mengingat ritual ini masih berlakukan praktik-praktik ritual pemujaan terhadap hal-hal gaib, jiwa/roh nenek maoyang, dan kekuatan-kekuatan adikodrati yang tumbuh di masa lalu. Hingga kini, kekuatan-kekuatan adikodrati ini dianggap masih hidup dan berpengaruh dalam kehidupan ini. Fokus masalah pembahasan tulis, tidak menjelasan dan menjabarkan tentang ritus mekare-mekare tersebut lebih mendalam yang tergolong eksotik (unik) dalam kehidupan komunitas Desa Adat Tenganan Pegrinsingan. Namun, dalam konteks ini justru ritual itu menarik perhatian bagi masyarakat yang ada di luar komunitas tersebut. Oleh karena itu, ada dua pokok rumusan masalah yang dijabarkan dalam tulisan ini sebagai berikut: (1) Bagaimana prosesi ritus mekare-mekare sebagai obyek wasita manarik dikunjungi oleh wisatawan nusantara maupun wisatawan luar negeri (asing), dan (1) Bagaimana dampaknya terhadap komunitas kehidupan masyarakat setempat. Kedua masalah ini dikaji dengan pendekatan partial equivalence structure” (McKean, 1976: 139-145).

Kata kunci: ritus “mekare-mekare”, obyek dan dampak wisata, Tenganan Pegrinsingan

  • I.    Pendahuluan.

Desa Adat Tenganan Pegeringsing, masih tergolong salah satu desa kuno di Bali yang berada di wilayah kabupaten Dati II Karangasem. Kemudian digolongkan desa kuno, dilihat dari pengaruh kebudayaan yang masuk ke daerah ini. Menurut Philip Frick McKean (1973) kehidupan masyarakat Bali masa kini, secara keseluruhan menggambarkan ciri-ciri yang dapat dibedakan ke dalam tipe tradisi kecil, tradisi besar dan tradisi modern (Geriya, 1996: 3). Ciri-ciri tradisi kecil menurut Swellengrebel (1960),

digambarkan seperti (1) sistem ekonomi sawah dengan irigasi; (2) peternakan ayam untuk keperluan dagingnya dan adu ayam; (3) bangunan rumah dengan kamar yang berbentuk kecil dan terdiri dari bahan bambu dan kayu; (4) kerajinan meliputi besi, perunggu, celup dan tenun; (5) sistem pura berhubungan dengan keluarga, desa dan wilayah; (6) pada pura terdapat sistem ritual dan upacara yang cukup kompleks; (7) bahasa setempat dengan kesusastraan lisan; (8) tari dan tabuh dipakai dalam rangka upacara di

Sunari Penjor: Journal of Anthropology

Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud


pura yang meliputi selunding, angklung dan tari sanghyang (Geriya, 1996: 3).

Tradisi besar meliputi unsur-unsur kehidupan yang berkembang bersamaan dengan agama Hindu (unsur-unsur yang berasal dari Hindu-Jawa). Persebarannya amat luas dan pengaruhnya amat kuat, tampak tercermin pada desa-desa di Bali dataran. Pengaruh Jawa-Hindu berawal sekitar abad ke-10 tatkala kerajaan Medang Kemulan di pulau Jawa telah memperluas pengaruhnya pada pulau Bali. Pengaruh Hindu-Jawa itu makin berkembang pada jaman kerajaan Singosari dan selanjutnya berkembang pesat pada jaman Majapahit abad ke-14 dan 15. Kemudian jatuhnya kerajaan Majapahit ketangan raja-raja yang memeluk agama Islam, maka terjadi arus migrasi besar-besaran dari orang-orang yang memeluk agama Hindu yang disebut “Wong Majapahit” menuju ke pulau Bali. Ciri-ciri tradisi besar, antara lain: (1) kekuasaan pusat, kedudukan sebagai raja keturunan dewa; (2) adanya tokoh “Pedanda” (pendeta); (3) konsep-konsep kesusastraan dan agama tertulis dalam lontar; (4) adanya sistem kasta; (5) adanya upcara pembakaran mayat bagi orang meninggal; (6) adanya kalender Hindu-Jawa; (7) pertunjukkan wayang kulit; (8) arsitektur dan kesenian bermotif Hindu dan Budha (Swellengrebel, 1960: 29-31).

Tradisi modern, meliputi unsur-unsur berkembang sejak jaman penjajahan dan jaman kemerdekaan. Tahap perkembangan yang paling akhir sekitar pertengahan abad ke-19, ketika kekuasaan penjajah mulai mantap, seperti wilayah Buleleng jatuh tahun 1849, Raja Badung jatuh tahun 1906 dan Raja Klungkung jatuh tahun 1908. Berbagai unsur-unsur tradisi modern sejak kemerdekaan tahun 1945 makin masuk menyentuh kehidupan masyarakat Bali dalam berbagai segi. Adapun cirri-ciri tradisi modern, meliputi: (1) inkorporosi

penduduk kedalam lembaga-lembaga administrasi negara kebangsaan. Adanya sistem keamanan polisi, perpajakan, sensus, agen-agen kesehatan, struktur pemerintahan dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi dan negara; (2) pendidikan massal, mencakup pendidikan bahasa nasional, sejarah nasional; (3) sumber tenaga, meliputi transportasi dengan mesin dan tenaga listrik; (4) adanya barang-barang perdagangan dan industri yang diperoleh dari perdagangan import; (5) sistem agama dirationalisasi, terkoordinasi, dan terkomunikasi ke dalam maupun ke luar; (6) kerajinan bersifat produksi massa; (7) administrasi yang heterogen dengan heterogennya penduduk dalam etnis agama, okupasi dan lain-lain; (8) adanya sistem pasar dalam ekonomi; (9) adanya mass-media dan sarana komunikasi yang bersifat Nasional dan Internasional: kaset, radio, televisi, majalah, surat kabar; dan (10) adanya orientasi ke depan yang diintroduksi oleh berbagai departemen, seperti Departemen Pertanian, dengan program bimas dan inmas; Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tentang pendidikan nasional; Departemen Kesehatan dengan Keluarga Berencana (McKean, 1973: 21-24).

Atas dasar ciri-ciri dan kreteria yang telah dijelaskan di atas, desa Adat Tenganan Pegeringsingan digolongkan kedalam tradisi kecil, dengan sebutan istilah lain selain Bali-kuno, seperti Bali-pegunungan atau Bali-Aga (penduduk Bali-asli). Sebagai bentuk dikhotomi yang berlawanan dengan Bali-dataran atau Bali-pendatang (wong “Majapahit). Karena masih menunjukkan ciri-ciri khas dilihat dari segi kekunaan kehidupan masyarakat yang sampai saat ini keadaannya masih tetap survive. Walaupun kebudayaan Bali dalam fase perkembangan ini telah memasuki masa transisi dari budaya tradisional beralih kebudaya industri (modern). Untuk bisa

melihat kembali dan memahami dinamika masyarakat dan kebudayaan dari tingkat kehidupan sederhana ketingkat kehidupan yang lebih tinggi dalam arti lebih maju, modern dan kompleks, maka desa Adat Tenganan Pegeringsingan dijadikan sebagai “museum hidup”atau “living museum” (Picard, 1993:   74). Langkah ini

merupakan kebijakan dari Pemda Tk. II Karangasem maupun Pemda Tk. I Bali beserta instansi yang terkait seperti Dinas Kebudayaan dan Dinas Pariwisata untuk menyelamatkan sekaligus melestarikan khasanah keaslian budaya desa Adat Tenganan Pegeringsingan dari rorongan sentuhan budaya luar (asing), karena terkait dengan desa ini dijadikan obyek wisata.

Oleh karena itu, menurut Philip Frick McKean (1973), mendifinisikan pariwisata sebagai fenonema suatu bagian dalam rangka tradisi modern daripada dinamika masyarakat dan kebudayaan Bali yang terjadi pada abab ke-19-an sebagai berikut.

“Tourisme is very muck a part of modern tradition, but it is built on the foundation laid during the little and great tradition, without which it would never been started and without which it will not florish in the future” (Geriya, 1996: 5).

Berdasarkan Peraturan Daerah Bali No. 3 tahun 1974, telah menetapkan bahwa jenis kepariwisataan yang dikembangkan di daerah Bali, adalah pariwisata budaya (cultural tourism). Dimaksud dengan pariwisata budaya, adalah satu jenis kepariwisataan yang dikembangkan     bertumpu     pada

kebudayaan. Selanjutnya dimaksud dengan kebudayaan, adalah kebudayaan Bali sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Oleh sebab itu, setiap langkah dalam kerangka pengembangan pariwisata secara normatif diharapkan tetap

bertumpu pada kebudayaan Bali. Terutama segala aspek yang terkait dengan pariwisata, seperti promosi, atraksi, arsitektur, etika, organisasi, pola manajemen, makanan, suvenir diharapkan sedapat mungkin menggunakan potensi-potensi kebudayaan Bali. Hal ini sekaligus dijadikan arah pengembangan pariwisata dipayungi oleh suatu motto “bukan Bali untuk pariwisata, melainkan pariwisata untuk Bali” (Geriya, 1996: 45).

Berkaitan dengan pengembangan obyek wisata tersebut, dalam peper ini membahas salah satu obyek wisata yang sangat menarik dilihat dari keunikan kehidupan masyarakatnya ada di Kabupaten Dati II Karangasem. Tepatnya Upacara “Mekare-Kare” Desa Adat Tenganan Pegeringsingan sebagai obyek wisata. Selanjutnya dijadikan focus permasalahannya, adalah: (1) Bagaimana Prosesi Upacara “Mekare-Kare” sebagai daya tarik bagi wisman (luar negeri) maupun wisnu (dalam negeri), dan (2) Dampaknya bagi kehidupan masyarakat Desa Adat Tenganan Pegeringsingan?.

Sebagai landasan teoritis untuk memahami masalah tersebut di atas melalui model interaksi kebudayaan dengan industri pariwisata pada masyarakat Bali telah dilakukan oleh Philip Frick McKean dalam analisis kajiannya mengenai pengaruh pariwisata terhadap kebudayaan Bali (Geriya, 1996: 8). Menurut McKean, berdasarkan penelitiannya di Bali merumuskan bahwa hubungan interaksi antara orang-orang Bali dengan wisatawan didasarkan atas prinsip saling mengharapkan. Pada satu pihak, wisatawan mengharapkan kepuasan yang bersifat estetis dan pada pihak yang lain itu merupakan kesempatan ekonomis yang diharapkan oleh penduduk setempat. Pengharapan timbal-balik dan saling melengkapi itu merupakan “partial equivalence structure” (McKean, 1976: 139-145

Berpijak pada kerangka alur pemikiran tersebut di atas, maka pembahasan makalah tulisan ini dapat

diformulasikan dalam model analisa pola interaktif sebagaimana tercermin dalam bagan seperti di bawah ini.

Bagan I: Model Analisa Interaksi Wisatawan dengan Budaya Bali


  • II.    Ritus“Mekare-Kare” Sebagai Obyek Wisata Dan Dampaknya Bagi Kehidupan Desa Adat Tenganan Pegeringsingan

  • 2.1 . Prosesi “Upacara Mekare-Kare” Sebagai Daya Tarik Bagi Wisman maupun Wisnu.

Untuk menggambarkan kekhasan yang dimiliki desa Adat Tenganan Pegeringan dalam pembahasan ini hanya menyoroti pada salah satu aspek tentang kehidupan religiusitas masyarakat Desa Adat Tenganan Pegeringsingan tentang prosesi “upacara mekare-kare”.

Mekare-kare (perang pandan) suatu bentuk upacara ritual yang diadakan setiap tahun sekali, oleh masyarakat setempat disebut “upacara sambah” yang terjadi pada sasih kelima (bulan ke-5) menurut penanggalan desa setempat. “Upacara Sambah” ini berlangsung selama satu bulan, mulai saat memasuki penanggal (menuju bulan purnama) dan saat panglong (memasuki bulan mati), saat peralihan dari bulan purnama ke bulan mati ini menurut istilah masyarakat setempat disebut dengan saat “Hud”. “Upacara Sambah” sasih kelima dibedakan menurut tingkatannya menjadi dua bagian, yaitu (1) tingkatan “upacara Sambah sasih kelima” yang utama,

disebut “Sambah-Muran” dan (2) tingkatan “upacara Sambah yang lebih kecil, yang disebut dengan “upacara Sambah biasa”. Dalam pelaksanaan upacara ke-2 jenis “upacara Sambah” berganti-ganti pada setiap tahunnya.

Peristiwa yang menarik dalam prosesi upacara ini terjadi “mekare-kare” atau perang pandan empat kali. Kemudian pada tiap-tiap saat berlangsungnya “mekare-kare” (perang pandan) itu tidaklah sama pelaksanaan pada upcara “Sambah Muran” dengan “Sambah Biasa”. Berkaitan dengan upacara “Sambah Muran” ini, maka pelaksanaan“mekare-kare” dimulai saat “Hud” yang ke-5 yang diselenggarakan didepan “Bale Agung”. Kemudian disusul dengan pelaksanaan “mekare-kare” pada saat “Hud” yang ke-12, yang dilangsungkan secara bergantian dari depan “Petemu Kelod”(tempat di Selatan), dilanjutkan ke “Petemu Kaja” (tempat di Utara) dan berakhir di depan “Petemu tengah” tempat di Tengah) yang diselenggarakan pada saat “Hud” yang ke-13.

Pada upacara “Sambah Biasa”, “mekare-kare” (perang pandan) dimulai pada saat “Hud” yang ke-4, dilangsungkan didepan “Bale Agung”. Waktu yang bersamaan juga

dilangsungkan upacara “Ngelawad” yang dilakukan oleh krama desa luh (anggota banjar dari pihak istri) bersama-sama dengan daha (remaja perempuan), teruna Temu Kelod (kelompok remaja laki-laki bertempat di bagian Selatan) dan Pasek (kelompok warga Pasek). Upacara “Ngelawad ini berlangsung di pura Puseh dan pura Petung, serta tempat suci Pakuwon. Upacara seperti ini juga diadakan setiap dua tahun sekali pada pura Rambut Pule dan pura Batu Taikik. Selanjutnya pada saat “Hud” ke-8, “mekare-kare” berlangsung dimuka “Petemu Kelod” (tempat di bagian Selatan), disusul dengan saat “Hud” ke-9, “mekare-kare” diselenggarakan dimuka “Petemu Kaja” (tempat di Uatara, dan “mekare-kare berakhir pada “Petemu Tengah” (tempat yang ada di tengah) yang diselenggarakan pada saat “Hud” ke-10, dan diikuti pula dengan suatu upacara “mecundang” bertempat di Petemu Kaja (tempat di Utara).

Keterlibatan warga masyarakat dalam “mekare-kare” (perang pandan) itu tidak hanya melibatkan sekeha Teruna (kelompok para remaja laki-laki) dari ke-3 kelompok sekeha yang ada (Petemu Kelod, Tengah dan Kaja, seperti disebutkan di atas). Namun juga diikuti oleh seluruh krama banjar (warga masyarakat) desa Adat Tenganan Pegeringsingan, dan juga mengundang krama banjar Pande (warga banjar Pande), Tenganan Dauh Tukad, Bukit Kangin, Bukit Kauh, Bukit Kaja dan desa Ngis yang ada diluar warga desa Adat Tenganan Pegringsingan.

Mekare-kare” (perang pandan) sebuah petarungan dalam bentuk duel yang bersifat perseorang artinya satu orang lawan satu orang. Namun yang terlibat dalam “mekare-kare” tidak dibatasi oleh golongan umum, bebas arti anak-anak, remaja maupun orang dewasa (sudah berumah tangga dan yang bermain hanya kaum laki-laki saja. Dalam

pergulatan “mekare-kare” (perang pandan) masing-masing peserta membawa seikat daun pandan yang sudah dipotong-potong dengan ukuran panjang kira-kira 25-30 Cm. Seikat daun pandan ini dipegang oleh tangan kanan, untuk digunakan menggeret tubuh (badan) lawan atau musuh sampai berdarah (keluar darah dari tubuh yang digeret). Tangan kiri menggegam tamiang dengan diameter kira-kira 1 meter dibuat dari anyaman bambu yang kuat sebagai prisai diri untuk mencegah geretan daun pandan berduri tajam dari musuh.

Untuk menilai mengenai menang-kalahnya antara dua orang yang bertarung dalam “mekare-kare” (perang pandan) itu, ada beberapa juri sebagai penengah selama pergulatan berlangsung. Juri ini mempunyai otoritas sangat tinggi dalam memutuskan dan menentukan siapa yang menang atau kalah dalam pertandingan tersebut. Dalam “mekare-kare” (perang pandan) proses pelaksanaan pertarungan setiap babak maju dua orang yang berlangsung kira-kira selama 5-10 menit. Selama pergulatan ini, maka siapa dari peserta “mekare-kare” (perang pandan) yang kena geretan pandan lebih dulu, maka peserta itu dianggap kalah. Selanjutnya juri dengan sigap memisahkan atau menengahi agar jangan pergulatan itu berlangsung lama. Karena yang menjaadi harapan bagi masyarakat desa Adat Tenganan Pegeringsingan, bahwa “mekare-kare” ini tidak diperbolehkan ada perasaan balas dendam.

Bagi para peserta “mekara-kare” (perang pandan) yang terluka karena kena geretan pandan dari lawannya atau musuhnya. Luka-luka yang ada pada bagian tubuh terkena geretan duri daun pandan diobati dengan suatu cairan (boreh) yang dibuat dari jenis umbi tanaman, seperti lengkuwas (isen) dan kunir (kunyit). Lengkuwas dan kunir ini

diparut dan hasil parutannya dicampur dengan cuka. Selanjutnya dipulas pada bagian tubuh yang terluka akibat terkena geretan duri daun pandan. Pada awal pengobatan memang rasa perih sekali, namun tidak berlangsung lama, setelah obat ramnuan meresap sampai kering, maka bekas-bekas luka dari “mekare-kare” (perang pandan) menjadi kering juga, sekaligus sembuh tanpa ada bekas-bekas luka-luka tersebut. Pada saat berlangsungnya “mekare-kare” (perang pandan) ini diiringi dengan “tetabuhan gamelan selonding” (semacam musik).

Sesungguhnya tujuan diadakan upacara “mekare-kare” (perang pandan) yang diselenggarakan berkaitan dengan upacara “Ngusaba Sambah” di desa Adat Tenganan Pegringsingan masih memerlukan pemahaman yang lebih mendalam. Bentuk “mekare-kare” (perang pandan) hanya satu-satunya yang masih ada saat ini di Bali yang berpusat di desa Adat Tenganan Pegeringsingan. Ada wacana yang muncul bahwa kemungkinan “mekare-kare” (perang pandan) itu ada hubungan dengan upacara “tabuh rah” (upcara korban) sebagaimana terjadi di Bali pada umumnya. Sebab serangkaian dengan upacara “Ngusaba Sambah” di desa Adat Tenganan pegeringsingan, selain “mekare-kare” (perang pandan), juga dilangsungkan sabungan ayam (tajen) secara bergantian sebanyak 3 pasang di depan Bale Agung. Kemudian menyusul sabungan ayam diadakan pada Petemu Kelod (tempat di Selatan, dilanjutkan pada Petemu Kaje (temapat di Utara) dan berakhir pada Petemu Tengah (tempat yang berada di tengah-tengah). Dalam sabungan ayam (tajen) ini tidak disertai dengan taruhan uang (judi), yang lebih dipentingkan serimonial sebagai upacara “tabuh rah” (upacara korban) yang ditujukan untuk menjaga keseimbangan antara kehidupan manusia dengan alam lingkungan.

  • 2.2    Dampaknya bagi Kehidupan Masyarakat Desa Adat Tenganan Pegeringsingan

Adanya sentuhan langsung terjadi antara masyarakat desa Adat Tenganan Pegeringsingan dengan   wisatawan

mancanegara    (wisman)    maupun

wisatawan nusantara (wisnu). Dapat dimanfaatkan oleh penduduk setempat untuk mengembangkan toko-toko kerajinan (artshop) yang dikelola oleh warga masyarakat desa Adat Tenganan Pegringsingan sendiri. Kemudian tidak ada sama sekali pemilik toko kerajinan (artshop) yang dimiliki oleh warga desa tersebut, karena desa ini memang sangat tertutup bagi orang luar untuk menjadi warga desa tersebut. Di samping tidak bisa menjadi warga desa, juga sulit untuk mendapatkan lahan tempat membuka usaha bisnis. Mengingat tanah pekarangan masih merupakan tanah ulayat (milik desa) dengan pemukiman penduduk sangat padat. Selain itu, pekarangan rumah bagi yang baru berumah tangga sudah disediakan, karena penataan pekarangan rumah sudah dibuat desainnya sedekian rupa, sehingga tidak ada warga masyarakat yang tak kebagian tempat tinggal. Oleh karena itu, adat secara otonom ikut mengatur aktivitas ekonomi bagi warga desa yang diatur berdasarkan Awig-Awig Desa Adat Tenganan Pegringsingan.

Barang-barang kerajinan yang dipasarkan untuk wisman maunpun wisnu berupa cindra mata (suvener) yang sebagaian besar merupakan produk usaha kerajinan rakyat kecil yang di desa bersangkutan. Produk-produk barang kerajinan yang cukup dikenal dikalangan masyarakat, seperti kain geringsing, prasi (lukisan pada daun lontar), anyam-anyaman dengan berbagai bentuk model yang bisa disain, ada ukuran yang kecil maupun besar diantaranya tas, guci, talam, hiasan dinding dan masih banyak

ada bentuk-bentuk yang lain. Semua jenis-jenis kerajinan tangan ini dapat dipasarkan langsung kepada konsumen (wisman maupun wisnu) dengan penawaran harga yang sangat tinggi. Keuntungan yang bisa diraup akan lebih besar, karena tidak ada pengeluaran uang komisi, keadaan ini memang sangat berbeda dengan toko-toko kerajinan (artshop) maun gallery yang lainnya ada diluar wilayah ini. Jadi masyarakat desa Adat Tenganan Pegringsingan dalam menjalankan usaha bisnis ini dalan bidang pengelolaannya sangat bersifat pasif yang sangat tergantung dari kunjungan tamu yang masuk ke desa tersebut. Tidak ada semacam kompetitif antara pelaku usaha yang berasal dari luar wilayah itu, desa Adat Tenganan Pegringsingan sudah diblok sedemikian rupa, yang hanya ada yang berjualan untuk melayani wisman maupun wisnu merupakan komunitas warga desa tersebut. Oleh karena itu, persaingan yang terjadi sama-sama antar warga komunitasnya sendiri, sehingga tidak terjadi permainan harga yang selalu mencolok antar toko kerajinan (artshop) yang satu dengan yang lainnya. Selain itu, juga ada pesanan (order) dari pihak wisatawan lansung kepada produksinya, karena wisatawan melihat secara langsung proses pembuatan barang tersebut dalam suatu bentuk “demontratif” yang dilakukan oleh penduduk setempat. Setelah barang itu jadi langsung ditaruh dan sekaligus dipajangkan pada toko kerajinan (artshop). Faktor ini juga mungkin salah satu yang sangat menarik bagi wisman maupun wisnu membeli barang-barang kerajinan tangan produksi masyarakat sebagai cindramata (sovenir) yang dibawa kenegaranya.

Adanya warga masyarakat yang terlibat dalam kegiatan penyedia barang-barang cindramata (suvenir) bagi wisatawan yang berkunjung ke desa

tersebut, berarti secara ekonomi menikmati kecipratan uang “dollar” sebagai bentuk transaksi jual-beli antara wisatawan dengan penduduk setempat. Hal ini akan mendorong peningkatan pendapatan masyarakat, yang juga sekaligus dapat memberikan dorongan pada aspek-aspek kehidupan yang lain. Seperti pembangunan rumah tinggal semakin baik, seperti lantai keramik, tembok batato, hiasan-hiasan rumah dalam bentuk ukiran, pemilikan kelengkapan alat-alat rumah tangga, seperti TV, telepun, kompor gas, risecoker dan lain-lainnya. Begitu sangat berdampak dengan kelangsungan pendidikan anak-anak, karena ada biaya untuk membekali ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Di samping ada pemasukan divisa bagi daerah Bali maupun negara sebagai alat pembayaran utang luar negeri dalam bentuk valuta asing.

Ternyata sentuhan antara wisatawan dengan penduduk desa Adat Tenganan Pegringsingan, membawa implikasi terhadap terjadinya pergeseran bahan-bahan bangunan yang digunakan untuk membuat rumah dari produksi pabrik. Sehingga warna kekhasan dari cahaya aura magis keaslian rumah itu menjadi pudar, dan lama-kelamaan dikhawatirkan akan lenyap, karena terpaan arus “dollar” asing yang begitu sangat kuat. Kalau itu yang terjadi, maka salah satu unsur keaslian yang berupa rumah adat sebagai kebanggaan bagi masyarakat desa Adat Tenganan Pegringsingan yang dijadikan sebagai “museum hidup” tidak mengandung makna apa lagi. Sekarang ini bangunan rumah tempat tinggal, sekaligus difungsikan sebagai toko kerajinan (artshop), di samping sebagai tempat memajangkan hasil-hasil produksinya, juga sekaligus melakukan “demontratif” dalam proses produksi barang kerajinan tersebut. Di sini nampaknya sudah terjadi

pergeseran fungsi rumah yang semula hanya merupakan tempat tinggal, untuk menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari, bergeser menjadi area bisnis yang dimanfaatkan sekaligus sebagai toko kerajinan (artshop).

Ini juga nampaknya membawa suasna dalam lingkungan desa itu sendiri, bagi orang luar akan menimbulkan image (citra) tentang “museum hidup” desa Adat Tenganan Pegringsing, isinya tokotoko kerajinan (artshop) yang berderet dari Selatan ke Utara, baik yang berada di sebelah kanan maupun di sebelah kiri jalan. Kelihatannya begitu ramai dengan pemajangan barang-barang cindramata (suvenir) yang tidak berbeda dengan pusat-pusat kerajinan yang ada di kota. Kondisi ini nampaknya sekilas pandangan juga mencerminkan suasana keindahan alami lingkungan desa yang disebut “museum hidup” akhirnya tidak tercermin lagi sebagai suatu yang eksotik atau kekhasan desa kuno di Bali yang melekat pada desa Adat Tenganan Pegringsingan.

  • III.    K e s i m p u l a n.

Dari seluruh uraian tersebut di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.

  • 1.    Desa Adat Tenganan Pegringsingan sebagai salah satu desa kuno di Bali yang masih bersifat survive sampai dewasa ini. Karena desa ini digolongkan dalam “tradisi kecil” (little tradition) yang tercermin dari tata cara maupun pola prilaku kehidupan ritualnya, seperti upacara “mekare-kare” merupakan unsur-unsur kebudayaan pada jaman “tradisi kecil”.

  • 2.    Proses interaksi antara wisatawan dengan orang Bali didasarkan atas suatu kebutuhan yang bersifat saling mengharapkan. Dipihak wisatawan mengharapkan kepuasan yang bersifat estetis, sedangkan dari pihak

lain yang merupakan penduduk setempat     yang     diharapkan

kesempatan atau peluang-peluang di bidang ekonomi.

  • 3.    Prosesi upacara “mekare-kare” merupakan suatu bentuk upacara ritualitas bagi kehidupan Desa Adat Tenganan Pegringsingan, yang masih eksotik satu-satu bentuk upacara yang masih dikenal di Bali mempunyai daya tarik bagi wisman maupun wisnu, sehingga dijadikan obyek wisata yang cukup menarik untuk dipasarkan.

  • 4.    Upacara“mekare-kare”,       yang

diiringi dengan musik tradisional yang      disebut      “selonding

diselenggarakan setiap tahun sekali yang bertepatan dengan “Ngusaba Sambah yang menurut tingkatannya dibedakan menjadi upacara “Sambah Muran” dan upacara “Sambah Biasa”, yang berlangsung selama satu bulan penuh.

  • 5.    Upacara         “mekare-mekare

merupakan upacra korban melalui penetesan darah pada tubuh manusia, sebagai akibat dari goresan duri daun padan yang dilakukan melalui perang pandan antara krama adat yang dipusatkan di “Pura Bale Agung”, “Petemu Kelod”, “Petemu Kaja” dan “Petemu Tengah” dalam satu lingkungan desa Adat Tenganan Pegeringsing.

  • 6.    Adanya kunjungan wisman dan wisnu langsung ke desa tersebut berimplikasi positif dan negatif. Dilihat dari positif banyak kesempatan maupun peluang di bidang ekonomi. Jadi masyarakat setempat dapat memasarkan hasil-hasil produksi kerajinan tangan secara langsung dengan konsumen, khusus wisatawan (asing atau domistik) dengan harga yang cukup mahal. Selain itu, juga timbul trasaksi jual-beli dengan wisatawan

dalam bentuk pesanan (order) bisa dilakukan oleh masyarakat setempat langsung dengan pembeli (bayer) tanpa melalui perantara (broker). Hal ini memberikan keuntungan sangat baik bagi penigkatan pendapatan masyarakat dan juga sekaligus untuk meningkatkan divisa bagi negara. Peningkatnya          pendapatan

masyarakat memacu pembangunan penduduk di desa tersebut, terutama pembangunan rumah tempat tinggal dan biaya pendidikan untuk anak sekolahnya. Kemudian dari sisi negatif, bentuk rumah yang tradisional khas desa Adat Tenganan Pegringsingan telah mengalami perubahan, seperti tembok telah memakai batato, atap memakai genteng atau seng,, bangunan digunakan sebagai toko kerajinan (artshop) untuk memajangkan produk-produk hasil kerajinan tangan penduduk setempat. Hal ini juga menyebabkan mengurangi suasana lingkungan desa yang alami desa Adat Tenganan Pegringsingan akibat dari tumbuhnya secara menjamur toko-toko kerajinan (artshop), yang nampaknya seperti pasar seni.

Daftar Pustaka

Adnyana Manuaba, 1999. “Isu, Problema dan Masa Depan Bali” dalam Era Globalisasi” dalam Bali dan Masa Depannya (Supartha, Wayan Penyunting). Denpasar: Penerbit Bali Post.

Baal, J. van, 1987. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga Dekade 1970), Jilid  I.  Jakarta:  Penerbit  PT

Gramedia.

Baal, J.  van, 1988.  Sejarah  dan

Pertumbuhan Teori Antropologi

Budaya (Hingga Dekade 1970) Jilid II. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.

Bagus, I G N, Aron Meko Mbete, dan Erawan, I Nyoman, 1997. “Pokok-Pokok Pikiran Hasil Seminar Pariwisata, Pendidikan dan Peluang Bisnis”      dalam      Menuju

Terwujudnya Ilmu Pariwisata di Indonesia      (Bagus,      IGN

Penyunting). Denpasar: Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya Universitas Udayana.

Bagus, I Gusti Ngurah, 1999. “Mengkondisikan      Tampilnya

Pemikir Pembangunan dalam Era Glokalisasi di Bali” dalam Era Globalisasi” dalam Bali dan Masa Depannya (Supartha, Wayan Penyunting). Denpasar: Penerbit Bali Post.

Beals, R. 1977. An Introduction to Anthropology,    New    York,

Macmillan Publishing, Co. Inc.

Benneth, K. 1976. The Ecology Transition, Culture and Human Adaptation. London, Pergemon.

Cukier, Judith, 1996. “Tourism Employment in Bali: Trend and Implications”    Tourism and

Indigenous Peoples (Butler, Richard and Hinch, Thomas, Edit). London:  International  Thomson

Bisiness Press.

Cuvarrubias, M. 1965. The Island of Bali. New York, Knoft.

Evans-Pritchard, E.E., 1984. Teori-Teori Agama Primitif. Yogyakarta: Pusat Latihan,      Penelitian,      dan

Pengembangan       Masyarakat

(PLP2M).

Frazer, J.G.,  1910. Totemisme and

Exogamy: A Treatise on Certain Early Forms of Superstition and Society. London: Macmillan & Co.

Firth, Raymond (Ed), 1957. Man and

Culture An Evaluation of The Work of Bronislaw Malinowski. London: Routledge & Kegan Paul.

Fortes, Meyer, 1957. “Malinowski and Study of Kinship”, Man and Culture An Evaluation of The Work of Bronislaw Malinowski. London: Routledge & Kegan Paul.

Franz Boas. 1955. Primitive Art. New York. Duver Publications Inc.

Geertz, C. 1969 “Form and Variation in Balinese Village Structure”, American Anthropology, Vol. 61.

Geriya, I Wayan, 1993. “Model Interaksi Kebudayaan     dan     Industri

Pariwisata pada Masyarakat Bali (Satu Refleksi dari Strategi Pembangunan yang Berbudaya dalam Era Industrialisasi)” dalam Kebudayaan Dan Kepribadian Bangsa (Sudharta, Tjok Rai, dkk Editor). Denpasar: Penerbit Upada Sastra.

Geriya, I Wayan, 1996. Pariwisata dan Dinamika Kebudayaan Lokal, Nasional, Global Bunga Rampai Antropologi Pariwisata. Denpasar: Penerbit Upada Sastra.

Geriya, I Wayan, 2000. Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad XXI. Denpasar: Unit Percetakan Bali.

Geriya, I Wayan. 1986. Teori Diakronik. Denpasar: Antropologi FS Unud.

Geriya, Wayan, 1976. “Kesenian Tradisional dan Pariwisata” dalam Masyarakat Indonesia Majalah Ilmu-Ilmu Sosial Jilid III Nomor 2. Jakarta: LIPI.

Geriya, Wayan. 1983. Pariwisata dan Segi-segi Budaya Masyarakat Bali. Denpasar: Antropologi FS Unud.

Herkovits. 1967. Man and His Work. New York, Al Fred A. Knop.

Kaler Surata, 1999. “Keunikan Lingkungan Bali:  Kemantapan

yang Rapuh” dalam Era Globalisasi” dalam Bali dan Masa Depannya (Supartha, Wayan Penyunting). Denpasar: Penerbit Bali Post.

Kaplan, David dan Manners, Albert A, 2000, Teori Budaya. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.

Koentjaraningrat, 1980. Sejarah Teori Antropologi, Jilid   I.   Jakarta:

Penerbit Universitas Indonesia.

Koentjaraningrat, 1990. Sejarah Teori Antropologi, Jilid II. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Kuper, Adam, 1991. Anthropology and Anthropologist The New Modern British School. London and New York: Routledge.

Kuper, Adam, 1996. Pokok dan Tokoh Antropologi. Jakarta:   Penerbit

Bhratara.

Lang, A. 1898. The Making of Religion. London:  Longmans, Green, &

Company.

Leach, Edmund, 1972. “Structuralism in Social             Anthropology”

Structuralism an Introduction (David Robbey, ed). Wolfson College Lecture.

Leach, Edmund, 1981. “British Social Anthropology and Levi-Straussian Structuralism” Continuities in Structural Inquiry (Peter M Blau and Robert K Merton, ed). London and Beverly : Sage Publication.

Leach, Edmund, 1982. Social Anthropology. Fontana Press.

Marett, R.R.,  1909. The Treshold of

Religion. London: Methuen.

Malinowski, Bronislaw, 1960. A Scientific Theory of Culture and Other Essays. New York: Oxford University Press.

McKean, Philip F, 1976. “Interaction Between Tourists and Balinese: An Anthropological Analysis of Partial Equitvalence Structures” dalam Masyarakat Indonesia Majalah Ilmu-Ilmu Sosial Jilid III Nomor 2. Jakarta: LIPI.

McKean, Philip Frick, 1978. “Toward a Theoretical Analysis of Tourism: Economic Dualism and Cultural Involution in Bali”, Hosts and Guests (Smith, Valene L, Edit). Oxford: Basil Blackwell.

Nadel, S.F, 1957. Malinowski or Magic and Religion” Man and Culture An Evaluation of The Work of Bronislaw Malinowski. London: Routledge & Kegan Paul.

Naya Sujana, Nyoman,    1999

“Kompleksitas dan Dinamika Ditengah Bangunan Kebudayaan Bali” dalam Era Globalisasi” dalam Bali dan Masa Depannya (Supartha, Wayan Penyunting). Denpasar: Penerbit Bali Post.

Otto, R. 1958. The Idea of the Holy. London: Oxford University Press.

Parson, Talcott, 1957. “Malinowaki and the Theory of Social System”, Man and Culture An Evaluation of The Work of Bronislaw Malinowski. London: Routledge & Kegan Paul.

Parsudi Suparlan. 1980. “Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan Perspektif Antropologi”, Majalah Ilmu Sosial. Jakarta: FS.UI.

Picard, Michel, 1993. “Cultural Tourism in Bali National Integration and Regional Differentiation”, Tourism in South-East Asia ( Hitchcock, at

al, Edit). London and New York: Routledge.

Piddington, Ralph, 1957. “Malinowski’s Theory of Need”, Man and Culture An Evaluation of The Work of Bronislaw Malinowski. London: Routledge & Kegan Paul.

Pitana, I Gde, 1994. Desa Adat dalam Arus     Modernisasi”     dalam

Dinamika Masyarakat Dan kebudayaan Bali (Pitana, I Gde, Editor). Denpasar: Penerbit Bali Post.

Radcliffe Brown, AR, Evans-Pritchard, EE dan Eggan, Fred 1980.

Structure and Function in Primitif Society. London and Henley: Routledge and Kegan Paul.

Radcliffe-Brown, AR, Evans-Pritchard, EE dan Eggan Fred, 1976. Structure and Function in Primitive Society.  London and Henley:

Routledge & Kegan Paul.

Richards, Audrey I, 1957. “The Concept of Culture in Malinowski’s Work”, Man and Culture An Evaluation of The Work of Bronislaw Malinowski (Raymond Firth, ed). London: Routledge & Kegan Paul.

Schapera, I, 1957. “Malinowski’s Theories of Law” Man and Culture An Evaluation of The Work of Bronislaw Malinowski. London: Routledge & Kegan Paul.

Spradley, James P. 1972. Culture and Cognition Ruls Maps and Plans. San     Franciosco,     Chandler

Publishing Company.

Tylor, E.B. 1958. Religion in Primitive Culture. New York: Harper & Row.

Team Researh Jurusan Antropologi, FS Unud, 1973. Desa Adat Tenganan Pegringsingan, Suatu Pengantar

Umum Yang Deskriptif. Denpasar: Jurusan Antropologi FS-Unud.

Wall, Geoffrey and Long, Veroneca, 1996. “Balinese Homestays: An Indigenous Response to Tourism Opportunities”, Tourism and Indigenous Peoples (Butler, Richard and Hinch, Thomas, Edit). London:  International Thomson

Bisiness Press.

Wyasa, Ida Bagus, 1999. “Bali Pusat Bisnis Pariwisata” dalam Era Globalisasi” dalam Bali dan Masa Depannya (Supartha, Wayan Penyunting). Denpasar: Penerbit Bali Post.