Lingkungan Hidup dan Kebudayaan Bali

(Sebuah Deskripsi Tentang Perubahan)

I Nyoman Suarsana

Program Studi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas [email protected]

Abstrak

Tulisan ini mendeskripsikan tentang perubahan kebudayaan yang disebabkan oleh perubahan lingkungan hidup (lingkungan tempat tinggal). Perubahan tersebut terjadi sebagai hasil dari kemampuan beradaptasi dengan lingkungan tempat tinggal yang baru. Oleh sebab itu tulisan ini diberi judul ”Lingkungan Hidup dan Kebudayaan Bali (Sebuah Deskripsi Tentang Perubahan)”. Perubahan lingkungan hidup dan perubahan kebudayaan yang dikatakan sebagai hasil dari kemampuan adaptasi terlihat secara nyata dalam kehidupan etnis Bali-Hindu yang semula berasal dari desa kemudian sebagai urbanis dan bertempat tinggal di perumahan. Jadi, perumahan dengan demikian menjadi suatu habitat yang baru bagi para urbanis dari berbagai daerah asal. Atas dasar pengamatan dan terlibat langsung dalam kehidupan pada habitat yang baru tampak jelas bahwa kemampuan beradaptasi merupakan suatu yang amat penting dari para urbanis untuk dapat hidup pada lingkungan yang baru. Kebudayaan yang dipangku (kebudayaan Bali) menyesuaikan dengan lingkungan hidup yang baru baik dalam hubungan parhyangan, pawongan, maupun palemahan. Terkait dengan adaptasi, maka dalam rangka reproduksi budaya (usaha menghadirkan kebudayaan masa lalu ketika di tempat asal dalam kehidupan di lingkungan hidup yang baru) menjadi beragam baik dalam wujud nilai, perilaku, maupun fisik. Kebudayaan dengan demikian bukan semata-mata diwariskan akan tetapi terbentuk sebagai reaksi terhadap lingkungan hidup yang baru, sehingga perubahan menjadi tidak mungkin ditiadakan.

Kata Kunci: kebudayaan, adaptasi, reproduksi budaya.

  • 1.    Pendahuluan

Manusia pada hakikatnya mempunyai sifat dinamis dalam arti bahwa manusia dalam hidupnya cenderung berpindah-pindah. Perpindahan manusia atau penduduk dari suatu tempat ke tempat yang lainnya (migrasi) dapat berupa urbanisasi, yaitu perpindahan penduduk dari desa ke kota. Secara budaya, perpindahan penduduk dari suatu tempat ke tempat lain diberi peluang oleh alternatif adat menetap neolokal yaitu pengantin baru tinggal di tempat kediaman yang baru, tidak mengelompok sekitar tempat kediaman kerabat suami maupun istri

(Koentjaraningrat, 1980: 103). Dengan perkataan lain, bahwa adat menetap neolokal merupakan adat menetap setelah kawin dengan membuat rumah baru tanpa berkumpul dengan orang tua suami (Bagus, 1980: 288). Proses perpindahan penduduk dalam arti urbanisasi, juga dapat merupakan proses terjadinya masyarakat perkotaan ( Arnicun; Hartomo, 1990: 248-251).

Perpindahan penduduk dalam arti itu, walaupun sering memunculkan masalah yaitu kepadatan penduduk tidak merata (over population) pada suatu daerah tertentu, namun hal itu tidak mungkin dapat dihindari. Sebab,

Sunari Penjor: Journal of Anthropology

Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud


perpindahan penduduk tersebut disertai dengan adanya keinginan untuk mendapatkan pekerjaan di luar bertani (urbanis pencari kerja). Semua itu menurut pandangan penduduk desa hanya bisa diperoleh di daerah kota. Atau kota merupakan suatu tempat yang lebih menguntungkan, untuk mengembangkan jiwa dengan sebaik-baiknya dan seluas-luasnya (Arnicun; Hartomo, 1990: 251). Atas dasar peluang dan alasan-alasan semacam itu menyebabkan pindahnya penduduk dari desa ke kota, sekaligus dapat merupakan sebuah proses awal terbentuknya kesatuan-kesatuan hidup pada daerah-daerah tertentu di sekitar kota. Hal seperti itu sebagaimana terjadi di Kota Denpasar yang merupakan salah satu wilayah tujuan bagi para urbanis dari berbagai daerah di Bali bahkan Indonesia.

Berkaitan dengan mobilitas penduduk yang begitu tinggi mengimplikasikan penyediaan tempat untuk menampungnya. Sehubungan dengan hal itu, diperlukan perluasan atau pengembangan dan pengaturan ruang pemukiman yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal bagi para urbanis yang akan mewujudkan diri sebagai kesatuan-kesatuan hidup yang baru. Untuk itu, perluasan/pengembangan wilayah pemukiman para urbanis di sekitar Kota Denpasar salah satunya diarahkan pada wilayah Kota Denpasar Utara yaitu wilayah Desa Ubung Kaja (Perda Kota Denpasar Nomor 10 Tahun 1999 Tentang: RTRW). Wilayah pengembangan tersebut merupakan lokasi perumahan “Green Kori”di mana perumahan tersebut sekarang ini dikenal sebagai Dusun Tegal Kori. Dusun ini termasuk dalam wilayah administratif Desa Ubung Kaja, Kecamatan Denpasar Utara, Kota Denpasar.

Perumahan “Green Kori” dibangun oleh pengembang yaitu PT. Kori Bali

Utama di atas sebidang tanah kurang-lebih seluas 3,90 ha. Jumlah unit bangunan kurang-lebih sebanyak 374 buah, terdiri dari lima tipe yaitu tipe 70, 54, 45, 36, dan 21. Bangunan rumah yang sudah dihuni kurang-lebih sebanyak 303 buah dan jumlah penduduk secara keseluruhan sekitar 1258 jiwa. Penghuni murni merupakan penduduk pendatang dari luar desa yang bersangkutan (Desa Ubung Kaja) bahkan banyak yang berasal dari luar Bali. Di antaranya terdapat sekitar 63,04 % penghuni etnis Bali-Hindu dan sisanya 36,96 % di luar etnis Bali-Hindu (Suarsana, 2008).

Uraian selanjutnya sebagai satu kasus, terfokus pada penggambaran atau deskripsi mengenai penghuni perumahan “Green Kori” yaitu etnis Bali-Hindu dan kebudayaannya. Mereka adalah murni pendatang (urbanis dalam hubungan kerja) berasal dari berbagai desa di Bali. Oleh karena itu dapat dikatakan heterogen dipandang dari daerah asal namun satu dalam kebudayaan yaitu kebudayaan Bali yang berjiwakan agama Hindu. Jadi, perumahan dalam hal ini merupakan suatu lingkungan hidup baru bagi mereka.

Lingkungan hidup di tempat asal tentunya tidak sama jika dibandingkan dengan lingkungan hidup yang baru di perumahan. Suatu contoh: pada tempat (desa) asal ketika hidup ngarangin (neo lokal) umumnya bangunan dalam pekarangan dirancang sesuai dengan tata ruang dan fungsinya secara budaya. Sebagai tahapan membangun rumah adalah dimulai dari merancang tempat membangun sanggah/merajan yang paling tidak terdiri atas kemulan dan taksu, kemudian baru diikuti dengan bangunan-bangunan lain yang diperlukan. Secara umum tempat atau tegak sanggah/merajan diletakkan pada zoning timur laut (kaja-kangin). Sedangkan pada lingkungan hidup yang baru yaitu di perumahan, hal seperti itu

tidak ada, karena penghuni perumahan membeli rumah sudah jadi lagi pula telah berpola seragam versi pengembang. Banyak lagi contoh-contoh yang menunjukkan perbedaan seperti ruang dapur pada perumahan berada pada posisi arah timur laut atau kaja-kangin, kamar mandi/wc di luan, keterikatan sosial lebih longgar, kejelasan hak pakai atas lahan kabur dan sebagainya.

Perbedaan yang ditampilkan dalam situasi perumahan seperti tersebut di atas, jika dicermati adalah tidak atau kurang sesuai dengan budaya penghuni. Terkait dengan itu kiranya dapat dikatakan bahwa pengembang telah menghegemoni etnis Bali Hindu dan kebudayaannya melalui penyediaan rumah sudah jadi. Dari sisi penghuni perumahan utamanya etnis Bali-Hindu, jika ingin tampil menurut budaya yang dipangku sikap dan perilaku adaptif mutlak diperlukan. Melalui proses adaptasi akan mendapat solusi dalam rangka mengurangi penyimpangan budaya. Persoalannya, dalam beradaptasi dengan lingkungan hidup baru di perumahan apa yang dapat dilakukan demi mempertahankan kebudayaan yang dipangku dan alasan apa yang ada di balik sesuatu yang dilakukan itu, serta sejauh mana perubahan kebudayaan itu terjadi ?

Persoalan sebagaimana rumusan di atas akan dijawab dan dideskripsikan dengan membahas aspek-aspek hubungan manusia dengan Tuhan atau leluhur, hubungan manusia dengan sesamanya, dan hubungan manusia dengan lingkungan alam. Asper-aspek hubungan tersebut tampak adanya perubahan-perubahan ketika bertempat tinggal di lingkungan hidup yang baru yaitu di perumahan. Dengan mendeskripsikan hubungan-hubungan tersebut diharapkan dapat menggambarkan suatu identitas tersendiri dari kehidupan etnis Bali-Hindu di perumahan sebagai habitat yang baru.

  • 2.    Beberapa Konsep Sebagai Acuan

Sebelum mendeskripsikan jawaban atas persoalan seperti telah dirumuskan di atas, maka dalam hal ini akan dijelaskan beberapa konsep, di antaranya: adaptasi, reproduksi budaya, dan perubahan. Dasar pikiran perlunya menjelaskan hal itu adalah bahwa antara adaptasi, reproduksi budaya, dan perubahan dipandang berkaitan satu sama lain. Dengan menjelaskan hal itu, bahasan berikutnya dapat lebih jelas dan terarah.

Adaptasi. Secara umum adaptasi terkait dengan lingkungan mempunyai pengertian penyesuaian diri dengan lingkungan. Adaptasi memiliki sifat dinamis karena terjadi secara terus menerus dan cenderung berubah meningkat sebagaimana dikemukakan oleh Triguna. Menurutnya, dalam adaptasi ada peningkatan adaptasi (adaptive upgrading) atau adaptasi dengan modifikasi (adaptive modification) melalui proses pemahaman dan penafsiran ke arah tingkat abstraksi yang berlaku umum. Usaha penyesuaian itu mengandung arti ganda, yaitu manusia berusaha menyesuaikan kehidupannya dengan lingkungan, sebaliknya manusia berusaha pula menyesuaikan lingkungan dengan keinginan dan tujuan mereka (Triguna, 2004: 168). Terkait dengan pendapat di atas, Bennet mengemukakan bahwa dalam proses adaptasi manusia sebagai pendukung kebudayaan bersifat dinamis dan mengembangkan perilaku adaptatif serta strategi adaptasi. Perilaku adaptatif adalah perilaku penyesuaian sedangkan strategi adaftasi adalah berupa tindakan-tindakan yang dipilih manusia dalam proses pengambilan keputusan, karena keberhasilannya sudah dapat diprediksi (Bennet dalam Geriya,2000: 27). Dalam hubungan ini, kebanyakan masyarakat dalam keadaan tertentu ditandai oleh stabilitas ataupun transformasi evolusioner. Namun, dalam beberapa

kasus, suatu masyarakat dapat mengalami perubahan devolusioner: ia dapat berubah menyurut ke bentuk yang mempunyai karakter tahap evolusioner sebelumnya (Sanderson, 2003: 67).

Dari pendapat/pengertian di atas, tercermin bahwa kehidupan manusia atau masyarakat adalah senantiasa bergerak, kebudayaannyapun cenderung berubah sejalan dengan perubahan lingkungan. Dalam pembicaraan ini dan dikaitkan dengan adaptasi, bahwa lingkungan sebagai habitat berubah maka kebudayaan yang hidup di dalamnyapun cenderung berubah pula, apakah perubahan itu dalam arti evolusioner ataukah devolusioner.

Reproduksi budaya. Reproduksi atau reproduction sebagai sebuah kata benda berarti barang tiruan (Echols dan Shadily, 1975: 479). Berangkat dari arti reproduksi itu dan dikaitkan dengan kebudayaan, maka reproduksi budaya diartikan sebagai hasil dari proses aktif pemangku kebudayaan tertentu untuk menghadirkan masa lalu ke dalam kehidupan masa kini, atau hasil dari proses penegasan identitas budaya oleh pendatang yang dalam hal ini menegaskan kebudayaan asalnya, menyangkut bagaimana “kebudayaan asal” dipresentasikan dalam lingkungan yang baru. Dalam proses pembentukan identitas, meskipun ekspresi mereka berbeda, namun dasar reproduksi budaya lebih disebabkan oleh usaha menghadirkan masa lalu ke dalam kehidupan masa kini (Abdullah, 2006: 42-52).

Menurut Benyamin, dengan mengambil contoh karya seni, bahwa secara prinsip sebuah karya seni selalu dapat direproduksi. Artifak buatan manusia selalu dapat ditiru oleh siapapun. Terkait dengan benda tiruan menurut Barthes, bahwa bentuk luar bisa beragam: selalu produk-produk baru akan

tetapi selalu sama maknanya (Benjamin dan Barthes dalam Piliang, 1999: 38-39).

Dari pendapat/pengertian di atas, bahwa pembicaraan tentang kebudayaan dalam hubungan reproduksi besar kemungkinan dari kebudayaan itu untuk tampil berubah sesuai dengan keinginan pelaku. Demikian pula halnya reproduksi budaya terkait dengan perubahan lingkungan      hidup      cerderung

mengakibatkan    beberapa    bentuk

perubahan kebudayaan baik dalam wujud ide, prilaku, maupun fisik.

Perubahan. Perubahan sosial dan kebudayaan mempunyai satu aspek yang sama yaitu bersangkut dengan suatu penerimaan masyarakat terhadap cara-cara baru untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya (Soekanto dalam Duarsa, 2005: 28). Dalam hubungan ini, adanya perubahan lingkungan baik yang terjadi cepat maupun lambat, orang akan berusaha mengadaptasikan diri dengan perubahan itu, kendatipun ada kalanya orang tidak berhasil mengadaptasikan perubahan itu sehingga menghasilkan sifat atau perilaku yang tidak sesuai dengan lingkungannya (Soemarwoto dalam Duarsa, 2005: 30).

Pendapat atau pengertian di atas mencerminkan bahwa orang/manusia tidak akan menerima begitu saja suatu lingkungan yang baru, akan tetapi sedapat       mungkin       berusaha

mengkondisikan lingkungan untuk disesuaikan dengan kebudayaan yang dipangku. Sebaliknya, bisa juga terjadi bahwa seseorang akan mengkondisikan kebudayaannya      untuk      dapat

diimplementasikan dalam lingkungan yang baru. Sikap dan perilaku seperti itu bertujuan agar dapat bertahan hidup pada lingkungan yang dipilih.

  • 3.    Sepintas Identitas Lingkungan

    Hidup di Daerah Asal

Identitas diartikan sebagai suatu ciri lingkungan hidup tertentu yang dapat

dibedakan dengan ciri dari lingkungan hidup lainnya. Dalam hal ini akan ditampilkan identitas lingkungan hidup di tempat asal. Ini dipandang penting karena dengan mengetahui ciri lingkungan hidup di tempat asal tersebut akan dapat diketahui bentuk-bentuk perubahan kebudayaan yang dipangku ketika seseorang hidup atau bertempat tinggal pada lingkungan yang baru yaitu di perumahan. Dalam hubungan ini akan diidentifikasi beberapa ciri umum atau ciri-ciri yang mempunyai relevansi dengan persoalan yang akan dibahas. Dengan demikian identitas kehidupan pada lingkungan hidup yang baru yaitu di perumahan menjadi tampak jelas perbedaannya.

Lingkungan hidup di daerah asal yang dimaksud adalah suatu daerah dari mana seseorang berpindah tempat tinggal. Daerah asal itu adalah di desa yang kemudian pindah ke tempat lain yaitu di kota dan tinggal di perumahan. Perpindahan seseorang (penduduk) yang demikian itu disebut urbanisasi. Ciri-ciri yang menonjol dan relevan untuk nantinya dapat menggambarkan perubahan kebudayaan antara lain adalah: hal-hal yang menyangkut aspek religius, aspek kehidupan sosial, dan aspek pemanfaatan lingkungan alam (aspek yang merupakan komponen-komponen Tri Hita Karana yaitu aspek hubungan manusia dengan Tuhan atau parhyangan, hubungan manusia dengan sesamanya atau pawongan, dan hubungan manusia dengan lingkungan alam atau palemahan).

Ciri dalam aspek religius pada tingkat keluarga adalah menyangkut keberadaan kuil keluarga. Kuil keluarga yang biasa disebut sanggah atau merajan, secara umum minimal terdiri atas pelinggih kemulan dan taksu, berikut tugu atau penunggun karang. Dilihat dari tata ruang dan fungsinya, maka pada umumnya penempatan dari kuil keluarga

ini adalah pada zoning timur laut atau kaja-kangin. Namun, pada daerah tertentu ada pula yang menempatkan kuil keluarga itu pada zoning barat laut atau kaja-kauh (orientasi ke jalan). Baik penempatannya kaja-kangin maupun kaja-kauh, semua itu berpedoman pada arah hulu atau luan.

Pada umumnya orang yang sudah menikah dan hidup neo-lokal (membuat dan menempati rumah baru pada lokasi tertentu), membuat dan menempatkan kuil keluarga sebagaimana tersebut di atas. Hal itu telah dirancang sejak awal dan ketika membangun rumah, tempat (tegak) kuil keluargalah yang menjadi patokan dan kemudian diikuti bangunan lainnya secara berstruktur semakin ke hilir atau ngetebenang. (Catatan: luan berorientasi ke gunung atau matahari terbit, sedangkan teben berorientasi ke laut atau matahari terbenam).

Prilaku religius seperti pelaksanaan upacara terhadap bangunan, umumnya dilakukan tahap demi tahap sesuai dengan tahapan membangun dan dilaksanakan dalam waktu menyesuaikan (tidak dalam waktu bersamaan). Pelaksanaan upacara-upacara lainnya seperti upacara pada saat hari raya (rahinan) Galungan, Kuningan, dan lain-lainnya dilakukan tepat waktu. Namun, ngerahinin atau maturan sehari-hari oleh masing-masing keluarga umumnya jarang dilakukan.

Prilaku religius seperti upacara siklus hidup anggota keluarga dilakukan sebagaimana mestinya pada tempat yang telah disediakan khusus untuk itu atau pada tempat tertentu yang telah disepakati secara turun-temurun. Demikian pula halnya upacara terhadap hewan piaraan dan tumbuhan serta tanah (pekarangan, sawah, tegalan) dilakukan sesuai dengan kebiasaan/tradisi pada masing-masing daerah. Dalam hal seperti ini ada sikap dan perilaku memanusiakan

lingkungan melalui pengadaan upacara sebagaimana mestinya.

Dalam kehidupan bersama, prilaku religius di tempat asal juga terlihat pada adanya keterikatan kepada pura Tri Kahyangan (pura desa, puseh, dan dalem). Terkait dengan pelaksanaan upacara pada pura tersebut warga Hindu di desa melakukannya secara bersama-sama yang lumrah disebut ngayah. Dalam pelaksanaan upacara seperti itu, jika ada peristiwa kesurupan (kerawuhan) maka hal itu secara bersama relatif dapat meyakini bahwa hal itu memang benar adanya (bukan karena emosional seseorang melainkan hal itu memang menunjukkan keberadaan-Nya lewat jiwa dan raga seseorang).

Ciri dalam aspek kehidupan sosial, bahwa secara sosial kehidupan di daerah asal (desa) terarganisasi secara formal maupun tradisional. Secara formal terorganisasi dalam dusun maupun desa dinas, sedangkan secara tradisional terorganisasi dalam banjar ataupun desa adat/pekraman. Organisasi dinas menangani masalah-masalah kedinasan seperti pelayanan KTP, pajak bumi dan bangunan (PBB), lomba desa, mobilitas penduduk, dan lain-lain. Sedangkan organisasi tradisional menangani masalah-masalah kehidupan tradisi seperti penanganan upacara dan lain-lain.

Pengerahan tenaga secara gotong-royong baik dalam arti kerja bakti maupun tolong-menolong (ngopin) relatif mudah digerakkan dan umumnya masih tetap lestari sampai saat ini. Prinsip timbal-balik (principle of reciprocity) yaitu prinsip saling memberi dan menerima dalam bentuk makanan yang sering disebut dengan istilah ngejot, umumnya masih hidup dan sering dilakukan orang. Dengan demikian, solidaritas dan kebersamaan dikedepankan demi kesatuan hidup di desa. Di samping itu, sebagai kunci pokok (cipok) dalam menjaga keutuhan

organisasi adalah ketaatan warga terhadap norma (awig) yang lebih menekankan sanksi moral. Awig memberikan batasan kepada setiap warga untuk selalu melakukan sesuatu menurut kehendak bersama, sehingga seseorang di samping sebagai diri pribadi juga dapat menjadi bagian dari kehidupan bersama atau masyarakat.

Ciri dalam aspek lingkungan alam, bahwa warga desa relatif dapat menunjukkan disiplin di dalam penggunaan sebidang tanah untuk pekarangan. Artinya, bahwa mereka itu hanya menggunakan tanah sesuai dengan haknya untuk berbagai kepentingan secara berkepanjangan. Namun demikian, bukan berarti tidak sama sekali menggunakan apa-apa yang bukan menjadi haknya, akan tetapi jika harus menggunakan hak orang lain atau hak milik umum itupun hanya untuk sementara dan prosesnya melalui musyawarah (rembug) atau sesuai dengan awig yang ada.

  • 4.    Perubahan Lingkungan Hidup dan Perubahan Kebudayaan

Perubahan kebudayaan sebagaimana telah diuraikan pada bagian lain di atas, menunjuk pada adanya perubahan lingkungan hidup. Berangkat dari hakikat hidup manusia yang secara terus-menerus disertai oleh sikap dan prilaku adaptif maka perubahan itupun senantiasa cenderung mengikutinya. Lingkungan hidup berubah maka kebudayaan yang dipangku oleh mereka yang menempati lingkungan itu cenderung ikut berubah. Perubahan itu dapat berarti progres atau maju sebagaimana pengertian evolusi atau bisa juga regres atau mundur sebagaimana pengertian devolusi dibidang sosial budaya.

Perubahan lingkungan hidup dan perubahan kebudayaan dapat mengambil sebuah kasus pada kehidupan di perumahan dimana sebelumnya diawali

oleh kehidupan di daerah asal (desa). Seperti telah diuraikan di atas, bahwa perubahan kebudayaan itu digambarkan melalui aspek kehidupan religius, kehidupan sosial, dan orientasi dalam penggunaan lahan atau lingkungan alam di perumahan sebagai lingkungan hidup yang baru.

Berangkat dari situasi perumahan dimana penduduk desa mengubah diri menjadi urbanis yang menempatinya, mereka adalah menerima rumah sudah jadi yang telah berpola seragam versi pengembang. Unit-unit rumah dibangun begitu saja oleh pengembang tanpa kesepakatan dengan pembeli (penghuni sekarang) terutama mengenai tata ruang dan fungsinya menurut budaya penghuni (budaya Bali). Itu adalah wajar, karena perumahan yang dibangun adalah untuk umum bukan untuk konsumen Bali-Hindu semata. Jadi unit-unit rumah yang dibangun adalah murni merupakan kehendak pengembang berpedoman pada nilai praktis dan ekonomis, diperjualbelikan untuk memperoleh laba atau keuntungan yang setinggi-tingginya (profit oriented).

Atas dasar situasi perumahan seperti tersebut di atas, sebagai suatu yang baru sudah barang tentu mereka merasakan sesuatu yang aneh dan berbeda jika dibandingkan ketika hidup di tempat asal. Keanehan dan perbedaan itu utamanya terlihat pada situasi rumah (perumahan) yang sudah terpola seragam dengan fasilitas terbatas dan tata ruang tidak sesuai dengan tempat dan fungsinya menurut budaya yang dianut.

Tata ruang dan fungsinya yang ada di dalam sebuah unit bangunan rumah relatif jauh dari ciri-ciri ideal tata ruang budaya Bali sebagaimana komitmen pembangunan berwawasan budaya (budaya Bali yang berjiwakan agama Hindu). Tata ruang dan fungsinya menurut budaya Bali tampak telah tersisih akibat pengutamaan perilaku

yang berorientasi bisnis. Dari hal itu dapat dikatakan bahwa komitmen pembangunan berwawasan budaya yang telah di-perda-kan dengan harapan dapat menampilkan wajah bangunan yang bercirikan budaya Bali tidak ada realisasinya dan berhenti dalam sebuah wacana peraturan daerah.

Tata ruang dan fungsinya dibuat berpola seragam menurut arah dan tipe bangunan rumah. Rumah menghadap ke barat, ruang dapur ada pada posisi arah timur laut atau kaja-kangin (utamaning utama mandala), atau kamar mandi/wc ada pada posisi arah utara atau kaja (utamaning madya mandala). Rumah menghadap ke timur, ruang dapur ada pada posisi arah barat laut atau kaja-kauh (utamaning nista mandala), atau kamar mandi/wc ada pada posisi utara atau kaja (utamaning madya mandala). Rumah menghadap ke utara atau kaja, ruang dapur ada pada posisi arah tenggara atau kelod-kangin (utamaning nista mandala), atau kamar mandi/wc ada pada posisi arah timur atau kangin (utamaning madya mandala). Sedangkan rumah menghadap ke selatan atau kelod, ruang dapur ada pada posisi arah barat daya (kaja-kauh)(utamaning nista mandala) atau timur laut (kaja-kangin)(utamaning utama mandala), atau kamar mandi/wc ada pada posisi arah timur laut (kaja-kangin) (utamaning utama mandala) atau timur (kangin).

Ruang kosong secara terpola pula disediakan pada posisi di depan bangunan rumah. Demikian gambaran tata ruang pada sebuah unit rumah dalam sebuah pekarangan versi pengembang. Tata ruang seperti itu sudah jelas menunjukkan ketimpangan dari perspektif tata ruang budaya Bali. Dikatakan demikian karena pada posisi arah tersebut menurut aturan tata ruang budaya Bali disebut arah luan (utamanya pasisi arah kaja-kangin), dipandang mempunyai nilai suci/sakral, dan

dimanfaatkan sebagai tempat kuil keluarga berupa sanggah/merajan, pelinggih tertentu, kamar suci atau pegayungan, dan lain-lain.

Rumah dibangun sedemikian rupa dengan wajah budaya yang tersisih terutama tidak disediakannya ruang sebagai tempat atau tegak kuil keluarga bagi etnis Bali Hindu. Ruang kosong yang disediakan hanya bagian depan bangunan rumah secara seragam tidak terkecuali menghadap kemanapun rumah tersebut dibangun. Hanya pada ruang kosong itulah peluang untuk membangun kuil keluarga jika ditata secara horisontal. Akan tetapi, jika kuil keluarga ditata secara vertikal bisa juga ditempuh melalui renovasi rumah yang sudah ada.

Atas dasar deskripsi identitas lingkungan hidup dan implementasi budaya pada tempat asal sebagaimana uraian terdahulu dan membandingkannya dengan situasi lingkungan hidup di perumahan, maka akan tampak adanya beberapa bentuk perubahan kebudayaan baik perubahan pada tingkat ide, prilaku, maupun fisik. Dalam hal ini, deskripsi tentang perubahan berdasar atas analisis aspek religius (hal-hal yang bersangkut paut dengan keberadaan alam niskala), sosial, dan pemanfaatan lingkungan alam.

Perubahan dalam aspek religius secara fisik jelas dapat dilihat pada penempatan dan jenis kuil keluarga. Namun, hal itu sudah barang tentu berdasar atas adanya ide dan perilaku yang telah berubah dari para pelaku. Jadi sifat dari kebudayaan itu adalah cair tanpa pernah diam seperti apa yang telah diwariskan secara turun-temurun. Akan tetapi akan selalu berubah (diciptakan) sejalan dengan perubahan situasi yang sedang dihadapi demi terpenuhinya berbagai kebutuhan hidup, utamanya kebutuhan religius yang berpedoman pada budaya yang dipangku (budaya tata ruang).

Urbanis etnis Bali-Hindu sebagai penghuni perumahan tampak senantiasa berkeinginan untuk tetap dapat tampil sebagaimana budaya yang dipangku. Untuk itu dalam adaptasinya mereka mereproduksi budayanya melalui berbagai upaya, tentunya tetap berpegang pada keyakinan terhadap keberadaan alam transenden (niskala) yang banyak berperan dalam menentukan baik-buruknya kehidupan pada alam imanen (sekala) ini. Dalam aspek religius tetap membuat kuil keluarga, akan tetapi jenis dan penempatannya berorientasi pada ruang kosong yang telah disediakan oleh pengembang. Walaupun demikian, pedoman arah luan-teben masih dipakai acuan namun dalam hal-hal tertentu realisasinya sering berdasarkan atas argumentasi dari pelaku. Kadangkala argumentasi tersebut hanya sebuah pembenar atas apa yang telah dilakukan.

Karena aspek ini (religius) banyak didasari oleh keyakinan (rasa) bagi masing-masing pelaku, maka baik argumentasi maupun realisasinya sering berbeda satu sama lain. Namun demikian bukan berarti keberadaan budaya yang dipangku terabaikan secara mutlak, melainkan beberapa pelaku di antaranya ada juga yang berusaha mereproduksi budayanya sebagaimana tampilan budaya asli. Realitasnya secara horisontal dibangun kuil keluarga berupa kemulan dan taksu dan di tempatkan pada zoning timur laut (kaja-kangin). Di samping itu, agar adanya kesesuaian tata ruang dan fungsinya secara budaya dilakukan pula alih fungsi ruang dimana ruang dapur yang semula berada pada posisi arah timur laut (kaja-kangin) dialihfungsikan menjadi kamar suci atau pegayungan.

Menurut tata ruang budaya Bali yang berlaku umum, sebagaimana dikemukakan oleh Gelebet (2002: 120121), bahwa tempat pemujaan keluarga disebut sanggah pengantenan, bangunannya berupa kemulan dan taksu,

letaknya di sudut pekarangan kaja kangin. Demikianlah pada umumnya berlaku pada daerah asal masing-masing, namun ketika mereka (etnis Bali-Hindu) dalam statusnya sebagai urbanis dan bertempat tinggal di perumahan, hal itu realitasnya banyak mengalami perubahan variatif antara masing-masing pelaku.

Sebagaimana diuraikan di atas, bahwa ada beberapa di antaranya dapat menampilkan diri sebagai mana budaya yang dipangku, tetapi banyak juga yang tampil dalam perubahan. Perubahan itu berupa penempatan dan jenis pelinggih sebagai kuil keluarga. Perubahan itu antara lain disebabkan oleh keterbatasan lahan, posisi rumah, cara berpikir yang kemudian lahir sebagai alasan berperilaku, dan sebagainya.

Dari sisi peletakan kuil keluarga (sanggah/merajan) baik secara harisontal maupun vertikal , ada yang meletakkannya pada sudut timur laut (kaja kangin), barat laut (kaja kauh), tenggara (kelod kangin), dan ada pula di tengah-tengah pada sisi pekarangan bagian depan. Penempatan kuil keluarga seperti itu menurut masing-masing pelaku tetap berpegang pada pedoman arah luan-teben berdasarkan argumentasi tertentu. Argumentasinya adalah: pertama, tidak ada jalan lain dan ini menyesuaikan dengan adagium desa, kala, dan patra; kedua, Tuhan ibarat angin yaitu ada di mana-mana, oleh karena itu untuk memujaNya dimanapun bisa; dan ketiga, penempatan seperti itu masih tergolong di luan dipandang dari pintu keluar-masuk pekarangan atau pemesuan/lebuh. Alasan-alasan itu mencerminkan fleksibelitas cara berpikir dari para pelaku di dalam proses reproduksi budaya dan dilegitimasi bahwa alasan dan perilaku tersebut adalah benar menurut pelaku.

Perubahan juga tampak pada jenis pelinggih yang digunakan sebagai kuil keluarga yaitu dari kemulan dan taksu

menjadi padma (jenis pelinggih tanpa atap). Alasannya, bahwa semua itu hanya sebagai tempat penyawangan dan bersifat simbolis saja, kenapa tidak boleh. Demikian berbagai alasan yang melandasi perilaku yang tampaknya semakin berubah (berkembang) dalam proses adaptasi dan reproduksi budaya ketika seseorang hidup dalam lingkungan yang baru.

Dalam suatu kasus tertentu perubahan tidak selalu berarti berkembang (dinamis) sebagai mana evolusi, akan tetapi bahwa perubahan itu justeru tampak kembali kepada apa yang telah diwarisi sebelumnya (devolusi). Kuil keluarga berupa kemulan dan taksu pada akhirnya kembali dibangun setelah dinyatakan bahwa Beliau (Leluhur) tidak berkenan distanakan pada pelinggih padma. Hal itu diketahui melalui perantara orang pintar dengan cara meluasang atau nunas baos setelah keluarga pelaku mengalami kejadian-kejadian yang tidak logis (kebrebehan) seperti sakit non-medis, hidup boros, tidak betah di rumah, dan sebagainya. “Percaya tak percaya yang jelas bahwa hal itu nyata adanya”.

Terhadap kasus di atas, bahwa pernyataan seperti yang sering terlontar di masyarakat yaitu “…… tergantung desa, kala, dan patra” senyatanya dalam hal-hal tertentu tidak berlaku. Di kalangan masyarakat ilmiah, boleh saja berkata bahwa jika demikian halnya, itu berarti “Tuhan tidak toleransi” terhadap situasi yang sedang dihadapi umatNya. Tidakkah sebaliknya, bahwa umat-Nyalah yang sesungguhnya egois dengan menganggap dirinya serba bisa sehingga semuanya dianggap bisa diatur secara logis atau menurut kemampuan pikir. Ia sadar bahwa apa yang ada dalam pikirannya kemudian dilakukan, itu adalah jelas-jelas terkait dengan hal-hal yang bersifat transenden (niskala), namun ia mengabaikan atau lupa akan sifat adi kodrati dari dunia niskala yang

justeru amat sangat mempengaruhi terhadap baik-buruknya kehidupan pada dunia nyata (sekala).

Sisi perilaku keagamaan yaitu pelaksanaan ritual tertentu baik berkenaan dengan upacara terhadap leluhur, manusia, bangunan, maupun upacara terhadap lingkungan alam, bagi penghuni perumahan juga dilakukan. Akan tetapi mengalami perubahan dari segi waktu dan tempat. Waktu pelaksanaan ritual tertentu sesuai dengan kasus yang ada dilakukan mendahului sehari sebelum waktunya. Sebagai contoh, pelaksanaan upacara hari raya Galungan dilaksanakan sehari sebelumnya. Hal itu dilakukan dengan maksud agar dengan demikian upacara di rumah asal (desa) dapat dilakukan bersama-sama tepat pada waktunya. Upacara terhadap bangunan rumah, mengingat yang diterima adalah rumah sudah jadi yang secara teknis sudah siap huni, pelaksanaan upacara dilakukan sekali waktu secara bersamaan mulai dari mecaru, peletakan batu pertama (mulang dasar), makuh, dan melaspas (simplifikasi pelaksanaan upacara).

Dari sisi tempat, mengingat fasilitas ruang yang ada dalam bangunan satu atap maka pelaksanaan ritual terhadap manusia (oton) tidak dilakukan pada tempat khusus untuk itu. Upacara tersebut kadang-kadang dilakukan pada ruang tamu, kamar tidur, emper atau banjah, ataupun ruang kosong lainnya yang memungkinkan untuk itu. Kemudian pelaksanaan ritual terhadap lingkungan alam seperti upacara pada hari tumpek wariga atau tumpek uduh/pengarah (upacara terhadap tumbuh-tumbuhan) sacara umum tidak dilakukan. Pelaksanaan ritual-ritual tertentu lainnya pada umumnya dilakukan kembali ke tempat asal (desa) masing-masing.

Aspek kehidupan sosial, bahwa penghuni perumahan (perumahan “Green

Kori” sebagai suatu kasus) adalah penduduk Dusun Tegal Kori sekarang (perumahan “Green Kori” identik dengan Dusun Tegal Kori). Penghuni perumahan ini secara sosial terorganisasi secara formal saja yaitu berupa banjar/dusun dinas. Artinya tidak serta merta terorganisasi secara tradisional atau adat sebagai mana ketika berada pada daerah asal masing-masing. Mengingat penghuni perumahan bersifat heterogen utamanya dilihat dari segi agama, maka secara non formal untuk menjaga keutuhan kesatuan umat maka penghuni perumahan membentuk kelompok-kelompok berdasarkan agama. Salah satunya adalah kelompok umat Hindu dengan sarana pemersatu berupa pura (Pura Kori Agung, Campuhan, dan Pura Balai Banjar), dalam hal ini bukan Kahyangan Tiga (Pura Desa, Puseh, Dalem) sebagai mana pada desa adat/pakraman.

Kehidupan bersama di perumahan adalah nyata ada, namun pengerahan warga dalam kegiatan-kegiatan tertentu seperti gotong-royong (ngayah) relatif susah diwujudkan. Jangankan gotong-royong, hidup saling kenal-mengenal saja relatif susah terealisasi. Faktor penyebabnya antara lain: heterogenitas berdasarkan pekerjaan, yaitu pegawai negeri, karyawan swasta, wiraswasta, dan lain-lain, sehingga waktu kosong yang tersedia bagi mereka berbeda-beda. Dengan demikian waktu untuk mengikuti kegiatan bersama relatif susah diatur. Di samping itu sulitnya mewujudkan kekompakan dalam melaksanakan berbagai kegiatan disebabkan pula oleh tidak adanya pedoman aturan yang bersanksi (awig) atau hanya berdasar atas kesadaran.

Dari uraian tersebut di atas, pada akhirnya dalam hal ini dapat dikatakan mengalami suatu perubahan. Kehidupan kelompok di perumahan cenderung lebih menonjolkan nilai individual di atas nilai solidaritas. Sebagai contoh, bahwa

ngayah dalam rangka pelaksanaan upacara piodalan atau pujawali di pura, dimana saat proses sebelum persembahyangan bersama jarang sekali yang mengikuti akan tetapi pada saat persembahyangan (proses akhir) adalah penuh atau umat seolah-olah tumpah semuanya. Namun perlu kiranya disadari bahwa semua itu mungkin terjadi tidak terlepas dari faktor sejauh mana kepercayaan anggota kepada pemimpinnya.

Terkait dengan sikap dan perilaku penggunaan lingkungan alam di perumahan sebagai lingkungan hidup yang baru bagi urbanis, tentu dapat dimengerti bahwa keberadaannya belum cukup untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup. Namun, bagaimanapun juga seharusnya setiap orang sadar akan sebuah hak. Lingkungan alam dalam hal ini secara garis besarnya dapat dibedakan menjadi tiga yaitu: milik pribadi atau keluarga berupa pekarangan, fasilitas khusus (fasus) berupa tegak pura, dan fasilitas umum (fasum) berupa jalan, tanah kosong disekitar perumahan, tegak balai banjar, dan lapangan. Pembagian tersebut sudah cukup jelas menggambarkan hak-hak yang menyertainya, mana hak keluarga, hak kelompok, dan hak umum bagi penghuni perumahan secara keseluruhan.

Persoalan hak adalah penting karena dengan mengetahui hal itu penghuni mengetahui batas-batas dalam memperlakukan lingkungan alam yang ada. Dalam hubungan ini penghuni perumahan secara umum sadar akan hak-hak tersebut. Akan tetapi beberapa di antara penghuni sebagai suatu kasus tidak memperhatikan mana yang menjadi haknya atau barangkali ia sudah mengerti hal itu namun atas berbagai pertimbangan banyak juga yang menggunakan fasilitas yang bukan menjadi haknya. Ia menggunakan fasilitas umum berupa tanah kosong pada daerah-daerah

pinggiran untuk memperluas pekarangan bahkan dimanfaatkan sebagai tempat membangun rumah (tegak umah) tanpa melalui mekanisme yang benar. Keadaan seperti itu menggambarkan rendahnya disiplin penghuni perumahan itu dengan lebih mengutamakan nilai kuasa terhadap alam. Jika dibandingkan dengan kehidupan pada daerah asal (desa) masing-masing. hal seperti itu relatif tidak pernah dijumpai.

Demikian sekilas deskripsi tertang perubahan lingkungan hidup yang disertai perubahan kebudayaan yang dipangku oleh agen perubahan (urbanis etnis Bali-Hindu). Ternyata kebudayaan tidak selalu dapat diturunkan atau diwariskan sepenuhnya dari generasi ke generasi berikutnya, melainkan dapat juga diciptakan oleh pelaku sesuai dengan situasi yang sedang dihadapi.

  • 5.    Simpulan

Manusia dalam hidupnya cenderung bersifat dinamis dalam arti senantiasa bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain. Dalam hal ini bergerak berarti berpindah tempat tinggal yang semula di desa menjadi di kota (perumahan). Lingkungan hidup di daerah asal (desa) berbeda dengan lingkungan hidup di perumahan. Berbeda berarti berubah, perubahan lingkungan hidup membawa konsekuensi berubah pula kebudayaan yang dipangku.

Perubahan di berbagai aspek kehidupan terjadi melalui proses adaptasi dengan lingkungan yang baru. Melalui proses adaptasi, perubahan kebudayaan diciptakan oleh pelaku atas dasar argumentasi tertentu demi terpenuhinya kebutuhan masing-masing. Oleh karena itu, reproduksi budaya terkait dengan proses adaptasi maka terlahirlah suatu perubahan kebudayaan yang beranekaragam baik dalam wujud nilai, perilaku, maupun fisik. Kebudayaan dengan demikian bukan semata-mata

diwariskan dari generasi sebelumnya akan tetapi juga dapat dibentuk oleh pelaku sebagai reaksi terhadap situasi yang sedang dihadapi, sehingga perubahan menjadi tidak mungkin ditiadakan.

Daftar Pustaka

Abdullah, Irwan, 2006. Konstruksi dan Reproduksi         Kebudayaan.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bagus, I Gusti Ngurah, 1980. “Kebudayaan Bali” dalam Manusia dan Kebudayaan Di Indonesia. Koentjaraningrat (ed). Jakarta: Jambatan.

Duarsa, Subrata, 2005. Rumah Susun Polda Bali di Denpasar (tesis). Denpasar:  Program Pascasarjana

Universitas Udayana.

Gelebet, I Nyoman, dkk. 2002. Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Arinton Puja (Penyunting). Denpasar: Badan Pengembangan Kebudayaan Dan Pariwisata Deputi Bidang      Pelestarian      Dan

Pengembangan Budaya Bagian Proyek     Pengkajian     Dan

Pemanfaatan Sejarah Dan Tradisi Bali.

Geriya, I Wayan, 2000. Transpormasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad XXI. Denpasar: Dinas Kebudayaan Propinsi Bali.

Hartomo, H dan Aziz, Arnicun, 1990. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Bumi Aksara.

Koentjaraningrat, 1980. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: PT. Dian Rakyat.

Sanderson, Stephen K 2003. Makro Sosiologi, Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Soekanto, Soerjono, 1983. Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Suarsana, I Nyoman, 2008. Reproduksi Budaya Dalam Implementasi Tri Hita Karana Pada Perumahan ”Green Kori” Di Desa Ubung Kaja, Kecamatan Denpasar Utara, Kota Denpasar (tesis). Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Yuda Triguna, I. B. Gde, 2004. “Kecenderungan       Perubahan

Karakter Orang Bali” dalam Politik Kebudayaan Dan Identitas Etnik. I Wayan Ardika dan Darma Putra (ed). Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana dan Bali Mangsi Press.