DOI: https://doi.org/10.24843/SP.2023.v7.i02.p03

p-ISSN: 2528-4517 e-ISSN: 2962-6749

Beo dalam Sistem Sosial Masyarakat Manggarai di Satarara

Liventinus Hambur*, I Nyoman Suarsana, A.A. Ayu Murniasih

Program Studi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana [liventinushambur@gmail.com] [inyoman_suarsana@unud.ac.id] [ayu_murniasih@unud.ac.id]

Denpasar, Bali, Indonesia *Corresponding Author

Abstract

The people of Satarara Hamlet in carrying out their daily lives are based on the social system that exists in society, so that with the existence of a system, people can easily carry out everything in social life. This research was conducted to find out the elements that make up beo/golo are, and beo function in the social system of society. The method used in this research is qualitative by using structural functionalism theory and systems theory. This study uses several techniques in obtaining data, namely observation, interviews, and literature study. Based on the results of the study, the social system in society is a system formed because of the actions and interactions carried out by the community to achieve a common goal. As for some of the elements in forming a parrot, namely: Mbaru bate ka'eng, Natas bate Labar, Uma bate duat, Wae bate teku, and Compang bate dari. The system that is formed usually makes it easier for the community to carry out daily activities, be it in the form of deliberation, family activities, or mutual cooperation (dodo).

Keywords: Beo, Social System, Community

Abstrak

Masyarakat Dusun Satarara dalam menjalankan kehidupan sehari-hari didasari oleh sistem sosial yang terjalin di dalam masyarakat, sehingga dengan adanya sebuah sistem, masyarakat dengan mudah menjalankan segala sesuatu dalam kehidupan bermasyarakat. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui unsur-unsur pembentuk beo/golo, dan fungsi beo dalam sistem sosial masyarakat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan teori fungsionalisme struktural dan teori sistem. Penelitian ini menggunakan beberapa teknik dalam mendapatkan data yaitu observasi, wawancara, dan studi kepustakaan. Berdasarkan hasil penelitian, sistem sosial pada masyarakat merupakan sistem yang terbentuk karena adanya tindakan-tindakan maupun interaksi yang dilakukan oleh masyarakat untuk mencapai suatu tujuan bersama. Adapun beberapa unsur-unsur dalam membentuk sebuah beo yaitu: Mbaru bate ka’eng , Natas bate labar, Uma bate duat, Wae bate teku, dan Compang bate dari. Sistem yang terbentuk biasanya memudahkan masyarakat dalam menjalani aktivitas sehari-hari, baik itu dalam bentuk musyawarah, aktivitas keluarga, maupun gotong royong (dodo).

Kata kunci: Beo, Sistem Sosial, Masyarakat

Sunari Penjor : Journal of Anthropology

Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara yang majemuk dengan keberagaman suku bangsa, ras, agama, dan bahasa. Ditengah kemajemukan itu, Indonesia masih bisa hidup rukun, toleransi dan bisa menjalin persaudaraan dengan orang yang memiliki keyakinan yang berbeda. Masyarakat Indonesia pada umumnya memiliki kebudayaan dari latar belakang yang berbeda, namun hal itu tergantung bagaimana masyarakat menyikapi keberagaman dan bagaimana cara beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda. Masyarakat yang mendiami suatu kampung cenderung memiliki persamaan baik itu dilihat dari persamaan warna kulit, bahasa yang digunakan sehari-hari, maupun kebiasaan dari masyarakat, sehingga kebudayaan yang mereka hasilkan itu sama.

Manusia merupakan makhluk sosial yang menjalankan suatu kebudayaan sehingga kebudayaan dapat dilihat secara nyata (Bakker, 1990: 15). Melalui kegiatan kebudayaan sesuatu yang diperoleh dari unsur-unsur kebudayaan seperti bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi dan kesenian dapat kita jumpai pada setiap suku ataupun etnik yang ada di seluruh dunia (Koentjaraningrat, 1985).

Kebudayaan yang dihasilkan oleh masyarakat Manggarai itu bersifat turun temurun dari satu generasi ke generasi lainnya. Pada masyarakat Manggarai, Tombo nunduk (kisah/cerita rakyat) dapat dipahami sebagai aktivitas dalam meneruskan sejarah keberadaan sebuah keturunan suku (klan yang disebut wa’u) yang diceritakan secara terus menerus secara lisan kepada setiap generasi keturunan itu.

Berdasarkan cerita rakyat (tombo nunduk) pada masyarakat Manggarai mengenai asal–usul sebuah klan (panga),

masyarakat dapat memahami bagaimana kedudukan mereka dalam sebuah kampung (beo). Masyarakat Manggarai biasanya menggunakan dua istilah yang biasanya dipakai dalam kehidupan sehari-hari yaitu beo/golo.

Dua istilah yang sering dipakai oleh orang Manggarai mengenai suatu kampung yaitu “ Beo dan Golo”.Kedua istilah ini pada umumnya kita jumpai di Manggarai yang memiliki arti yang sama yaitu kampung; Akan tetapi kedua istilah di atas sebenarnya memiliki arti yang berbeda dan terkadang generasi sekarang atau generasi muda belum memahami akan kedua istilah di atas, yang berarti kurangnya kesadaran dari pada generasi muda untuk mempelajari kebudayaan yang ada khususnya pada masyarakat Dusun Satarara.

Beo ialah suatu tempat tinggal yang dihuni oleh sekelompok masyarakat untuk selama-lamanya atau sering juga disebut golo lonto (Resmini & Mabut, 2020).

Sistem sosial di dalam suatu komunitas pada masyarakat Manggarai cenderung sangat terlihat apalagi di dalam suatu Beo atau Golo dengan cara hidup mereka yang tinggal berkelompok dengan keluarga atau Wa’u dalam bahasa Manggarai dalam garis keturunan patrilineal. Menurut Lawang (2004: 4950) menyebutkan ada perbedaan antara Beo dan Golo. Semua beo adalah golo akan tetapi tidak semua golo itu adalah beo.

Beo pada masyarakat Manggarai merupakan tempat yang dipilih oleh leluhur dan telah diupacarai sesuai dengan tata krama adat Manggarai seperti: upacara cece-cocok (membunuh seekor kerbau untuk membersihkan lokasi perkampungan) dan kemudian melaksanakan pesta congko lokap, suatu ritus/upacara yang diselenggarakan untuk meresmikan masuknya mbaru gendang sebagai rumah adat dari suatu suku

(wa’u) yang mendiami kampung dan rumah adat tersebut. Dengan kata lain perkampungan yang ada saat ini baik itu beo ataupun golo sudah pasti telah melaksanakan upacara-upacara adat yang telah diatur dengan kepentingan tersebut (Janggur, 2010: 1).

Kisah berdirinya atau terbentuknya suatu beo tidaklah sama. Hal ini bergantung sejarah dari awal mula para leluhur menemukan tempat tersebut dan kemudian menjadikan sebuah kampung seperti sekarang. Terbentuknya kampung di Manggarai itu bermacam-macam dan masyarakat mengetahui asal usul suatu kampung melalui tradisi lisan yang diwariskan oleh leluhur dari suatu generasi ke generasi yang lainnya yang turun temurun secara teratur melalui cerita rakyat setempat.

Beberapa faktor yang mendasari terbentuknya beo/golo menurut Janggur (2010: 2-3) yaitu sebagai berikut: (1)Ada yang terbentuk karena empo (leluhur) dahulu “karong” dihantar atau dibantu oleh babi yang hendak beranak (karong le ela); (2) Terbentuk karena karong le acu ( dibantu oleh anjing) di mana anjing mengantarkan tuannnya ke mata air, dari situlah leluhur itu memilih untuk menetap didekat mata air tersebut; (3) Adapula yang menceritakan asal usul terjadinya kampung mereka karena empo (leluhur) mereka berasal dari rumpun belang atau leluhur mereka yang keluar dari buluh belang; (4) Beo/golo juga ada yang terbentuk dari pondok besar yang sengaja mereka dirikan di kebun ada dan memilih untuk menetap disana; (5) Beo/golo juga terbentuk karena terjadi perpindahan dari kampung yang lama ke kampung yang baru dikarenakan adanya bencana alam.

Adapun faktor lain yang mempengaruhi berkembanganya suatu golo yaitu faktor ekonomi karena mereka menganggap tanah di golo tersebut subur sehingga mereka bisa bertahan hidup dan

memilih untuk menetap di golo. Adapula faktor lainnya yaitu karena pekerjaan atau ditempatkan di golo tersebut sehingga memilih meninggalkan beo, akan tetapi pada saat-saat tertentu mereka akan akan tetap kembali ke beo.

Adapun tujuan dari pada penelitian ini yaitu: (1) untuk mengetahui unsur-unsur pembentuk beo/golo pada masyarakat Manggarai sehingga layak dikatakan sebagai beo/golo, dan (2) untuk mengetahui fungsi beo dalam sistem sosial masyarakat di Dusun Satarara Kelurahan Nantal Manggarai Barat NTT.

METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu observasi partisipasi, dimana peneliti melakukan penelitian dengan cara ikut berpartisipasi di dalam masyarakat untuk mengetahui fenomena-fenomena yang ingin dikaji oleh peneliti dan secara langsung menanyakan masalah terkait kepada informan yaitu tokoh masyarakat yang mengetahui secara persis tentang budaya masyarakat Dusun Satarara Kelurahan Nantal Kecamatan Kuwus Manggarai Barat NTT, yang mana kampung Satarara merupakan sebuah golo yang awalnya hanya berasal dari sebuah mukang (pondok besar yang ada di kebun) sehingga bisa membentuk sebuah kampung yang baru dan masih eksis sampai sekarang ini.

Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data langsung baik itu melalui peninjauan lapangan maupun data yang didapatkan langsung dari informan atau tokoh masyarakat yang mengetahui masalah yang ingin diteliti, dan data sekunder yaitu data tidak langsung atau yang didapatkan dari berbagai media baik itu media cetak maupun media elektronik

yang menunjang peneliti dalam melakukan penelitian

Teknik analisis data yang digunakan dalam mengolah data yaitu teknik yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (2005). Penelitian ini menggunakan teori yang dikemukakan oleh Parsons yaitu Fungsionalisme struktural, dimana masyarakat dipandang sebagai suatu sistem yang terintegrasi secara fungsional kedalam suatu bentuk equilibrium atau menyamakan masyarakat dengan organisme biologis yang akan mempengaruhi organ yang satu dengan yang lainnya dalam sebuah sistem, dengan demikian masyarakat pada dasarnya tidak bisa hidup sendiri dan tentunya memiliki keterkaitan antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya yang akan membangun solidaritas demi terwujudnya hubungan harmonis dan mampu menyeimbangi satu dengan yang lainnya (Nasikun, 1995: 49).

Teori Sistem dari Niklas Luhmann yaitu sebuah teori yang ingin menjelaskan tentang suatu keteraturan (Hardiman, 2008), teori ini muncul karena pandangan Parsons tentang sebuah sistem yang akan hancur ketika ada konflik, tetapi Niklas Luhmann memandang bahwa sebuah sitem sosial akan tetap ada baik itu dalam bentuk yang lama maupun dalam bentuk yang baru dan sistem sosial itu bersifat autopoiesis yang berarti sistem sosial dapat mencukupi dirinya.

HASIL DAN PEMBAHASAN Unsur-Unsur Pembentuk Beo Pada Masyarakat Manggarai, Flores NTT a. Mbaru Bate ka’eng

Rumah merupakan tempat tinggal bagi masyarakat. Istilah rumah pada masyarakat Manggarai disebut dengan mbaru. Mbaru (rumah) yang pertama di dusun Satarara disebut dengan mukang (pondok besar). Mukang merupakan

tempat tinggal di kebun yang digunakan oleh masyarakat untuk beristirahat ketika bekerja di kebun dan dalam kurun waktu yang lama sehingga pada saat tertentu mereka akan tetap kembali ke kampung asal (beo). Mukang (pondok besar yang ada dikebun) di Dusun Satarara yang awalnya berada sekitar golo Satarara yang lambat laun berkembang sehingga masyarakat yang sebelumnya tinggal bersama di dalam sebuah pondok yang besar (mukang) memilih untuk mendirikan rumah disekitaran golo (diseputaran kampung) sehingga seiring dengan berkembangnya waktu masyarakat mendirikan mbaru gendang (rumah adat) pada tempat yang strategis sehingga golo (kampung) Satarara bisa terlihat seperti sekarang ini.

Mbaru gendang pada masyarakat Manggarai biasanya berbentuk kerucut menyerupai piramida, atap rumah biasanya terbuat dari ijuk (wunut) dan biasanya di bagian ujung atas atap rumah dipasang tanduk kerbau (rangga kaba) hal itu melambangkan kejantanan dan kekuatan menurut keyakinan masyarakat Manggarai karena mereka menganggap hewan kerbau sebagai hewan yang kuat, disamping itu juga hewan kerbau sering digunakan oleh masyarakat Manggarai dalam membajak sawah.

  • b.    Natas Bate Labar

Natas bate labar kalau diartikan dalam bahasa indonesia berarti halaman sebagai tempat untuk bermain. Natas yang dimaksud merupakan halaman yang berada di tengah-tengah kampung atau tepatnya berada di depan mbaru gendang (rumah adat) yang digunakan oleh masyarakat dalam berbagai hal yaitu: Sebagai tempat dilaksanakannya pementasan tarian caci, Sebagai tempat penyembelihan kerbau pada saat upacara-upacara besar yang berkaitan dengan beo (kampung) misalnya penti (syukuran hasil panen), Tempat untuk menjemur

hasil pertanian masyarakat, dan Sebagai tempat untuk bermain bagi anak-anak.

Natas atau halaman merupakan salah satu unsur dalam mendirikan sebuah beo, dalam suatu beo pada zaman dahulu leluhur hanya membangun rumah di seputaran natas tersebut dengan tujuan agar warga masyarakat yang ada di dalam beo tersebut bisa saling berkomunikasi dan memudahkan masyarakat dalam memberikan informasi-informasi penting c. Uma Bate Duat

Uma bate duat dalam bahasa Manggarai sering dikatakan sebagai lingko. Lingko ialah tanah garapan yang ada di dalam sebuah beo/golo yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat dengan tanah dalam wilayahnya yang disebut tanah ulayat. (Mahendra & Kurniawan, 2020).

Lingko pada masyarakat manggarai merupakan istri dari sebuah beo (kampung) sehingga dalam bahasa Manggarai ada istilah “ Gendang One Lingko Pe’ang” yang artinya gendang berada di dalam dan lingko sebagai batas luar/ berada di luar sebuah kampung yang berada di perbatasan dengan wilayah kekuasaan tu’a gendang. Akan tetapi tidak semua lingko merupakan istri dari sebuah beo (kampung) tetapi salah satu lingko yang menjadi lingko pertama saat pembangunan sebuah beo (kampung), sehingga pada acara-acara besar seperti penti (syukuran) masyarakat melakukan upacara di lingko tersebut dengan membunyikan gong dan juga gendang serta beberapa prosesi adat atau ritus tertentu sesuai dengan adat dan juga kebiasaan masyarakat setempat d. Wae Bate Teku

Wae bate teku artinya air untuk di timba. Air yang dimaksud yaitu satu sumber mata air yang tidak bisa akan pernah bisa habis atau berhenti mengalir. Wae teku adalah bagian kebutuhan yang paling vital dalam hidup manusia.

Menurut tu’a golo Satarara air merupakan unsur yang paling penting dalam hidup manusia sehingga dalam membangun sebuah beo( kampung) yang paling pertama diprioritaskan yaitu mencari sumber mata air karena disamping fungsinya untuk di minum (te inung), mandi (sebong), membersihkan kotoran (wasi haki) dan juga dimanfaatkan untuk menyiram tanaman dan juga dialirkan ke sawah. Wae teku yang pertama ditemukan di beo (kampung) tersebut biasanya dinamakan dengan “wae barong”. Wae barong merupakan air yang dianggap memiliki nilai tersendiri di samping tidak pernah habis juga dipercayai bisa menyembuhkan penyakit.

  • e.    Compang Bate Dari

Compang merupakan sebuah mesbah/altar yang berbentuk bulat yang biasanya terletak di halaman rumah adat (mbaru gendang) atau sekitarnya yang dijadikan tempat untuk memberikan sesajian kepada leluhur nenek moyang dan juga kepada naga tanah atau roh yang melindungi kampung yang terbuat dari tumpukan tanah dan batu-batu (Nggoro, 2013: 34).

Menurut tu’a golo kampung Satarara istilah compang dari yaitu segala sesuatu baik itu panas, dingin, ancaman atau apapun yang ada di kampung tersebut ia akan tetap berdiri kokoh dalam menghadapi segala situasi. Adapun istilah lainnya adalah compang takung. Compang takung yang dimaksud yaitu karena compang digunakan sebagai tempat pemberian sesajian kepada leluhur, akan tetapi istilah takung sebenarnya bukan hanya di compang melainkan di dalam rumah, di lingko, di dalam rumah adat (mbaru gendang) dan lain sebagainya. Masyarakat Manggarai menggunakan istilah tersebut karena melihat dari fungsi compang tetapi tidak memaknai arti yang sebenarnya sebagai compang dari.

Fungsi Beo dalam Sistem Sosial Masyarakat di Dusun Satarara

Menurut Talcott Parsons (dalam Helena, 2011: 8) ada empat paradigma dari fungsi sistem sosial, dianataranya yaitu:   adaptasi, pencapaian tujuan,

integrasi, dan juga pemeliharaan pola laten yang sering disebut dengan AGIL. a. Adaptasi

Menurut Robbins (2003) adaptasi merupakan suatu proses yang menempatkan manusia yang berupaya mencapai tujuan-tujuan atau kebutuhan untuk menghadapi lingkungan dan kondisi sosial yang berubah-ubah agar tetap bertahan.

Proses adaptasi merupakan proses penyesuaian diri terhadap lingkungan yang baru. Dalam kehidupan bermasyarakat adaptasi menjadi bagian yang sangat penting sehingga bisa memahami karakter ataupun situasi lingkungan sesuai dengan kebutuhan. Masyarakat golo (Kampung) Satarara melakukan proses adaptasi pada zaman dahulu, dimana kehidupan yang sebelumnya     bersifat     nomaden

(berpindah-pindah) dengan tujuan memperoleh kehidupan yang lebih layak dari pada kehidupan sebelumnya. Sehingga dalam dalam budaya Manggarai disebutkan semua beo adalah golo, akan tetapi tidak semua golo itu adalah beo (sebelum golo memiliki otonomi tersendiri), maka golo merupakan kampung baru yang dihasilkan oleh proses adaptasi dari pada masyarakat sehingga golo Satarara juga berkembang pesat menyamai beo (kampung) lain yang ada di Manggarai. b. Pencapaian Tujuan

Pencapaian tujuan merupakan suatu persyaratan fungsional yang muncul dari tindakan yang lakukan untuk mencapai tujuan-tujuan bbersama. Tujuan yang dimaksud yaitu dengan beradaptasi dilingkungan yang baru, maka masyarakat pasti memiliki tujuan.

Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh masyarakat yaitu baik dalam sektor ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya.

Tujuan dari masyarakat dusun Satarara mendirikan suatu golo (kampung) dan meninggalkan beo (kampung asal) yaitu untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak dari pada sebelumnya dan meningkatkan taraf hidup terutama dalam sektor ekonomi dalam kurun waktu yang cukup lama dan bahkan selama-lamanya. Sehingga generasi-generasi penerus selanjutnya bisa merasakan kehidupan yang lebih layak, akan tetapi yang meniggalkan beo (kampung asal) itu tidak meliputi semua masyarakat yang ada di suatu beo melainkan hanya satu nenek moyang dan terdiri dari beberapa kepala keluarga. c. Integrasi

Integrasi sosial ialah sebuah sistem yang mampu mengatur hubungan antara bagian–bagian yang menjadi komponen-komponennya, sehingga dapat menjaga hubungan menjadi satu kesatuan di dalam sebuah sistem (Sinaga & Sumardjo, 2007).

Integrasi sosial juga disebut sebagai pengatur hubungan bagian-bagian yang menjadi komponen dalam sebuah sistem sosial. Sistem sosial yang dibentuk dari integrasi sosial yaitu kelompok atau subkelompok     masyarakat     yang

mendukung dalam membangun suatu. Unsur-unsur yang terdapat di beo (kampung) Satarara itu saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya, sehingga dalam keterkaitan antara unsur-unsur tersebut akan menghasilkan sebuah sistem yang mampu menggerakkan setiap masyarakat dalam satu beo (kampung). d. Pemeliharaan pola

Latensi merupakan suatu sistem yang harus memelihara, memperbaiki, dan melengkapi, baik itu individual maupun pola-pola kultural. Pemeliharaan antara komponen-komponen pada

masyarakat merupakan proses untuk menjaga hubungan interaksi antara komponen atau unsur yang satu dengan unsur yang lainnya, dengan demikian suatu sistem dapat dipertahankan.

Pemelihara pola pada masyarakat dusun Satarara dapat dilihat dalam kepercayaan untuk mempertahankan norma-norma, adat-istiadat dan juga nilai budaya. Dimana masyarakat dusun Satarara mempercayai seseorang untuk memimpin suatu beo (kampung) dalam organisasi pemerintah adat yaitu tu’a golo atau tu’a gendang. Relasi antara tu’a gendang dan juga tokoh adat lain yang berada di bawah tu’a golo merupakan keterkaitan antara unsur penggerak dan juga unsur yang di gerakan dalam arti masyarakat dalam hubungannya dengan tu’a golo menjalin suatu hubungan yang erat dalam mempertahankan nilai budaya yang terkandung di dalam suatu beo (kampung), sehingga hubungan tersebut menjadi bagian dari pemeliharaan pola untuk menjalankan suatu sistem sosial di dalam masyarakat dusun Satarara.

Adapun contoh sistem sosial di dalam lingkungan masyarakat yaitu antara lain: a) Keluarga

Keluarga ialah unit dasar sosial yang paling kecil di dalam lingkungan masyarakat yang bisa menentukan suatu kelompok masyarakat menjadi suatu kelompok yang kuat yang berdampak bagi bangsa dan negara yang kuat, (Dewi & Widayanti, 2011). Keluarga merupakan wadah yang penting dalam menjalankan suatu sistem sosial sehingga menjalin interaksi antara anggota-anggota yang berada di dalamnya. Mereka saling bergantung sehingga keluarga memiliki fungsi sebagai satu kesatuan dan anggotanya tidak dapat bertahan hidup dan berfungsi sendiri.

Sistem sosial dalam keluarga mengungkapkan bagaimana ikatan hubungan diantara para anggota-anggotanya dalam satu keluarga. Ketika hubungannya signifikan maka sebuah sistem akan stabil dan ketika hubungan antara anggotanya tidak signifikan maka sebuah sistem juga tidak akan berjalan stabil.

Sistem yang ada di kampung Satarara salah satunya yaitu adanya jalinan kekeluargaan dari setiap panga (subklan) yang ada di dalam kampung Satarara.

  • b)    Dodo (Gotong royong)

Dodo merupakan sebuah istilah lokal yang sering dipakai oleh masyarakat Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Dodo merupakan salah satu sistem pengerahan tenaga kerja yang berasaskan gotong royong. Dodo biasanya dilakukan oleh sekelompok orang yang merasa nasibnya sama dan sepenanggungan dengan tujuan untuk meringankan beban dari sekelompok orang dalam konteks masyarakat tertentu. Dodo berimbalkan jasa, yang berarti sistem kerja secara bergantian tanpa menggantikan uang atau tidak membayar dengan uang tetapi tenaga akan diganti dengan tenaga (Bagul, 1997: 27).

Salah satu sistem sosial yang terjalin dalam kehidupan bermasyarakat di Dusun Satarara yaitu dodo (gotong royong). Kehidupan masyarakat beo (kampung) Satarara yang lebih didominasi oleh orang yang bekerja sebagai petani sehingga dalam mengerjakan sesuatu mereka sering menggunakan tenaga orang lain dalam membantu sebuah pekerjaan dengan menggunakan istilah dodo (gotong royong) sehingga disamping mengurangi biaya untuk membayar pekerja juga menjalin kehidupan masyarakat yang baik serta mengikat tali persaudaraan di dalam lingkungan bermasyarakat.

  • c)    Musyawarah

Musyawarah ialah suatu kegiatan perundingan dengan cara bertukar pikiran dari berbagai pihak mengenai suatu permasalahan yang kemudian dapat dipertimbangkan serta diputuskan sesuai dengan suara terbanyak guna mencapai tujuan bersama, (Abdulah, 2014). Musyawarah dalam suatu masyarakat biasanya dilakukan dalam menyelesaikan persoalan, sengketa tanah, upacara adat, pemilihan kepala adat dan lain sebagainya. Hal tersebut merupakan upaya dari masyarakat dalam menanggapi masalah yang ada di dalam lingkungan masyarakat dengan tujuan menemukan jalan keluar dari sebuah permasalahan.

Musyawarah yang ada di beo (kampung) Satarara biasanya dipimpin oleh tu’a golo (kepala adat) selaku pemimpin dalam struktur pemerintahan adat, sehingga dalam menyelesaikan setiap permasalahan maupun mengenai perencanaan itu ditetapkan oleh seorang tu’a golo (kepala adat) berdasarkan hasil dari musyawarah antara masyarakat yang ada di dalam sebuah beo (kampung). Biasanya dalam sebuah beo (kampung) dalam menyelesaikan sebuah permasalahan harus sesuai dengan hukum adat yang berlaku sesuai dengan tingkat kesalahan dari seseorang, dengan tujuan untuk menjaga martabat seseorang sehingga dalam menyelesaikan suatu masalah biasanya tidak melalui jalur hukum tetapi diselesaikan secara kekeluargaan atau melalui musyawarah untuk mencapai mufakat.

SIMPULAN

Beberapa unsur pembentuk beo/golo pada masyarakat Manggarai khususnya di Dusun Satarara merupakan syarat dalam membangun sebuah beo/golo, dengan demikian apabila unsur-unsur tersebut tidak ada ataupun belum lengkap maka otonomi sebuah beo/golo masih

belum jelas atau belum layak dikatakan sebagai sebuah beo/golo.

Sistem sosial yang terjalin pada masyarakat Dusun Satarara dilakukan sejak dahulu, sehingga sistem yang dihasilkan dari adanya suatu sistem yang bergerak dan memanfaatkan segala aspek untuk mejalankan sebuah sistem akan menghasilkan sebuah sistem sosial yang utuh dalam hal ini yaitu kekeluargaan di dalam sebuah beo (kampung)

Proses   yang   dilakukan oleh

masyarakat   dusun   Satarara untuk

menjalankan sebuah sistem agar tetap utuh salah satunya dimulai dari lingkungan yang paling kecil yaitu lingkungan keluarga, dimana setiap keluarga merupakan bagian dari suatu panga (subklan) dan kedudukannnya dalam sebuah kampung tidak dibedakan, akan tetapi sesuai dengan fungsi maupun perannya masing-masing.

REFERENSI

Abdullah, D. (2014). “Musyawarah Dalam Al-quran”. Jurnal Suatu Kajian Tematik, 3(2), pp. 242-509. https://doi.org/10.24252/ad.v3i2.15 09

Adi, M.N. (2013). Budaya Manggarai. Selayang Pandang. Nusa Indah.

Bagul, A.D. (1997). Kebudayaan Manggarai.  Sebuah  Khasanah

Kebudayaan  Nasional. Urbraha

Press.

Bakker, J.W.M. (1984). Filsafat Kebudayaan: Sebuah Pengantar. Kanisius.

Dewi, K.S., & Widayanti, C.G. (2011).

“Gambaran   Makna   Keluarga

Ditinjau dari Status Dalam Keluarga,      Usia,      Tingkat

Pendidikan, dan Jenis Pekerjaan”.

Jurnal Psikologi Undip, 10(2), pp. 163-164.

Hardiman, F.B. (2008). Teori Sistem Niklas Luhman . Jurnal Filsafat Driyarkara    Tahun    XXIX

No.3/2008. Senat Mahasiwa STF Driyakara.

Janggur, P. (2010). Butir-Butir Adat Manggarai. Yayasan Siri Bongkok.

Koentjaraningrat. (1985). Pengantar Ilmu Antropologi. Aksara Baru.

Lawang, R.M.Z. (2004). Stratifikasi Sosial di Cancar Manggarai Flores Barat Tahun 1950-an dan Tahun 1980-an. UI-Press.

Mahendra, P.R.A., & Kurniawan, A.A. (2020). “Sistem Pembagian Tanah Ulayat     Pada     Masyarakat

Manggarai”. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha, 8(1), pp.23-45.

https://doi.org/10.23887/jpku.v8i1. 23945

Miles, M.B., & Huberman, A.M. (2005). Qualitative     Data     Analysis

(terjemahan). UI Press.

Nasikun. (1995). Sistem Sosial Indonesia. Grafindo Persada.

Resmini, W.,  & Mabut, F. (2020).

“Upacara Penti dalam Masyarakat Kampung Rato di Kabupaten Manggarai”. Jurnal Ummat, 8(2), pp.61-62.

https://doi.org/10.31764/civicus.v8i 2.2862

Robbins, S.P. (2003). Organization Behavior. Prentice Hall.

Sinaga, A.B.,  & Sumardjo. (2007).

“Fungsi AGIL dan Keberdayaan Keluarga di Perkotaan dan Pedesaan”. Jurnal Penyuluhan, 3(1),           pp.           25-47.

https://journal.ipb.ac.id/index.php/j upe/article/view/2147