DOI: https://doi.org/10.24843/SP.2023.v7.i02.p02

p-ISSN: 2528-4517 e-ISSN: 2962-6749

Peran Kaum Perempuan Desa Wudi dalam Upacara Roko Molas Poco

Falensia Fitria Nggias*, Ni Made Wiasti, I Nyoman Suarsana

Program Studi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana [falensiafitrianggias20@gmail.com] [made_wiasti@unud.ac.id] [inyoman_suarsana@unud.ac.id]

Denpasar, Bali, Indonesia *Corresponding Author

Abstract

Women in the roko molas poco ceremony have an important position, because this ceremony is related to the values and symbols of Manggarai women. This ceremony is a rite of carrying (roko) the main pole of traditional house (siri bongkok) which is symbolized as a beautiful girl (molas) who comes from the mountain (poco) and paraded to the site of the traditional house (Mbaru Gendang). The purpose of this study is to find out the role of woman in the roko molas poco ceremony. The method used in this research is a qualitative descriptive method with an ethnographic research model through observation, interviews, and literature studies. The theory used is role theory and ecofeminism theory. Based on research, the ceremony divided it four stages, namely preparation stage, implementation stage, construction stage, and the house blessing stage. The role of women in the ceremony is that women are involved in the molas poco pick-up group, as friends of molas poco and involved in the contruction of the drum house.

Keywords: Ceremony, Roko Molas Poco, Women's Role

Abstrak

Kaum perempuan dalam upacara roko molas poco memiliki kedudukan yang penting, karena upacara ini berkaitan dengan nilai dan simbol perempuan Manggarai. Upacara Roko molas poco merupakan upacara yang masih hidup di dalam masyarakat Desa Wudi. Upacara roko molas poco adalah ritual memikul kayu sebagai siri bongkok (tiang utama) dalam rumah adat yang disimbolkan sebagai gadis cantik (molas) yang datang dari gunung (poco) lalu dijemput di pa’ang (gerbang kampung) kemudian diarak masuk ke lokasi pembangunan mbaru gendang (rumah adat). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peran perempuan dalam upacara roko molas poco. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dengan model penelitian etnografi melalui teknik observasi, wawancara, dan studi pustaka. Teori yang digunakan yaitu teori peran perempuan dan teori ekofeminisme. Berdasarkan hasil analisis penelitian, upacara roko molas poco dibagi dalam empat tahap yaitu, tahap persiapan, pelaksanaan, pengerjaan, pemberkatan rumah. Peran perempuan dalam upacara tersebut adalah keterlibatan mereka dalam kelompok penjemput molas poco, perempuan sebagai teman dari molas poco dan perempuan terlibat dalam pembangunan rumah gendang.

Kata kunci: Upacara, Roko Molas Poco, Peran Perempuan

Sunari Penjor : Journal of Anthropology

Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud

PENDAHULUAN

Para perempuan terkadang dibatasi oleh budaya yang tidak adil yang dapat melecehkan keberadaan mereka. Dalam setiap kehidupan umum, penindasan seringkali dianggap masuk akal. Perempuan biasanya diposisikan di belakang laki-laki. Di tengah banyaknya kekerasan terhadap kaum perempuan terdapat gerakan-gerakan yang menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan yang membumikan kesadaran perempuan. Mereka menyadari bahwa dengan munculnya kesadaran yang ada dalam diri kaum perempuan sehingga mampu untuk kembali bersemangat dan berjuang membangkit martabat serta merebut hak-hak mereka yang hilang ditelan sejarah.

Kesadaran yang dimaksud adalah menyangkut hak dan kewajiban mereka, bahwa perempuan memiliki peran yang sama dengan laki-laki. Usaha menegakan keinginan dan martabat bagi kaum perempuan merupakan hal yang harus diwujudkan karena perjuangan sudah melekat dan menjadi bagian dari keberadaan perempuan itu sendiri (Jemali, 2017: 9). Seperti dalam tradisi roko molas poco di Desa Wudi yang melibatkan perempuan dalam upacara tersebut.

Masyarakat desa Wudi sangat patuh terhadap adat istiadat yang ada sehingga mereka selalu melaksanakan upacara adat roko molas poco yang merupakan warisan dari nenek moyang mereka. Tradisi roko molas poco berangkat dari sejarah yang diceritakan secara turun-temurun. Singkatnya roko molas poco ialah cerita tentang seorang wanita cantik yang hidup dan tinggal di sebuah hutan yang sangat indah. Upacara roko molas poco adalah ritual penjemputan dan perarakan siri bongkok (tiang utama) rumah adat. Tiang atau sebatang kayu terbaik ini disimbolkan sebagai seorang wanita cantik yang diambil dari hutan

untuk seterusnya diantar ke tempat pembangunan mbaru gendang (rumah adat) melalui upacara roko (diarak) dengan cara memikul kayu tersebut. Sebelum masuk ke lokasi pembangunan, siri bongkok tersebut dijemput di pa’ang atau gerbang kampung.

Kayu yang disebut Siri bongkok merupakan tiang yang berdiri lurus dan tegak di tengah bangunan dan disebut sebagai tiang utama rumah adat. Di dalam mbaru gendang (rumah adat), terdapat tiga ruangan, sehingga tiang utama memiliki fungsi yang dapat menghubungkan antara ngaung, lutur dan lobo (Kamis, 2016). Siri bongkok yang berada di tengah ruangan itu memiliki arti dan nilai yang supranatural bagi masyarakat Desa Wudi atau masyarakat Manggarai pada umumnya. Siri bongkok tidak hanya terlihat sebagai benda mati, tetapi memiliki simbol yang menjadi penghubung antara manusia dengan sesamanya, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan. Siri bongkok juga ialah pribadi yang memberikan kekuatan dasar untuk keberlangsungan hidup masyarakat desa Wudi. Ia ibarat sosok seorang ibu yang hidup dan menetap di antara masyarakat Manggarai.

Menurut Gabriel (2019: 9) sejarah adat tradisi Roko Molas Poco, ada beberapa kearifan lokal yaitu, 1) Kecantikan, kelembutan serta kekuatan dan ketegaran yang dimiliki oleh perempuan Manggarai dapat memberikan statusnya sebagai Ibu yang dihormati dan dimuliakan serta sebagai tempat yang bisa menyelesaikan persoalan; 2) Pemecahan sebuah masalah dapat diselesaikan dalam rumah adat dalam bentuk lonto leok (musyawarah); 3) terdapat dua pemimpin adat yang sangat dihormati oleh masyarakat diantaranya, Tu’a Golo (kepala kampung) dan Tu’a Teno (kepala adat) 4) kekompakan dan persatuan merupakan nilai keberagaman dalam upacara roko molas poco seperti

pada pembagian tugas dalam mencari dan menjemput molas poco/siri bongkok; (5) penghargaan terhadap sejarah merupakan bentuk nilai kemanusiaan seperti dalam bentuk teing hang (memberi sesaji) kepada roh leluhur.

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan di atas maka rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini seperti berikut: 1). Bagaimana pelaksanaan upacara roko molas poco di Desa Wudi Kecamatan Cibal Kabupaten Manggarai, NTT? 2). Bagaimana peran perempuan dalam upacara roko molas poco di Desa Wudi Kecamatan Cibal Kabupaten Manggarai, NTT?.

METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode deskriptif kualitatif. Menurut (Sugiyono, 2008) data kualitatif merupakan data yang berbentuk uraian-uraian yang bersifat menjelaskan. Data kualitatif dapat menggambarkan proses, keadaan maupun peristiwa tertentu.

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua yakni sumber data primer dan sumber data sekunder. Data primer adalah data langsung yang berasal dari informan-informan yang dipilih baik melalui wawancara atau pengamatan langsung di lapangan. Sedangkan sumber data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung yang diperoleh dari catatan atau dokumen-dokumen yang berhubungan dengan topik penelitian atau sebagai data penunjang.

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu reduksi data yaitu merangkum, memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya dan membuang yang tidak perlu. Penyajian data yaitu penyusunan sekumpulan informasi menjadi suatu pernyataan yang kemudian

dihasilkan melalui interpretasi data, dan kesimpulan dan verifikasi yaitu penarikan kesimpulan dan verifikasi. Penelitian ini menggunakan teori peran perempuan dari Soerjono Soekanto (1990:    220-223) yaitu peranan

merupakan aspek dinamis dari kedudukan (status). Apabila seseorang melakukan hak-hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya, maka dia dapat dikatakan menjalankan suatu peranan. Relevansi teori dengan topik penelitian adalah bahwa perempuan terlibat dalam upacara roko molas poco, ia memiliki peran yang sama dengan laki-laki dari awal hingga akhir upacara. Teori ekofeminisme      dari      Francoise

D’Eaubonne, yaitu ketika para perempuan masuk dalam perangkat maskulin hal tersebut mengakibatkan kualitas feminismenya    berkurang.

Relevansi teori dengan topik penelitian ini adalah adanya keterkaitan mengenai keikutsertaan perempuan dalam upacara adat yang awalnya didominasi oleh laki-laki. Kedua teori ini dianggap relevan untuk mengkaji topik yang akan diteliti.

HASIL DAN PEMBAHASAN Pelaksanaan Upacara Roko Molas Poco

  • a.    Tahap Persiapan

Tahap ini dilakukan sebelum menuju pada upacara yang inti dari roko molas poco atau perarakan tiang utama yaitu melalui persiapan yang matang. Persiapan yang dimaksud adalah mengenai persiapan keuangan, material yang digunakan saat pelaksanaan upacara, proses-proses upacara, serta yang jauh lebih penting adalah persiapan fisik dan mental untuk menyambut upacara tersebut.

Tahap persiapan dimulai dengan musyawarah untuk mencapai mufakat antara tua golo dan seluruh masyarakat desa Wudi. Musyawarah yang dimaksud adalah tua golo, tokoh-tokoh adat serta

keluarga panga dari ketiga suku besar yang ada di desa Wudi yaitu suku Lanur, suku Wajang Wa’u dan suku Wajang Piang melakukan sosialisasi berupa lonto leok (musyawarah).

Lonto leok ialah istilah Manggarai yaitu bantang cama reje lele, maksudnya adalah seluruh masyarakat bisa satu hati dalam berpendapat yang berupaya memecahkan persoalan untuk mencapai tujuan bersama. Bagi masyarakat desa Wudi, lonto leok merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mencapai kesepakatan bersama yang memiliki nilai dan arti yang mendalam. Yang sangat penting untuk dibicarakan dalam kegiatan lonto leok adalah yang pertama membahas mengenai kapan upacara dilaksanakan, dimana tempat upacaranya dan siapa-siapa yang terlibat dalam upacara. Kedua mengenai proses rentetan upacara. Berhubung upacara ini merupakan upacara besar dan memiliki makna, maka dari itu mengenai tahap-tahapnya harus perlu persiapan yang matang. Ketiga mengenai bahan-bahan atau alat-alat yang dibutuhkan pada saat upacara. Sebuah upacara tidak terlepas dari peran alat-alat dan bahan-bahan yang dibutuhkan.

Tempat untuk dilaksanakannya musyawarah untuk persiapan upacara roko molas poco adalah di rumah gendang lama atau rumah gendang yang hendak dibongkar dan di compang yang merupakan tempat persembahan bagi masyarakat desa Wudi. Pihak-pihak yang terlibat adalah, tua golo, tua teno, tua panga dan para ibu atau kaum perempuan. Kegiatan ini dilaksanakan mulai pagi hari sampai selesai. Sarana dan prasarana yang disiapkan adalah pertama tuak kapu sebagai minuman awal yang akan disuguhkan kepada para hadirin. Kedua manuk bakok (seekor ayam putih) sebagai hewan persembahan. Ketiga, kala, raci agu mbako (sirih, pinang dan tembakau), sebagai makanan

awal yang disuguhkan kepada roh leluhur sebagai rasa hormat pada setiap upacara adat. Hasil dari musyawarah (lonto leok) ini, seluruh anggota masyarakat termasuk tokoh-tokoh adat dibagi dalam dua kelompok yakni kelompok rekak molas poco (kelompok yang akan pergi ke hutan untuk mencari kayu) dan kelompok curu molas poco (kelompok yang akan menjemput molas poco).

  • b.    Tahap Pelaksanaan

Proses pelaksanaan ialah salah satu kegiatan di mana proses pembangunan mbaru gendang dilaksanakan. Pada tahap ini dilakukan persiapan material bangunan dan pengerjaan mbaru gendang yang disertai dengan ritual yang akan dijalankan pada setiap tahap sebagai berikut:

  • (a)    Upacara Racang    Cola/Kope

(Mengasah Kapak/Parang)

Racang berasal dari bahasa Manggarai yang berarti mengasah, cola artinya kapak dan kope artinya parang. Secara harfiah, racang cola/kope berarti mengasah kapak/parang. Upacara ini dilakukan pada malam hari dengan maksud memohon izin kepada roh leluhur dengan sang pencipta dan menyerahkan seluruh aktivitas dan niat mereka kepada Tuhan, agar para pencari kayu diberikan kenyamanan dan kelancaran dalam proses pencarian, serta mereka dapat menemukan kayu terbaik yang akan dijadikan sebagai siri bongkok rumah adat. Terutama untuk alat-alat yang akan mereka pakai, kiranya dapat digunakan dengan baik, sehingga tidak terjadi malapetaka yang membahayakan orang-orang yang menggunakan alat tersebut. Upacara ini mengorbankan seekor babi atau seekor ayam putih sebagai hewan persembahan.

  • (b)    Ndapu Haju/paki Haju (mencari dan menebang Kayu)

Aktivitas pencarian kayu tidaklah mudah dilakukan. Hal tersebut

dikarenakan bahwa dalam proses pencarian kayu harus benar-benar menemukan kayu yang baik dan tepat serta kuat dan tidak mudah lapuk untuk dijadikan siri bongkok rumah adat. Sebelum dilakukan pemotongan kayu, terlebih dahulu dilakukan ritus we’ang wejang (pembersihan area sekitar atau tempat istirahat). Hal ini sangat penting untuk dilakukan, berhubung upacara we’ang wejang dianggap sebagai bentuk persembahan terhadap roh penjaga hutan, agar mereka tidak marah ketika pohon tersebut dipotong serta tidak terjadi malapetaka ketika menggunakan bahan tersebut. Sarana dan prasarana yang digunakan sebagai bahan persembahan adalah, manuk bakok, kala raci tahang, tuak bakok dan rongko. Orang Manggarai meyakini bahwa di hutan atau di pohon-pohon ada penghuninya, meski tidak dapat dilihat dengan kasat mata.

  • (c)    Roko Molas Poco (Peminangan dan

Pengusungan siri bongkok)

Pengangkatan kayu atau siri bongkok dihadiri oleh rombongan yang bertugas sebagai penjemput molas poco diantaranya terdiri dari perempuan dan laki-laki. Upacara ini sangat meriah dan melibatkan seluruh warga kampung Wudi dan tamu undangan dari kampung lain serta dari pihak pemerintahan. Sebelum molas poco memasuki lokasi pembangunan rumah adat, seluruh warga kampung yang ada di kampung wudi menjemputnya di pa’ang. Para perempuan menyambutnya dengan tarian dan nyanyian yang meriah yang diiringi oleh alat musik berupa gong dan gendang. Dalam konteks ini, molas poco sah dan menjadi bagian dari masyarakat Desa Wudi karena sudah dipinang secara resmi melalui ritus adat. Masyarakat desa Wudi menganggap siri bongkok sebagai seorang gadis yang tentunya memberikan ketenangan dan kehidupan kepada warga Desa Wudi. Oleh karena itu siri bongkok bukan hanya sebatas kayu, tetapi sebagai

simbol yang menghubungkan manusia dengan sesamanya, manusia dengan alam, serta manusia dengan sang pencipta. Pada acara ini, seorang ibu menyuguhkan siri pinang sebagai lambang kesatuan antara manusia, alam dan Tuhan.

  • (d)    Ritus Hambor Haju

Tujuan dari upacara ini adalah untuk berdoa kepada leluhur, agar siri bongkok dan bahan bangunan yang sudah disiapkan dapat menyatu. Menyatu dalam artian ketika mbaru gendang hendak dikerjakan bahan bangunan yang sudah terkumpul tidak membahayakan para tukang atau orang yang mengerjakan rumah tersebut. Upacara hambor haju dilaksanakan di rumah adat yang hendak dibangun pada hari pertama pengerjaan. Upacara ini dipimpin oleh tua golo yang dihadiri oleh tua-tua adat, warga kampung Wudi, dan pada undangan dari pihak pemerintahan. Tua golo dan para undangan mengambil posisi duduk yang baik dengan menghadap hewan persembahan dalam bentuk setengah lingkaran, lalu pemimpin upacara mulai mengucapkan torok.

  • c.    Tahap Pengerjaan (Penanaman)

Penanaman yang dimaksud dalam tahap ini bukanlah penanaman benih, melainkan menghidupkan roh dalam artian roh yang dipercayai sebagai nyawa yang dapat menguatkan siri bongkok sehingga dapat berdiri kuat dan koko sesuai dengan yang diharapkan. orangorang yang hadir dalam upacara ini adalah, tua-tua adat seperti tua golo, tua teno, tua panga, tua kilo yang memiliki pengetahuan tentang adat dan memimpin upacara serta mengucapkan torok (doa). Seluruh masyarakat desa Wudi (pa’ang olo ngaung musi), yang menyiapkan sesuatu dalam upacara roko molas poco, serta anak wina (pihak penerima istri) dan anak rona (pihak pemberi istri). Para undangan yang terdiri dari pihak

pemerintah dan tua-tua adat dari kampung-kampung lain serta pastor atau Romo yang akan memimpin ibadat sabda. Penanaman siri bongkok dilakukan ketika pembangunan mbaru gendang siap untuk dikerjakan dan berlangsung pada siang hingga sore hari, yang disebut dengan upacara weri siri bongkok. Pada upacara ini terdapat hewan sembelihan yaitu babi atau kambing sebagai persembahan kepada roh leluhur. Di samping menggunakan hewan sebagai persembahan, juga menggunakan ruha manuk (telur ayam kampung) yang diletakkan di bagian dasar siri bongkok. Telur ayam merupakan simbol kesuburan, yang mana, ritual roko molas poco bermakna perkawinan antara siri bongkok dengan manusia. Tempat pelaksanaannya yaitu, Pa’ang (tengah kampung), halaman rumah adat Suku Wajang Piang/ rumah adat yang hendak dibangun dan di Compang.

  • d.    Tahap Pemberkatan Rumah (We’e Mbaru)

Ketika pembangunan mbaru gendang selesai dikerjakan, selanjutnya diadakan acara we’e mbaru yaitu pemberkatan rumah baru sebelum ditempati. Pelaksanaan we’e mbaru disertai penyembelihan seekor babi sebagai hewan korban persembahan yang biasa disebut oleh masyarakat Wudi dengan istilah kina we’e.

Rangkaian akhir dari ritual roko molas poco adalah congko lokap yang bermakna sebagai syukuran atas terselesainya pembangunan rumah adat. Pada ritual congko lokap diadakan kegiatan pembersihan rumah adat, selanjutnya memasukkan gendang ke dalam mbaru gendang sebagai simbol kekuasaan atas tanah-tanah adat (ulayat). Upacara ini memiliki kesenian tersendiri, bukan dalam arti bahwa melebihi upacara adat lainnya. Namun seni ini memiliki

keunikan yang berarti bahwa upacara ini bukan merupakan upacara tahunan seperti upacara adat lainnya. Upacara ini bertujuan mengundang para leluhur yang dipercaya sebagai roh pelindung yang diutus Tuhan untuk tinggal bersama-sama di rumah adat sekaligus mengucap syukur atas terselesainya pembangunan rumah adat sehingga layak untuk ditempati (Janggur, 2010).

Peran Kaum Perempuan Desa Wudi Dalam Upacara Roko Molas Poco a. Perempuan     Terlibat     Dalam

Kelompok Penjemput Molas Poco

Penjemputan molas poco melibatkan peran perempuan sebagai penari dan penyanyi. Berkaitan dengan itu, penjemputan pengantin baru (molas poco) dengan hati yang riang gembira. Dalam upacara roko molas poco, kaum perempuan    mengenakan    kebaya

berwarna putih dengan kain songke dan juga retu sebagai hiasan kepala. Mereka terlihat feminim saat memakai atribut tersebut (Hardi, 2021).

  • b.    Perempuan Sebagai Teman Dari

Molas Poco

Kaum perempuan mendampingi molas poco memasuki kampung, dan seorang gadis duduk di atas kayu siri bongkok yang sedang diarak menuju kampung. Kedekatan dan kesatuan perempuan dengan molas poco diperkuat dengan kehadiran gadis tersebut. Ia adalah simbol yang mempererat hubungan mereka. Kedekatan tersebut diperkuat lagi melalui adegan dimana perempuan secara simbolis mengangkat kayu siri bongkok atau molas poco.

  • c.    Perempuan     Terlibat     Dalam

Pembangunan Rumah Gendang

Meskipun ritual inti dipimpin langsung oleh tua adat yang merupakan laki-laki dan tokoh-tokoh adat desa Wudi, namun perempuan juga lebih

banyak terlibat sejak persiapan upacara hingga upacara puncak. Dari persiapan sebelum upacara inti, saat pelaksanaan upacara hingga selesai, perempuan lebih banyak mengambil bagian dalam upacara. Pagi-pagi kaum perempuan sudah mulai sibuk dengan kegiatan di rumah seperti menyiapkan bahan makanan dan memasak, membuat perempuan lebih berperan aktif dalam upacara ini, sehingga menjadi simbol penghargaan yang tinggi bagi perempuan (Rostiyati, 2017). Upacara roko molas poco yang bertujuan sebagai penghargaan terhadap harkat dan martabat perempuan dianggap sangat penting. Melalui upacara ini perempuan harus dihormati dan diperlakukan sebaik mungkin, karena dalam beberapa bagian pekerjaan dalam upacara roko molas poco hanya bisa dilakukan oleh perempuan, dan tidak ada campur tangan dari laki-laki. Perempuan juga sebagai sumber kehidupan, karena ia mempunyai kekuatan dan kecerahan serta semangat yang selalu berkobar dalam dirinya. Performativitas perempuan diartikan dan diperlakukan oleh masyarakat melalui pembagian perannya dalam upacara roko molas poco (Sukesi, 1991).

Banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan di tengah masyarakat Manggarai yang berjumlah 46 kasus, sebanyak 20 kasus sudah dilakukan proses penyelidikan, 24 kasus diproses secara damai dan 2 kasus dinyatakan P21, menjadi perhatian umum dan menuntut keterlibatan banyak pihak untuk meredam atau bahkan menuntaskan masalah perempuan dalam ranah sosialnya, salah satunya melalui pelaksanaan tradisi roko molas poco. Dalam konteks kelembagaan adat, siri bongkok atau molas poco berfugsi sebagai pusat penyelesaian masalah. Siri bongok adalah tiang utama yang berada di tengah-tengah rumah adat. Kaum perempuan mesti dijunjung tinggi dalam

membela harkat dan martabatnya (Sarong, 2021). Tradisi roko molas poco mencerminkan keberadaan kaum perempuan Manggarai yang mengandung hakikat nilai atau harga diri seorang perempuan di antaranya adalah:

  • (a)    Kecantikan perempuan bukan hanya dipandang dari bentuk fisiknya, melainkan dipandang dari perilaku dan perkataan yang menjadikan dirinya cantik. Kecantikannya terpancar dari perbuatan baik dan tutur katanya yang santun serta ketulusannya yang mencerminkan jati dirinya sebagai perempuan Manggarai. Dalam upacara roko molas poco perempuan yang dilambangkan dengan siri bongkok ibarat sosok seorang ibu yang dapat mewariskan keturunan, dia juga mampu merangkul serta mengayomi anak-anaknya, sehingga ia diberi pandangan positif menyangkut keberadaannya di tengah masyarakat Manggarai.

  • (b)    Perempuan sebagai ata pe’ang. Pengertian ata pe’ang dalam budaya Manggarai bahwa, seorang anak perempuan yang setelah menikah akan meninggalkan keluarga dan tanah kelahirannya untuk hidup bersama suaminya. Hal tersebut dilakukan melalui upacara-upacara tertentu, seperti weda rewa tuke mbaru, pongo, disertai pemberian hewan atau benda lainnya sebagai belis. Hal tersebut tercermin dalam upacara roko molas poco yang meminang seorang gadis hutan untuk menjadi seorang istri dan menjadi ibu bagi masyarakat desa Wudi melalui ritus adat. Perempuan juga tidak punya hak atas warisan dari orang tuanya. Sekalipun demikian, perempuan tetap terlibat dalam memberikan sumbangan kepada orang tuanya dalam bentuk sida, karena merupakan kewajibannya.

  • (c)    Pantas dihormati karena kecantikannya. Penghargaan terhadap kaum perempuan tercermin dan tampak jelas dalam upacara roko molas poco

dengan menjadikan kayu sebagai tiang utama dalam rumah adat. Kecantikan seorang perempuan tidak hanya melekat pada dirinya, melainkan dia harus mampu menjadi teladan bagi banyak orang, lebih khusus bagi para tua adat atau tua gendang yang selalu menjadi peran utama dalam rumah adat. Tua adat tentunya dapat menjadi pemimpin yang baik dan bijak serta mampu merangkul seluruh warga kampung. Kecantikannya tidak hanya melekat dalam dirinya tetapi juga menjalar kepada semua warga kampung terutama kepada para tu’a adat yang akan selalu duduk di siri bongkok. Tentu, mereka juga harus menjadi pemimpin yang tulus, anggun, mampu merangkul semua orang, dan membangun kepedulian dengan jati diri yang kuat. Tu’a golo diharapkan menjadi representasi kebaikan-kebaikan yang mesti dihidupi dalam kehidupan harian warga kampung.

  • (d)    Masalah kekerasan terhadap kaum perempuan. Seringkali terjadi kekerasan terhadap kaum perempuan yang dipengaruhi oleh kultur lokal. Hal ini terlihat dalam kehidupan perempuan yang hidup dibawah bayang-bayang laki-laki. Meskipun budaya lokal memberi simbolisasi yang sangat representatif terhadap keberadaan kaum perempuan, namun kenyataannya bahwa masih sering terjadi kekerasan dalam berbagai bentuk, seperti kekerasan emosional, kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan pendidikan dan kekerasan ekonomi. Perempuan hidup di bawah kekuasaan laki-laki serta hak-hak merekapun dirampas, seperti dalam hal menyampaikan pendapat, seringkali suara wanita tidak didengar dan dianggap tidak wajar atau tidak masuk akal. Namun, dalam upacara roko molas poco yang mengarak seorang gadis hutan untuk dijadikan tiang utama dalam rumah adat menjadi perantara yang dapat memberi kesadaran kepada publik bahwa

betapa pentingnya menghargai perempuan dan sesama sebagai makhluk yang secitra dan segambar dengan Tuhan (Geria, 2006). Usaha ini membutuhkan keterlibatan dari banyak pihak seperti tokoh adat, agama, pendidikan, dan pegiat pemberdayaan kaum perempuan. Dalam hal ini perempuan diberi peluang menyesuaikan diri untuk menghidupkan kembali jati diri mereka untuk ikut terlibat dan memperoleh kesempatan yang sama seperti laki-laki. Perempuan menjadi kekuatan utama dalam mengatur dan membentuk kehidupan yang aman dan sejahtera lewat tradisi roko molas poco.

Menurut Nggoro (2006) Bagi orang Manggarai rumah gendang memiliki nilai yang luhur dan sakral. Roko molas poco bukan hanya sekedar ritual, tetapi diperbaharui dengan konteks saat ini. Tradisi ini dinilai sebagai penghormatan terhadap martabat kaum perempuan, artinya para perempuan merupakan ciptaan yang perlu dihargai dan tidak boleh diperlakukan semena-mena, karena dalam diri perempuan terdapat jiwa yang kuat dan tegar serta memiliki hati yang lembut serta rasa kasih sayang selalu muncul dalam diri seorang perempuan. Tradisi roko molas poco mengedepankan nilai keperempuanan dalam dalam proses pembangunan rumah adat orang Manggarai.

SIMPULAN

Upacara adat roko molas poco sangat dijunjung tinggi oleh Masyarakat Desa Wudi, karena merupakan tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang secara turun-temurun, dari generasi ke generasi berikutnya. Setiap kali membangun mbaru gendang (rumah adat) warga kampung Wudi wajib melaksanakan roko molas poco. Hal ini penting dilakukan karena mbaru gendang merupakan tempat yang sakral bagi orang Mangarai. Roko molas poco (perarakan tiang agung)

merupakan     upacara     pencarian,

penjemputan, serta perarakan seorang gadis dari gunung. Gadis yang dimaksud adalah kayu besar yang disebut siri bongkok sebagai simbol dari molas poco. Roko molas poco bukan hanya sekedar ritual, tetapi diperbaharui dengan konteks saat ini. Tradisi ini dinilai sebagai penghormatan     martabat     kaum

perempuan, artinya para perempuan merupakan ciptaan yang perlu dihargai dan tidak boleh diperlakukan semena-mena, karena dalam diri perempuan terdapat jiwa yang kuat dan tegar serta memiliki hati yang lembut serta rasa kasih sayang selalu muncul dalam diri seorang perempuan.

REFERENSI

Gabriel N.S., Ndoen F.A., dan Prisarto, A.K. (2019). “Upacara Roko molas Poco Dalam Masyarakat Suku Bangsa  Manggarai   di Desa

Compang Laho Kecamatan Poco Ranaka  Kabupaten  Manggarai

Timur”. Jurnal Sejarah, 16(1).

Geria, I.M. (2003). Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan di Bali (Kajian dari Data Arkeologi). Jurnal Template, 16(03), pp. 36-42. http://dx.doi.org/10.24832/fa.v16i3. 330

Hardi S.P., Sampoerno, N.M., dan Saadah, M.   (2021).   “Peran

Perempuan Dalam Upacara Kenduri Sko Pada Masyarakat Kerinci” HARAKAT AN-NISA: Jurnal Studi Gender dan Anak, 6(2),           pp.           55-64.

https://doi.org/10.30631/62.55.64

Janggur. (2010). Butir-Butir Adat Manggarai. Yayasan Siri Bongkok.

Jemali, M., Ngalu, R., dan Jebarus, A.

(2017). “Tradisi Roko Molas Poco

Dalam Hubungannya Dengan Martabat Perempuan Manggarai”. Jurnal      Pendidikan      dan

Kebudayaan Missio. 9(2), pp. 8794.

Kamis, P.S. (2016). “Upacara Pande Mbaru Gendang Di Kampung Tenda     Kelurahan     Tenda

Kecamatan  Langke Rembong

Kabupaten   Manggarai Flores

NTT”. Skripsi program studi (S1) Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana.

Nggoro, dan Adi, M. (2006). Budaya Manggarai Selayang Pandang. Nusa Indah.

Rostiyati, A. (2017). “Peran Perempuan pada     Upacara     Tradisional

Rahengan di Desa Citatah Kabupaten Bandung Barat”. Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya 9(3),         pp.         369-373.

http://dx.doi.org/10.30959/patanjal a.v9i3.293

Sarong, Y.S., dan Gana, F. (2021). “Komersialisasi Perempuan Dalam Pigura Budaya Perkawinan adat Manggarai. Jurnal Administrasi Publik, 16(2), pp. 167-185.

Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&A. Alfabet.

Sukesi, K. (1991). “Status dan Peranan Perempuan: Apa Implikasinya Bagi Studi Perempuan”. Dalam Warta Studi Perempuan. Jurnal Penelitian Budaya, 2(1).