DOI: https://doi.org/10.24843/SP.2023.v7.i01.p05

p-ISSN: 2528-4517 e-ISSN: 2962-6749

Implikasi Religiusitas Pementasan Tari Sanghyang Jaran di Desa Bungkulan pada Masa Pandemi Covid 19

Afnan Dzanu Kusuma*, Aliffiati, I Ketut Kaler

Program Studi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana [afnankusuma@gmail.com] [aliffiati@unud.ac.id] [ketut_kaler@unud.ac.id] Denpasar, Bali, Indonesia

*Corresponding Author

Abstract

During the COVID-19 pandemic, the performance of the Sanghyang Jaran Dance in Bungkulan Village was delayed several times. The delay in the performance of this sacred dance ultimately has implications for the religious values of the adherents. This paper aims to identify the religious implications of the postponement of the Sanghyang Jaran dance performance. Kontjaraningrat and Robertson Smith's religious theory was used to interpret the data obtained. The results of the study indicate that there are at least three forms of religiosity implications experienced by the community during the postponement. First, the dancers are often visited by the spirit of Sanghyang Jaran in an unusual or angry condition. In addition, the dancer's family also experienced unusual illness and frequent household problems. Second, farmers experience anxiety due to declining yields and thefts that have occurred several times. Third, people experience discomfort with the surrounding conditions such as tense, many people are sick, so many people die in a row in the near future or grubug.

Keywords: Sanghyang Jaran Dance, Religiosity, Pandemic

Abstrak

Selama Pademi Covid 19, pementasan Tari Sanghyang Jaran di Desa Bungkulan sempat tertunda beberapa kali. Penundaan pementasan tari sakral ini pada akhirnya berimplikasi terhadap nilai-nilai religiusitas masyarakat penganutnya. Tulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi implikasi religius akibat penundaan pementasan Tari Sanghyang Jaran. Teori religi Kontjaraningrat dan Robertson Smith digunakan untuk memaknai data yang diperoleh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setidaknya ada tiga bentuk implikasi religiusitas yang dialami masyarakat selama penundaan tersebut. Pertama, penari sering didatangi roh Sanghyang Jaran dalam kondisi tidak biasa atau marah. Selain itu, keluarga penari juga mengalami sakit yang tidak biasa dan sering terjadi permasalahan rumah tangga. Kedua, Petani mengalami keresahan akibat menurunnya hasil panen serta kejadian pencurian yang terjadi beberapa kali. Ketiga, masyarakat mengalami ketidaknyamanan dengan kondisi sekitar seperti mencekam, banyak orang sakit, hingga banyak orang meninggal secara beruntun dalam waktu dekat atau grubug.

Kata kunci: Tari Sanghyang Jaran, Religiusitas, Pandemi


Sunari Penjor : Journal of Anthropology

Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud


PENDAHULUAN

Seni Tari dalam kebudayaan Bali dapat dibedakan menjadi tiga bentuk berdasarkan pada fungsinya, yakni Tari Wali, Bebali dan Balih-Balihan. Tari Sanghyang merupakan salah satu tari wali (Titib, 2003: 158-162). Tari ini dipentaskan pada upacara keagamaan dan merupakan sentral atau pusat dari ritual keagamaan. Tari Sanghyang merupakan ritual yang dilakukan masyarakat Bali di beberapa wilayah sebagai upaya permohonan keselamatan kepada Tuhan. Pemetasan tarian ini melalui proses yang panjang dan rumit dengan berbagai bentuk ritual. Pada umumnya, dalam pementasannya penari akan menari dalam kondisi kerauhan (kerasukan) sosok-sosok gaib sesuai dengan jenis tari Sanghyang yang dipentaskan.

Di Bali terdapat berbagai jenis tarian Sanghyang sesuai bentuk atau sosok yang diundang yang tersebar di seluruh pelosok Bali meliputi; Sanghyang Dedari, Sanghyang Bojog, Sanghyang Penyalin, Sanghyang Grodog dan Sanghyang Jaran. Sanghyang Dedari menggunakan medium gadis sebagai perantara untuk dirasuki sosok roh bidadari. Sanghyang Bojog mengundang roh monyet atau kera dalam pementasannya. Sanghyang Penyalin dan Grodog menggunakan semacam boneka yang terbuat dari anyaman bambu sebagai medianya atau semacam ritual jailangkung dalam budaya Jawa. Sementara Sanghyang Jaran mengundang roh kuda dalam pementasannya. Dalam pementasannya, penari biasanya diiringi dengan kidung, yakni nyanyian atau paduan suara dari sekaa santi dengan menggunakan lirik atau bait-bait khusus. Secara umum tujuan pementasan Tari Sanghyang Jaran adalah untuk menetralisir kondisi masyarakat dan lingkungan karena dianggap sedang dalam kondisi krisis atau ketidakseimbangan karena faktor tertentu

(Pramana, 2004; Covarrubias, 2013; Picard, 2006; Hermawan, 2015; Yuliawati dkk., 2018; Ruastiti, 2017).

Sanghyang Jaran merupakan salah satu kesenian yang mengandung nilai religiusitas yang banyak ditemukan di beberapa wilayah di Bali seperti di Desa Kusamba, Jungut Batu dan Lembongan (Klungkung), Banjar Bun dan Desa Adat Sanur (Denpasar), Desa Geriana Kauh dan Gegelang (Karangasem), Desa Ekasari (Jembrana) dan Desa Bungkulan (Buleleng). Tari Sanghyang Jaran adalah jenis tarian Sanghyang yang mengundang roh atau jiwa kuda (jaran artinya kuda) yang merasuki tubuh penari sebagai mediumnya. Gerakan penari seolah-seolah mengikuti gerakan seekor kuda karena telah dirasuki jiwa kuda. Tanpa sadarkan diri, penari akan menerobos perapian yang telah disiapkan sebelumnya. Hal ini menandakan bahwa penari sudah dalam keadaan kerasukan jiwa kuda.

Bagi masyarakat Bungkulan, khususnya Banjar Badung, Ritual Tari Sanghyang Jaran memiliki makna tersendiri. Ritual ini hanya dilakukan pada hari tertentu atau dalam kondisi krisis (grubug). Pementasan dilakukan selama dua hari yakni sebelum purnama (bulan penuh) dan hari purnama. Dalam setahun Sanghyang Jaran dipentaskan atau dalam bahasa lokalnya disebut nuntun dua kali yakni sasih kapat (bulan Oktober) dan sasih kenem (bulan Desember). Selain kedua sasih tersebut, Sanghyang Jaran juga akan dipentaskan dalam kondisi-kondisi tertentu seperti grubug (warga Bungkulan meninggal secara beruntun) atau karena adanya gagal panen. Masyarakat Bungkulan meyakini pementasan Tari Sanghyang Jaran merupakan ritual Nangluk Merana. Ritus nangluk merana dapat dipahami sebagai bentuk sembah bakti yang diwujudkan dalam upacara keagamaan dengan harapan masyarakat bisa

terhindar dari mara bahaya dan serangan penyakit (Widyantari, 2018: 402). Pementasan ini melalui serangkaian upacara kompleks untuk mengundang roh atau jiwa kuda. Rangkaian upacara meliputi ngaturang piuning di Pura tempat arwah suci kuda berstana. Sebelum pementasan, dilakukan persembahyangan bersama yang diikuti oleh seluruh warga Banjar Badung.

Selama masa pandemi Tari Sanghyang Jaran baru satu kali dipentaskan yakni pada bulan Maret 2021 silam. Selama tahun 2020 tarian sakral ini sama sekali tidak dipentaskan karena berbagai alasan. Salah satu alasan adalah karena pembatasan kegiatan upacara kegamaan yang diberlakukan selama pandemi yang diatur dalam Surat Edaran Majelis Agung Desa Adat Nomor: 007/SE/MDA-Provinsi Bali/IX/2020 tertanggal 4 September 2020. Pementasan baru bisa dilakukan setelah tatanan kehidupan baru (New Normal) diberlakukan dengan tetap menerapkan protokol kesehatan secara ketat. Selain itu, alasan berikutnya adalah resiko kerumunan. Pementasan Tari Sanghyang Jaran biasanya diikuti oleh hampir seluruh masyarakat Banjar Badung. Tiap kelompok masyarakat mempunyai tugas tersendiri dalam pementasan. Seperti sekaa teruna dan sekaa gending bertugas menyanyi, krama banjar bertugas untuk menjaga area sekitar agar penari tidak keluar arena pementasan. Dalam sekali pementasan, melibatkan minimal 100 orang sehingga tidak memungkinkan untuk dipentaskan. Untuk itulah kajian ini menjadi menarik ketika masa pandemi.

Ritual Tari Sanghyang Jaran yang berkembang di Bungkulan tidak semata merupakan bentuk persembahan suci. Pementasan kesenian sakral ini merupakan bentuk ekspresi religiusitas masyarakat Desa Bungkulan yang memiliki makna tersendiri dalam

berbagai aspek kehidupan mereka. Pementasan ini mengandung makna spiritulitas, sosial, budaya, ekonomi, psikologis, ekologi dan lainnya. Di tengah gempuran budaya modernitas dan globalisasi, terlebih sikap keterbukaan masyarakat Bungkulan yang begitu kuat, bisa menjadi ancaman bagi eksistensi ritual yang penuh makna tersebut. Untuk itulah perlu dilakukan kajian atau penelitian terkait implikasi religiusitas pementasan tari Sanghyang Jaran di Desa Bungkulan selama masa pandemi Covid 19. Kajian ini juga berangkat dari minimnya penelitian-penelitian terkait Tari Sanghyang Jaran di Desa Bungkulan terlebih di masa pandemi yang semestinya menjadi jawaban atas kondisi krisis justru tidak dipentaskan atau ditunda. Kajian ini difokuskan pada bagaimana implikasi religiusitas pengempon Tari Sanghyang Jaran akibat penundaan pementasan selama masa pendemi.

METODE

Penelitian terkait implikasai religiusitas pementasan Tari Sanghyang Jaran selama masa Pandemi ini menggunakan pendekatan kualitatif yang didominasi oleh data berupa deskripsi naratif. Data diperoleh melalui proses wawancara dan observasi yang dilakukan selama periode September 2021 hingga Februari 2022 serta kepustakaan. Berbagai varian data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan teori religi dari Koentjaraningrat (2000: 82) dan teori upacara bersaji dari Roberston Smith (dalam Nasution, 2013: 82). Teori religi Koentjaraningrat digunakan untuk melihat unsur-unsur religi dalam pementasan Tari Sanghyang Jaran, sementara teori upacara bersaji Robertson digunakan untuk melihat makna-makna lain dari Tari Sanghyang Jaran di luar makna religi itu sendiri. Hasil penelitian

kemudian dipaparkan melalui deskripsi naratif dengan memberikan berbagai makna atau penafsiran setiap data yang diperoleh.

HASIL DAN PEMBAHASAN Rangkaian     Pementasan     Tari

Sanghyang Jaran

Rangkaian    pementasan    Tari

Sanghyang Jaran dimulai dengan matur piuning di Pura Dalem Puri yang terletak di wilayah administratif Banjar Sari Desa Bungkulan. Pertigaan (marga tiga) tempat pementasan diyakini sebagai jalan utama menuju pura ini baik secara Skala maupun Niskala. Bagi masyarakat Banjar Badung dan sekitarnya, di pura inilah tempat bersemayam roh jaran atau kuda yang sangat disakralkan. Masyarakat sekitar meyakini bahwa roh kuda tersebut diikat di salah satu pohon belimbing buluh yang berada di jaba sisi (area terluar dalam tata ruang pura) Pura Dalem Puri. Roh jaran ini dianggap sebagai duwe atau milik para dewa yang bersemayam di Pura Dalem Puri.

Gambar 1. Pura Dalem Puri Desa Bungkulan: Tempat

Berstana Roh Jaran

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2021)

Rangkaian upacara matur piuning dilakukan sebelum pemetasan dimulai bisa dua atau satu hari sebelum pementasan. Matur piuning di Pura Dalem Puri dengan menggunakan sarana banten piuning pejati dengan tambahan segehan berbentuk kuda. Matur piuning

dilakukan boleh kapan saja agar tidak bertepatan dengan pasah dalam hitungan triwara kalender Bali atau dalam Bahasa setempat disebut dengan dora. Upacara matur piuning diikuti oleh kelian krama banjar adat (pemimpin masyarakat adat setingkat dusun) dan disaksikan oleh kepala dusun serta penari. Banten atau upakara disiapkan oleh sarati yang berasal dari Banjar Badung. Upacara ini dipuput atau dipimpin oleh pemangku Pura Dalem Puri.

Tujuan dari upacara ini adalah memohon izin atau memberitahukan (Matur Piuning: memberitahu) kepada para dewa yang berstana di Pura Dalem Puri bahwa akan dilaksanakan upacara nuntun Tari Sanghyang Jaran di Banjar Badung. Selain itu, upacara ini bertujuan untuk nunas atau meminta roh Sanghyang Jaran agar berkenan menghadiri atau merasuki tubuh penari pada saat dituntun. Secara sederhana upacara ini bermakna meminta izin kepada para dewa yang berstana di Pura Dalem Puri untuk meminta roh Sanghyang Jaran yang akan dipentaskan. Segehan dalam bentuk kuda merupakan salah satu syarat mutlak yang harus dihaturkan sebagai bentuk sesaji kepada roh kuda. Biasanya upacara matur piuning dilakukan pada sore atau siang hari.

Rangkaian berikutnya sembahyang bersama. Pada saat pementasan yakni sehari sebelum dan bertepatan dengan purnama kapat atau kenem, diawali dengan persembahyangan bersama yang diikuti oleh seluruh warga Banjar Dinas Badung. Sebelum persembahyangan dimulai, penari akan melakukan ritual di rumah dengan bersembahyang secara mandiri di pura keluarga dan tempat suci di rumahnya yang diyakini sebagai tempat persinggahan roh Sanghyang Jaran. Tarian ini hanya dipentaskan oleh seorang penari yang dipilih berdasarkan garis keturunan. Selesai bersembahyang,

penari kemudian mengenakan pakaian khas Sanghyang Jaran yang dibantu oleh beberapa orang.

Gambar 2. Penari Sanghyang Jaran (Sumber:https://facebook.com/ovia_suatini, 2021)

Pakaian penari cukup sederhana yakni badong, ampok-ampok, gelang kana dan gongseng. Badong terbuat dari kain yang berbentuk lingkaran dengan aksesoris yang ditambahkan di berbagai sudut. Badong yang digunakan berwarna hitam dengan pinggiran ditambahkan semacam rumbai dengan warna kuning. Bagian tengah badong berlubang. Badong dikenakan di leher penari. Ampok-ampok digunakan di pinggang penari berbentuk seperti selendang, hanya saja memiliki hiasan di sisi samping kiri kanan dan di belakang. Di sisi kiri-kanan terdapat tambahan kain yang menjulang ke bawah sepangang 5 cm dengan tambahan rumbai di bagian pinggirnya. Sementara di bagian belakang terdapat kain tambahan yang menjulang kebawah dengan lebar hampir 10 cm dengan tambahan rumbai berwarna kuning. Ampok-ampok ini memilik ciri khas sama layaknya ampok-ampok yang digunakan dalam tari Bali lainnya. Hanya saja ampok-ampok yang digunakan penari Tari Sanghyang Jaran

terbuat dari kain dengan warna dasar hitam yang ditambahkan manik-manik di berbagai sisi. Penari tidak menggunakan kain apapun, hanya menggunakan celana pendek berwarna gelap sepaha. Gelang kana digunakan di kedua pergelangan tangan penari dengan tambahan gongseng atau lonceng berukuran kecil.

Bagian tangan dan kaki dipasang sepasang Gongseng atau lonceng yang berukuran kecil dengan jumlah lebih dari 5 buah. Lonceng ini memiliki ciri khas bunyi yang nyaring. Bunyi dari gongseng inilah yang menjadi ciri khas pementasan Tari Sanghyang Jaran. Ada semacam kebiasaan pada saat penari mengenakan pakaian di rumahnya, kelompok anak-anak akan berkumpul di rumah penari untuk menyaksikan proses mengenakan pakaian. Suara gongseng inilah sangat ditakuti oleh anak-anak. Sesekali penari akan menggerakkan tangan dan kakinya agar gongseng berbunyi untuk menakuti anak-anak. Seketika anak-anak tersebut akan lari ketika gongseng tersebut berbunyi. Penari kerap menggoda anak-anak dengan menggunakan gongseng yang telah dikenakan. Meskipun demikian, anak-anak tersebut tetap saja antusias menonton penari mengenakan pakaian.

“Waktu menggunakan pakaian di rumah, biasanya banyak anak-anak SD datang ke sini. Mereka sangat takut dengan saya. Sekali-sekali saya membunyikan gongsengnya agar anak-anak itu takut. Mereka lari. Kemudian datang lagi untuk menonton saya. Senang saya menggoda mereka” (Kadek Mulyawan, 20 Agustus 2021).

Tidak sampai di sana, anak-anak tersebut juga kerap mengikuti penari berjalan menuju tempat pementasan. Sesekali penari akan menggoda anak-anak tersebut dengan menggunakan gongsengnya. Anak-anak tersebut lari ketakutan dan menjauh dari penari.

Namun akan mendekat kembali. Jarak dari rumah penari menuju tempat pementasan berjarak 100 meter.

Persembahyangan bersama baru dimulai ketika penari sudah berada di tempat pementasan. Persembahyangan menggunakan banten Piuning pejati dan beberapa sarana lainnya. Sementara warga Banjar Badung membawa banten berupa Rayunan atau canang galih (beras, canang sari dan sesari). Upacara dipimpin oleh pemangku dari salah satu pura di Bungkulan yang didampingi oleh beberapa pemangku dari sanggah/merajan yang ada di Banjar Badung. Upacara dimulai dengan pemangku membacakan mantra-mantra suci untuk menyampaikan maksud dan tujuan upacara. Setelah itu upacara diikuti dengan persembahyangan bersama yang diikuti oleh seluruh warga Banjar Badung. Persembahnyang dimulai dengan Tri Sandya yang dilanjutkan dengan Puja Kramaning Sembah. Selesai persembahyangan bersama, pemangku yang dibantu beberapa warga memercikan tirta dan membagikan bija ke seluruh warga yang hadir. Persembahyangan ditutup dengan paramasanti yang menandakan pementasan akan segera dimulai.

Puncak dari ritual ini adalah pementasan atau nuntun. Nuntun Sanghyang Jaran ditandai dengan mantra paramasanti para pemedek yang ikut hadir dalam persembahyangan. Tanpa dikomando, para istri krama mengambil banten yang dihaturkan, sementara beberapa warga yang awalnya berada jauh dari posisi penari kemudian mendekat. Sekaa gendingpun mengambil posisi tepat di sisi utara bale bengong di dekat lokasi pementasan. Beberapa pemangku turut pula berada di barisan belakang penari. Tak luput anak-anak juga ikut dalam barisan tersebut. Semua peserta penuntun mengambil posisi duduk bersila. Penari berada di barisan

paling depan yang temani oleh salah seorang petugas untuk menyalakan bara api atau pasepan.

Sebelum nuntun dimulai, pemangku mengambil sebuah gelas kecil yang berisi kapur yang telah dicampur air atau warga lokal menyebutnya dengan pamor. Dengan telaten pemangku tersebut mengolesi tubuh penari dengan air kapur tersebut. Bagian tubuh yang olesi adalah bagian dada, lengan kiri dan kanan serta bagian punggung. Polesan kapur tersebut berbentuk tanda tambah atau disebut dengan tapak dara. Tak lupa bagian kening dan pelipis diberikan pamor dengan menggunakan telunjuk tangan. Olesan tanda tambah atau tapak dara memiliki makna tersendiri. Nyoman Witarsa menuturkan, polesan tanda tambah tersebut memiliki makna sebagai keseimbangan dan juga sebagai proteksi agar tubuh sang penari tidak mengalami hal yang tidak diinginkan.

Gambar 3. Persiapan Nuntun Sanghyang Jaran (Sumber: http://bungkulan-buleleng.desa.id/, 2021)

Seusai pemangku melakukan tugasnya menorehkan tapak dara di tubuh penari, petugas lain bergegas menyalakan api atau pasepan di tempat yang telah disediakan. Tepat di depan penari terdapat sebuah dulang yang digunakan untuk tempat meletakkan pasepan. Pasepan ini berbentuk bundar bertingkat dengan diameter sekitar 30 cm yang terbuat dari tanah liat. Api kemudian disulutkan ke arah dupa yang telah dipatahkan di atas pasepan. Dengan

telaten petugas tersebut mengipas-ngipas dengan menggunakan saab ke arah pasepan agar api segera menjadi bara dan tidak sampai mati. Ketika bara mulai terlihat, maka sekaa kidung mulai melantunkan nyanyian untuk memanggil roh Sanghyang Jaran.

“Jaran Dauk, anggonang ke Tegal Linggah” “Kalahin icang mengarit padang” “Kerengseng kedembuang”

“Jagjagin jarane ilang”

“Jaran Dauk sasirikan maakin banyu” “Ikang banyu aruk icang nunas ica” “Gendong langke jaran dauk”

Terjemahan:

Jaran Dauk digembalakan ke Tegallinggah Kutinggalkan menyabit rumput Tergesa-gesa

Mendatangi jaranku yang hilang

Jaran dauk berjalan membawa air Air yang aku cari

Digendong oleh jaran dauk

(Pramana, 2004: 110-111)

Lirik tersebut merupakan kidung pemanggil roh Sanghyang Jaran. Nyanyian dipimpin langsung oleh Nyoman Witarsa yang juga merupakan kelian sekaa kidung di Banjar Badung. Bait pertama dinyanyikan dengan tempo rendah yang kemudian diikuti oleh sekaa kidung lainnya serta kelompok barisan di belakang penari. Semakin lama, tempo semakin cepat dengan suara yang cukup kencang. Dalam beberapa saat anak-anakpun ikut bernyanyi dengan suara sangat keras. Bait pertama dilantunkan hanya sekali, sementara bait kedua diulang secara terus menerus hingga roh Sanghyang Jaran benar-benar merasuki tubuh penari.

Selama pelantunan kidung tersebut, penari mulai menunjukkan gelagat kerasukan. Penari mulai mengepak-

ngepakkan tangannya. Lututnya yang dalam posisi bersila pun ikut terangkat-angkat. Semakin lama, gerakan tersebut semakin cepat. Puncaknya, penari kemudian mengulurkan tangannya dan menjatuhkannya tepat di atas pasepan. Tak tanggung-tanggung, penari bahkan meremas dan mengempaskan bara api tersebut hingga mengenai beberapa warga. Kondisi ini menandakan bahwa roh Sanghyang Jaran sudah merasuk ke tubuh penari secara sempurna. Penari kemudian terjatuh lemas hingga telentang. Kondisi ini menandakan pementasan akan segera dimulai.

Gambar 4. Prosesi Nuntun Sanghyang Jaran: Roh Jaran Mulai

Memasuki Tubuh Penari

(Sumber: http://bungkulan-buleleng.desa.id/, 2021)

Barisan di belakang penari kemudian beranjak dan mengambil posisi masing-masing. Beberapa warga terlihat menggulung karpet atau tikar yang digunakan alas sebelumnya. Kelompok krama mengambil posisi sebagai penjaga agar penari tidak sampai keluar arena pementasan. Para krama mengambil posisi di sisi timur, barat dan selatan arena pementasan dengan membentuk barisan layaknya pagar betis. Kelompok pemuda atau ST (Sekaa Teruna) kemudian bergabung dengan sekaa kidung untuk membantu mereka bernyanyi. Arena pementasan disterilkan. Perlengkapan yang digunakan dalam prosesi memanggil roh Sanghyang Jaran diamankan di dekat padmasana. Semua penerangan dimatikan. Hanya lampu di

atas kelompok sekaa kidung yang masih menyala.

Perlahan penari bangkit dari keterlelapannya setelah sekaa kidung menyanyikan lagu Sanghyang Jaran. Penari kemudian secara perlahan mendekati sekaa kidung sambil sesekali mengepak-ngepakkan tangannya seolah sedang menari. Suasana sakral sangat terasa karena minimnya cahaya yang hanya mengandalkan sinar bulan. Dengan mata terpejam, penari mengelilingi arena pementasan sambil sesekali melambai-lambaikan tangannya dan menolakkan kakinya ke tanah dengan sangat keras. Suara gemerincing gongseng semakin nyaring terdengar dari tangan dan kaki penari. Gerakan penari sesekali terlihat menyerupai Gerakan kuda atau jaran.

Beberapa saat, penari akan terdiam ketika sekaa kidung berhenti bernyanyi atau sedang beralih ke bait lainnya. Penari juga akan terdiam ketika suara koor dari sekaa kidung tidak kompak atau serasi. Dalam kondisi ini, penari akan berupaya menerobos barisan krama yang menjaga di batas arena pementasan. Sesekali penari mendekati barisan krama tersebut dan menggodanya seolah akan menerobos barisan mereka bak sedang main megala-gala. Ketika nyanyian sudah mulai kompak, penari akan kembali mendekati sekaa Kidung untuk menari. Tarian yang ditampilkan cukup sederhana. Penari hanya menggunakan tangannya sebagai media tari. Sesekali melenggok-lenggokan tangannya ke arah depan hingga kerap mengenai kepala penonton atau sekaa kidung. Sanghyang Jaran juga kadang menunjukkan keusilannya dengan mendekati kelompok anak-anak dan seketika kelompok anak-anak tersebut berlari terbirit-birit karena ketakutan. Meski demikian, kelompok anak ini akan kembali ke posisi depan agar bisa menyaksikan pementasan dalam jarak dekat. Hal inilah kadang menjadi hiburan tersendiri melihat

tingkah anak-anak yang berlarian ketakutan tersebut.

Beberapa saat, penari kemudian berlarian ke arah padmasana yang menandakan bahwa roh Sanghyang Jaran sedang lapar. Petugas kemudian mengambilkan ajengan (makanan) yang sudah disiapkan di padmasana dan kemudian meletakkannya di tengah arena pementasan. Penaripun mengikuti langkah petugas tersebut dan segera melahap semua sesajen tersebut. Penari memakan sesajen tersebut layaknya seekor kuda yang sedang memakan padang atau rumput dengan tubuh tengkurap dan bibir tepat di atas sesajen. Penari dengan lahap menyantap sesajen tersebut layaknya kuda yang sedang kelaparan. Seusai menyantap sesajen, penari kemudian terlentang lemas. Petugaspun segera mengambil sesajen tersebut agar tidak menganggu saat pementasan berikutnya. Tertidurnya sang penari menandakan pementasan berikutnya akan segera dimulai.

Dalam kondisi ini, para penyanyi mengambil kesempatan untuk beristirahat seperti meminum air. Setelah semua siap, sekaa kidung kembali melantunkan kidungnya. Secara perlahan penari kembali bangkit dan menari di arena pementasan. Dalam pementasan tahap kedua ini, penari sedikit lebih agresif. Jika sebelum memakan ajengan gerakan penari cukup dinamis dan kalem, sementara pemetasan kedua ini lebih berenerjik dengan tenaga yang cukup kuat. Sesekali penari menerobos barisan sekaa kidung jika koornya kurang kompak. Hal ini menyebabkan kepanikan terutama sekaa kidung dan STT perempuan. Secara spontan mereka berteriak dan berupaya menghindari badan penari. Penari juga tak segan-segan menerobos barisan krama yang berjaga jika melihat cahaya atau api.

Dalam pementasan, api atau cahaya apapun sangat dilarang. Warga meyakini

bahwa sekecil apapun cahaya akan terlihat oleh penari meskipun dalam keadaan terpejam. Warga Banjar Badung sudah menyadari bahwa Sanghyang Jaran sangat sensitif terhadap cahaya. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, warga biasanya mematikan handphonenya atau mengurungkan diri untuk membakar rokok. Penerangan di jalan serta rumah-rumah sekitar arena pementasan secara otomatis akan dimatikan oleh warga untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Dalam pementasan tanggal 27 dan 28 Maret 2021 silam terjadi kejadian yang tidak diinginkan.

“Waktu itu ada salah satu warga yang menyalakan handphonenya saat pementasan. Sepertinya bukan orang sini, orang dari banjar lain. Padahal posisinya cukup jauh dari arena. Tiba-tiba saja penari berlari menuju orang itu. Krama yang berjaga tidak ada yang ngeh. Terjadilah, hapenya dibanting dan tidak sengaja katanya mengenai kepalanya. Jadi itu benar-benar di luar dugaan. Besoknya juga begitu. Di jalan utama tiba-tiba ada mobil lewat dengan keadaan lampu masih menyala. Dengan cepat penari menerobos barisan krama dan penonton dan memukul bagian depan mobil. Spontan warga di sekitar menyuruh sopir untuk mematikan lampu mobilnya. Untung pemilik mobil tidak kenapa dan tidak mempermasalahkan” (Gede Budarsa, 17 September 2021).

Berdasarkan penuturan informan tersebut di atas, selaku anggota masyarakat Banjar Badung telah menguatkan hasil pengamatan penulis bahwa Sanghyang Jaran sangat sensitif terhadap cahaya. Semakin lama, gerakan penari semakin agresif. Tubuh penari semakin tak terarah di bawah kendali roh Sanghyang Jaran. Sekaa kidungpun semakin bersemangat dalam mengiringi

Sanghyang Jaran napak pertiwi. Puncaknya adalah secara tiba-tiba penari menghadap padmasana sambil mencakupkan kedua tangannya di atas kepala. Seketika tubuh penari roboh ke tanah tak sadarkan diri. Petugas dengan sigap memegang tubuh penari untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terutama untuk menghindari kepalanya terjatuh ke tanah. Pemangku kemudian mengambil tirta yang sudah disiapkan di padmasana dan segera memerciki kepala penari. Sisa-sisa tirta bahkan diguyurkan di atas kepala penari untuk memastikan penari benar-benar tersadar. Penari pelan-pelan sadarkan diri dengan badan yang masih lemas. Setelah kondisi penari benar-benar pulih total, penari kemudian beranjak bangun dan memberikan isyarat bahwa dirinya baik-baik saja. Penari bangun dan segera beranjak berjalan menuju sungai ke arah timur lokasi pementasan.

Setelah pementasan usai, penari kemudian berjalan kaki menuju sungai yang berada di dekat SDN 5 Bungkulan ke arah timur lokasi pementasan. Jalan tersebut diyakini sebagai salah satu jalan utama menuju Pura Dalem Puri tempat berstananya roh Sanghyang Jaran. Penari berjalan menuju sungai didampingi beberapa warga. Tujuannya adalah membersihkan diri secara jasmani dan rohani. Secara jasmani, penari akan membersihkan badan dari polesan tapak dara dan berbagai kotoran yang menempel ditubuhnya seperti debu. Pementasan tidak menggunakan alas seperti tikar atau karpet sehingga tubuh penari akan dipenuhi dengan debu.

Secara niskala, prosesi mandi ini memiliki makna yang cukup mendalam. Posisi sungai yang melewati jaba sisi Pura Dalem Puri dianggap memiliki makna tersendiri terhadap pementasan Roh Sanghyang Jaran. Dengan mandi di sungai tersebut, penari merasa sudah menghadap ke Pura Dalem Puri sebagai

wujud terima kasih telah menggunakan tubuhnya sebagai media pementasan. Selain itu, penari mengaku dengan mandi ke sungai tersebut, maka dirinya akan kembali fit total padahal sebelumnya tenaga habis setelah pementasan.

“Setelah itu dah, abis mandi di (sungai dekat) SD 5, badan saya kembali pulih. Tenaga saya kembali lagi padahal sebelumnya terasa capek sekali karena berguling-guling, loncat-loncat pada saat menari. Saya tidak sadar dalam kondisi itu, hanya saja badan saya sangat capek setelah saya sadar. Sehabis mandi itulah badan kembali sehat, percaya tidak percaya” (Kadek Mulyawan, 20 Agustus 2021) Prosesi     mandi     ini     tidak

menggunakan  sarana apapun.  Penari

hanya mandi biasa  saja di  sungai

tersebut. Penari meyakini dengan mandi di tempat tersebut, sisa-sisa roh atau pengaruh roh Sanghyang Jaran akan hilang terbawa aliran sungai menuju ke rumahnya yaitu di Pura Dalem Puri. Hal senada juga disampaikan oleh Nyoman Witarsa. Prosesi mandi ini sebagai bentuk pembersihan diri atau melukat tubuh penari setelah melakukan pementasan. Aliran sungai tersebut dianggap bisa membersihkan tubuh rohani penari sehingga kembali fit total.

Keyakinan ini masih dipegang sampai sampai saat ini sehingga penari akan dengan spontan menuju arah sungai tersebut seusai sadarkan diri. Rangkaian pementasan ini sama dalam dua kali pementasan. Hanya saja dalam pementasan hari kedua, penari atau Sanghyang Jaran diyakini memiliki sikap yang lebih agresif dibandingkan pementasan hari sebelumnya. Ketiga rangkaian ini wajib dilewati saat pementasan Tari Sanghyang Jaran. Hanya matur piuning saja dilakukan satu kali.

Implikasi Religiusitas Pementasan Tari Sanghyang Jaran Selama Pandemi

Pada kajian ini, penulis setidaknya menganalisis tiga bentuk implikasi religiusitas yang dialami oleh masyarakat terkait dengan pementasan Tari Sanghyang jaran selama pandemi Covid 19 yakni dari pihak penari, petani dan masyarakat umum.

  • a.    Penari: Kerap Didatangi hingga Keluarga Sakit dan Kurang Harmonis

Penari merupakan salah satu warga Banjar Badung yang memilih merantau ke Denpasar karena persoalan ekonomi. Lelaki kelahiran 10 Juli 1981 ini terpaksa meninggalkan dua orang anaknya di Bungkulan dan memboyong empat anaknya ke Denpasar untuk bekerja. Sehari-hari Kadek Mulyawan bekerja sebagai buruh lepasan sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang kebersihan hotel atau villa. Selama pandemi, dirinya mengaku jarang mendapatkan kerja, sementara istrinya tidak bisa bekerja karena baru saja melahirkan putri keenamnya. Pada awalnya Mulyawan tidak pernah terpikirkan akan ditunjuk menjadi penari Sanghyang Jaran. Ia awalnya sempat menolak karena alasan tinggal di Denpasar. Namun lambat laut, dia menerimanya     akibat     beberapa

pengalaman mistis yang dialaminya seperti kerap didatangi roh Sanghyang Jaran. Alasan lainnya adalah selain dirinya, tidak ada lagi yang bisa menggantikan     kakeknya     (Guru

Suwenten) yang sebelumnya menjadi

penari Sanghyang Jaran. Ia kemudian mantap ngayah  (mengabdi)  sebagai

penari Sang Hyang Jaran, meskipun tinggal di Denpasar. Ia akan dihubungi oleh Kepala Dusun atau Kelian Adat Banjar Badung jika pementasan akan dilangsungkan.

Selama pandemi atau penundaan pementasan Tari Sanghyang Jaran, Kadek Mulyawan mengalami beberapa kejadian yang cukup aneh dan misterius. Beberapa kali, dirinya pernah didatangi oleh roh Sanghyang Jaran dengan kondisi tidak biasa.

“Belakangan ini saya sering sekali didatangi oleh beliau (roh Sanghyang Jaran) di sini (kost). Datangnya juga cukup aneh. Jika dulu paling ke sini hanya untuk melihat-lihat atau menengok saja, namun selama ini karena tidak pernah dituntun, beliau datang seperti marah. Beliau datang tiba-tiba, terus berlarian di sekitar tembok kost, tiba-tiba dari atap, dengan gerakan cepat. Bahkan saya sempat di datangi secara langsung dan sangat mengagetkan saya” (Kadek Mulyawan, 21 Agustus 2021).

Pernyataan Kadek Mulyawan di atas mengindikasikan bahwa Roh Sanghyang Jaran dalam kondisi marah atau duka. Penundaan pementasan merupakan salah satu penyebab kenapa roh Sanghyang Jaran pada akhirnya marah dan mendatangi penari. Ketika wawancara dilakukan di kostnya, peneliti juga mengalami kejadian yang cukup aneh. Pada saat itu, Kadek Mulyawan mengeluarkan pakaian Sanghyang Jaran dan hendak menunjukkan kepada peneliti untuk didokumentasikan. Tiba-tiba, secara misterius penari dan peneliti mendengar suara seperti gongseng atau lonceng yang berjalan begitu saja. Padahal, gongseng penari berada di keranjangnya dan tidak sedang digerakkan. Saat itu kondisi cukup hening sehingga peneliti bisa mendengarkannya secara jelas. Kadek Mulyawan kemudian menjelaskan bahwa saat itu, roh Sanghyang Jaran datang kembali dengan ciri khas suara gongsengnya. Suasana tambah hening setelah penari menjelaskannya. Penari

dapat merasakan kehadiran roh Sanghyang Jaran, sementara peneliti bisa mendengarkan suara gongseng tersebut dengan jelas.

Setelah beberapa kejadian religius tersebut Kadek Mulyawan hanya bisa berdoa agar pementasan bisa dilakukan segera. Mereka menyadari bahwa dalam kondisi ini, pementasan mustahil dilakukan dan berharap semua dalam kondisi baik-baik saja. Mereka sepenuhnya menyerahkan kepada pemerintahan desa terkait pementasan Tari Sanghyang Jaran. Bahkan dengan nada sinis, Kadek Mulyawan mengatakan “ya biarkan saja, toh juga nanti mereka yang akan kena sendiri”. Maksud dari pernyataan tersebut adalah mereka yang menghalangi pementasan akan mendapatkan ganjarannya sendiri. Pernyataan ini muncul akibat rasa lelah yang dialami oleh Kadek Mulyawan terkait kisah-kisah misteriusnya.

Selain kisah misterius tersebut, penari Sanghyang Jaran juga mengalami beberapa kejadian yang cukup aneh. Kadek Mulyawan mengaku anaknya pernah mengalami kondisi sakit yang cukup aneh. Pada saat itu anaknya sakit tanpa sebab. Suhu tubuh anak keempatnya sangat tinggi sampai dalam kondisi lemas dan tidak bisa berjalan. Bahkan anak keempatnya tersebut, sempat mengalami kebutaan. Mulyawan kemudian membawa anaknya berobat dan tidak mendapatkan jawaban yang jelas dari dokter tentang penyakit anaknya, dimana hasil pemeriksaan menyebutkan bahwa anaknya hanya demam biasa.

Beberapa hari setelahnya, kondisi anaknya tidak membaik. Mulyawan kemudian menyadari jika kejadian ini pasti ada kaitannya dengan peniadaan pementasan Tari Sanghyang Jaran. Mulyawan kemudian melakukan persembahyangan secara sederhana di Pelangkiran kostnya untuk memuja Roh

Sanghyang Jaran. Di dalam kostnya ada sebuah pelangkiran khusus untuk memuja roh Sanghyang jaran dan tepat di bawahnya diletakkan kostum Tari Sanghyang Jaran. Mulyawan kemudian berdoa dan meminta maaf kepada roh Sanghyang Jaran karena pementasan tidak bisa dilakukan. Dengan menggunakan canang dan dupa yang sederhana, Mulyawan menyampaikan permohonannya agar kondisi anaknya membaik dan roh Sanghyang Jaran tidak mengganggunya lagi. Beberapa hari setelah itu, anaknya membaik dan kembali pulih seperti biasa.

Kejadian lain yang pernah dialami oleh keluarga Mulyawan adalah anaknya pernah jatuh dari sepeda motor. Mulyawan mengaku kejadian ini juga ada kaitannya dengan peniadaan pementasan Tari Sanghyang Jaran.

“Anak saya sakit itu, trus anak saya juga penah jatuh dari motor. Banyaklah kejadian aneh selama ini yang kami rasakan. Saya juga sering bertengkar dengan istri, entah apa alasannya” (Kadek Mulyawan 21 Agustus 2021).

Peniadaan pementasan Tari Sanghyang Jaran juga pada akhirnya berpengaruh terhadap hubungan suami istri penari. Mulyawan mengaku sering bertengkar dengan istri tanpa alasan yang jelas. Kondisi ekonomi selama pandemi mengingat Mulyawan jarang bekerja karena tidak ada panggilan untuk bekerja sering menjadi alasan percecokan dirinya dengan istri. Kondisi pasca melahirkan anak keenam menyebabkan sang istri tidak bisa bekerja menjadi salah satu penyebab masalah ekonomi keluarga Mulyawan. Sebelumnya istrinya bekerja di salah satu garmen dekat kostnya. Kondisi ekonomi yang dialami selama pandemi sering memicu perselisihan penari dengan istrinya.

Kondisi yang dialami oleh penari baik secara religius atau supranatural dan

kejadian-kejadian empirik keluarganya, pada akhirnya diyakini Mulyawan merupakan impilikasi dari peniadaan pementasan Tari Sanghyang Jaran selama pandemi. Kejadian-kejadian tersebut menggiring pemahaman Mulyawan bahwa ini semua pasti ada kaitannya dengan keberadaan roh Sanghyang Jaran yang disungsungnya. Dalam kondisi ini, roh Sanghyang Jaran digambarkan dalam kondisi marah dan tidak terima karena tidak pernah ditampilkan atau dipentaskan. Dalam pemahaman komponen religi yang ditawarkan oleh Koentjaraningrat (2000), kondisi peniadaan ritual dalam hal ini pementasan Tari Sanghyang Jaran di Banjar Badung, Desa Bungkulan pada akhirnya mempengaruhi komponen-komponen lainnya. Komponen emosi kegamaan penari pada akhirnya berada pada posisi tidak seimbang. Kondisi ini pada gilirannya mempengaruhi psikologis Kadek Mulyawan selaku penari Sanghyang Jaran. Kadek Mulyawan hidup dalam ketidaknyaman, merasa resah, merasa ada yang kurang, merasa bersalah dan sebagainya. Segala permasalahan hidup yang dialaminya diyakini merupakan ketidakseimbangan psikologis tersebut.

  • b.    Keresahan Para Petani

Tari Sanghyang Jaran merupakan salah satu pementasan yang erat kaitannya dengan kondisi lingkungan masyarakat Desa Bungkulan. Pementasan ini merupakan ritual nangluk merana. Prosesi ini merupakan upacara yadnya yang dilakukan untuk memohonan kepada Tuhan agar berkenan menangkal segala gangguan yang dapat membawa kehancuran atau penyakit pada tanaman (Sutjipta, 2016: 13). Pementasan Tari Sanghyang Jaran bisa dikatakan sebagai sebuah persembahan suci kepada Tuhan yang berkaitan dengan kondisi pertanian

masyarakat Desa Bungkulan. Hal ini disampaikan oleh Nyoman Witarsa;

“Jadi Sanghyang ini ada juga kaitannya dengan pertanian masyarakat. Dari dulu ada kepercayaan masyarakat bahwa jika tidak dituntun, petani pasti akan mengeluh panennya gagal, bawangnya dimakan ulat, padinya nggak bagus dan sebagainya” (Nyoman Witarsa, 21 September 2021).

Pernyataan Witarsa mengindikasikan bahwa ada keterkaitan erat antara pementasan Tari Sanghyang Jaran dengan eksistensi tanah pertanian di Desa Bungkulan.

Peniadaan pementasan Tari Sanghyang Jaran selama pandemi pada akhirnya juga mempengaruhi kondisi pertanian masyarakat di Banjar Badung, Desa Bungkulan. Selama kurun akhir 2019 sampai akhir 2021 beberapa petani mengalami kerugian akibat hasil pertaniannya tidak baik. Seorang informan menjelaskan bahwa lahan di depan rumahnya sempat mengalami gagal panen pada saat pandemi.

“Itu lahan di depan rumah saya pernah gagal panen. Saat itu ditanami pohon semangka. Namun hasilnya tidak bagus, entah kenapa. Buahnya itu kerdil dan tidak bisa membesar padahal panen-panen sebelumnya tidak seperti itu. Jadinya terpaksalahan semangka itu dibabat habis dan buahnya dibagikan ke tetangga-tetangga. Termasuk saya. Setelah saya tanya, kenapa dibabat, petaninya bilang gagal, buahnya kerdil. Daripada dibiarkan, mendingan tanam yang lain” (Gede Budarsa, 17 September 2021).

Kondisi gagal panen juga dirasakan oleh beberapa petani lainnya. Salah satu lahan di sebelah Pura Dalem Purwa yang ditanami sayur ijo juga mengalami hal yang demikian. Meskipun kondisi

tanaman cukup baik dan sehat, namun harga sayuran tersebut di level pengepul sangat rendah. Petani penggarap mengaku rugi dan harga jual sangat rendah sehingga tidak menutupi biaya produksi. Pada akhirnya petani membiarkan saja tanaman tersebut tanpa dipanen. Petani tersebut membiarkan siapa saja boleh memetiknya untuk digunakan sebagai sayur. Petani merasa rugi dan akhirnya merelakan kerugiannya dengan membagi-bagikan sayuran tersebut kepada masyarakat.

Hasil panen yang tidak diharapkan juga dialami oleh salah satu petani padi di Banjar Badung. Beberapa kali harga hasil panen dan pengeluaran selama menanam hingga panen tidak sesuai. Guru Geleh mengaku ia merasa rugi dan hasil panen tidak menutup biaya perawatan.

Guru masi sesai rugi. Sing ngerti masi, pis pajegan padine sing cocok jak penelahne. Jeg tumben pajegane tuun. Sing je guru deen, ane len masi keto. Jalanin deen be, dari pada sing ade gae” (Guru Geleh, 28 Oktober 2021).

Terjemahan:

“Guru (panggilan bapak) juga sering rugi. Tidak mengerti, harga beli tidak sesuai dengan pengeluaran. Tumben harga beli turun drastis Tidah hanya guru, yang lain juga begitu. Jalanin saja, dari pada tidak ada kerjaan”

Penjelasan informan tersebut di atas mengindikasikan bahwa pada saat itu harga beli gabah sangat rendah dan tidak sesuai dengan biaya penanaman dan perawatan tanaman padi. Turunnya harga gabah diyakini warga juga akibat peniadaan pementasan Tari Sanghyang Jaran selama ini.

Selain kondisi pertanian, kejadian-kejadian lainnya juga sering terjadi di wilayah pertanian masyarakat Desa Bungkulan. Salah satunya adalah kasus

pencurian hasil pertanian selama pandemi. Beberapa petani sempat mengalami pencurian hasil pertanian mereka seperti bawang, cabai, terong, ketela, semangka dan sebagainya. Beberapa pihak mengklaim bahwa itu dilakukan oleh beberapa pemuda yang sedang melakukan kegiatan mekemit di Pura Dalem Purwa karena pada saat itu sedang melakukan perehaban. Mereka mengklaim bahwa pemuda inilah yang melakukannya. Namun beberapa pemuda di Banjar Badung menyangkalnya dengan alasan tidak pernah mencuri dan hanya mengambil atau meminta ketika pemilik ada di tempat. Seperti yang dituturkan oleh Gede Diva Fedayana selaku ketua STT Wahana Bina Remaja bahwa kempok pemuda tidak pernah mencuri. Mereka biasanya membawa sendiri beberapa perlengkapan untuk memasak yang kemudian dibawa ke Pura Dalem untuk dimasak. Kalaupun itu memetik di sawah, itu sudah melalui perizinan anak atau pemilik lahan sebelumnya.

Kondisi ini sempat menghebohkan warga Banjar Badung. Hal inipun ditanggapi oleh Kelian Subak Dalem dengan melakukan patroli rutin di Balai Subak Dalem. Anehnya, ketika selama patroli dilakukan, tidak pernah satupun ditemukan pencurinya. Sementara kasus kehilangan masih tetap terjadi. Pengurus Subak sampai membuat perarem darurat yang mengatur beberapa kegiatan di area persawahan dengan sanksinya yang cukup jelas dan mencetaknya dalam bentuk banner cukup besar. Kejadian ini tidak hanya terjadi di Banjar Badung melainkan merembet ke beberapa wilayah seperti areal subak Yeh Lembu, Subak Yangai dan sebagainya.

Kejadian-kejadian tersebut diyakini warga ada keterkaitan dengan peniadaan pementasan Tari Sanghyang Jaran. Tari Sanghyang Jaran yang awalnya berkaitan hanya dengan sistem kesuburan lahan

pertanian akhirnya juga berimplikasi terhadap kejadian-kejadian lain di luar sistem pertanian seperti anjloknya harga hasil panen hingga kasus-kasus pencurian. Dalam kondisi ini petani merasa resah dengan situasi yang ada. Mereka meyakini keresahan ini hanya bisa dihilangkan dengan nuntun Tari Sanghyang Jaran.

  • c.    Masyarakat Merasa Kurang Nyaman hingga Grubug Terjadi

Selain penari dan petani, masyarakat umum terutama masyarakat Banjar Badung juga mengalami keresahan luar biasa yang berkepanjangan. Keresahan ini terjadi akibat beberapa kejadian yang terjadi secara luar biasa di Desa Bungkulan. Selama masa pandemi (akhir 2019 – 2021) kondisi sosial masyarakat Banjar Badung sangat mencekam. Sebelumnya, kondisi masyarakat yang guyub, sering kumpul di titik tertentu di banjar sudah tidak terlihat lagi. Beberapa warung terlihat sepi pengunjung. Balai banjar yang biasanya selalu ramai oleh kelompok pemuda dan anak menjadi hening. Jalan utama menuju pantai juga lenggang. Hal ini terjadi akibat pembatasan sosial yang dilakukan oleh pemerintah.

“Saya ingat betul waktu pertama Covid itu, jalan di sini sangat sepi. Biasanya yang selalu rame orang lewat, kini jadi sepi. Warung saya juga sepi. Mencekam sekali lah pokoknya” (Made Widiatmaja, 19 September 2021).

Selain itu, kondisi kesehatan warga juga sangat fluktuatif pada saat itu. Banyak warga yang mengalami sakit secara mendadak dan bergiliran. Dalam satu rumah, orang sakit bisa bergiliran. Misalnya saat ini anaknya yang sakit, besoknya bisa orang tuanya yang sakit. Ini tidak terjadi di satu rumah bahkan sebagian besar keluarga mengalaminya. Masyarakat mengaku takut melakukan

pemeriksaan karena takut akan didiagnosis positif dan disuruh isolasi. Pada saat itu isolasi dilakukan secara terpusat di beberapa titik seperti di kost-kostan yang difasilitasi Satgas Desa atau terpusat di Undiksha. Kondisi ini berlangsung selama beberapa bulan sehingga membuat kondisi Banjar Badung sangat mencekam.

“Waktu itu parah. Banyak yang sakit, termasuk saya. Tapi tidak berani berobat karena takut dicovidkan. Akhirnya saya minum obat biasa saja, dan beberapa hari setelahnya sudah kembali fit. Saya sampai melarang bapak saya kemana-mana dan di rumah saja mengingat dia sudah tua dan cukup beresiko” (Budarsa, 17 September 2021)

Kondisi mencekam ini tidak hanya terjadi di Banjar Badung melainkan juga di banjar-banjar lain bahkan sampai lingkup Desa Bungkulan. Orang meninggal pada saat itu sangat banyak dan secara beruntun, baik itu positif Covid maupun tidak. Dalam sehari bisa mencapai enam orang meninggal. Hal ini dituturkan oleh Gede Mahajana selaku pengayah di Pura Dalem Purwa.

“Sehari itu pernah sampai enam orang diaben. Setiap hari ada saja yang meninggal. Karena saya ngayah di Pura Dalem jadi saya tau. Selesai Ngayut abu jenazah, mereka kemudian ngelinggihang di Pura Dalem. Saya sampai kewalahan menyiapkan semuanya” (Gede Mahajana, 15 September 2021).

Kondisi mencekam akibat grubug membuat sebagian besar masyarakat merasa kurang nyaman dan khawatir akan kondisi mereka. Terlepas dari kondisi pandemi atau keberadaan virus yang menjangkiti warga, kondisi ini juga diyakini warga sebagai akibat dari peniadaan pementasan Tari Sanghyang Jaran. Mereka meyakini bahwa

pementasan Tari Sanghyang Jaran merupakan salah satu alternatif untuk meminimalisir ketakutan ataupun grubug yang terjadi. Keresahan penari, kelian adat, petani hingga masyarakat tidak semata terjadi akibat pandemi yang terjadi di dunia, melainkan lebih dari itu. Kondisi kejiwaan masyarakat akibat emosi keagamaan yang tidak seimbang karena penundaan pementasan Tari Sanghyang Jaran memperburuk situasi masyarakat hingga timbul keyakinan bahwa pementasan Tari Sanghyang Jaran adalah jawaban untuk menanggulanginya.

Pementasan Tari Sanghyang Jaran dalam kondisi Pandemi ini merupakan ritual intensifikasi yang sangat diperlukan untuk menyeimbangkan kondisi psikologis masyarakat. Rites of Intensification menurut Haviland (1993: 207-210) merupakan upacara yang dilakukan dalam kondisi masyarakat sedang kritis. Kondisi grubug di Desa Bungkulan dengan berbagai fenomena luar biasa yang terjadi dapat dikatakan dalam kondisi kritis sehingga memerlukan sebuah rangkaian upacara untuk menanggulanginya. Bagi masyarakat Banjar Badung, pementasan Tari Sanghyang Jaran adalah jawabannya. Dengan melakukan upacara ini masyarakat meyakini akan dapat mengurangi kegelisahan yang dialami oleh mereka. Dengan berbagai upaya terutama oleh Kepala Dusun dan Kelian Banjar Adat Badung, akhirnya pementasan baru bisa dilaksanakan pada Maret 2021.

Lebih jauh Dewi (2020: 56-57) dalam pidato seninya membahas secara khusus Tari Sanghyang yang berkembang di Bali sebagai penawar dari kesengsaraan masyarakat yang dialami selama pandemi. Dalam pidatonya yang diterbitkan dalam Jurnal Seni Nasional Cikini memberikan ulasan yang cukup panjang terkait kesenian Tari Sanghyang

sebagai kesenian penolak bala atau dalam bahasa Bali disebut sebagai Nangluk Merana.

“Wabah menurut pandangan masyarakat Bali adalah wujud dari gumi mebalik, atau dunia yang semrawut. Disekuilibrium ini dapat dipahami menjadi tiga hal; ketidakseimbangan antar manusia, ketidakseimbangan dengan lingkungan hidup dan ketidakseimbangan dengan dunia supernatural. Penawar dari keadaan yang menyengsarakan ini diyakini dapat ditempuh melalui tarian kuno yang disebut dengan Tari Sanghyang. Tari sanghyang diselenggarakan di desa-desa yang warganya mengalami penyakit” (Dewi, 2020: 56)

Penjelasan Dewi menginsyaratkan bahwa Tari Sanghyang merupakan salah satu alternatif yang bisa dilakukan warga Bali agar dunia ini kembali pada kondisi normal. Tari Sanghyang yang dimaksud adalah semua Tari Sanghyang yang berkembang di Bali seperti Sanghyang Dedari, Sanghyang Memedi, Sanghyang Penyalin, Sanghyang Bojog termasuk Sanghyang Jaran yang berkembang di Desa Bungkulan. Pernyataan Dewi merupakan fenomena empirik yang terjadi pada masyarakat Bali termasuk masyarakat Desa Bungkulan yang meyakini bahwa Tari Sanghyang Jaran bisa menjadi jawaban atas ketidakseimbangan dunia ini saat dilanda pandemi Covid 19.

Terlepas dari isu-isu kesehatan selama masa pandemi, pementasan perdana ini setidaknya memberikan dampak cukup positif bagi masyarakat Desa Bungkulan. Berawal dari keyakinan masyarakat Desa Bungkulan terutama masyarakat Banjar Badung terkait pementasan Tari Sanghyang yang kemudian diwujudkan melalui sebuah ritual persembahan suci yang didukung

oleh umat penganut serta peralatan pelengkapnya, maka akan membangun sebuah emosi keagamaan yang kuat. Keseimbangan kelima komponen religi ini akan menghadirkan sebuah kondisi kejiwaan yang kuat bagi masyarakat. Kondisi kejiwaan yang dibangun oleh keseimbangan komponen religi ini pada akhirnya mengantarkan masyarakat Desa Bungkulan pada harapan positif akan kondisi mereka. Ritus pementasan Tari Sanghyang Jaran atau dalam bahasanya Haviland disebut sebagai Rites of Intensifikasi pada akhirnya menjadi sebuah langkah untuk mengokohkan keyakinan masyarakat Banjar Dinas Badung dan Desa Bungkulan untuk bersama-sama menghadapi situasi pandemi saat ini. Pementasan ini bisa dianggap sebagai titik awal kebangkitan selama masa kritis pandemi Covid 19.

SIMPULAN

Berdasarkan uraian pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Tari Sanghyang Jaran memiliki peran penting dalam kehidupan religiusitas masyarakat Desa Bungkulan. Penundaan selama pandemi Covid 19 pada akhirnya berimplikasi terhadap kehidupan sosial masyarakat. Mulai dari penari, petani hingga masyarakat umum harus menerima implikasi dari penundaan tersebut. Implikasi berawal dari emosi keagamaan yang terjalin dalam pementasan Tari Sanghyang Jaran yang hilang pada akhirnya mempengaruhi kejiwaan atau psikologis masyarakat. Ketika psikologis ini terguncang, maka masyarakat akan berada pada titik ketidakseimbangan sehingga memudahkan berbagai bahaya atau bencana terjadi. Tari Sanghyang Jaran mestinya tetap bisa dipentaskan dalam kondisi apapun untuk menghindari ketidakseimbangan tersebut. Masyarakat meyakini bahwa Tari Sanghyang Jaran adalah penawar atau obat dari berbagai

mara bahaya atau bencana yang terjadi termasuk pandemi Covid 19.

REFERENSI

Anonim. (tt.). Kekidungan Sesolahan Sanghyang Jaran. Dusun Badung Desa Bungkulan Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng Bali.

Budarsa, G. (2021, 16 Oktober). “Tarian Sanghyang Jaran Bali Utara” bungkulan-buleleng.desa.id http://bungkulan-buleleng.desa.id/index.php/first/artik el/136-TARIAN-SANGHYANG-JARAN-BALI-UTARA

Covarrubias, M. (2013). Pulau Bali: Temuan yang    Menakjubkan.

Udayana University Press.

Dewi, S. (2020). “Seni dalam Lipatan Pandemi”. Jurnal Seni Nasional CIKINI,     6(1),     pp. 51-58.

https://doi.org/10.52969/jsnc.v6i1.91

Haviland, W. A. (1993). Antropologi Jilid 2. Erlangga.

Hermawan, I.G.B.A.  (2015). “Tradisi

Tari Sanghyang Bojog di Desa Pakraman Bugbug, Karangasem-Bali (Latar Belakang, Fungsi dan Potensinya Sebagai Sumber Belajar Sejarah Kebudayaan di SMA)”. Skripsi Jurusan Pendidikan Sejarah, Universitas Pendidikan Ganesha.

Koentjaraningrat. (2000). Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta.

Nasution, S.I. (2013). Pengantar Antropologi Agama. Harakindo.

Picard, M. (2006). Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata. Kepustakaan Populer Gramedia.

Pramana, P.N.D. (2004). Tari Sanghyang Jaran: Warisan Budaya Pra Hindu di Bali. Citra Etnika.

Profil Desa Bungkulan Tahun 2020. (2020). Kantor perbekel Desa Bungkulan.

Ruastiti, N.M. (2017). “Membongkar Makna Pertunjukkan Tari Sanghyang Dedari di Puri Saren Agung Ubud, Bali pada Era Global”. Jurnal Mudra,   32(2), pp. 162-171.

https://doi.org/10.31091/mudra.v32i 2.105

Titib, I.M. (2003). Teologi & Simbol-Simbol dalam Agama Hindu. Paramita.

Widyantari, N.M.N., Wika, I.M.,  &

Sumertini, N.W. (2018). “Upacara Nangluk Merana di Desa Adat Kuta Kecamatan Kuta Kabupaten Badung”. Jurnal Penelitian Agama Hindu,    2(1),    pp. 402-408.

http://dx.doi.org/10.25078/jpah.v2i1. 496

Yuliawati, N.N., Suasika, I.M., & Putra, I.B.R. (2018). “Fungsi dan Makna Doa Pemujaan dalam Gending Sang Hyang Jaran”. Jurnal Linguistika, 48(25),          pp.          73-80.

https://doi.org/10.24843/ling.2018.v 25.i01.p09