Kebertahanan Angkringan pada Era New Normal di Kelurahan Sentanan, Kota Mojokerto
on
DOI: https://doi.org/10.24843/SP.2023.v7.i01.p04
p-ISSN: 2528-4517 e-ISSN: 2962-6749
Kebertahanan Angkringan pada Era New Normal di Kelurahan Sentanan, Kota Mojokerto
Riyantono*, I Gusti Putu Sudiarna, I Ketut Kaler
Program Studi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana [tonoriyan3@gmail.com] [putu_sudiarna@unud.ac.id] [ketut_kaler@unud.ac.id] Denpasar, Bali, Indonesia
*Corresponding Author
Abstract
Angkringan is one of the typical culinary delights of the people who are now increasingly enjoying themselves, including in the New Normal era. This study aims to how does it survive in the New Normal era in Mojokerto City. This study uses the Functionalism theory by Bronislaw Malinowski and the Hierarchy of Human Needs theory by Abraham Maslow that uses a qualitative research method with an ethnographic research model through observation, interviews, and literature studies. The results of the study, it was found that the background of the existence of angkringan started from the economism respons of the Wong Kulonan overseas group who lived in Mojokerto City, the angkringan business in Mojokerto City also were accustomed to opening side jobs. Which then becomes an alternative job, and the needs of the people of Mojokerto City will have a wider public space The survival strategy of angkringan in the New Normal comes from the form of angkringan business that adapts to the New Normal era with simple capital and easy operations, high consumer interest with prices that adjust in the midst of a crisis and public space.
Keywords: Survival, Angkringan, New Normal
Abstrak
Angkringan merupakan salah satu kuliner khas masyarakat yang kini makin digemari, termasuk pada era New Normal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana strategi kebertahanannya pada era New Normal di Kota Mojokerto. Penelitian ini menggunakan teori Fungsionalisme oleh Bronislaw Malinowski dan teori Hirarki Kebutuhan Manusia (Hierarki of Needs) oleh Abraham Maslow yang menggunakan metode penelitian kualitatif dengan model penelitian etnografi melalui teknik observasi, wawancara, dan studi pustaka. Berdasarkan hasil penelitian, latar belakang keberadaan angkringan berawal dari respons ekonomis kelompok rantau Wong Kulonan yang memulai usaha angkringan di Kota Mojokerto, yang kemudian berangsur menjadi lapangan kerja alternatif serta menjadi kebutuhan masyarakat. Strategi kebertahanan angkringan pada era New Normal berakar dari bentuk usaha angkringan yang menyesuaikan di era New Normal dengan permodalan yang sederhana dan operasional yang mudah, minat konsumen yang cukup tinggi dengan harga yang menyesuaikan di tengah krisis serta ruang publik alternatif.
Kata kunci: Kebertahanan, Angkringan, New Normal
Sunari Penjor : Journal of Anthropology
Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud
PENDAHULUAN
Salah satu tempat nongkrong kegemaran kaum urban pada beberapa kota di Indonesia adalah “angkringan”. Angkringan merupakan salah satu destinasi kuliner yang awalnya berasal dari wilayah Klaten, Surakarta dan Yogyakarta. Di Yogyakarta, angkringan mulai berkembang pada tahun 1950-an yang dibawa oleh seorang pedagang bernama Mbah Pairo dari Klaten (Sancoko & Rahmawati, 2019: 97). Sedangkan di Surakarta, angkringan muncul pada tahun yang tidak jauh berbeda dan dikenal dengan nama HIK (Hidangan Istimewa Kampung).
Dalam perjalanan sejarah, kemunculan antara angkringan yang ada di Yogyakarta dan HIK yang ada di Surakarta selanjutnya memiliki cara berjualan yang sama hingga saat ini. Pada awalnya cara berjualan angkringan dengan cara dipikul menggunakan pikulan. Pikulan sebelah kiri berfungsi sebagai tempat pembakaran atau kompor untuk merebus air. Pikulan sebelah kanan sebagai tempat untuk menaruh barang dagangan. Angkringan yang pada awalnya dipikul, saat ini berubah menjadi gerobak dari kayu yang menggunakan tenda sebagai atapnya.
Angkringan di Kota Mojokerto lebih dikenal sebagai gerobak penjual Sego Kucing (namanya memang unik namun tidak ada kaitannya dengan kucing) yakni nasi yang dijual hanya sekepal lalu ditambah dengan oseng ikan teri, telur puyuh dan biasanya ditemani oleh minuman wedang jahe ataupun kopi joss atau es teh manis. Sego kucing sangat melegenda dikarenakan harganya yang murah, tempat berjualan yang unik serta waktu berdagang dimulai dari malam hari hingga menjelang subuh. Berdasarkan konsep kesederhanaannya angkringan menjadi salah satu ruang publik baru yang dimanfaatkan oleh warga kota untuk melakukan interaksi sosial dengan
semangat kekeluargaan yang dimunculkan pedagang.
Kota Mojokerto adalah daerah industri yang pada saat pandemi Covid-19 banyak mengalami penurunan di bidang ekonomi. Oleh sebab itu, beberapa masyarakat beralih ke sektor wirausaha yang salah satunya adalah membuka usaha angkringan. Berdasarkan tahap penjajakan yang penulis lakukan pada tanggal 3 hingga 10 Januari 2022, penulis menemukan bahwa kebertahanan angkringan di Kota Mojokerto telah terbentuk bahkan sejak era sebelum pandemi Covid-19 pada 2020 silam.
Pada mulanya, angkringan di Kota Mojokerto sebelum pandemi Covid-19 hanya terdapat 5 gerobak angkringan, namun setelah terjadinya pandemi Covid-19 angkringan bertambah menjadi sekitar 25 lebih gerobak. Hal itu disebabkan bahwa usaha angkringan jarang mengalami kerugian karena usaha angkringan tidak membutuhkan modal yang terlalu banyak dan keahlian khusus, serta pengunjung angkringan juga tidak khawatir untuk mampir ke angkringan karena jajanan dan minuman di angkringan tidak mahal dan tersedia bermacam-macam jajanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hal yang melatarbelakangi keberadaan angkringan, sehingga mampu mengungkap strategi kebertahanannya pada era New Normal di Kelurahan Sentanan Kota Mojokerto.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif melalui teknik wawancara kepada informan yakni pedagang angkringan dan observasi partisipasi dimana peneliti melakukan pengamatan dengan ikut terjun langsung mengamati serta mengikuti setiap kegiatan yang dilakukan informan selama kegiatan/aktivitas pedagang tersebut, seperti membeli dagangan informan sambil mengobrol (mewawancara) dan
berperan membantu penjual pada saat angkringan dibuka terutama ketika ramai, penelitian ini berlangsung dari bulan Februari sampai bulan April 2022.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang dilakukan di Kelurahan Sentanan, Kecamatan Kranggan, Kota Mojokerto, Jawa Timur. Kelurahan Sentanan dipilih sebagai tempat penelitian didasarkan pada pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan pusat perekonomian Kota Mojokerto, hingga pada era new normal seperti sekarang. Data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua yakni data primer, data primer merupakan data langsung yang didapatkan oleh peneliti di lapangan melalui observasi dan wawancara kepada informan dan data sekunder sebagai data penunjang.
Teori yang digunakan untuk menganalisis data hasil penelitian adalah teori fungsionalisme dari Malinowski serta teori hierarki kebutuhan manusia (Hierarki of Needs) dari Abraham Maslow. Peneliti menggunakan teori fungsionalisme Malinowski (2015) untuk membedah kebertahanan angkringan dalam bentuk, fungsi, dan maknanya bagi masyarakat Kota Mojokerto yang menjadi solusi atas krisis ekonomi pada masa pandemi Covid-19. Tidak hanya sebagai pusat pemenuhan kuliner saja, angkringan juga berfungsi sebagai sarana publik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Kota Mojokerto dalam melakukan proses interaksi sosial terhadap sesamanya (nongkrong). Kemudian dalam teori hierarki kebutuhan oleh Maslow (2002), sistem perekonomian berupa angkringan merupakan suatu wadah untuk masyarakat Kota Mojokerto untuk memenuhi kebutuhan maupun keinginannya. Kebutuhan dari tahapan paling mendasar atau yang utama hingga tahapan paling atas atau keinginan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Angkringan Sebagai Strategi
Kebertahanan Ekonomi pada Era New Normal di Kelurahan Sentanan, Kota Mojokerto
Terhitung sejak pandemik Covid-19 berlangsung hingga hari ini,
perekonomian dunia termasuk di Indonesia mengalami perlambatan pertumbuhan (resesi) yang signifikan. Mobilitas masyarakat yang dibatasi demi menahan laju penyebaran pandemik, cukup membuat banyak sektor perekonomian berjalan terseok-seok. Pada tahap selanjutnya, Pemerintah RI pun mengeluarkan kebijakan New Normal yang bertujuan agar masyarakat kembali menjalankan mobilitasnya yang diikuti aktivitas perekonomian dengan mengikuti standar protokol kesehatan.
Kebijakan New Normal ternyata cukup membuat masyarakat sedikit bernafas lega di tengah penurunan pendapatan yang tentu diikuti oleh penurunan standar hidup mereka sejak pandemi Covid-19 (terlebih sejak berlakunya kebijakan pembatasan sosial). Walaupun demikian, masyarakat yang sejak awal berada pada kalangan ekonomi ke bawah memulai ulang pembangunan ekonominya. Tak sedikit masyarakat Kelurahan Sentanan mulai membangun usaha baru demi subsistensi kran penghasilan mereka masing-masing diantaranya yakni dengan membuka usaha angkringan. Pada sistem sosial masyarakat Sentanan, hadirnya
angkringan merupakan sebuah ‘organ baru’ yang secara sengaja dihadirkan sebuah sistem sosial tersebut untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di tengah ketidakpastian ekonomi mereka yang terjadi akibat dampak krisis multidimensi yang ditimbulkan pandemi Covid-19.
-
a. Bentuk Usaha yang Menyesuaikan pada Era New Normal
-
a) Permodalan yang Sederhana
Secara umum, para pengusaha angkringan di Kota Mojokerto menggunakan uang pesangon dan uang tabungan mereka untuk mendirikan usahanya tersebut. Sebagai bekas pekerja yang telah diberhentikan, para pekerja diberikan hak sosialnya berupa uang pesangon yang sebenarnya kurang untuk melanjutkan penghidupannya, namun cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (walaupun hanya dalam skala kecil). Selain itu, tiap pekerja juga selalu memiliki tabungan pribadi mereka sebagai cadangan keuangan pada saat-saat tak terduga yang mengharuskan mereka berhenti bekerja.
Pemilihan usaha angkringan sebagai bentuk adaptasi ekonomi mereka setelah berhenti sebagai pekerja dalam suatu perusahaan, merupakan hal yang solutif apabila dibandingkan dengan jenis usaha lain di Kota Mojokerto. Hal ini dikarenakan usaha angkringan cukup memiliki pesaing yang sedikit di wilayah Kota Mojokerto, yang bahkan apabila banyak pesaing sekalipun pengusaha angkringan masih bisa subsisten dengan bentuk usahanya. Hal itu disebabkan oleh minat masyarakat Kota Mojokerto yang memerlukan ruang publik yang cukup banyak, sekaligus harga menu yang dijual di angkringan cukup terjangkau bagi masyarakat. Dalam permodalannya, pengusaha angkringan di Kota Mojokerto cukup bermodalkan jajanan sederhana, gerobak, tenda, kursi serta bangku konsumen saja. Untuk membangun usaha angkringan, para pengusaha angkringan cukup menyediakan modal sebesar Rp 1.500.000,00 (Rp 1.000.000,00 untuk membeli gerobak serta Rp 500.000,00 untuk membeli bahan makanan yang akan dijual).
-
b) Operasional yang Mudah
Operasional usaha angkringan tidak terlalu rumit seperti halnya bentuk usaha yang lain. Seperti misalnya usaha kafe,
para pengusaha perlu mempelajari bagaimana meracik kopi yang baik dan nikmat untuk diseduh. Atau dalam usaha warung makan, pengusaha harus memasak makanan terlebih dahulu sebelum waktu warung dibuka. Usaha angkringan benar-benar hanya membutuhkan skill yang mudah, selayaknya mengerjakan tugas domestik sehari-hari di rumah.
Secara umum, angkringan di Kelurahan Sentanan menyediakan menumenu yang sederhana. Menu umum yang biasanya terdapat di angkringan biasanya meliputi: 1). Teh hangat, 2). Kopi panas, 3). Extra Joss-Susu, 4). Gorengan, 5). Nasi Bungkus, serta 6). Jajanan pasar. Dalam penyajiannya, menu-menu tersebut cukup disajikan sebagaimana menyajikannya di rumah. Tidak ada keahlian khusus dalam penyajian menumenu yang terdapat pada usaha angkringan. Adapun, dokumentasi visual terkait cara penyediaan minuman di angkringan yakni seperti gambar di bawah ini.
Gambar 1. Pegawai Angkringan Menyeduh Minuman Sumber: Dokumentasi Riyan, 2022
Selain itu, standar pelayanan pegawai angkringan dalam melayani pelanggannya benar-benar sebagaimana menghadapi para teman sebayanya. Tidak ada standar protokol khusus dalam melayani konsumen angkringan sebagaimana yang ada di kafe, hotel, atau jenis usaha food and beverage lainnya. Berdasarkan kemudahan dalam operasional penyajian menu dan
pelayanan konsumen itulah yang melatarbelakangi para pengusaha angkringan di Kelurahan Sentanan dalam mendirikan usahanya.
Para pengusaha angkringan di Kelurahan Sentanan merasa bahwa usahanya merupakan jenis usaha yang mudah dioperasikan di tengah era New Normal. Operasional yang mudah, membuat para pengusaha angkringan merasa bahwa mereka tidak perlu mempelajari skill khusus lain untuk menjalankan usahanya. Oleh sebab itu, para pengusaha angkringan di Kelurahan Sentanan menyimpulkan bahwa usahanya dapat segera dioperasionalkan di tengah kebutuhan dapur mereka yang makin terdesak akibat krisis. Pemahaman yang tersebar cepat di kalangan masyarakat Kelurahan Sentanan, membuat usaha angkringan makin banyak bermunculan sejak era awal pandemi Covid-19 hingga era New Normal seperti sekarang.
Pada masa awal penerapan PSBB di Kota Mojokerto (Sebelum era New Normal), usaha angkringan mengalami penyesuaian, yakni jam tutup pada pukul 10 malam, pembatasan jumlah bangku dan konsumen, hingga pemesanan jajanan angkringan yang harus diprioritaskan untuk pemesanan online melalui layanan Ojek Online. Selanjutnya, seiring dengan terbitnya kebijakan New Normal, kebijakan PSBB di Kota Mojokerto pun juga mengalami penyesuaian, yakni dengan sedikit melonggarkan peraturan yang memfokuskan pada mobilisasi masyarakat dan perekonomiannya.
Pasca terbitnya kebijakan New Normal, usaha angkringan mulai beraktivitas kembali dengan mematuhi standar protokol kesehatan yang ditetapkan oleh pemerintah. Adapun penyesuaian yang dilakukan oleh para pengusaha angkringan yakni: 1). Menata ulang kursi dan bangku konsumen dengan jarak sepanjang 1 meter, 2).
Menyediakan hand sanitizer atau alat pencuci tangan untuk konsumen, dan 3). Mewajibkan para konsumen untuk tetap menggunakan masker.
-
b. Minat Konsumen yang Cukup
Tinggi
-
a) Harga yang Menyesuaikan di Tengah Krisis
Pada masyarakat Kelurahan Sentanan, penghematan turut dilakukan terhadap kebutuhan-kebutuhan pokoknya. Pola konsumsi masyarakat juga turut mengalami penurunan standar. Misalnya, apabila pada masa sebelum pandemi Covid-19, masyarakat dapat memenuhi kebutuhan konsumsi layak mereka hingga kebutuhan mereka untuk nongkrong. Kini pada saat pandemi Covid-19 masih berlangsung, pola konsumsi masyarakat hanya sekedar ‘makan asal kenyang’. Masyarakat sudah tidak terlalu peduli terhadap standar kebutuhan konsumsi mereka. Bagi mereka, yang penting adalah tetap berhemat di tengah ketidakpastian yang masih terjadi.
Melalui angkringan, masyarakat dapat memenuhi kebutuhannya untuk bersosialisasi dan mengaktualisasikan diri melalui aktivitas nongkrong di tengah pendapatan mereka yang tidak stabil. Harga yang murah yang ditambah dengan tempat yang nyaman, cukup membuat masyarakat Kelurahan Sentanan memiliki ruang untuk bersantai sejenak melepas kepenatan mereka, terlebih setelah kebijakan PSBB dilonggarkan melalui kebijakan New Normal. Masyarakat dapat melakukan aktivitas nongkrong tanpa perlu mengeluarkan biaya konsumsi yang cukup besar.
-
b) Sebagai Alternatif Ruang Publik Setelah PSBB
Kebutuhan akan bersosialisasi dan mengaktualisasi kini berangsur-angsur menjadi kebutuhan primer bagi kalangan
masyarakat perkotaan di Indonesia, terutama bagi kalangan remaja. Memang, karakteristik masyarakat perkotaan memiliki sifat individualistis. Tetapi sebagai makhluk sosial, masyarakat perkotaan pun juga tetap memiliki kebutuhan untuk bersosialisasi dengan sesamanya dan mengaktualisasikan diri. Kebutuhan tersebut semakin terbangun seiring lingkungan pergaulan yang kompleks pada wilayah perkotaan. Akibatnya, masyarakat perkotaan memerlukan suatu ruang untuk dapat memenuhi kebutuhannya tersebut, yakni melalui ruang publik (Nadia, 2020: 4748).
Di mata masyarakat, angkringan merupakan sebuah ruang publik yang lengkap untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam melakukan aktivitas nongkrong. Faktor-faktor yang membuat masyarakat merasa tercukupi dalam memenuhi aktivitas nongkrongnya di angkringan diantaranya yakni angkringan memiliki ruang yang nyaman untuk saling mengobrol, sekaligus angkringan juga menyediakan (menjual) makanan, minuman, hingga jajanan yang dibutuhkan oleh masyarakat di tengah aktivitas nongkrongnya, seperti misalnya ketika sewaktu-waktu sedang ingin ngemil atau karena lapar.
-
c. Peranan Pihak Lainnya
-
a) Dukungan Pemerintah Kota Mojokerto
Sebagai bentuk ‘pertahanan’ ekonomi masyarakat Kota Mojokerto, Pemerintah Kota Mojokerto memiliki kebijakan untuk mengakomodir usaha masyarakat yang masih dapat bertahan di tengah badai krisis akibat pandemi Covid-19, termasuk diantaranya ialah usaha angkringan. Usaha angkringan yang dinilai masih baru dan cukup subsisten di tengah pandemi, membuat Pemerintah Kota Mojokerto turut antusias atas hadirnya unit-unit usaha
angkringan yang salah satunya berada di Kelurahan Sentanan. Di tengah kebijakan PSBB yang dilanjutkan dengan kebijakan PPKM level 1 hingga 3, Pemerintah Kota Mojokerto dibantu oleh Polresta Mojokerto menyediakan program bantuan bagi unit usaha angkringan yang terdiri dari bantuan pengadaan modal dan gerobak.
Pemerintah Kota Mojokerto juga membantu pengamanan kebijakan PSBB yang berasal dari pemerintah pusat, agar sesuai dengan kebutuhan para pengusaha angkringan agar usahanya tetap berjalan. Seperti misalnya pemberlakuan pemesanan menu angkringan secara online yang diterapkan oleh unit-unit angkringan yang ada di Kelurahan Sentanan. Kemudian Pemerintah Kota Mojokerto juga turut mempermudah aturan perizinan usaha angkringan. Pada saat pemerintah kota dan pemerintah daerah lain di Provinsi Jawa Timur memberlakukan relokasi pedagang kaki lima (PKL) dari tempat-tempat umum demi memberlakukan kebijakan Tata Kota dan Tata Wilayah (TKTW), Pemerintah Kota Mojokerto justru menyentralkan para pengusaha angkringan agar membuka usahanya di sepanjang bahu JL. Majapahit, Kelurahan Sentanan. Hal itu bertujuan agar masyarakat Kota Mojokerto, khususnya masyarakat Kelurahan Sentanan dapat mengunjungi unit-unit usaha angkringan dengan mudah.
Adanya dukungan dari Pemerintah Kota Mojokerto merupakan suatu kemudahan untuk membangun perekonomian mereka masing-masing yang kini sedang berjuang di tengah pandemi Covid-19. Para pengusaha angkringan dapat mendirikan usahanya tanpa ada halangan seperti birokrasi yang berbelit-belit atau kejar-kejaran dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) selayaknya di kota-kota besar lainnya di Provinsi Jawa Timur. Bagi para
pengusaha angkringan, dukungan berupa pengadaan modal dan gerobak merupakan bentuk dukungan yang sangat membantu para pengusaha angkringan. Hal itu dikarenakan sumber permodalan mereka yang berasal dari uang pesangon atau uang tabungan tidak selalu cukup dalam mendirikan usaha angkringan yang akan mereka bangun.
-
b) Paguyuban Pedagang Kaki Lima
(PKL) Kota Mojokerto
Sebagai bentuk ‘pertahanan’ swadaya yang diselenggarakan oleh masyarakat, para pengusaha angkringan di Kelurahan Sentanan juga turut membentuk suatu wadah bagi para sesama PKL di Kota Mojokerto yang masih sama-sama bertahan di tengah pandemi. Pembentukan paguyuban tersebut, selain sebagai wadah komunikasi, juga sebagai wadah berbagai informasi hingga sebagai wadah untuk saling sama-sama menjaga kebertahanan usaha para anggotanya masing-masing.
Tidak seperti paguyuban atau organisasi masyarakat lain pada umumnya, Paguyuban PKL Kota Mojokerto tidak memiliki kepemimpinan formal yang resmi seperti ketua umum atau ketua presidium. Seluruh jalannya agenda Paguyuban PKL Kota Mojokerto benar-benar dilakukan secara swadaya oleh para anggotanya dengan semangat egaliter dan kekeluargaan. Keanggotaan Paguyuban PKL Kota Mojokerto sendiri, tidak hanya oleh para pengusaha angkringan di Kelurahan Sentanan saja. Keanggotaan paguyuban tersebut juga terdiri dari pedagang asongan, pedagang stand makanan dan minuman ringan, dan termasuk pedagang warung kopi (warkop) yang tersebar di seluruh Kota Mojokerto. Hal itu bertujuan agar paguyuban dapat saling membantu kebertahanan usaha masing-masing anggotanya, terlebih pada era pandemi Covid-19 yang menimbulkan krisis ekonomi berkepanjangan.
Sebagai bentuk jaring pengaman paguyuban dan para anggotanya, Paguyuban PKL Kota Mojokerto menyelenggarakan sistem iuran sebesar Rp. 5.000 (lima ribu rupiah) setiap hari yang ditarik dari para anggota. Iuran tersebut bertujuan untuk memantau para anggota yang mengalami musibah yang tentu berdampak pada kebertahanan ekonomi mereka, seperti misalnya keluarga meninggal atau sebagainya. Di samping itu, adanya iuran juga cukup membantu memenuhi kebutuhan permodalan para anggotanya yang terkendala melalui skema simpan-pinjam selayaknya koperasi.
SIMPULAN
Usaha angkringan di Kota Mojokerto berawal dari proses adaptasi kelompok rantau Wong Kulonan yang bermukim di Kota Mojokerto secara ekonomis di tengah Kota Mojokerto yang merupakan kota industri. Selain itu, usaha angkringan di Kota Mojokerto juga berawal dari budaya masyarakat Kota Mojokerto yang terbiasa membuka pekerjaan sampingan, selain bekerja pada mata pencaharian utamanya, yang kemudian berangsur menjadi lapangan kerja alternatif. Hal itu diakibatkan oleh kompleksitas kebutuhan masyarakat Kota Mojokerto yang selalu menginginkan untuk saling memajukan tingkat penghidupannya, terlebih Kota Mojokerto sendiri tepat bersebelahan dengan Kota Surabaya yang merupakan ibukota Provinsi Jawa Timur sekaligus kota tersibuk kedua di Indonesia setelah DKI Jakarta. Terakhir, kebutuhan masyarakat Kota Mojokerto akan ruang publik juga turut menjadi faktor utama asal mula keberadaan usaha angkringan di Kota Mojokerto. Selain ruang-ruang publik yang telah disediakan oleh pemerintah, masyarakat juga memerlukan ruang aktualisasi bagi dirinya sendiri secara lebih luas, dan
tentunya angkringan juga dapat menyediakan makanan hingga jajanan di tengah aktivitas mereka dalam mengaktualisasi diri di angkringan.
Kebertahanan usaha angkringan pada era New Normal di Kelurahan Sentanan, Kecamatan Kranggan, Kota Mojokerto tak lepas dari peranan dari pihak-pihak yang terkait dalam usaha angkringan. Bagi para pengusaha angkringan, usaha angkringan merupakan jenis usaha yang tidak memerlukan modal yang besar dalam operasionalnya. Selain itu, pengusaha angkringan juga memandang bahwa usaha angkringan merupakan jenis usaha yang mudah dioperasionalkan tanpa memerlukan keahlian khusus. Bagi para pelanggan, angkringan merupakan jenis usaha kuliner yang menyediakan menu dengan harga murah di tengah krisis akibat pandemik Covid-19. Selain itu, angkringan juga dapat menjadi ruang publik alternatif setelah pemberlakuan kebijakan PSBB yang membuat banyak masyarakat rentan mengalami gejala stress akibat rutinitas mereka dalam bersosialisasi tiba-tiba berkurang. Kemudian, dukungan Pemerintah Kota Mojokerto berupa permodalan gerobak dan biaya operasional awal, serta kemudahan dalam proses pendirian usaha turut membuat usaha angkringan semakin bertahan pada era New Normal. Terakhir, peran Paguyuban PKL Kota Mojokerto selaku organisasi yang bersifat swadaya, terbukti mampu menjaga kebertahanan angkringan di tengah perekonomian Kota Mojokerto yang sedang melambat di tengah pandemik Covid-19 pada era New Normal.
REFERENSI
Koeswinarno. (2020). “Memahami Etnografi ala Spradley”. Jurnal
SMaRT, 1(2), pp. 257-265.
https://doi.org/10.18784/smart.v1i2.2 56
Malonowski, B. (2015). Teori Fungsionalisme. Azizah, P.S.N. (Penerjemah). UNS Press.
Maslow, A.H. (2002). Aktualisasi Teori Kebutuhan Manusia. Iman, N.
(Penerjemah). PT. Pustaka Binaman Pressindo.
Muhibbin, & Marfuatun. (2020). “Urgensi Teori Hierarki Kebutuhan Maslow Dalam Mengatasi
Prokrastinasi Akademik di Kalangan Mahasiswa”. EDUCATIO, 15(2), pp. 69-80.
https://doi.org/10.29408/edc.v15i2.2 714
Nadia, R. (2020). “Nongkrong” di Kafe Pada Remaja (Studi Deskriptif Pada Remaja SMAN 1 Medan). Skripsi Universitas Sumatera Utara.
Nurcahyono, O.H. (2019). “Mekanisme Bertahan Pedagang Angkringan di Era Disrupsi (Studi Modal Sosial dan Pedagang Angkringan Di
Kawasan Jl. Ki Hadjar Dewantara)”. HABITUS, Jurnal Pendidikan, Sosiologi, dan Antropologi, 3(1), pp. 41-51.
https://doi.org/10.20961/habitus.v3i1 .32214
Sancoko, A.H., & Rahmawati, V. (2019). “Membangun Strategi Pemasaran UMKM Kuliner Kajian
Fenomenologi Angkringan di Surabaya”. Jurnal Keuangan dan Bisnis, 17(2), pp. 96-124.
https://doi.org/10.32524/jkb.v17i2.5 79
Sardanto, R. & Ratnano, S. (2016). “Pengaruh Persepsi Konsumen Terhadap Keputusan Pembelian Pada Angkringan Kota Kediri”. Jurnal Benefit, 3(1), pp. 31-45.
Discussion and feedback