Budaya Kesehatan Pemulung di TPA Regional SARBAGITA Kelurahan Pedungan Kecamatan Denpasar Selatan Kota Denpasar
on
DOI: https://doi.org/10.24843/SP.2023.v7.i01.p06
p-ISSN: 2528-4517 e-ISSN: 2962-6749
Budaya Kesehatan Pemulung di TPA Regional SARBAGITA Kelurahan Pedungan Kecamatan Denpasar Selatan Kota Denpasar
Ni Luh Kristina Megayanti*, I Wayan Suwena, Ni Made Wiasti
Program Studi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana [christinamegayanti8898@gmail.com] [wayan_suwena@unud.ac.id] [made_wiasti@unud.ac.id] Denpasar, Bali, Indonesia
*Corresponding Author
Abstract
Research on the Health Culture of Scavengers at the SARBAGITA Regional TPA, began with cases of skin diseases that mostly suffered by scavengers as a result of their work to find junk items in waste. This study tries to examine the health culture of scavengers in their daily lives. The main problem in this research is focused on the health behavior of scavengers at the SARBAGITA Regional TPA. This study uses the theory of health behavior popularized by Dunn. The method used is a qualitative research method using data collection techniques through observation, interviews, and literature study. The analysis used in this research is interpretive descriptive. Where this study shows that the health culture of the scavengers at the SARBAGITA Regional TPA is part of their health behavior, which results in preventive and promotive behavior of scavengers in maintaining and improving their health. There is also a caring and apathetic behavior of scavengers in responding to the health problems they suffer.
Keywords: Scavengers, Health Culture, Health Behavior, TPA Regional SARBAGITA
Abstrak
Penelitian Budaya Kesehatan Pemulung di TPA Regional SARBAGITA, berawal dengan adanya kasus penyakit kulit yang banyak diderita oleh para pemulung yang merupakan dampak dari pekerjaanya mencari barang-barang rongsokan pada limbah sampah. Penelitian ini mencoba mengkaji budaya kesehatan para pemulung dalam kehidupan kesehariannya. Pokok permasalahan pada penelitian ini difokuskan kepada perilaku kesehatan pemulung di TPA Regional SARBAGITA. Penelitian ini menggunakan teori perilaku kesehatan dipopulerkan oleh Dunn. Metode yang digunakan ialah metode penelitian kualitatif dengan menggunakan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dan studi pustaka. Untuk analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif interpretatif. Dimana penelitian ini menunjukan bahwa budaya kesehatan para pemulung di TPA Regional SARBAGITA merupakan bagian dari perilaku kesehatannya, yang mengakibatkan adanya perilaku preventif dan promotif para pemulung dalam menjaga dan meningkatkan kesehatannya. Juga terdapat perilaku peduli dan apatis pemulung dalam menanggapi masalah kesehatan yang dideritanya.
Kata kunci: Pemulung, Budaya Kesehatan, Perilaku Kesehatan, TPA Regional SARBAGITA
Sunari Penjor : Journal of Anthropology
Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud
PENDAHULUAN
Kota Denpasar merupakan pusat kegiatan masyarakat Bali, tentu saja dapat menimbulkan berbagai permasalahan yang kompleks seperti kemacetan, sempitnya lahan pertanian, polusi udara, dan permasalahan tubunan limbah sampah. Limbah sampah sendiri merupakan kumpulan benda-benda yang berasal dari hasil limbah rumah tangga, perkantoran, tempat makan maupun tempat lainnya dimana dapat menghasilkan berbagai jenis sampah seperti sampah basah (garbage) berupa sampah dari sisa-sisa makanan yang gampang mengurai, dan sampah kering juga disebut sampah sulit membusuk (refuse) seperti kaleng-kaleng bekas, besi-besi tua, pecahan kaca, plastik, dan lain sebagainya (Wardi, 2011: 167-177).
Masyarakat Kota Denpasar dengan barang-barang buangan (sampah) ini biasannya hanya dibuang pada tempat sampah di depan rumah. Tukang sampah di rumah-rumah permukiman akan mengangkutnya, dan mengumpulkannya di tempat sampah yang lebih luas, baru kemudian diangkut ke lokasi pembuangan akhir yaitu TPA Regional SARBAGITA. Hal tersebut dikarenakan Denpasar yang sesuai sebagai standar kota besar di Bali sehingga berimplikasi pada tingkat timbunan sampah yang dihasilkan.
Sudrajat (dalam Ibrahim (2016: 1-2) menyatakan bahwa permasalahan pada limbah sampah tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya jumlah timbunan limbah sampah yang tinggi, lahan TPA (tempat pembuangan akhir) semakin sempit, dan kurangnya sistem yang memadai dalam pengelolaan limbah sampah. Sehingga dapat menyebabkan pengelolaan limbah sampah yang tidak berjalan dengan baik, maka hal tersebut akan menyebabkan perluasan untuk tempat pembuangan akhir yang baru.
Permasalahan pada limbah sampah tidak hanya berdampak pada permasalahan lingkungan, namun jika limbah sampah dibiarkan begitu saja tanpa pengelolaan, lambat laun akan berbahaya baik berupa masalah terhadap resiko terkena berbagai jenis penyakit, dikarenakan tempat dengan timbunan limbah sampah dapat menyebabkan banyaknya bakteri, kuman, virus berkembang. Apalagi jika tinggal di dekat tempat pengelolaan sampah. Terutama para pemulung yang sebagian besar memutuskan tinggal di daerah yang dekat dengan sumber mata pencahariannya (Mahyuni, 2012: 101109).
Mereka yang tergolong sebagai pemilah barang-barang dari limbah sampah disebut sebagai pemulung atau dikenal dengan istilah manusia gerobak adalah kumpulan individu yang bekerja mencari barang-barang rongsokan yang berasal dari limbah sampah itu sendiri baik berjalan kaki menyusuri komplek perumahan, atau dengan menawarkan barang-barang rongsokan dengan barang baru, maupun dengan mencari di sekitar tempat pembuangan akhir (Twikromo 1999: 29-33).
Para pemulung yang memiliki profesi sebagai pemilah limbah sampah, tidak menutup kemungkinan mengalami berbagai gangguan kesehatan dikarenakan pekerjaannya yang berdampingan dengan limbah sampah, dimana limbah sampah adalah tempat berkumpulnya berbagai jenis bakteri, virus, kuman penyebab berbagai jenis penyakit. Terlebih lagi bagi mereka yang memilih tinggal di TPA (tempat pembuangan akhir) dengan membangun bedeng-bedeng maupun disediakan tempat tinggal sederhana oleh para pengepul yang juga ikut tinggal di sekitar TPA. Hal tersebut juga dapat berdampak bagi kesehatan para pemulung baik
terkena penyakit seperti sakit kulit, demam, flu, batuk dan kesehatan lainnya.
Seseorang dapat dikatakan memiliki tingkat kesehatan yang baik adalah jika kondisi kesehatan fisiknya bagus, kesehatan mental yang terkontrol dengan dukungan dari adanya interaksi sosial serta produktivitas dalam pekerjaan, dimana hal tersebut juga dapat mempengaruhi kehidupan ekonomi dari individu itu sendiri. Sehingga kesehatan disi juga dapat dikatakan sebagai sesuatu hal yang bersifat holistik.
Dimana adanya perilaku manusia itu sendiri, dapat melahirkan budaya yang baru. Budaya (kebudayaan) merupakan sesuatu hal yang berasal dari ide manusia itu sendiri yang diwujudkan dalam bentuk perilaku sehingga dapat menghasilkan sebuah mahakarya, dan tentu saja budaya tersebut dapat diperoleh melalui hasil belajar. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dijelaskan bahwa setiap perilaku manusia tersebut merupakan bagian dari budaya itu sendiri, baik perilaku yang dilakukan secara sengaja maupun yang tidak sengaja yang dimana berasal dari naluri manusia itu sendiri (Koentjaraningrat, 2015: 144-145).
Selain itu, dalam dunia kesehatan, adanya perilaku dari individu itu sendiri saling memiliki hubungan yang berkaitan. Dimana bahwa perilaku yang merupakan keadaan dimana tubuh setiap individu merasakan respon yang diakibatkan dari adanya pengaruh rangsangan dari luar berupa keadaan dari lingkungan (Foster dan Anderson, 2009: 193-194). Perilaku kesehatan juga dapat diartikan sebagai tingkah laku setiap individu baik dalam menjaga maupun meningkatkan kesehatannya seperti menjaga kebersihan diri, menjaga pola makan, maupun menjaga kebersihan lingkungan. Terutama pengetahuan tentang personal hygiene (Becker dalam Notoatmodjo, 2003: 124).
Berdasarkan Departemen Kesehatan (2000: 1) personal hygiene merupakan cara setiap individu dalam menjaga kesehatan tubuhnya baik dalam melakukan perawatan diri seperti mandi dengan teratur, mencuci rambut dengan baik, sikat gigi, membersihkan telinga maupun hal lainnya yang berhubungan dengan merawat dan menjaga kebersihan diri sendiri.
Berdasarkan dari hasil data tersebut, dapat kita simpulkan bahwa pentingnya menjaga kesehatan diri, terutama para pemulung di TPA Regional SARBAGITA, yang setiap hari bekerja dekat dengan limbah sampah yang merupakan tempat berbagai macam kuman maupun organisme penyebab penyakit berkumpul. Selama bekerja mengumpulkan barang-barang rongsokan, sekitar 50% yang sadar untuk selalu menggunakan perlindungan ketika bekerja memilah limbah sampah di TPA Regional SARBAGITA baik itu menggunakan sepatu yang tahan air (boot), menggunakan pakaian yang tertutup, sarung tangan, serta menggunakan pelindung kepala. (Angriyasa dkk, 2018: 51-58).
Menurut hasil survei dari seluruh puskesmas di Provinsi Bali tahun 2016, risiko dan dampak kesehatan yang paling umum pada pemulung yaitu penyakit kulit. Kasus penyakit kulit berada pada peringkat ke tujuh dengan jumlah pasien sekitar 37.356 orang. Kemudian melalui hasil data dari Puskesmas IV Denpasar Selatan yaitu pada tahun 2016 bahwa pada wilayah tersebut pasien yang mengalami penyakit kulit berada pada peringkat ke tujuh dengan jumlah pasien 994 orang.
Namun personal hygiene sendiri bukan sekedar faktor utama terjadinya penyakit kulit, tetapi masih ada fakor-faktor lain yang mempengaruhi seperti riwayat alergi, usia, daya tahan tubuh, dan lama kerja, dapat dikatakan bahwa
dalam hal menjaga kesehatan diri sendiri bukan hanya pengetahuan akan kesehatan yang menjadi faktor utama terganggunya sistem kesehatan (penyakit), tetapi hal yang paling penting adalah bagaimana respon atau perilaku kesehatan setiap individu dalam menjaga maupun menghadapi kesehatannya. Berdasarkan uraian di atas tujuan penelitian sebagai berikut: (1) mengetahui budaya kesehatan pemulung di TPA Regional SARBAGITA, dan (2) mengungkap faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan pemulung di TPA Regional SARBAGITA.
METODE
Penelitian ini menggunakan kualitatif yang difokuskan kepada para pemulung yang bekerja di TPA Regional SARBAGITA. Penelitian ini menggunakan teknik observasi, wawancara, serta studi pustaka dalam pengumpulan data. Kemudian analisis data menggunakan analisis deskriptif interpretatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Budaya merupakan salah satu pengantar dalam kehidupan manusia dalam bertindak dan berperilaku baik dalam hubungan sosial maupun dalam hal lainnya. Tak terkecuali dalam bidang kesehatan, Setiap individu dalam hal menjaga maupun menanggapi masalah kesehatannya memiliki cara tersendiri, baik ketika sedang merasakan sakit dengan segera melakukan perawatan atau mengunjungi instansi kesehatan maupun membiarkannya agar sembuh dengan sendirinya, dan perilaku seperti ini disebut sebagai budaya kesehatan.
Dalam budaya kesehatan ini tentu saja terdapat perilaku dari individu maupun kelompok masyarakat yang menjadi faktor pendukung terciptanya budaya kesehatan tersebut. Terkadang perilaku setiap individu tersebut yang
secara sengaja maupun tidak sengaja dilakukan tanpa disadari dapat menimbulkan dampak terhadap dirinya sendiri. Salah satunya pemulung yang tinggal di TPA Regional SARBAGITA yang memiliki budaya kesehatan terutama dalam kehidupan kesehariannya.
TPA Regional SARBAGITA terdapat dua jenis yaitu pemulung pengepul dan pemulung mayeng. Untuk pemulung pengepul berjumlah sekitar 5 orang pada tahun penelitian ini dilaksanakan. Dengan tingkatan pendidikan mereka adalah hanya sampai pada sekolah dasar (SD), yang semuanya berada pada usia produktif. Untuk pemulung mayeng berjumlah sekitar 192 dengan karakteristik berdasarkan jenis kelamin laki-laki berjumlah 102 dan perempuan berjumlah 90 orang. Yang dominan berasal dari pulau Jawa yakni Jember 52,08%, Probolinggo 26,04%, Bondowoso 15,62%, Surabaya 6,25%, dan Bali 1,04%. Sedangkan untuk karakteristik agama adalah pemulung di TPA Regional SARBAGITA dominan Beragama muslim sekitar 98,95% dan sebagiannya beragama hindu sekitar 1,04%. Tingkat pendidikan para pemulung dominan hanya sampah menempuh pada pendidikan sekolah dasar, lalu untuk pendidikan pada sekolah menengah pertama dan sekolah menengah kejuruan.
Budaya Kesehatan Pemulung di TPA Regional SARBAGITA
Budaya kesehatan para pemulung yang bekerja di TPA Regional SARBAGITA merupakan bagian dari perilaku kesehatan para pemulung dalam kehidupan kesehariannya. Yang digolongkan pada perilaku sehat dan sakit.
Perilaku sehat adalah kondisi sehat setiap individu itu sendiri baik dalam hal menjaga kesehatannya. Tak terkecuali
pemulung di TPA Regional SARBAGITA, dimana mereka disana memiliki cara tersendiri dalam hal menjaga kesehatannya. Hal tersebut dapat dilihat sebagai berikut:
Persepsi pemulung mengenai kondisi sehat. Seperti penuturan Ibu Eva Anwar (25) seorang pemulung yang tinggal di TPA Regional SARBAGITA mengutarakan:
“Menurut saya kondisi sehat itu saya merasa semangat, apalagi saat saya melihat anak saya dik perasaannya jadi tambah semangat, pokoknya ketika saya bekerja saya semangat gitu dik, tidak merasakan sakit, bisa bekerja, mengasuh anak dik” (Wawancara, 20 April 2021)
Selanjutnya seperti penuturan informan lainnya bernama Ibu Raitu (50) yang mengutarakan:
“Menurut saya dik saat saya bisa kerja dan kondisi seperti sekarang ini aja saya merasa sehat dik, alhamdulilah saya sehat terus dik jarang sakit dan alhamdulilah Allah selalu memberikan kesehatan dik untuk saya” (Wawancara Ibu Raitu, 25 April 2021)
Kemudian pendapat tersebut juga disampaikan oleh informan yang bernama Ibu Sumiarti (39) sebagai berikut:
“Kalau menurut saya dik, kondisi sehat adalah saat saya bisa melakukan aktivitas sehari-hari dik, bisa kerja mulung lagi, bisa memasak, mencuci, bisa ngurus rumah dik, tidak merasakan sakit dibadan dik pokoknya badan seger dan semangat dik “(Wawancara, 20 April 2021)
Berdasarkan keterangan di atas, bahwa pengetahuan pemulung di TPA Regional SARBAGITA dilihat dari persepsi mereka mengenai kondisi sehat menyatakan jika keadaan sehat adalah dimana kita bisa melaksanakan aktivitas
sehari-hari baik bekerja, memasak, mengasuh anak dan sebagiannya.
Perilaku preventif para pemulung dalam menjaga kesehatannya, seperti penuturan pemulung bernama bapak Suheri (32) mengutarakan:
“Kalau saya tidak pernah memiliki stok obat di rumah, kalau sakit baru beli obat, ketika saya bekerja pun diatas saya memiliki alat-alat sendiri untuk mengambil barang rongsokan pakai sepatu, dan topi juga pokoknya peralatan yang lengkap lah dik” (Wawancara, 25 April 2021)
Lalu informan lainnya yang bernama Rahmat (25) juga mengutarakan:
“Kerja di atas itu yah gonta-ganti dik bajunya, dan baju kerja sama yang digunakan sehari-hari itu beda dik pakai sepatu bot juga dik topi, soalnya pernah kejadian ketika saya pertama kali kerja mencari barang-barang rongsokan tidak menggunakan sepatu lalu kaki saya kena paku dik, tapi alhamndulilah tidak sampai parah dik hanya saja lukanya sedikt dan tidak sampi terkena penyakit tetanus. Lalu habis selesai kerja saya mandi ganti baju terus istirahat dik” (Wawancara, 25 April 2021)
Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwasanya para pemulung ketika bekerja memilah barang rongsokan menggunakan alat pengait, keranjang sepatu bot, dan topi. Selain itu mereka juga memiliki baju khusus untuk bekerja. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa para pemulung ketika bekerja memiliki cara tersendiri dalam menjaga kesehatannya.
Perilaku promotif dapat dilihat dari kebiasaan pemulung dalam meningkatkan kesehatannya. Seperti diutarakan oleh Ibu Raitu (50) mengutarakan:
“Meskipun kata orang tempat seperti ini banyak limbah sampah dik, tapi
saya tidak pernah merasakn sakit yang parah dik bahkan sakit seperti demam saja saya jarang dik, gatal-gatal tidak pernah, apalagi penyakit sekarang ini corona alhamdulilah tidak sampai kena, karena kan setiap hari saya kerja kena panas matahari dik, sudah kebal jadinya” (Wawancara, 25 April 2021)
Pendapat yang sama seperti di atas juga disampaikan oleh informan yang bernama Ibu Raitu (50) yaitu sebagai berikut:
“Meskipun kata orang tempat seperti ini banyak limbah sampah dik, tapi saya tidak pernah merasakan sakit parah dik bahkan sakit seperti demam saja saya jarang dik, gatal-gatal tidak pernah, apalagi penyakit sekarang ini corona alhamdulilah tidak sampai kena, karena kan setiap hari saya kerja kena panas matahari dik, sudah kebal jadinya” (Wawancara, 25 April 2021) Berdasarkan keterangan informan tersebut yang menyatakan bahwa perilaku promotif para pemulung adalah karena pekerjaannya yang setiap harinya berjalan kaki naik menuju tempat pembuangan akhirnya. Sehingga hal tersebut memicu imunitas yang baik bagi tubuhnya. Perilaku sakit merupakan kondisi dimana setiap individu
mengalami masalah kesehatan atau terkena suatu penyakit. Salah satunya para pemulung di TPA Regional SARBAGITA yang biasanya mengalami masalah kesehatan hal tersebut dapat dilihat berdasarkan persepsi mengenai kondisi sakit seperti yang diutarakan oleh Ibu Ernawati (27) mengutarakan:
“Menurut saya dik kalau sakit (penyakit) itu yah rasanya badannya kayak dipukul gitu dik, maksudnya kayak pegel-pegel gitu bandannya, kecapekan terutama saat pulang kerja dik dan saya biasanya tidak bisa
bekerja memulung dik” (Wawancara, 01 Mei 2021)
Pendapat dari informan di atas juga disampaikan oleh informan lainnya mengenai kondisi sakit (penyakit) yang bernama Ibu Cahwati (46) mengutarakan:
“Menurut saya kondisi sakit itu saya merasa sakit lah badannya dik, apalagi kalau malam hari dik saya rasa sakit pegel-pegel, seluruh badan sakit dik, soalnya saat saya kerja di atas itu pakai keranjang gede itu dik jadinya capek gendongnya dik” (Wawancara, 03 Mei 2021)
Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa pengetahuan pemulung mengenai penyakit dilihat dari persepsi mereka adalah keadaan dimana mereka tidak bisa melakukan aktivitas kesehariannya, maupun ketika para pemulung mengalami gangguan penyakit pada tubuhnya.
Jenis penyakit yang diderita pemulung seperti keterangan informan bernama Ibu Cahwati (46) mengutarakan:
“kalau sakit yang saya alami selama kerja sebagai pemulung sakit kepala, tetapi paling sering nyeri dipunggung ini dik, soalnya kalau saya kerja diatas bawa keranjang, yang ditaruh dipundak terus saya ke atas TPA jalan kaki, makanya sering kecapean saat pulang kerja punggung sakit, karena berat juga keranjangnya” (Wawancara, 03 Mei 2021)
Kemudian infroman lainnya yang bernama Mas Riski (29) mengutarakan:
“waktu saya pertama kerja disini sebagai pemulung, iya tangan gatal-gatal, kayak merah-merah gitu, apalagi musim hujan itu loh diatas airnya tinggi dik bisa sampai kaki gitu becek juga kalau tidak pakai sepatu pasti sering gatal-gatal, kalau sekarang jarang karena udah lama tinggal disini istilahnya sudah terbiasa” (Wawancara, 05 Mei 2021)
Selanjutnya informan lainnya juga menambahkan terkait jenis penyakit yang sering dialami yaitu bernama Mbak Jamila (23) sebagai berikut:
“Penyakit yang saya alami selama tinggal disini sih kayak demam, flu, panas gitu aja sih, tidak sampai sakit parah dik, selama ini juga saya enggak pernah ngalami gatal-gatal seperti teman-teman yang lainnya. Biasanya kalau disini itu kadang sakit gatal-gatal itu karena tidak cocok sama airnya sih, soalnya kan disini airnya ada yang tawar sama yang asin, kalau tidak cocok sama yang asin baru sakit gatal-gatal. Tapi selama ini saya enggk pernah sih sakit gatal-gatal itu dik” (Wawancara, 07 Mei 2021)
Melalui pernyataan informan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa jenis penyakit para pemulung tergolong beragam ada yang sering kecapekan, terkena demam, flu, batuk bahkan sampai penyakit kulit. Upaya pencarian sistem pelayanan kesehatan oleh informan bernama Ibu Sumiati (40) yaitu:
“iya saya biasanya sakit itu beli obat di puskesmas dik, kemarin saya sempat sakit gatal-gatal waktu musim hujan kemarin diatas becek, langsung saya bawa ke puskesmas, enggak mau saya diemin terlalu lama sakitnya dik, apalagi saya kerja” (Wawancara, 20 April 2021) Kemudian informan lainnya yang bernama Pak Kelud (48) mengutarakan:
“Selama sebagai pemulung jarang sakit sih dik, bahkan kadang setahun tidak pernah sakit dik, biasanya habis pulang kerja kan capek gtu aja dik paling saya bawa istirahat saja, kalau sakitnya parah lama tidak sembuh baru saya bawa ke puskesmas” (Wawancara, 09 Mei 2021 )
Menurut pernyataan informan tersebut bahwa pemulung memiliki
tanggapan yang berbeda dalam menangani masalah kesehatannya,
bergantung pada diri individu tersebut ada berbagai macam sikap yang ditunjukan baik itu dengan segera membawa ke pusat kesehatan,
membelikan obat di warung maupun apotek dan bahkan ada juga yang mendiamkannya saja.
Faktor-Faktor Mempengaruhi
Perilaku Kesehatan Pemulung di TPA Regional SARBAGITA
Perilaku kesehatan para pemulung di TPA Regional SARBAGITA, bahwa terdapat faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi dari adanya perilaku kesehatan yakni:
Faktor Internal adalah salah satu faktor berdasarkan pada kebiasaan yang ada pada diri setiap individu tersebut. Faktor internal yang mempengaruhi perilaku kesehatan pemulung di TPA Regional SARBAGITA berupa:
-
a) Faktor keadaan ekonomi para pemulung yang kurang baik dengan penghasilan tidak menentu sehingga dapat mempengaruhi dalam
memenuhi kebutuhan hidup terutama ketika melakukan perawatan kesehatan saat mengalami sakit.
-
b) Faktor resiko kerja yang sangat berbahaya bahkan bisa menyebabkan kematian hal tersebut dilihat dari banyaknya alat berat di area TPA sehingga membuat besar
kemungkinan pemulung yang kurang berhati-hati dapat terkena alat berat tersebut. Selain itu, semakin seringnya tubuh berinteraksi dengan limbah sampah bisa saja akan membuat terkena berbagai jenis penyakit yang berbahaya.
-
c) Faktor akses yang lebih dekat, dimana para pemulung
kecenderungan akan memilih untuk pergi berobat ke tempat sistem pelayanan kesehatan yang memiliki
jarak tempuh lebih dekat dengan tempat tinggalnya.
-
d) Faktor keparahan sakit bahwa sikap para pemulung terhadap penyakit bergantung keparahan sakit itu sendiri. Jika sakit sudah dirasakan berbahaya maka akan segera dilakukan perawatan kesehatan. Namun jika dirasakan sakit yang diderita tidak berbahaya makan akan didiamkan saja dan dibawa istirahat.
Selain itu, faktor eksternal juga ikut ambil bagian yang mempengaruhi perilaku kesehatan para pemulung itu sendiri, faktor eksternal dalam pengertiannya merupakan bagian dari luar diri individu tersebut seperti lingkungan, sosial budaya, dan sebagiannya. Faktor eksternal para pemulung di TPA Regional
SARBAGITA berupa:
-
a) Faktor kondisi lingkungan dimana pemulung mampu beradaptasi dengan lingkungan kerjanya. Hal tersebut terbukti pada awalnya merasa risih. Namun seiring berjalan waktu hal tersebut membuat para pemulung menjadi terbiasa.
-
b) Faktor dari pengalaman pemulung lainnya yang sudah lama tinggal di TPA Regional SARBAGITA, yang dengan baik hati akan membantu pemulung baru baik dalam hal mencari sistem pelayanan kesehatan ketika sedang sakit maupun obat yang biasanya digunakan ketika mengalami penyakit kulit.
SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan dan hasil penelitian tentang budaya kesehatan pemulung di TPA Regional
SARBAGITA, dapat disimpulkan bahwa, budaya Kesehatan para pemulung merupakan bagian dari perilaku kesehatan mereka dalam kehidupan kesehariannya. Seperti perilaku sehat dan
perilaku sakit para pemulung di TPA Regional SARBAGITA, sehingga dari perilaku tersebut menimbulkan yaitu: a) Menyebabkan adanya perilaku
Preventif dan promotif dari para pemulung yang tinggal di TPA Regional SARBAGITA.
-
b) Menyebabkan adanya perilaku peduli dan apatis para pemulung dalam menanggapi masalah kesehatannya.
REFERENSI
Angriyasa, J.K.I. (2018). “Hubungan
Pengetahuan Personal Hygiene
Dengan Gejala Penyakit Kulit Pada Pemulung Di Tempat Pembuangan Akhir Sampah Suwung”. Skripsi Program Studi (S1) Kesehatan Lingkungan Universitas Bali Medika Denpasar.
Foster, G.M. (2015). Antropologi Kesehatan. UI-Press.
Ibrahim. M. (2016). “Implementasi
Bauran Pemasaran di Bank Sampah Malang”. Skripsi Program Studi (S1) Ekonomi Universitas Islam Negeri Malang.
Koentjaraningrat. (2015). Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta.
Mahyuni, E.L. (2012). “Dermatosis (Kelainan Kulit) Ditinjau Dari Aspek Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Pada Pemulung Di TPA Terjun Medan Marelan”. Media Kesehatan Masyarakat Indonesia, 11(2), pp. 101-109.
https://doi.org/10.14710/mkmi.11.2.
Murdiyanti, D. (2018). Antropologi
Kesehatan: Konsep dan Aplikasi Antropologi dalam Bidang
Kesehatan. Pustaka Baru.
Profil Kesehatan Masyarakat Indonesia. (2001). Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Pusat data Denpasar. (2018). “Jumlah timbunan limbah sampah Kota Denpasar”.
https://pusatdata.denpasarkota.go.id/ ?page=DataDetail&language=id&do mia
Twikromo. A.Y. (1999). Pemulung
Jalanan Yogyakarta: Kontuksi
Marginalitas dan Perjuangan Hidup dalam Bayang-bayang Budaya
Dominan. Media Pressindo.
Wardi, I.N. (2011). “Pengelolahan
Sampah Berbasis Sosial Budaya: Upayah Mengatasi Masalah
Lingkungan di Bali”. Bumi Lestari: Jurnal Lingkungan Hidup, 11(1), pp. 167-177.
Discussion and feedback