Dekke Na Niarsik: Identitas Budaya Etnis Batak Toba di Pematangsiantar
on
DOI: https://doi.org/10.24843/SP.2023.v7.i01.p01
p-ISSN: 2528-4517 e-ISSN: 2962-6749
Dekke Na Niarsik: Identitas Budaya Etnis Batak Toba di Pematangsiantar
Giovanni Minar Gabriella Siahaan*, Aliffiati, A.A.A. Murniasih
Program Studi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana [giovanni_shn@yahoo.co.id] [aliffiati@unud.ac.id] [ayu_murniasih@unud.ac.id] Denpasar, Bali, Indonesia
*Corresponding Author
Abstract
The Batak Toba tribe has a very important traditional food for its people, namely dekke na niarsik. Dekke na niarsik is one of the traditional foods made from carp that is used in various traditional events of the Batak Toba tribe. Along with the development of the times, dekke na niarsik remains and continues to be consumed by the Batak Toba people, especially in Pematangsiantar City. The main problem of this research focused on the dekke na niarsik which is the cultural identity of the Batak Toba in Pematangsiantar city and the functions contained in the dekke na niarsik for the Batak Toba people in Pematangsiantar city. This research used the theory of the function of food by Foster and Anderson, and the theory of cultural identity by Myron Lustig. The findings of the research reveal that dekke na niarsik is a cultural heritage of the Batak Toba people in the form of culinary offerings. Dekke is award an odd number of times on each anniversary or event. Dekke na niarsik is given at the time of marriage, birth, seven months, adopting sidi, graduating from college, until the death ceremony. There for dekke na niarsik symbolizes the life cycle of the Batak Toba people from birth to the end of their lives.
Keywords: Dekke Na Niarsik, Cultural Identity, Toba Batak, Traditional Food
Abstrak
Suku Batak Toba memiliki makanan tradisional yang sangat penting bagi masyarakatnya, yaitu dekke na niarsik. Dekke na niarsik merupakan salah satu makanan adat berbahan dasar ikan mas yang digunakan pada berbagai acara adat suku Batak Toba. Seiring berkembangnya zaman, dekke na niarsik tetap dan terus dikonsumsi oleh masyarakat Batak Toba terkhususnya di Kota Pematangsiantar. Pokok permasalahan pada penelitian ini berfokus pada dekke na niarsik yang menjadi identitas budaya etnis Batak Toba di kota Pematangsiantar serta fungsi yang terkandung dalam dekke na niarsik bagi masyarakat Batak Toba di kota Pematangsiantar. Penelitian ini menggunakan teori fungsi makanan oleh Foster dan Anderson, serta teori identitas budaya oleh Myron Lustig. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dekke na niarsik merupakan warisan budaya masyarakat Batak Toba berupa sajian kuliner yang telah bertranformasi menjadi identitas masyarakat Pematangsiantar. Dekke diberikan dengan jumlah yang ganjil pada setiap peringatan atau acara. Dekke na niarsik diberikan pada saat pernikahan, kelahiran, tujuh bulanan, angkat sidi, lulus kuliah, hingga saat upacara kematian. Maka dari itu dekke na niarsik memiliki fungsi penting dalam kehidupan masyarakat karena melambangkan siklus kehidupan masyarakat Batak Toba mulai dari lahir hingga akhir hayatnya.
Kata kunci: Dekke Na Niarsik, Identitas Budaya, Batak Toba, Makanan Tradisional
Sunari Penjor : Journal of Anthropology
Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud
PENDAHULUAN
Suku Batak terbagi menjadi lima sub etnis, yaitu Batak Toba, Batak Simalungun, Batak Karo, Batak Angkola/Mandailing, serta Batak Pakpak. Suku Batak memegang teguh adatnya sehingga masih terpelihara dengan sangat baik. Secara umum, masyarakat Batak mempunyai bahasa daerah dan adat istiadat. Suku batak memiliki makanan tradisional yang cenderung berbeda-beda. Namun adanya perbedaan-perbedaan ini justru menjadi pemersatu masyarakat Batak.
Pada suku Karo misalnya makanan khas yang dapat ditemukan adalah terites. Terites adalah sejenis makanan yang bahan dasarnya diambil dari lambung kedua sapi, masyarakat Karo sering menyebutnya lembu. Makna terites pada masyarakat Karo adalah semua keluarga diharapkan untuk saling membantu dan dapat mempererat hubungan. Pada suku Batak Simalungun juga mempunyai makanan adat, yaitu yang dikenal dengan Dayok Binatur/Dayok Naniatur. Dayok Binatur adalah sajian masakan yang terbuat dari daging ayam. Dayok Binatur disamping berfungsi sebagai lauk makanan tetapi memiliki fungsi sebagai makanan adat yang selalu disajikan dalam setiap upacara adat Simalungun.
Demikian pula pada suku Batak Toba yang merupakan bagian dari suku Batak yang berasal dari Sumatera Utara. Mayoritas masyarakat dari Sumatera Utara merupakan suku batak Toba misalnya Kabupaten Toba, Kabupaten Samosir, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara, dan Kabupaten Tapanuli Tengah. Masyarakat Batak Toba memiliki makanan adat yang dikenal dengan dekke na niarsik atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan ikan mas arsik. Dalam bahasa Indonesia, Dekke berarti “ikan” dan na niarsik merupakan di-marsik-kan
atau dikeringkan. Secara sederhana, dekke na niarsik merupakan ikan mas yang diolah dengan cara memasak dengan terus menerus sampai kandungan air pada masakan tersebut mengering dan menyerap ke daging ikan mas tersebut.
Dekke na niarsik merupakan makanan adat yang berperan penting dalam berbagai kegiatan masyarakat Batak Toba. Hal ini dikarenakan ikan mas dipercayai menjadi simbol berkat atau pasu-pasu dalam kehidupan masyarakat Batak Toba dan menjadi bagian yang sangat penting pada pelaksanaan upacara adat mulai dari seorang wanita yang hamil sampai pada proses kelahiran, pernikahan, upacara kematian dan beberapa kegiatan penting lainnya.
Berdasarkan uraian di atas masalah yang dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: (1) Bagaimana dekke na niarsik menjadi identitas budaya etnis Batak Toba di kota Pematangsiantar? (2) Apa fungsi yang terkandung dalam dekke na niarsik bagi masyarakat Batak Toba di kota Pematangsiantar?
METODE
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang dilakukan di kelurahan Suka Makmur, kecamatan Siantar Marihat, kota Pematangsiantar, Provinsi Sumatera Utara. Kelurahan Suka Makmur ini dipilih sebagai tempat penelitian peneliti berdasarkan beberapa pertimbangan yaitu: Kelurahan Suka Makmur merupakan salah satu kelurahan di kota Pematangsiantar, Provinsi Sumatera Utara dan kota Pematangsiantar adalah kota terbesar kedua setelah kota Medan; Kota Pematangsiantar memiliki suku Batak Toba yang lebih dominan setelah Batak Simalungun; Kota Pematangsiantar masih menjaga kelestarian suku Batak Toba oleh masyarakat dengan kearifan
lokal yang mereka miliki; serta Kota Pematangsiantar terutama kelurahan Suka Makmur termasuk daerah yang masih jarang dijadikan lokasi penelitian. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui cara observasi, wawancara dan studi kepustakaan.
Penelitian ini menggunakan teori fungsi makanan. Jenis makanan mempunyai arti simbolik, dalam arti mempunyai arti sosial, agama, dan lain-lain. Menurut Foster & Anderson (1986: 268-271) secara simbolis makanan sedikitnya dapat berupa empat ungkapan, yakni: ikatan social, solidaritas kelompok, makanan dan ketegangan jiwa, serta simbolisme makanan dalam bahasa. Selain teori fungsi makanan, penelitian ini juga menggunakan teori identitas budaya. Lustig (2013: 133) mencatat bahwa identitas budaya adalah pusat perasaan diri seseorang. Itu karena identitas budaya "adalah komponen sentral, dinamis, dan beragam dari konsep diri seseorang". Analisis data dilakukan dengan teknik deskriptif kualitatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dekke Na Niarsik sebagai Identitas Budaya Batak Toba di Pematangsiantar
Dekke na niarsik adalah makanan tradisional khas Batak Toba yang bercita rasa bumbu rempah tradisional. Nama makanan ini dibuat berdasarkan proses pembuatan masakan, dimana salah satu rempah yang menjadi inti dalam cita rasanya yaitu andaliman. Andaliman (Zanthoxylum Acanthopodium DC) memiliki takhta tertinggi dalam cita rasa masakan ini. Karena apabila masakan ini tidak menggunakan andaliman, maka dekke na niarsik ini tidak akan sempurna. Andaliman merupakan rempah khas Batak yang memiliki cita rasa pedas seperti merica. Jika dilihat secara sepintas, dekke na niarsik ini mirip
dengan ikan yang dimasak dengan bumbu kuning yang dapat kita temukan di berbagai daerah di Indonesia. Namun yang menjadi perbedaannya yaitu dekke na niarsik memiliki tekstur dan rasa yang sangat berbeda. Dalam penyajian masakan ini, ikan mas harus bersamaan dengan nasi. Ikan mas akan diatur dan disusun dalam posisi tegak di atas piring.
Selain bumbu andaliman, bahan-bahan khas yang digunakan untuk pembuatan dekke na niarsik memiliki banyak persamaan dengan rempah-rempah tradisional di Indonesia pada umumnya. Ikan mas adalah bahan utama dalam pembuatan masakan ini, kemudian diracik dengan campuran bumbu halus yang terdiri dari kunyit, jahe, bawang Batak, kemiri, asam cekala, cabai dan andaliman. Jika di daerah tempat tinggal sulit mendapatkan ikan mas, maka ikan mas dapat digantikan menggunakan ikan apapun asalkan tetap dengan bumbu yang sama. Ikan laut seperti kembung dan kakap bahkan daging juga dapat menjadi bahan utama dalam pembuatan dekke na niarsik. Semua bumbu tadi dicampur dan dihaluskan. Adapun yang menambah ciri khas dari makanan ini yaitu uram-uramnya.
Uram-uram merupakan variasi sayuran yang dimasak secara bersamaan dengan ikan mas. Uram-uram terdiri dari kacang panjang, serai, bawang Batak, asam potong, rias (batang kecombrang) dan berbagai bumbu tambahan lainnya. Tidak seperti hidangan ikan umumnya, metode pembersihannya sangat unik. Umumnya ikan mas yang sudah digunakan tidak perlu membuang sisiknya, tetapi hanya membersihkan bagian perutnya saja. Hal ini melambangkan kehidupan yang utuh dari manusia. Ikan mas sebaiknya tidak dipotong-potong menjadi bagian yang lebih kecil. Jika ikan mas dipotong berarti kita mengharapkan orang yang menerimanya tidak mendapat keturunan.
Dalam upacara adat tertentu biasanya akan disajikan dekke na niarsik. Terdapat tata cara khusus dalam memberikan jenis makanan ini agar tidak kehilangan nilai sakralnya. Penyajian dekke na niarsik sebagai identitas budaya Batak Toba masih melekat dalam berbagai upacara adat khas Batak, yakni pernikahan, kelahiran, suatu pencapaian seperti angkat sidi/komuni pertama dan lulus kuliah. Dekke na niarsik disajikan di atas piring bersama nasi putih dan kepala ikan diharuskan dalam keadaan posisi berenang dan kepala menghadap penerima dekke na niarsik. Apabila jumlah ikan mas lebih dari satu, maka ikan mas harus diletakkan berbaris sejajar. Dalam bahasa Batak biasanya disebut dengan dekke simudur-udur yang berarti keluarga yang menerima ikan mas ini akan mampu berjalan sejajar menuju ke arah dan tujuan yang sama. Oleh sebab itu, apabila suatu permasalahan muncul dalam kehidupan, maka anggota keluarga dapat menyelesaikannya dengan baik.
Dekke na niarsik digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan dan harapan yang baik dalam kehidupan, pesan dan harapan ini diberikan oleh orang tua kepada anak dalam pencapaiannya atau kehidupannya di lingkungan sosial yang baru. Jumlahnya juga tidak sembarangan, jumlah ikan mas yang disajikan harus berjumlah ganjil, misalnya satu atau tiga. Pada masyarakat adat Batak, angka ganjil ini memiliki arti, satu ekor ikan mas untuk pengantin yang baru saja menikah dan tiga ekor ikan mas untuk pasangan suami-istri yang memperoleh keturunan. Aturan angka ganjil ini merupakan ketentuan yang ada pada adat Batak.
Masyarakat Batak Toba merupakan masyarakat yang menjadikan budaya mereka sebagai acuan hidup dan menjunjung tinggi nilainya. Kehidupan sehari-hari masyarakat Batak Toba tak luput dari adat istiadat warisan
leluhurnya. Hal ini merupakan sebuah kebanggaan tersendiri karena telah berhasil menjaga dan melestarikan budaya yang mereka miliki layaknya pernyataan Lustig (2013: 132) yang mencatat bahwa identitas budaya mengacu pada rasa yang dimiliki seseorang terhadap budayanya.
Penyajian dekke na niarsik sebagai identitas budaya Batak Toba masih melekat dalam berbagai upacara adat khas Batak, yakni pernikahan, kelahiran, suatu pencapaian seperti angkat sidi/komuni pertama dan lulus kuliah. Dekke juga dapat diberikan kepada orang yang mengalami kecelakaan dengan harapan agar orang tersebut cepat mencapai kesembuhan. Masyarakat Batak Toba rela mengeluarkan dana yang besar untuk mengadakan acara yang meriah demi menunjukkan eksistensi adat istiadat mereka. Dekke na niarsik bertambah khas karena diproses dengan bahan-bahan daerah Batak, seperti andaliman, asam cekala, dan bawang Batak.
Dekke na niarsik digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan dan harapan yang baik dalam kehidupan. Pesan dan harapan ini diberikan oleh orang tua kepada anak dalam pencapaiannya atau kehidupannya di lingkungan sosial yang baru.
Dalam menyajikan dekke na niarsik, ada aturan-aturan yang harus dipatuhi dan karena seluruh prosesi mengandung makna di dalamnya. Dekke atau ikan yang disajikan harus dalam kondisi utuh tidak terpotong-potong. Sisik dari ikan juga tidak boleh dibuang. Hal ini melambangkan keutuhan dari manusia. Dekke tidak boleh terpotong potong, karena jika dipotong berarti kita mengharapkan orang yang menerima dekke tersebut agar tidak memperoleh keturunan. Angka ganjil dalam penyajian dekke na niarsik ini juga memiliki filosofi masing-masing. Satu ekor dekke
melambangkan pasangan atau pengantin yang baru saja menikah dan tiga ekor dekke diperuntukkan bagi pasangan suami-istri yang baru saja memperoleh keturunan.
Selain itu dekke na niarsik juga disajikan dalam posisi berenang yaitu posisi kepala yang berhadapan dengan orang yang akan menerima makanan tersebut. Apabila jumlah dekke lebih dari satu, maka dekke harus diletakkan sejajar dan berbaris berhadapan dengan sang penerima dengan maksud kehidupannya yang akan berjalan beriringan ke arah kehidupan dan tujuan yang sama, tindakan ini dinamakan dengan dekke simudur-udur. Hal ini juga memberikan pengharapan apabila sang penerima mengalami permasalahan dalam kehidupan, maka ia akan mampu menyelesaikan masalah tersebut bersama dengan anggota keluarga.
Pihak yang memberikan dekke na niarsik ini juga memiliki aturan, bukan diberikan oleh sembarang orang. Hanya pihak hula-hula atau kerabat dari pihak keluarga istri/perempuan saja yang diperkenankan memberikan dekke (umumnya disebut dengan sapaan tulang), orangtua kandung istri, saudara laki-laki istri (ito) atau bagian dari marga pihak keluarga istri. Aturan ini memiliki hubungan erat dengan perkerabatan dalam suku Batak Toba yang lebih dikenal dengan angka tiga. Sebagaimana dikenal sebutan Dalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu merupakan bagian dari kerangka yang mengandung hubungan-hubungan darah dan hubungan pernikahan yang mengikat satu kelompok. Menurut Sitanggang (2010), penentuan Dalihan Na Tolu berdasarkan keberadaan tiga kedudukan fungsional sebagai konstruksi sosial yang menjadi dasar. Ketiga tungku tersebut merupakan (1) Somba Marhulahula (hormat kepada keluarga pihak istri), (2) Elek Marboru (sikap membujuk/mengayomi wanita)
dan (3) Manat Mardongan Tubu (bersikap hati-hati kepada teman semarga). Sebutan Dalihan Na Tolu ini berasal dari kebiasaan masyarakat Batak yang selalu membuat masakan di atas tungku batu yang berfungsi sebagai penyangga alat masak.
Seperti yang dikatakan oleh Foster & Anderson (1986: 268-271) bahwa sebuah makanan dapat disebut sebagai identitas budaya secara simbolis maka makanan sedikitnya dapat berupa empat ungkapan, yakni: ikatan social, solidaritas kelompok, makanan dan ketegangan jiwa, serta simbolisme makanan dalam bahasa. Demikan juga dekke na niarsik yang merupakan makanan khas Suku Batak Toba yang di dalamnya terkandung empat ungkapan yang secara simbolis menjadikan dekke na niarsik sebagai identitas budaya.
Fungsi Dekke Na Niarsik bagi Masyarakat Batak Toba di Kota Pematangsiantar
Dekke na niarsik digunakan sebagai hidangan saat penyelenggaraan acara sukacita oleh masyarakat Batak Toba. Acara tersebut berupa pernikahan, tujuh bulanan, pasca melahirkan, angkat sidi, dan peringatan tamat kuliah.
Dekke tidak hanya diberikan ketika orang memulai rumah tangga, dekke merupakan suatu simbol yang sangat sakral dan memiliki nilai yang tinggi menurut suku Batak Toba. Dekke merupakan tanda jalan doa, suatu media pihak hula-hula (kerabat dari pihak keluarga istri/perempuan) berdoa kepada Tuhan supaya mampu mengarungi hari-hari yang akan dilalui di rumah tangga baru.
-
a. Dekke Na Niarsik pada Pernikahan
Pada upacara pernikahan adat Batak Toba, dekke na niarsik merupakan simbol kesuburan untuk memiliki keturunan yang banyak. Simbol ini
diberikan oleh hula-hula kepada keluarga pihak laki-laki dan kedua mempelai. Dekke na niarsik juga menjadi lambang restu dari kedua orang tua mempelai perempuan sebagai pertanda rasa kasih sayang kedua orang tua.
Adapun bahan utama dalam pembuatan dekke na niarsik yang akan diberikan saat pernikahan ialah ikan mas betina bertelur yang mana melambangkan harapan orang tua pihak boru agar anaknya cepat mendapatkan keturunan. Penyajiannya juga diwajibkan utuh, mulai dari kepala hingga ekor ikan hingga sisiknya. Dekke na niarsik diberikan dalam posisi kepala yang tegak menghadap kepada pasangan pengantin dengan harapan rumah tangga yang dijalani akan sejajar dan beriringan dalam mencapai tujuan bersama.
-
b. Dekke Na Niarsik pada Acara Tujuh
Bulanan (Mambosuri Boru)
Calon ibu yang tengah hamil akan memberi kabar kepada hula-hula mengenai kehamilannya, setelah hulahula mendapatkan kabar tersebut, maka mereka akan menentukan tanggal untuk diadakannya mambosuri boru. Hula-hula datang membawa dekke na niarsik dengan jumlah dekke yang disajikan ialah sebanyak tiga ekor.
Gambar 1. Dekke Na Niarsik pada Acara Mambosuri Boru Sumber: Dokumentasi Yael, 2022
Dekke kemudian disantap bersama oleh para keluarga, namun boru (calon ibu) merupakan orang yang wajib mencicipi dekke pertama kali. Biasanya boru akan disuapi oleh ibunya hingga puas dan kenyang, setelah itu anggota keluarga yang lain dapat menikmati dekke na niarsik. Fungsi dekke na niarsik diprosesi ini supaya jiwa dan semangat yang hamil berada dalam keadaan tenang dan aman karena sudah tiba bulannya untuk bersalin.
-
c. Dekke Na Niarsik pasca Melahirkan
Tradisi pemberian dekke na niarsik kepada pasangan yang baru saja melahirkan merupakan hal yang wajib, terutama jika anak pertama yang lahir. Setelah dekke na niarsik disantap, prosesi selanjutnya ialah pemberian Ulos Tandi dengan cara dililitkan kepada si bapak dan anaknya. Pemberian ulos ini melambangkan dukungan spiritualitas kepada suami istri yang baru saja memiliki anak serta perhatian dan kasih sayang yang ditunjukkan oleh parboru (orang tua pihak boru). Seperti yang dikatakan oleh Ompung Devi:
“Orang tua pihak boru (parboru) membawa dekke tiga ekor sebagai bentuk pasu-pasu. Tiga ekor dekke melambangkan telah bertambahnya satu anggota keluarga, yakni anak yang baru saja lahir. Adapun dekke yang diberikan akan diperuntukkan bagi ayah satu ekor, ibu satu ekor, dan anak yang baru lahir satu ekor. Agar harapan si ibu dan si bapak terhadap anak dapat dikabulkan oleh Tuhan.” (Wawancara 2 April 2021).
-
d. Dekke Na Niarsik pada Angkat Sidi
(Malua) dan Komuni Pertama
Seorang Nasrani akan diteguhkan melalui angkat sidi oleh pendeta Jemaat dalam Upacara Liturgi dihadapan sidang jemaat dengan melafalkan pengakuannya terhadap gereja tentang Allah. Kristus Yesus, Roh Kudus, orang mati, dan
kehidupan yang kekal. Jika pada umat Kristen diberikan saat angkat sidi, maka pada umat Katolik diberikan saat Komuni Pertama. Komuni Pertama merupakan upacara untuk seseorang yang menerima komuni (roti dan anggur yang diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus) untuk pertama kalinya. Berdasarkan aturan Gereja Katolik, syarat seseorang dapat menerima komuni pertama adalah sudah dibaptis secara Katolik dan sudah siap untuk menerima komuni kudus. Fungsi dekke na niarsik pada prosesi ini sebagai pernyataan rasa gembira dan ucapan syukur kepada Tuhan.
-
e. Dekke Na Niarsik Lulus Sekolah, Merantau atau Mendapatkan Pekerjaan Baru (Mangupa-upa) Manguapa merupakan upacara adat
Batak yang bertujuan untuk
menyampaikan nasihat-nasihat dan doa kepada orang yang di-upa. Tondi (roh yang berada pada tubuh seseorang) menjadi sasaran dalam upacara adat mangupa. Masyarakat Batak Toba mempercayai bahwa tondi
mempengaruhi pembentukan
kepribadian, sikap, perbuatan, pikiran serta nurani seseorang. Maka dari itu mangupa-upa dilakukan agar tondi diperkuat dan dikembalikan ke dalam tubuh orang yang di-upa sehingga tegar dalam menghadapi rintangan hidup. Tradisi mangupa-upa dilaksanakan oleh masyarakat Batak Toba jika mereka akan memasuki lingkungan sosial yang baru.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Situmorang (2017), mangupa-ngupa diadakan dengan
berbagai macam perayaan, dan perayaan akan lulus kuliah merupakan mengupa-upa terbanyak kedua yang diadakan. Lulus sekolah merupakan momen yang sangat bahagia bagi seorang anak namun dibalik momen bahagia tersebut terdapat kekhawatiran akan pencapaian cita-cita dan pekerjaan yang didapatkan pasca
lulus kuliah. Maka dari itu dekke na niarsik disajikan saat lulus kuliah yang mana melambangkan harapan orang tua terhadap anaknya.
SIMPULAN
Dekke Na Niarsik merupakan identitas budaya masyarakat Batak Toba di Pematangsiantar. Dekke berarti ikan, na niarsik berarti dikeringkan (marsik), sehingga dekke na niarsik ialah ikan yang dimasak hingga kering, dalam hal ini menggunakan ikan mas yang dimasak dengan bumbu khas Batak hingga kering meresap ke tubuh ikan.
Fungsi dari kuliner ini adalah sebagai hidangan saat penyelenggaraan acara sukacita oleh masyarakat Batak Toba. Acara tersebut berupa pernikahan, tujuh bulanan, pasca melahirkan, angkat sidi, dan peringatan tamat kuliah. Dekke tidak hanya diberikan ketika orang memulai rumah tangga, dekke merupakan suatu simbol yang sangat sakral dan memiliki nilai yang tinggi menurut suku Batak Toba. Dekke merupakan tanda jalan doa, suatu media pihak hula-hula (kerabat dari pihak keluarga istri/perempuan) berdoa kepada Tuhan supaya mampu mengarungi hari-hari yang akan dilalui di rumah tangga baru.
REFERENSI
Aprilia, V. (2016). “Makna Simbolik
Komunikasi Budaya Dalam Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Batak Toba Di Pekanbaru”. Jom FISIP, 3(2), pp. 1-15.
Butarbutar, R.D., Milala, R., &
Paunganan, D.D. (2020). “Dalihan Na Tolu Sebagai Sistem Kekerabatan Batak Toba Dan Rekonstruksinya Berdasarkan Teologi Persahabatan Kekristenan”. Dharmasmrti: Jurnal Ilmu Agama dan Kebudayaan, 20(2), pp. 1-28.
https://doi.org/10.32795/ds.v20i2.10 19
Foster, G.M. & Anderson, B.G. (1986). Antropologi Kesehatan. Suryadarma, P.P. & Swasono, M.F.H. (Penerjemah). UI-Press.
Frederica., Syafrial., & Sinaga., M. (2018). “Acara Martumpol Adat Batak Toba (Kajian Semiotika)”. Jurnal Online Mahasiswa: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, 5(1), pp. 1-9.
Hutabarat, F.M., Ermanto., & Juita, N. (2013). “Kekerabatan Bahasa Batak Toba Dengan Bahasa Batak Mandailing”. Jurnal Bahasa dan Sastra 2(1), pp. 1-13.
https://doi.org/10.24036/822820
Lustig, M.W. (2013). Kompetensi Antarbudaya Komunikasi
Interpersonal Lintas Budaya, Edisi Ke-7. Pearson.
Ningsih, W. (2019). Antropologi Kuliner. FAM Publishing.
Sipayung, R.S. (2013). “Falsafah Dayok Binatur Pada Masyarakat
Simalungun (Studi Di Pematang Raya, Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun)”. Skripsi Program Studi (S1) Pendidikan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan.
Sitanggang, J.P. (2010). Raja Na Pogos. Jala Permata Aksara.
Situmorang, R. (2017). “Mangupa
Sebagai Bentuk Dukungan Sosial: Studi Indigenous Terhadap Etnis Batak”. Skripsi Program Studi (S1) Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.
Tyas, A.S.P. (2017). “Identifikasi Kuliner Lokal Indonesia dalam Pembelajaran Bahasa Inggris”. Jurnal Pariwisata Terapan, 1(1), pp. 38-51. https://doi.org/10.22146/jpt.24970
Discussion and feedback