THE EFFECT OF THE ADDITION LEVEL OF NEEM LEAF FLOUR (Melia azedarach LINN) ON THE QUALITY OF SHELLED CORN DURING STORAGE
on
pastura Vol. 8 No. 2 : 69 - 75
p-ISSN 2088-818X e-ISSN 2549-8444
PENGARUH PENAMBAHAN DAUN MINDI (Melia azedarach Linn) TERHADAP KUALITAS JAGUNG PIPILAN SELAMA PENYIMPANAN
Montesqrit1), Harnentis1) dan Sri Yana 2)
-
1) Dosen Bagian Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan Universitas Andalas
-
2) Mahasiswa Program Studi Peternakan, Fakultas Peternakan Universitas Andalas
Email : [email protected]
ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi bagaimana pengaruh level penambahan tepung daun mindi (Melia azedarach Linn) terhadap kualitas jagung pipilan selama penyimpanan. Materi penelitian yang digunakan yaitu daun mindi, jagung pipilan, wadah penyimpanan dan peralatan analisa. Daun mindi diberikan dalam bentuk tepung dengan ukuran 60 mesh sedangkan jagung yang digunakan jagung pipilan dengan kandungan air dan kandungan aflatoksin sebelum penyimpanan masing-masing 20% dan 110 ppb. Jagung pipilan digunakan sebanyak 1 kg untuk masing-masing perlakuan dan disimpan dalam karung goni yang dimodifikasi selama 4 minggu. Metode penelitian berupa metode eksperimen menggunakan rancangan acak lengkap (RAL), dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan yang dilakukan yaitu persentase penambahan tepung daun mindi dalam jagung pipilan, keempat perlakuan tersebut yaitu perlakuan A (0% tepung daun mindi), B (2,5% tepung daun mindi), C (5% tepung daun mindi), dan D (7,5% tepung daun mindi). Parameter yang diukur adalah persentase biji rusak, persentase biji berjamur, kadar air dan kandungan aflatoksin. Hasil penelitian didapatkan perlakuan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap % biji rusak, % biji berjamur dan kandungan aflatoksin pada jagung pipilan selama penyimpanan. Pemberian tepung daun mindi pada level 2,5% mampu mempertahankan kualitas jagung pipilan selama penyimpanan, dimana kandungan aflatoksin dapat menurun dari 110 ppb sebelum penyimpanan menjadi 34,25 ppb setelah disimpan selama 4 minggu.
Kata kunci : mindi (Melia azedarach Linn), jagung pipilan, penyimpanan, aflatoksin
THE EFFECT OF THE ADDITION LEVEL OF NEEM LEAF FLOUR (Melia azedarach LINN) ON THE QUALITY OF SHELLED CORN DURING STORAGE
ABSTRACT
This study aims to evaluate how the effect of the addition level of neem leaf flour (Melia azedarach Linn) on the quality of shelled corn during storage. The research material used was neem leaves, shelled corn, storage containers and analytical equipment. Neem leaves are given in the form of flour with a size of 60 mesh while corn used in shell corn with water content and aflatoxin content before storage are 20% and 110 ppb respectively. Shelled corn was used as much as 1 kg for each treatment and stored in modified woven bags for 4 weeks. The research method is an experimental method using a completely randomized design (CRD), with 4 treatments and 4 replications. The treatments were the percentage of neem leaf flour addition in shelled corn, the four treatments were treatment A (0% neem leaf flour), B (2.5% neem leaf flour), C (5% neem leaf flour), and D ( 7.5% neem leaf flour). Parameters measured were percentage of damaged seeds, percentage of moldy seeds, moisture content and aflatoxin content. The results of the study showed that the treatment had a highly significant effect (P<0.01) on% of damaged seeds, % of moldy seeds, and aflatoxin content on shelled corn during storage. The administration of neem leaf flour at 2.5% level was able to maintain the quality of shelled corn during storage, where the aflatoxin content could decrease from 110 ppb before storage to 34,25 ppb after being stored for 4 weeks.
Keywords: neem (Melia azedarach Linn), shelled corn, storage, aflatoxin
PENDAHULUAN
Jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan yang tersebar secara merata di seluruh dunia. Di Indonesia, jagung disamping digunakan sebagai
bahan pangan juga merupakan bahan penyusun utama ransum ternak terutama ternak unggas. Dalam ransum ternak unggas jagung digunakan sampai 50%, sehingga komuditas tersebut mempunyai nilai yang sangat strategis.
Produksi jagung di Indonesia disatu sisi memiliki potensi pasar cukup baik namun pada kenyataannya banyak produk jagung ditingkat petani yang tidak terserap oleh industri pakan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti: kadar air tinggi, rusaknya butiran jagung, warna butiran jagung tidak seragam, adanya butiran yang pecah serta kotoran lain yang berimplikasi pada rendahnya mutu jagung yang dihasilkan.
Kerusakan tersebut mengakibatkan penurunan mutu baik secara kuantitatif maupun kualitatif yang berupa susut berat karena rusak, memar, cacat, dan lain-lain. Kelemahan lain yang juga mempengaruhi fluktuasi dan kontinuitasnya adalah hasil pertanian yang bersifat musiman, sehingga perlu dilakukan penyimpanan terhadap jagung. Penyimpanan ini bertujuan untuk menjaga dan mempertahankan mutu komoditas jagung.
Selama penyimpanan jagung akan mengakibatkan naiknya kadar air yang diikuti dengan turunnya bahan kering yang akan menyebabkan mudahnya jagung diserang oleh mikroorganisme yang sangat menguntungkan bagi pertumbuhan kapang. Selain itu penurunan kualitas jagung selama penyimpanan juga disebabkan oleh serangga hama gudang. Serangga hama gudang mempunyai kemampuan berkembang biak dengan cepat, mudah menyebar dan sekaligus menyebarkan kapang terutama dari jenis Aspergillus sp. yang akan memicu pertumbuhan aflatoksin.
Aflatoksin mempunyai daya racun yang tinggi yang berbahaya bagi kesehatan ternak maupun manusia. Aflatoksin dalam kadar tinggi (diatas 20 ppb) jika masuk ke dalam tubuh ternak atau manusia dapat mengakibatkan kematian. Sementara kontaminasi aflatoksin dalam kadar rendah (dibawah 20 ppb) dalam jangka panjang bisa menyebabkan kanker hati atau kanker ginjal. Oleh sebab itu, perlu diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kapang tersebut.
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menghambat pertumbuhan kapang tersebut diantaranya dengan perlakuan kimia, fisika maupun biologi. Perlakukan kimia dengan pemberian asam format, insektisida sintetik, dan bahan kimia lainnya, akan tetapi membutuhkan biaya tinggi dan meninggalkan residu kimia pada jagung tersebut. Perlakuan fisika dengan menjaga suhu dengan pengeringan akan tetapi ditingkat masyarakat sulit karena butuh biaya besar. Perlakuan biologi dengan memanfaatkan tanaman herbal yang dapat menghambat pertumbuhan kapang Aspergillus flavus.
Salah satu tanaman yang dapat menghambat pertumbuhan kapang tersebut adalah tanaman mindi (Melia azedarach Linn). Mindi (Melia azedarach Linn) mengandung zat aktif yang dapat menghambat
pertumbuhan kapang penghasil aflatoksin tersebut. Kandungan zat aktif yang terdapat dalam tanaman mindi adalah senyawa margosin yang mengandung belerang, azadirachtin, nimbin, dan nimbidin yang berperan sebagai antimikroorganisme (Fardani, 2009). Adanya zat aktif yang terdapat dalam daun mindi yang berperan sebagai anti kapang maka diharapkan daun mindi tersebut mampu menghambat pertumbuhan kapang penyebab aflatoksin.
Menurut Zeringue dan Bhatnagar (1990) daun mindi juga mengandung senyawa volatil spesifik dengan sifat fungisida yang dapat mempengaruhi pertumbuhan kapang produksi aflatoksin. Berdasarkan hal tersebut dilakukan penelitian untuk melihat pengaruh level pemberian tepung daun mindi terhadap kualitas jagung pipilan selama penyimpanan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu petani jagung sehingga produksi jagung mereka terhindar dari kualitas jagung yang jelek.
MATERI DAN METODE
Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini antara lain : jagung sortiran yang berasal dari PT Japfa Comfeed Indonesia Padang dengan kadar air 20% dan kandungan aflatoksin sebesar 110 ppb, daun mindi, serta bahan lainnya. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: oven, ayakan, blender, timbangan analitik, plastik, dan karung (woven bag).
Penelitian ini dilaksanakan dengan metode eksperimen menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan yang diberikan yaitu penambahan tepung daun mindi ke dalam jagung dengan 4 level yaitu :
A : tanpa pemberian tepung daun mindi
B : pemberian tepung daun mindi 2,5%
C : pemberian tepung daun mindi 5,0%
D : pemberian tepung daun mindi 7,5%
Pada penelitian ini setiap percobaan terdiri dari 1000 g jagung yang ditambahkan dengan masing-masing tepung daun mindi sesuai perlakuan, kemudian dilakukan penyimpanan dalam suhu ruang selama 4 minggu. Setelah 4 minggu penyimpanan dilakukan pengamatan berupa (persentase biji rusak, persentase biji berjamur, persentase kadar air, dan kandungan aflatoksin secara kualitatif). Untuk mengetahui pengaruh perlakuan, data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam dan jika ada perbedaan antara perlakuan maka dilanjutkan dengan uji DMRT (Duncan’s Multiple Range Test).
Pelaksanaan penelitian diawali dari penyediaan jagung, penyedian tepung daun mindi dan wadah penyimpanan. Jagung yang digunakan adalah jagung grade B yaitu jagung yang kandungan aflatoksinnya sekitar 120 ppb dan tidak digunakan oleh pabrik
pakan PT Jafpa Comfeed dalam campuran ransum. Daun mindi diperoleh dari tanaman mindi yang ada di kawasan Padang. Selanjutnya daun tersebut dikeringkan dan dijadikan tepung. Selanjutnya daun tersebut sesuai dengan perlakuan dicampurkan ke dalam masing-masing 1 kg jagung butiran dan disimpan dalam karung woven bag yang dimodifikasi dan disimpan selama 4 minggu. Dalam penyimpanan karung-karung tersebut diletakkan di atas palet guna menghindari penguapan dan dijaga dari kerusakan oleh tikus dan serangga hama gudang. Selama penyimpanan sampel dilihat setiap minggu dan pengambilan sampel dilakukan pada penyimpanan 4 minggu.
Parameter yang diukur
Persentase Biji Rusak. Dihitung dengan cara berat jagung yang disimpan (a), kemudian dipisahkan antara biji utuh dengan biji jagung yang rusak (biji jagung terserang oleh serangga). Biji rusak ditimbang (b) dalam g. Persentase biji rusak dapat dihitung dengan rumus:
a - b
% Biji rusak = x 100% b
Persentase Biji Berjamur. Setelah penyimpanan 4 minggu pengujian biji berjamur dapat dilakukan secara visual dengan indera penglihatan, berat jagung yang disimpan selama 4 minggu dikurangi dengan berat biji utuh kemudian dibagi dengan berat jagung yang disimpan selama 4 minggu dan dikali 100% , persentase dapat dihitung dengan rumus:
berat jagung 4 minggu - berat biji utuh
% Biji berjamur = x 100% berat jagung 4 minggu
Persentase Kadar Air. Untuk menghitung kadar air pada jagung dapat dihitung dengan menggunakan alat yang biasa digunakan oleh perusahaan Japfa Comfeed Tbk Padang yaitu dengan alat Moisture Tester Kett PM410. Disiapkan jagung yang telah disimpan selama 4 minggu (1000 g/ perlakuan) dimasukkan dalam gelas stainles, kemudian dimasukkan dalam lingkaran alat secara merata, alat tersebut akan bekerja secara otomatis dan pada layar monitor dapat dilakukan pembacaan kadar air pada jagung.
Penentuan Jagung Tercemar Aflatoksin secara Kualitatif ( sinar UV). Jagung yang sudah diamati pada tahap sebelumnya dan sudah diketahui beratnya dilanjutkan dengan pengamatan secara visual menggunakan alat yang dilengkapi sinar UV dengan panjang gelombang 360 nanometer. Jagung dengan berat 800 g digiling halus dengan mesin penggiling dan diletakkan pada baki lalu diratakan, untuk perhitungan kandungan aflatoksin jagung dibawa
ke ruangan gelap kemudian alat dihidupkan, baki yang berisi jagung halus diletakkan di bawah sinar UV lalu dilakukan perhitungan kandungan aflatoksin sesuai dengan yang dilakukan oleh perusahaan Japfa Comfeed Tbk Padang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Pemberian Tepung Daun Mindi terhadap Biji Rusak
Berdasarkan hasil pengamatan setelah penyimpanan selama 4 minggu didapatkan bahwa tidak ada terdapat biji yang rusak oleh serangga sedangkan biji berkecambah, dan pecah <0,6 dari bagian jagung utuh pada perlakuan selama penelitian. Rendahnya hasil yang diamati disebakan karena jagung yang digunakan adalah jagung yang sebelum dilakukan uji kandungan aflatoksin di PT Jafpa Comfeed telah dilakukan uji persentase biji rusak, hanya saja jagung tersebut mengandung tinggi aflatoksin sehingga tidak digunakan oleh pabrik pakan.
Selain itu lingkungan penyimpanan jagung selama penelitian sesuai dengan pengendalian faktor-faktor penyebab kerusakan jagung, seperti faktor ekologis yang tidak sesuai dengan kehidupan serangga dan cendawan dapat diatur untuk menekan populasinya sehingga tidak menimbulkan kerusakan. Aspek lingkungan penyimpanan jagung meliputi faktor fisik terutama suhu dan kelembaban udara, faktor biotik terutama oleh cendawan, hama, dan bakteri. Dimana suhu penyimpanan perlakuan saat penelitian yaitu 30oC dan kelembaban relatif yaitu 80%, sehingga menyebabkan perlakuan tidak rusak oleh serangga karena suhu dan kelembaban udara ruangan penyimpanan perlakuan tidak sesuai dengan suhu dan kelembaban udara yang dibutuhkan oleh serangga. Hal ini sesuai dengan NRI (1991) yang melaporkan bahwa kondisi optimum untuk pertumbuhan serangga pada jagung yaitu 25-27oC dan kelembaban relatif 70%. Bila suhu penyimpanan naik melebihi suhu optimum, maka kondisi lingkungan tidak lagi menunjang untuk pertumbuhan serangga.
Berbeda halnya dengan pendapat Francis dan Wood (1982) menyatakan bahwa penyimpanan pakan dengan kadar air 14-20% pada suhu 20-30oC dan kelembaban 70-90% akan terjadi serangan serangga, pertumbuhan kapang dan akan terjadi peningkatan produksi mikotoksin pada bahan pakan.
Pengaruh Pemberian Tepung Daun Mindi Terhadap Biji Berjamur
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pemberian tepung daun mindi ke dalam jagung pipilan selama penyimpanan terhadap perkembangan biji berjamur dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rataan persentase biji berjamur dengan pemberian tepung daun mindi setiap perlakuan selama penelitian
Perlakuan |
Biji berjamur (%) |
A (tanpa pemberian tepung daun mindi) |
8,34a |
B (pemberian 2,5% tepung daun mindi) |
0,00b |
C (pemberian 5,0% tepung daun mindi) |
0,00b |
D (pemberian 7,5% tepung daun mindi) |
0,00b |
SE |
0,81 |
Keterangan:
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01)
Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa adanya pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap persentase biji berjamur dengan pemberian tepung daun mindi. Pada Tabel 1 terlihat biji berjamur hanya ditemukan pada jagung yang tidak diberi tepung daun mindi (perlakuan A), sedangkan pemberian tepung daun mindi dengan semua level pemberian tidak ditemukan adanya biji berjamur. Tingginya biji berjamur pada perlakuan A disebabkan karena tidak adanya zat aktif yang dapat menekan pertumbuhan jamur serta tingginya kadar air jagung selama penyimpanan yang akan mempercepat pertumbuhan jamur terhadap bahan pakan. Sesuai dengan pendapat Tangendjaja dan Elizabeth (2014) bahwa kadar air pada jagung akan mempengaruhi pertumbuhan jamur kontaminasi. Jagung akan lebih mudah ditumbuhi jamur apabila kadar air lebih dari 14%. Selain itu, jamur akan mudah tumbuh pada saat jagung disimpan dalam keadaan basah serta pada ruang yang panas dan lembab.
Tidak ditemukannya biji berjamur pada jagung yang diberi tepung daun mindi disebabkan karena adanya zat aktif yang dapat menekan pertumbuhan kapang. Zat aktif yang terdapat pada tepung daun mindi (Melia azedarach L.) yaitu margosin yang mengandung belerang, azadirachtin, nimbin, dan nimbidin, alkaloid, saponin, flavonoid, tanin, kuinon, zat pahit dan minyak atsiri.
Daun mindi merupakan fungisida nabati yang mampu menekan pertumbuhan kapang disebabkan oleh adanya senyawa-senyawa hasil metabolit sekunder yang terkandung didalam bahan nabati (Yusmani dan Sumartini, 2001). Minyak atsiri diketahui memiliki potensi sebagai antifungal. Penghambatan antifungal dapat disebabkan oleh perlekatan senyawa pada permukaan sel atau berdifusinya senyawa tersebut ke dalam sel jamur. Zat antifungal pada satu bahan dapat menginaktivasi fungsi material genetik, yaitu dengan cara mengganggu pembentukan asam nukleat (DNA dan RNA). Gangguan pembentukan asam nukleat tersebut akan menyebabkan terhambatnya transfer informasi genetik yang selanjutnya akan menginaktivasi atau merusak materi genetik yang mengakibatkan terganggunya aktivitas sel jamur.
Minyak atsiri sebagai salah satu metabolit sekunder yang memiliki aktivitas antifungal memiliki mekanisme kerja dengan cara mengganggu permeabilitas dari membran sel jamur. Gangguan permeabilitas dari membran sel jamur ini diperankan oleh salah satu komponen penting dari minyak atsiri yaitu fenolik. Membran sel jamur yang telah mengalami gangguan permeabilitas tersebut kemudian mati akibat kebocoran cairan intrasel.
Peneliti lain Lisangan et al. (2015) menunjukkan adanya kandungan fenolik pada minyak atsiri dalam ekstrak daun rumput kebar yang dapat menghambat pertumbuhan kapang. Fenolik pada daun mindi diduga dapat menghambat pertumbuhan kapang. Kumar et al. (2010) mengemukakan bahwa adanya komponen fenolik pada minyak atsiri Ocimum sanctum mampu mereduksi pertumbuhan kapang dan produksi AFB1.
Daun mindi memiliki kandungan zat aktif berupa azadirachtin, meliantriol, salanin, nimbin dan nimbidin yang dapat menekan pertumbuhan kapang (Schmutterer, 1995). Dan adanya senyawa flavonoid yang terkandung dalam daun mindi memiliki sifat yang efektif menghambat bakteri, virus dan kapang (Krisnata et al., 2014). Selain itu pada daun mindi juga terdapat paraisin, alkaloid, flavonoid, tanin, saponin, dan komponen-komponen minyak atsiri yang mengandung senyawa sulfida (Hillary et al., 2016). Senyawa minyak atsiri yang terkandung pada daun mindi memiliki potensi sebagai antikapang yang baik.
Selain itu pada daun mindi juga terdapat zat aktif berupa fenolik. Fenolik adalah senyawa antifungal yang mempunyai berbagai mekanisme penghambatan terhadap sel kapang. Penghambatan antifungal dapat disebabkan oleh perlekatan senyawa pada permukaan sel atau berdifusinya senyawa tersebut ke dalam sel kapang. Zat antifungal pada suatu bahan dapat menginaktivasi fungsi material genetik, yaitu dengan cara mengganggu pembentukan asam nukleat (DNA dan RNA). Gangguan pembentukan asam nukleat tersebut akan menyebabkan terhambatnya transfer informasi genetik yang selanjutnya akan menginaktivasi atau merusak materi genetik yang mengakibatkan terganggunya aktivitas sel kapang. Minyak atsiri sebagai salah satu metabolit sekunder yang memiliki aktivitas antifungal memiliki mekanisme kerja dengan cara mengganggu permeabilitas dari membran sel kapang. Gangguan permeabilitas dari membran sel kapang ini diperankan oleh salah satu komponen penting dari minyak atsiri yaitu fenolik. Membran sel kapang yang telah mengalami gangguan permeabilitas tersebut kemudian mati akibat kebocoran cairan intrasel.
Peneliti lain Lisangan et al. (2015) menyatakan adanya kandungan fenolik pada minyak atsiri dalam ekstrak daun rumput kebar dapat menghambat
pertumbuhan kapang. Kumar et al. (2010) mengemukakan bahwa adanya komponen fenolik pada minyak atsiri.
Senyawa flavonoid memiliki kecenderungan dalam mengikat protein sehingga menggangu proses metabolisme (Poeloengan et al., 2010). Cara kerja senyawa zat aktif menghambat pertumbuhan Aspergillus flavus adalah dengan mengganggu proses terbentuknya membran atau dinding sel, sehingga pertumbuhan hifa di dalam jagung dapat terhambat. Sesuai dengan pendapat Sudjaswadi (2006) menyatakan bahwa efektifitas senyawa antifungi dipengaruhi oleh karakter dinding sel atau membran sel dari kapang tersebut.
Pengaruh Pemberian Tepung Daun Mindi terhadap Kadar Air
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pemberian tepung daun mindi ke dalam jagung pipilan selama penyimpanan terhadap kadar air jagung pipilan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Rataan persentase kadar air dengan pemberian tepung daun mindi setiap perlakuan selama penelitian
Perlakuan |
Kadar air (%) |
A (tanpa pemberian tepung daun mindi) |
17,30 |
B (pemberian 2,5% tepung daun mindi) |
17,13 |
C (pemberian 5,0% tepung daun mindi) |
17,20 |
D (pemberian 7,5% tepung daun mindi) |
16,80 |
SE |
0,15 |
Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa hasil analisis sidik ragam menunjukkan pemberian tepung daun mindi pada jagung pipilan berpengaruh tidak nyata (P>0.05) terhadap kadar air. Tidak berbedanya kadar air antar perlakuan disebabkan karena wadah penyimpanan, lama penyimpanan, kadar air sebelum disimpan, suhu dan kelembaban dari semua perlakuan sama. Menurut William (1991) yang dapat mempengaruhi biji-bijian dalam penyimpanan adalah lama penyimpanan, metode penyimpanan, kadar air bahan, suhu dan kelembaban.
Walaupun antar perlakuan kadar air tidak berbeda nyata akan tetapi jika dibandingkan kadar air sebelum penyimpanan terjadi penurunan, dimana kadar air jagung sebelum disimpan yaitu sebesar 20% dan setelah disimpan terjadi penurunan kadar air.
Menurunnya kadar air setelah disimpan selama 4 minggu disebabkan karena terjadinya penguapan dari jagung tersebut melalui pori-pori dari wadah penyimpanan.
Pengaruh Pemberian Tepung Daun Mindi terhadap Kandungan Aflatoksin
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pemberian tepung daun mindi ke dalam jagung
pipilan selama penyimpanan terhadap kandungan aflatoksin jagung pipilan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Rataan kandungan Aflatoksin dengan pemberian tepung daun mindi setiap perlakuan selama penelitian
Perlakuan |
Aflatoksin ( Ppb) |
A (tanpa pemberian tepung daun mindi) |
150,75a |
B (pemberian 2,5% tepung daun mindi) |
49,00b |
C (pemberian 5,0% tepung daun mindi) |
52,75b |
D (pemberian 7,5% tepung daun mindi) |
34,25b |
SE |
6,69 |
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01)
Pada Tabel 3 terlihat kandungan aflatoksin berkisar dari 34,25 sampai 150,75 ppb. Hasil analisis keragaman menunjukkan adanya pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap kandungan aflatoksin dengan pemberian tepung daun mindi. Berdasarkan uji lanjut DMRT diketahui bahwa perlakuan A (tanpa pemberian tepung daun mindi) mengandung aflatoksin yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Kandungan aflatoksin didapatkan sebesar 150,75 ppb meningkat sebesar 27,05% dibandingkan sebelum penyimpanan. (110 ppb).
Tingginya kandungan aflatoksin yang didapat atau terjadinya peningkatan kandungan aflatoksin disebabkan karena tidak ada zat aktif yang dapat menghambat enzim untuk memproduksi biosintesis aflatoksin sehingga pembentukan aflatoksin terbentuk. Selain itu adanya pertumbuhan kapang untuk memproduksi aflatoksin. Tingginya pertumbuhan kapang juga dapat meningkatkan kandungan aflatoksin. Kumar et al. (2010) dan Tian et al. (2011) menyatakan bahwa ada korelasi langsung antara pertumbuhan kapang dan produksi aflatoksin B1. Pertumbuhan miselium berkorelasi dengan sintesis enzim yang berperan dalam produksi aflatoksin B1 sehingga pertumbuhan miselium yang lebat pada Aspergillus flavus menyebabkan produksi aflatoksin menjadi tinggi. Peneliti sebelumnya Ito (2017) telah mengambil sampel jagung yang berasal dari PT Japfa Comfeed Tbk Cabang Padang dan telah mengidentifikasi kapang yang terkandung dalam jagung tersebut seperti kapang Aspergillus flavus, A. parasiticus dan Penicilium citrinum, kapang-kapang tersebut merupakan kapang yang umum menghasilkan aflatoksin.
Pemberian tepung daun mindi dengan level 2,5 sampai 7,5% dalam jagung pipilan dapat menurunkan kandungan afaltoksin sampai 79%. Hal ini merupakan suatu temuan baru karena jagung yang sudah ada kandungan aflatoksinnya dapat diturunkan. Biasanya kandungan aflatoksin tidak dapat diturunkan akan tetapi hanya dihambat pertumbuhan kapang sehingga tidak menghasilkan racun berupa aflatoksin. Dalam
penelitian ini tepung daun mindi yang digunakan mempunyai dua kemampuan yaitu pertama mampu menghambat pertumbuhan kapang penyebab aflatoksin dan yang kedua mampu menekan atau menurunkan aflatoksin yang ada. Kemampuan tersebut disebabkan karena ada zat aktif dari tepung daun mindi tersebut yang dapat menghambat enzim untuk memproduksi biosintesis aflatoksin sehingga pembentukan aflatoksin tidak terjadi, karena daun mindi memiliki sifat inhibitor terhadap aflatoksin (Gunamalai dan Vanila, 2015).
Penurunan kandungan aflatoksin ini juga disebabkan karena tidak adanya terdapat pertumbuhan kapang pada jagung pipilan sehingga tidak terjadi pula produksi aflatoksin. Sesuai dengan pendapat Goldblat (1969) yang menyatakan bahwa pembentukan aflatoksin akan terus meningkat jika kapang bertambah banyak dan waktu penyimpanan yang lama.
Penghambatan produksi aflatoksin tidak selalu disebabkan oleh pertumbuhan kapang yang tereduksi tetapi dapat disebabkan oleh penghambatan katabolisme karbohidrat dengan cara mempengaruhi beberapa enzim yang pada akhirnya menurunkan kemampuan Aspergillus flavus untuk memproduksi aflatoksin B1 (Tatsadjieu et al., 2009). Pitt (1993) mengemukakan bahwa penghambatan produksi aflatoksin mungkin disebabkan oleh enzim yang dilepaskan saat terjadi lisis pada miselium kapang. Namazi et al. (2002) menyatakan kerusakan miselium dan konidium kapang merupakan salah satu ciri proses deaktivasi aflatoksin.
Kandungan zat aktif yang terdapat pada daun mindi seperti azadirachtin, salanin, nimbin nimbidin paraisin, alkaloid, flavonoid, tanin, fenolik, saponin, dan komponen-komponen minyak atsiri yang mengandung senyawa sulfida. Minyak atsiri yang terdapat pada tepung daun mindi dapat menurunkan kandungan aflatoksin. Peneliti lain Lisangan (2015) melakukan penelitian tentang aktivitas antiaflatoksin B1 ekstrak daun rumput kebar (Biophytum petersianum) terhadap Aspergillus flavus dapat menghambat AFB1 sebesar 99,2%. Ekstrak daun rumput kebar mengandung senyawa fenolik yang merupakan salah satu penyebab penghambatan produksi AFB1.
Kumar et al. (2010) mengemukakan bahwa adanya komponen fenolik pada minyak atsiri mampu mereduksi pertumbuhan kapang dan produksi AFB1. Penghambatan produksi aflatoksin oleh komponen fenolik juga dikemukakan oleh Kim et al. (2006) yang menyatakan bahwa mitokondria berperan dalam penyediaan asetil-CoA yang merupakan prekursor utama dalam biosintesis aflatoksin. Kerusakan rantai respirasi mitokondrial yang disebabkan oleh komponen fenolik merupakan bagian dari
penghambatan produksi aflatoksin.
Hal ini mengindikasikan bahwa tepung daun mindi tidak hanya mampu menghambat pertumbuhan kedua isolat Aspergillus flavus tetapi juga mampu menghambat produksi AFB1. Penelitian lain Ediningsih et al. (2016) meneliti tentang penanganan aflatoksin pada bahan pangan dengan menggunakan minyak atsiri daun kunyit dengan penggunaan 1,5 % v/v dapat menghambat aflatoksin B1 dan G1 sebesar 100%. Daya hambat minyak atsiri terjadi pada saat proses biosintesis aflatoksin yang melibatkan peroksidasi lemak dan oksigenisasi. Minyak atsiri melindungi sel dari aflatoksin dengan cara mengurangi pembentukan ikatan DNA aflatoksin dan bereaksi dengan spesies oksigen reaktif.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian tepung daun mindi dapat mempertahankan kualitas jagung pipilan selama penyimpanan, dengan memperlihatkan tidak adanya biji rusak, biji berkapang. Pemberian tepung daun mindi sebesar 2,5% mampu menurunkan kandungan aflatoksin sebesar 65,45%.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pemberian tepung daun mindi (Melia azedarach Linn) dibawah 2,5% untuk penyimpanan jagung pipilan lebih dari 1 bulan. Serta perlu juga uji ke ternak unggas untuk melihat respon ternak yang mengkonsumsi jagung yang aflatoksinnya dapat diturunkan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih diberikan kepada PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk Padang yang telah memberikan jagung sortiran pabrik dengan kadar air 20% dan kandungan aflaktoksin 110 ppb untuk dimanfaatkan dalam penelitian. Serta terima kasih juga atas kesempatan yang diberikan untuk analisa kadar air dan uji kandungan aflatoksin di pabrik tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Ediningsih., W. Rusbianto dan Balittro. 2016. Penanganan aflatoksin pada bahan pangan. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. 22(3): 7-12.
Fardani, C. 2009. Uji efikasi beberapa fungisida nabati untuk mengendalikan hawar daun
(Helminthosporium maydis Nisik.) pada beberapa varietas jagung (Zea mays L.) di Lapangan. Skripsi. Universitas Sumatera Utara, Medan.
Francis, B. J. and J. F. Wood. 1982. Changes in The Nutritive Content and Value of Feed Concentrate During Storage. In: M. Rechigl (Ed). Handbook of Nutritive Value of Processed Food, CRC Press, Florida.
Goldblatt, L. A. 1969. Aflatokxin Scientific Background, Control and Implication. Academic Pr, New York.
Gunamalai, L., D. Vanila. 2015. Insilico targeting biosynthetic pathway of aflatoxin synthesis using the secondary metabolites of Azadirachta indica. International Journal of Pharmaceutical and Clinical Research. 7(1): 5-8
Hillary, L., Mustamu., E., Evacuasiany., L. K. Liana. 2016. The ethanol extract of neem leaf (Azadirachta Indica A. Juss) effect towards wound healing in male swiss webster mice. Journal of Medicine and Health, 1 (3) : 57-60.
Ito, R. P. 2017. Pengaruh penambahan zat anti cendawan terhadap tingkat kontaminasi Aspergillus parasiticus pada jagung. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas Andalas, Padang.
Kim, J. H., N. Mahone., K. L. Chan., R. Molyneux., dan B. C. Campbell. 2006. Controlling foodcontaminating fungi by targeting antioxidant stress-response system with natural phenolic compounds. Applied Microbiology and Biotechnology. 70(3): 735-739.
Krisnata, B. A., Y. Rizka dan D. Mulawarmanti. 2014. Daya hambat ekstrak daun mangrove (Avicennia marina) terhadap pertumbuhan bakteri Mixed periodontopatogen. Jurnal Kedokteran Gigi. 8(1) : 22-25.
Kumar, A., R. Shukla., P. Singh dan N. K. Dubey. 2010. Chemical composition, antifungal and antiaflatoxigenic activities of Ocimum sanctum L. essential oil and its safety assessment as plant based antimicrobial. Food and Chemical Toxicology 48: 539-540.
Lisangan, M. M., R. Syarief., W. P. Rahayu dan O. S. Dharmaputra. 2015. Antifungal activity of kebar grass leaf extracts on the growth of aflatoxigenic Aspergillus flavus in food model media. International Journal of Sciences: Basic and Applied Research. 17(2) : 116-128.
Namazi, M., A. Allameh., M. Aminshahidi., A. Nohee dan F. Malekzadeh. 2002. Inhibitory effect of ammonia solution on growth and aflatoxin production by Aspergillus parasiticus NRRL-2999. Acta Poloniae Toxicologica. 10: 65-72.
Natural Resources Institute. 1991. Insects and
Arachnids of Tropical Stored Products : their biology and Identification (A Training Manual). Ed. C. P. Haines. Second Edition. Central Avenue, Chatham Maritime, Kent ME4 4TB, United Kingdom. 246p.
Pitt, R. E. 1993. A descriptive model of mold growth and aflatoxin formation as affected by environmental conditions. Journal of Food Protection 56: 139146.
Poeloengan., Masniari., Praptiwi. 2010. Uji aktivitas antibakteri ekstrak kulit buah manggis(GarniciamangostanaLinn).(http:// digilib.litbang.depkes.go.id/files/disk1/74/ jkpkbppkgdlgrey2011masniaripo-3692-manggismi.pdf). Diakses 30 Juli 2018.
Sanders, T. H., R. J. Cole., P. D. Blakenshep and J. W. Dorner. 1993. Aflatoxin contamination of peanuts from plants drought stressed in pod or root zones. Peanut Sci. 20(3): 5–8.
Schmutterer, H. 1995. The neem tree azadirachta indica A. Juss and other meliaceous plants : sources of uniques natural produts fori integrated pest management, medicine, industry, and other purpose. VCH, New York; Basel; Weinham; Cambridge; Tokyo. 35(2): 1-10.
Sudjaswadi, R. 2006. Peningkatan efek bakteriostatika dispersi padat tetrasiklin HCI-Polieten Glikol 6000 – tween 80. Majalah Farmasi Indonesia. 17 (12) : 98 – 103.
Tangendjaja, B. dan E. Wina. 2014. Limbah Tanaman dan Produk Samping Industri Jagung untuk Pakan. Balai Penelitian Ternak, Bogor.
Tatsadjieu, N. L., P. M. J. Dongmo., M. B. Ngassoum., F. X. Etoa dan C. M. F. Mbofung. 2009. Investigations on the essential oil of Lippia rugosa from Cameroon for its potential use as antifungal agent against Aspergillus flavus Link ex. Fries. Food Control 20: 161-166.
Tian, J., X. Ban., H. Zeng., J. He., B. Huang dan Y. Wang. 2011. Chemical composition and antifungal activity of essential oil from Cicuta virosa L. var. latisecta Celak. International Journal of Food Microbiology 145: 464-470.
Williams, P. C. 1991. Storage of Grains and Seeds. Di dalam : Mycotoxin and Animal Food. CRG Press Inc, Boca Raton, Florida.
Yusmani dan Sumartini. 2001. Identifikasi Bahan Nabati Untuk Pengendalian Penyakit Karat Pada Kedelai. Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian, Malang.
Zeringue, H.J. and Bhatnagar, D. 1994. Effects of neem leaf volatiles on submerged cultures of aflatoxigenic Aspergillus parasiticus. Applied and Environmental Microbiology, 60(10), 35433547.
75
Discussion and feedback