pastura Vol. 8 No. 2 : 76 - 80

p-ISSN 2088-818X e-ISSN 2549-8444

PRODUKSI DAN KUALITAS HIJAUAN KACANG KUPU (Clitoria ternatea) YANG DIPANEN PADA UMUR 60, 75 DAN 90 HARI

I G. N. Jelantik1), T. T. Nikolaus1), C. Leo Penu2), Gemini E. M. Malelak1) dan Imanuel Benu1) 1)Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana, 2)Politeknik Pertanian Kupang Alamat : Jl. Adisucipto Penfui, Kupang NTT, Indonesia 85001, Email: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian dilaksanakan dengan tujuan untuk mengkaji produksi dan nilai nutrisi C. ternatea yang dipanen pada umur 60, 75 dan 90 hari setelah panen. C. ternatea ditanam pada 18 petak dengan ukuran 3 × 3 m2 dengan jarak tanam 40 × 20 cm dengan 3-4 biji per lubang tanam. Hijauan dipanen pada umur 60, 75 dan 90 hari setelah tanam sebagai perlakuan dengan masing-masing 6 ulangan. Variabel yang diukur adalah produksi hijauan, komposisi kimia hijauan dan kecernaan in vitro bahan kering dan bahan organik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan (P>0,05) produksi hijauan C.ternatea yang dipanen pada umur 60, 75 dan 90 hari setelah tanam. Sementara itu, rasio daun:batang menurun (P<0,05) dengan meningkatnya umur tanaman. Kandungan protein hijauan yang dipanen pada umur yang berbeda tidak nyata antara umur panen tetapi nilai energi yang ditunjukkan oleh kecernaan in vitro bahan organik lebih tinggi pada hijauan yang dipanen pada 60 hari dibandingkan dengan 75 dan 90 hari setelah tanam. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa waktu terbaik untuk memanen C. ternatea untuk digunakan sebagai pakan suplemen pedet adalah pada umur 60 hari setelah tanam.

Kata kunci: Clitoria ternatea, kecernaan bahan organik in vitro, energi, supplemen pedet

FORAGE PRODUCTION AND NUTRITIVE VALUE OF (Clitoria ternatea) HARVESTED AT 60, 75 AND 90 DAYS AFTER PLANTING

ABSTRACT

The purpose of this experiment was to investigate herbage production and nutritive value of C. ternatea harvested at 60, 75 and 90 days after planting. The legume was planted in eighteen of 3 × 3 m2 plots at 40 × 20 cm2 . Forage was harvested at 60, 75 and 90 days after planting as treatmens. Variables measured included forage production, nutrient content and in vitro dry matter and organic matter digestibility. Herbage production was not significantly different (P>0.05) when harvested at different stages of growth. Leaf : stem ratio, however, declined (P<0.05) with advancing growth stage. Forage quality in terms of crude protein content was comparable (P>0.05) among different harvest time. Meanwhile the energetic value as shown by in vitro organic matter digestibility (IVOMD) was significantly higher (P<0.05) when C. ternatea was harvested 60 days compared to 75 and 90 days after planting. It can be concluded that for calf supplement, C. ternatea is preferably harvested at 60 d after planting.

Key words : Clitoria ternatea, IVOMD, energy, calf supplement

PENDAHULUAN

Teknologi suplementasi langsung pada pedet (pasupet) yang dikembangkan selama ini terbukti secara meyakinkan mampu menekan angka kematian dan sekaligus meningkatkan pertumbuhan dan kualitas bakalan. Mortalitas pedet menurun dari 17,8-35% menjadi di bawah 3% (Jelantik et al., 2008; Copland et al., 2010). Disamping itu, aplikasi pasupet juga melipatgandakan pertambahan berat badan pedet selama periode menyusui (Jelantik et al., 2010), ukuran linier tubuh (Leo-Penu et al., 2008)

dan berat sapih dan berat bakalan (Copland et al., 2010). Hasil kajian selanjutnya juga mencatat bahwa keunggulan pertambahan berat badan pedet tersebut tetap dipertahankan bahkan setelah ternak tersebut tidak lagi mengkonsumsi pakan suplemen (Mullik et al., 2010) dan selama periode penggemukan (Jelantik et al., 2011).

Namun demikian hingga saat ini adopsi teknologi pasupet oleh masyarakat masih belum optimal (Parker et al., 2013). Faktor-faktor seperti keterbatasan ketersediaan dan harga pasupet ditingkat peternak, teknik aplikasi yang membutuhkan pemisahan pedet

disinyalir sebagai salah satu penyebab rendahnya laju adopsi teknologi ini oleh peternak walaupun persepsi peternak sebenarnya sangat baik (Jermias et al., 2010) dan secara ekonomis sangat feasible (B/C ratio 6,47) (Sogen et al., 2010; Copland et al., 2010).

Upaya untuk meningkatkan adoptabilitas teknologi pasupet telah dilakukan oleh Jelantik et al. (2014) dengan menggantikan sebagian pakan suplemen konsentrat dengan leguminosa herba seperti kacang nasi, siratro dan Clitoria ternatea yang dapat dihasilkan sendiri oleh peternak tanpa harus membeli dari pasaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggantian 60% pakan suplemen menghasilkan pertambahan berat badan yang setara dengan pakan suplemen konsentrat. Clitoria ternatea paling prospektif digunakan sebagai bahan dasar pasupet karena produksi dan kualitas hijauan yang tinggi karena produksi hijauan tertinggi dibandingkan dengan leguminosa lainnya (Jelantik et al., 2014). Tanaman Clitoria ternateae mengandung protein berkisar 21-29%, energi kasar 18,6 MJ/kg, kecernaan bahan organik 69,7%, kecernaan energi 66,6% dan energi termetabolis pada ruminan 12,4 MJ/ kg. Sedangkan kandungan protein kasar (25-38%), lemak kasar (10%) dan gula pada biji (5%), sehingga tanaman ini berpotensi sebagai sumber protein dan energi untuk ternak ruminansia. Ketika dipanen pada fase awal pembungaan (sekitar 60-75 hari setelah tanam), sebanyak 6,05 ton BK dihasilkan dari 1 hektar tanaman C. ternatea (Jelantik et al., 2015b). Namun demikian untuk mengoptimalkan pemanfaatan C. ternatea sebagai pakan dasar pasupet dibutuhkan informasi tentang umur panen yang tepat untuk menghasilkan pakan berkualitas tinggi mengingat dengan rumen yang masih dalam perkembangan maka hijauan yang diberikan harus berkualitas tinggi yang ditunjukkan dengan kecernaan yang tinggi (Davis dan Drackely, 1998; Donelly dan Hutton, 1976) dan tingkat pemanfaatan energi termetabolis juga harus tinggi yaitu lebih dari 86% (Gerrit et al., 1996). Penelitian ini ditujukan untuk mengkaji perubahan produksi dan kualitas hijauan C. ternatea menurut umur panen yang berbeda.

MATERI DAN METODE

Penanaman C. ternatea dilakukan pada tanah aluvial di Desa Noelbaki, Kabupaten Kupang pada Juni 2015. Lahan disemprot dengan herbisida dan dibajak serta digemburkan dan dibuat petakan tanam. Biji C. ternatea ditanam dengan pola tanam 20 × 40 cm pada 12 petak berukuran 3 × 3 m2 dengan jarak 60 cm antar petak mengikuti rancangan acak lengkap. Hijauan dipanen pada umur pemotongan 60, 75 dan 90 hari setelah tanam . C. ternatea

pada setiap petak dipanen pada cuplikan seluas 50 × 50 cm dengan ketinggian potong 5 cm dari permukaan tanah. Hijauan hasil pemotongan segera dimasukkan ke dalam amplop kertas, ditimbang segar dan dimasukkan ke dalam oven selama lebih dari 12 jam sampai mencapai berat konstan. Hijauan kemudian dipilah menurut daun, batang dan buah dan ditimbang. Total produksi hijauan dan bagian-bagiannya (batang, daun dan buah) ditentukan berdasarkan bahan kering. Sebanyak 150 gram sampel diambil dan selanjutnya digiling dan disimpan untuk analisis kandungan nutrisi dan kecernaan bahan kering dan bahan organik.

Kandungan protein kasar, lemak, bahan organik, serat kasar dan NFE ditentukan pada semua bahan pakan yang akan digunakan dalam penelitian ini. Kandugan protein kasar akan dianalisis menurut metode Kjeldahl. Lemak ditentukan setelah ekstraksi dengan petrolium ether. Kandungan serat kasar diperoleh setelah ekstraksi berturut-turut dengan larutan asam dan basa. Semua metode analisis yang dilakukan mengikuti prosedur standard AOAC (1990). Nilai energi kasar (gross energy, GE) dari masing-masing hijauan yang dihasilkan dihitung berdasarkan nilai energi dari kandungan nutrisinya yaitu kandungan protein, karbohidrat dan lemak. Sementara itu kecernaan bahan kering dan bahan organik dievaluasi dari kandungan kimia (protein, lemak dan karbohidrat) dari bahan pakan tersebut dan kecernaan bahan organik yang ditentukan secara in vitro. Teknik dua tahap Tilley dan Terry (1963) digunakan untuk mengetahui kecernaan bahan organik masing-masing pakan. Pada tahap pertama, 0,5 gram contoh pakan diinkubasi dengan 50 ml campuran antara larutan buffer dan cairan rumen di dalam water bath pada suhu 38-39oC selama 48 jam bersama sama dengan 2 blank dan 2 sampel standar. Selama 48 jam tersebut dilakukan penggoyangan pada pagi dan sore hari selama masing-masing 5 menit atau sampai pakan yang mengendap pada dasar tabung kelihatan tercampur dengan baik dengan larutan. Pada akhir tahap pertama ini, 5 ml larutan 10% Na2CO3 ditambahkan pada setiap tabung dan disentrifuge selama 15 menit pada 2500 rpm. Supernantnya dikeluarkan dan 50 ml larutan pepsin-HCL ditambahkan pada setiap tabung dan kembali diinkubasi selama 48 jam (tahap kedua). Pada akhir tahap kedua ini, setiap tabung kembali disentrifuge selama 15 menit pada 2500 rpm. Endapan yang diperoleh kemudian ditransfer ke dalam cricible yang telah diketahui beratnya dan dikeringkan selama minimal 20 jam pada suhu 105oC sebelum kemudian ditimbang dan diabukan pada tanur selama 4 jam pada suhu 600oC (AOAC, 1990).

Data yang dikoleksi dianalisis menggunakan analysis of variance (Anova) menggunakan SPSS 23.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Umur Pemotongan Terhadap Produksi Hijauan C. ternatea

Informasi tentang perubahan produksi dan kualitas hijauan yang ditanam sangatlah penting untuk menghasilkan strategi panen, pemberiannya pada ternak dan penentuan pengawetan dan pengolahan yang dibutuhkan. Produksi hijauan terutama kualitas berubah menurut umr tanaman sesuai dengan perubahan umur fisiologis tanaman pakan dari fase vegetatif ke fase generatif dan senescen (Nelson and Moser, 1993). Produksi C. ternatea yang dipanen pada umur yang berbeda ditampilkan pada Tabel 1. Secara umum hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat produksi hijauan C. ternatea relatif cukup tinggi dan setara dengan hasil-hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya. C. ternatea memang dikenal sebagai salah satu leguminosa herba yang mempunyai karakateristik bertumbuh cepat dengan rata-rata pertumbuhan melebih 1 cm/hari dan dapat mencapai 44 cm dalam 40 hari (Jelantik et al., 2015a). Gomez and Khalamani (2003) melaporkan bahwa tanaman ini dapat bertumbuh mencapai 90 samapai 162 cm dalam 90 hari. Hasil penelitian Nullik et al. (2013) yang mengintegrasikan C. ternatea dengan jagung mendapatkan kuantitas hijauan mencapai 5 ton BK/ ha. Hasil yang sama juga diperoleh Jelantik et al. (2014) yang mendapatkan hijauan sebanyak 6 ton BK/ ha ketika dipanen pada periode awal pembungaan. Hijauan sebanyak itu, menurut peneliti dapat digunaka sebagai suplemen sebanyak 66 ekor pedet selama 4-6 bulan. Dengan produksi hijauan tersebut menempatkan C. ternatea sebagai spesies tanaman yang mempunyai potensi untuk dikembangkan di Nusa Tenggara Timur.

Tabel 1. Produksi hijauan C. ternatea yang dipanen pada umur yang berbeda

Parameter

Umur Pemotongan

SEM

P

60 Hari

75 Hari

90 Hari

Total produksi (ton BK/ha)

5,186

6,848

7,781

1,443

0,456

Proporsi (%) :

Daun

64,069a

57,216b

41,582c

1,739

<0,001

Batang

35,931

35,794

38,733

1,570

0,353

Buah

0,000a

6,990b

19,685c

1,764

<0,001

Leaf:stem ratio

1,790a

1,610a

1,101b

0,085

<0,001

Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan signifikan (P<0,05)

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa walaupun secara kuantitas tidak ada perbedaan antara umur pemotongan, akan tetapi terdapat perbedaan signifikan dalam hal proporsi bagian-bagian tanaman. Proporsi daun secara signifikan (P<0,05) menurun dengan meningkatnya umur tanaman. Hasil ini sejalan

dengan berbagai hasil penelitian sebelumnya yang umumnya menyimpulkan bahwa umur merupakan faktor dominan yang mempengaruhi morfologi tanaman (Nelson dan Moser, 1993). Proporsi daun pada umumnya menurun sedangkan batang pada umumnya meningkat dengan meningkatnya umur tanaman (Ugherughe, 1986). Dibandingkan dengan rumput, leguminosa mempunyai proporsi daun yang lebih tinggi dan menurun dengan penurunan yang lebih lambat ketika tanaman bertambah umur. Sebagai contoh, Twidlell et al. (1988) melaporkan bahwa proporsi daun pada rumput menurun dari 47% pada periode vegetatif menjadi 26% pada periode generatif. Sementara dalam penelitian ini, proporsi daun C. ternatea menurun dari 65% pada fase vegetatif menjadi 41% pada fase generatif.

Pengaruh Umur Pemotongan terhadap Kualitas Hijauan C. ternatea

Disamping produksi hijauan, evaluasi terhadap potensi C. ternatea sebagai pasupet juga sangat penting untuk dikaji bagaiman perubahan nilai nutrisi hijauan yang dihasilkan ketika ditanam secara tumpang sari dengan jagung. Dengan rumen yang masih dalam perkembangan hijauan yang diberikan harus berkualitas tinggi yang ditunjukkan dengan kecernaan yang tinggi (Davis dan Drackely, 1998; Donelly dan Hutton, 1976). Tingkat pemanfaatan energi termetabolis juga harus tinggi yaitu lebih dari 86% (Gerrit et al., 1996). Disamping itu, juga harus tidak mengandung antinutrisi. Gambaran nilai nutrisi hijauan C. ternatea yang dipanen pada umur yang berbeda Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan nutrisi hijauan C. ternatea yang dipanen pada umur yang berbeda

Parameter

Umur Pemotongan

SEM

P

60 Hari

75 Hari

90 Hari

Bahan kering (%)

19,637

15,567

16,547

1,392

0,178

Bahan Organik (%)

91,147a

83,157b

91,503a

0,531

<0,001

Protein kasar (%)

17,590

19,000

18,770

0,485

0,168

Lemak kasar (%)

5,940

6,633

6,607

0,455

0,514

Serat kasar (%)

26,977

26,773

26,270

1,053

0,890

Karbohidrat total (%)

67,613a

57,527b

66,127a

0,886

<0,001

Bahan extrak tanpa nitrogen (BETN) (%)

40,663a

30,753b

39,860a

1,516

0,006

Keterangan:

Nilai rataan yang diikuti oleh superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

SEM: Standad Error of Means Difference

Seperti ditunjukkan pada Tabel 2. secara umum komposisi nutrisi dan kecernaan hijauan C. ternatea relatif tidak berbeda (P>0,05) diantara semua perlakuan. Diantara semua komponen kimia, hanya fraksi karbohidrat mudah larut (BETN) dan bahan organik yang berbeda secara signifikan (P<0,05). Sementara itu, kandungan protein kasar hijauan

tidak signifikan menurun dengan bertambahnya umur tanaman. Padahal berbagai hasil penelitian terutama pada rumput secara konsisten mendapatkan penurunan signifikan dari kandungan protein. Penurunan tersebut terutama disebabkan oleh menurunnya kuantitas/ proporsi dan kualitas daun. Daun mengandung protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan batang (Hides et al., 1983). Sementara itu dalam penelitian ini, penurunan proporsi daun digantikan oleh peningkatan poporsi buah, sementara proporsi batang relatif tidak berubah dengan meningkatnya umur tanaman. Buah mengandung protein yang tidak jauh berbeda dengan daun, sehingga secara total kandungan protein tidak menurun dengan bertambahnya umur C. ternatea. Hal ini memberikan keuntungan tersendiri bagi peternak karena dapat memanen C. ternatea lebih lambat mungkin bersamaan dengan panen jagung jika tanaman ini ditumpangsarikan dengan jagung.

Walaupun lebih rendah dari laporan Gomez dan Khalamani (2003), level PK yang didapat dalam penelitian ini cukup tinggi untuk digunakan sebagai pakan suplemen pedet. Jelantik (2001) dan Copland et al. (2011) melaporkan bahwa pasupet dengan kandungan protein 16-18% cukup untuk menekan angka kematian dan melipatgandakan pertumbuhan pedet sapi bali. Hal yang sama disampaikan oleh Akayezu et al. (1994) dan Hill et al. (2007) bahwa 18% adalah level protein yang dibutuhkan dalam pakan padat pemula.

Walaupun kandungan protein relatif tidak menurun dengan meningkatnya umur tanaman, namun kecernaan bahan organik secara invitro menurun secara linier sejalan dengan bertambahnya umur C. ternatea. Kecernaan bahan organik in vitro adalah acuan utama evaluasi energi pada ternak ruminansia, sehingga kualitas energi terbaik dari C. ternatea diperoleh ketika dipanen pada umur 60 hari.

Tabel 3. Pengaruh umur pemotongan terhadap kecernaan bahan kering dan bahan organik C. ternatea

Parameter

Umur Pemotongan

SEM

P

60 Hari

75 Hari

90 Hari

Bahan Kering (%)

71,833a

70,363ab

70,180b

0,429

0,065

Bahan Organik (%)

77,103a

73,610b

71,887c

0,301

<0,001

Keterangan:

Nilai rataan yang diikuti oleh superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

SEM: Standad Error of Means Difference

SIMPULAN

C. ternatea memproduksi hijauan dalam kuantatias memadai untuk digunakan sebagai pakan suplemen pedet. Produksi hijauan relatif tidak meningkat dengan panen pada umur yang lebih lambat tetapi proporsi daun menurun diikuti oleh peningkatan proporsi buah ketika tanaman sudah memasuki fase

generatif. Kandungan protein relatif tidak menurun tetapi kualitas energi menurun secara signifikan dengan bertambahnya umur tanaman. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa waktu terbaik untuk memanen C. ternatea adalah pada umur 60 hari setelah tanam ketika tanaman masih dalam periode vegetatif sampai awal fase pembungaan.

DAFTAR PUSTAKA

Akayezu, J.M., J. G. Linn, D. E. Otterby, W.P. Hansen, and D. G. Johnson. 1994 Evaluation of calf starters containing different amounts of crude protein for growth of Holstein calves. Journal of Dairy Science, 77, 1882-1889.

Bamualim, A. B., R. B. Wirdahayati and A. Saleh. 1990. Bali cattle production from Timor island. Research report, BPTP, Lili, Kupang.

Copland, R. S., I G. N. Jelantik, and M. L. Mullik. 2011. Evaluating Strategies to Improve Calf Survival in West Timor Vilages. ACIAR GPO Box 1571, Canberra ACT 2601 Australia.

Dalgliesh, N. P., E. Budisantoso, T. Darbas, Y. Ngongo and J. Whish. 2008. Developing a strategy for improved crop and animal production in the semi-arid tropics of West Timor. Proceedings of 14th Australian Agronomy Conference, Adelaide 2008.

Donnelly, P. E and J. B. Hutton. 1976. Effects of dietary protein and energy on the growth of Friesian bulls calves. I. Food intake, growth, and protein requirements. N. Z. J. Agric. Res. 19: 289-297.

Gerrits, W. J. J., G. H. Tolman, J. W. Schrama, S. Tamminga, M. W. Bosch, and M. W. A. Verstegen.

1996. Effect of protein and protein-free energy intake on protein and fat deposition rates in prerumninant calves of 80 to 240 liveweight. J. Anim. Sci. 74: 2129-2139.

Hides, D. H, J. A. Lovatt, and M.Y. Hayward. 1983. Influence of stage of maturity on the nutritive value of Italian ryegrasses. Grass Forage Sci. 38:33-38.

Jelantik, I. G. N., M. L. Mullik, C. Leo-Penu, J.

Jeremias and R. Copland. 2008. Improving calf survival and performance by supplementation in Bali cattle. Australian Journal of Experimental Agriculture. Volume 48 Issue 6-7 pp. 950-953.

Jelantik, I G. N., T. T. Nikolaus, C. L. Penu and J.

Jeremias. 2015. Herbage production and nutritive value of some forage legumes as calf supplement. Proceeding 3rd International Seminar on Animal Industry. Pp. 141-144.

Jeremias, J.A., D. R. Tulle, C. Leo-Penu, and I G. N.

Jelantik. 2010. Tingkat pendapatan peternak pada penggemukan sapi bali dengan sistem bagi

hasil di Kabupaten Kupang. Partner. Vol 17 (1) : 43-50.

Lalles, J. P., 1993 Nutritional and antinutritional aspects of soybean and field pea protein used in veal calf production: a review. Livest. Prod. Sci. 34: 181-202.

Mullik, M. L., dan I G. N. Jelantik. 2009. Strategi peningkatan produktivitas sapi Bali pada sistem pemeliharaan ekstensif di daerah lajan kering: pengalaman Nusa Tenggara Timur. Dalam : Proseding Seminar Nasional Pengembangan Sapi Bali Berkelanjutan dalam Sistem Peternakan Rakyat. Mataram, 28 Oktober 2009.

Mullik, M. L, dan I G. N. Jelantik. 2010. Strategi peningkatan produktivitas sapi Bali pada sistem pemeliharaan ekstensif di daerah lajan kering: pengalaman Nusa Tenggara Timur. Dalam : Proseding Seminar Nasional Pengembangan Sapi Bali Berkelanjutan dalam Sistem Peternakan Rakyat. Mataram, 28 Oktober 2009.

Nelson, C.J., and L. E. Moser. 1993. Plant factors affecting forage quality. In : GC Fahey Jr (ed) Forage Quality, evaluation and Utilisation. Am. Soc. Agronomy, Wisconsin, USA.

Parker, A., R. Copland, T. Schatz, C. L. O. Leo Penu, M. L. Mullik, I G. N. Jelantik, and I. Benu. 2012.

Improving Calf Survival and Growth Rates for The Beef Supply Chain in Indonesia. ACIAR, Canberra, Australia.

Sogen, J.G., A. A. Nalle, F. L. Benu, and R. S. Copland. 2010.The Economic Benefits of Improved Calf Survival and Growth Through Supplementing Bali Cattle Calves (Bos Sondaicus) in West Timor Villages, Indonesia. Animal Production in Australia. Vol. 28.: 13.

Tilley, J. M. A. and R. A. Terry. 1963. A two-stage technique for the in vitro digestion of forage crops. J. Br. Grassl. Soc. 18: 104-109.

Twidlell, E.K., K.D. Johnson, J.H. Cherney and J.J. Volenec. 1988. Forage quality end dgestion kinetics of switchgrass herbage and morphological components. Crop Sci. 28. 28:778-782.

Ugherughe, P.O. 1993. Relationship between digestibility of Bromus inermis plant parts. J. Agron. Crop Sci. 157: 136-143.

Wirdahayati, R. B. 1989. The productivity of Bali cattle on native pastures in Timor island, the province of East Nusa Tenggara. Laporan Penelitian, BPTP, Lili, NTT.

Van Soest, P. J. 1994 Nutritional Ecology of the Ruminant. 2nd ed. Cornell Univ. Press. Ithaca and London.

80