pastura Vol. 3 No. 2 : 84 - 87

ISSN : 2088-818X

KERAGAAN PASTURA Brachiaria humidicola (Rendle) Schweick PADA SISTEM PENGGEMBALAAN DAN STOCKING RATE BERBEDA DI LAHAN PERKEBUNAN KELAPA

Selvie D. Anis1, M.A. Chozin2, M. Ghulamahdi2, Sudradjat2dan H. Soedarmadi3

1DepartemenNutrisidanMakananTernakFakultasPeternakan UNSRAT, Manado.

  • 2Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB, Bogor.

  • 3DepartemenMakananTernakdanTeknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB, Bogor

ABSTRAK

Integrasi pastura dan ternak sapi ke dalam sistem pertanian berbasis kelapa diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan lahan secara berkelanjutan. Percobaan ini bertujuan mempelajari pengaruh stocking rate dan sistem penggembalaan terhadap keragaan pastura. Penelitian ini telah dilakukan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain (BALITKA) Manado sejak Juli 2009 sampai Juni 2010. Perlakuan terdiri dari dua sistem penggembalaan dan tiga stocking rate diatur dalam pola petak terpisah yang didasarkan pada rancangan acak kelompok (RAK). Variabel yang diukur adalah jumlah tanaman induk, jumlah ground tiller, jumlah aerial tiller, bobot akar dan bobot crown. Hasil percobaan menunjukkan bahwa semua parameter keragaan pastura yang terbaik diperoleh pada interaksi antara sistem penggembalaan rotasi (SP2) dan stocking rate 2,31 UT (SR3).

Kata kunci : keragaan, B.humidicola, sistem penggembalaan, stocking rate

ABSTRACT

Integrated pasture and livestock in coconuts based farming systems were expected to enhance the efficiency and the sustainability of land utilization. The aim of this experiment was to studies the effects of stocking rate and grazing systems on performance of pasture. This experiment was conducted at Coconut and Others Palma Research Center (BALITKA) Manado since July 2009 until June 2010. Two grazing system and three stocking rate were put on Split Plot arrangement based on randomized block design (RBD). Measured variables were number of mother plant, ground tiller, aerial tiller, weight of dry roots and crown. The results shows that all highest performances measured were found on the interaction of rotational grazing system (SP2) and stocking rate 2,31 AU (SR3).

Key word: performance, B.humidicola, grazing system, stocking rate

PENDAHULUAN

Frekuensi defoliasi akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan produksi biomassa bahan kering hijauan di atas tanah (Flemmer et al., 2002) dan pada tekanan penggembalaan berat akan terjadi pengurangan absorbsi unsur hara yang dapat mengancam pemulihan jaringan fotosintesis (Dawson et al., 2000), bahkan gangguan kehidupan perakaran dan kematian akar (Mousel et al., 2005). Namun demikian laporan terbaru menunjukkan naiknya frekuensi defoliasi tidak berpengaruh terhadap produksi dan dinamika akar, sebaliknya menaikan konsentrasi (%) dan kandungan TNC (g/tanaman) dalam crown dan akar (Gittins et al.,2010). Sebelumnya, Gao et al. (2007) melaporkan bahwa penggembalaan berat 2,9 Yaks/ha menghasilkan rasio biomassa akar/ pucuk lebih tinggi dari pada penggembalaan ringan 1,2 Yaks/ha dan medium 2,0 Yaks/ha. Naiknya translokasi biomassa komponen akar rumput adalah respons adaptasi tanaman terhadap perenggutan pada gilirannya akan mendukung terjadinya restorasi tanaman setelah direnggut (Wang et al., 2003).

Ketika terjadi defoliasi atau perenggutan bagian

pucuk tanaman akan menyebabkan kehilangan unsur nitrogen, yang menyebabkan terjadinya ketidak seimbangan kedua unsur tersebut. Untuk menjaga tanaman berada dalam keadaan homeostatis, secara otomatis tanaman akan melepaskan unsur karbon ke lingkungan risosfer melalui eksudat akar (Manske, 2001; Kuzyakov 2002; Mousel et al., 2003). Eksudat akar mengandung glukosa dan asam amino yang optimal, akan menjadi pilihan utama untuk pertumbuhan bakteri (Kuzyakov 2002).

Pada umumnya rerumputan pakan tropis selalu menghasilkan biomassa hijauan berlimpah. Namun tanpa manajemen penggembalaan yang benar akan terjadi akumulasi material mati yang dapat menghambat ternak untuk merumput (Sollenberger dan Burns, 2001). Intensitas defoliasi atau perenggutan yang optimum berbeda untuk setiap jenis rumput, dan sebagai contoh untuk jenis limpograss (Hemarthria altissima) dapat memenuhi kebutuhan ternak dan memberi keragaan ternak terbaik pada struktur pastura dengan tinggi kanopi 40 cm, sebagai ukuran tinggi tanaman yang terjangkau oleh ternak untuk direnggut dengan ditandai suplai hijauan tertinggi (Newman et a.l, 2002). Tinggi tunggul yang tersisa 30 cm setelah

digembalakan menghasilkan komponen daun lebih banyak dan memberikan efisiensi penggembalaan 80%, lebih tinggi dibandingkan 68% pada tinggi tunggul 50 cm pada rumput P. maximum (Carnevalli et al.,2006), demikian juga dilaporkan pada jenis rumput Brachiaria yang lebih sering digembalai, efisiensinya lebih tinggi dibandingkan dengan yang kurang digembalai (CIAT, 2006).

Pengaruh sistem penggembalaan terhadap produksi ternak tidak sebesar pengaruh stocking rate (SR). Sistem penggembalaan rotasi dapat menyajikan hijauan yang lebih seragam, tumbuh relatif pendek tetapi berdaun muda dan bergizi, serta lebih disukai dan dipilih ternak (Mayne et al., 2000). Pada sistem penggembalaan rotasi dengan SR tinggi, memberikan kenaikan hasil susu sapi per induk sebesar 16%, dibandingkan dengan hanya 4% pada SR rendah,demikian juga pertambahan berat badan harian ternak sapi lebih tinggi pada rumput B. humidicola dengan naiknya SR (Pereira et al., 2009).

Penentu utama jumlah hijauan yang terenggut per hari oleh ternak sapi adalah bobot hijauan per renggutan. Volume tersebut ditentukan oleh tinggi rendahnya kanopi pastura, sebagai akibat dari perbedaan SR (Newman et al, 2002; Carnevalli et al.,2006) dimana tinggi kanopi pastura antara 8-10 cm memberikan hasil pertambahan berat badan lebih tinggi (Mayne et al., 2000).

BAHAN DAN METODA

Tempat dan Waktu

Percobaan dilaksanakan di kebun percobaan Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain (BALITKA) di Desa Paniki Bawah, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara. Secara geografis terletak pada 010 30LU, dan pada 1240 54’ BT, dengan tinggi tempat 67 meter dpl. Penelitian ini dimulai Juli 2009 sampai Juni 2010.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah bibit tanaman B. humidicola, lahan pertanaman kelapa berumur 50 tahun, jarak tanam 9 × 9 m sesuai lahan yang tersedia, luas lahan keseluruhan termasuk lahan cattle yard adalah 6 ha, tetapi untuk penggembalaan seluas 5,76 ha. Ternak sapi sebanyak 36 ekor dengan berat badan awal 260 kg-280 kg, yang telah diberikan suntikan subcutan dengan Ivomec (kontrol Endo dan Ecto parasit ternak sapi). Alat yang digunakan adalah: traktor dan garuk, cangkul dan parang, timbangan ternak digital kapasitas 1000 kg, termometer suhu udara maksimum minimum Model Weatherguide TM System, Taylor Precision Products, Oak Brook, IL 60523.

Metode

Dalam percobaan ini perlakuan yang akan diuji adalah dua sistem penggembalaan (SP) terdiri atas penggembalaan kontinyu (SP1) dan penggembalaan

rotasi pada tahap perkembangan tanaman rumput mencapai 3,5 daun dewasa yang dihitung berdasarkan akumulasi unit panas sebesar 456 DD (SP2), dan stocking rate (SR) terdiri atas 0,77 UT/pedok (SR1), 1,54 UT/pedok (SR2), dan 2,31 UT/pedok (SR3). Percobaan ini menggunakan pola petak terpisah, dengan rancangan dasar acak kelompok (RAK).

Variabel yang diukur

Keragaan pastura yang diukur meliputi produksi biomassa (bobot kering), jumlah tanaman induk, jumlah anakan (ground dan aerial tiller) dengan mengikuti prosedur pengambilan sampel menurut petunjuk Busque dan Herero (2001).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tanaman Induk

Analisis statistik menunjukkan adanya pengaruh interaksi yang nyata SP dan SR. Jumlah tanaman induk tertinggi diperoleh pada interaksi SP2 SR3 (12,22 tanaman), lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan dengan interaksi lainnya, sedangkan jumlah tanaman induk paling rendah diperoleh pada interaksi SP2 SR1 sebanyak 2,66 dan berbeda nyata lebih rendah dari interaksi lainnya.

Tabel 1. Pengaruh interaksi perlakuan system penggembalaan dan stocking rate terhadap keragaan pasture B. humidicola

Interaksi

Parameter

Tanaman Induk

Ground Tiller

Aerial Tiller Bobot Akar

Bobot Crown

SP1-SR1

6,22b

13,22b

16,55a

4,35c

5,11c

SP1-SR2

6,44b

18,78b

9,78b

5,48b

6,99b

SP1-SR3

9,22b

26,55a

7,33b

6,06b

9,78b

SP2-SR1

2,66c

3,67c

12,77a

4,07c

3,48c

SP2-SR2

7,00b

14,00b

4,55b

5,80b

9,01b

SP2-SR3

12,22a

27,89a

1,11c

11,09a

14,34a

Keterangan: angka yang diikuti huruf tidak sama pada kolom yang sama berbeda nyata P<0,05

Anakan/Ground Tiller. Jumlah anakan (ground tiller) tertinggi pada interaksi SP2 SR3 (27,89) dan SP1 SR3 (26, 55) tetapi diantara keduanya tidak berbeda nyata. Sedangkan jumlah anakan yang paling rendah diperoleh pada interaksi SP2 SR1 (3,67) dan nyata lebih rendah dari interaksi lainnya. Tingginya jumlah anakan pada interaksi perlakuan SP2 SR3 tersebut mungkin disebabkan karena sebagian besar biomassa hijauan terenggut oleh ternak, sehingga terjadi pengurangan phytomas berupa mulsa dan material mati (Schuman et al., 1999). Kondisi ini memungkinkan penetrasi cahaya yang cukup dan meningkatkan kecepatan pertukaran CO2 melalui proses fotosintesis (Lecain et al., 2000; Bremer et al., 1998); terjadi peningkatan suhu udara mikroklimat dekat permukaan tanah yang merangsang pertumbuhan pucuk baru dari crown (McMaster et al,. 2003). Selanjutnya aktivitas fotosintesis meningkat pada bagian tanaman yang tidak terdefoliasi karena naiknya rasio akar tajuk yang bersinergi dengan naiknya intesitas penyinaran akibat

lingkungan pastura semakin terbuka (Schnyder dan de Visser, 1999; Thornton et al., 2000).

Hasil penelitian Zhang et al., (2011) menunujukkan bahwa penggembalaan berdampak positif terhadap perkecambahan, dimana pada pedok yang digembalai kumulatif perkecambahan meningkat 77%, sedangkan yang didefoliasi secara mekanik (mowing) peningkatan tersebut hanya 59%. Peningkatan jumlah kecambah yang tumbuh tersebut berkorelasi positif dengan temperatur tanah lapisan atas (Wang et al., 2003). Pada pastura yang tidak digembalakan vegetasi rumput akan menutupi permukaan tanah sehingga membatasi masuknya cahaya matahari yang akan menentukan tinggi rendahnya suhu tanah lapisan atas (Huang dan Gutterman, 2004; Romo, 2004).

Anakan/Aeriel tiller. Jumlah anakan (aerial tiller) tertinggi pada interaksi SP1 SR1 (16,55) dan SP2 SR1 (12,77). Keduanya tidak berbeda nyata, tetapi nyata dibandingkan dengan interaksi lainnya. Selanjutnya jumlah aerial tiller terendah dihasilkan oleh interaksi SP2 SR3 sebanyak 1,11 anakan. Hal ini disebabkan sebagian besar pucuk tanaman terenggut oleh ternak sehingga kurang kemungkinan menghasilkan aerial tiller (Busque dan Herrero, 2001).

Bobot Akar dan Crown. Akar sebagai representasi sumber cadangan energi pada bagian tanaman di bawah tanah, dan dengan biomassa yang besar dapat memberikan kontribusi lebih banyak unsur C dan N ke dalam tanah (Mouselet al, 2003). Bobot akar seberat 11,09 g dan bobot crown sebanyak 14,34 g dihasilkan pada perlakuan SP2 SR3 (Gambar), dan nyata lebih tinggi dibandingkan dengan interaksi lainnya.

Pada jenis rerumputan perenial akan terjadi penurunan bobot akar bila frekuensi defoliasi meningkat (Flemmer et al., 2002). Namun tingginya bobot akar dan crown pada penelitian ini merupakan respons adaptasi tanaman terhadap perenggutan, yang pada gilirannya akan mendukung terjadinya restorasi tanaman setelah direnggut (Wang et al, 2003). Hal ini penting mengingat fungsi akar sebagai sink untuk C dan N di padang rumput. Gao et al. (2007) melaporkan bahwa penggembalaan berat 2,9 yaks/ha menghasilkan rasio akar/pucuk lebih tinggi daripada penggembalaan ringan 1,2 yaks/ha dan medium 2,0 yaks/ha. Hasil bobot akar tertinggi yang diperoleh pada perlakuan SP2SR3 sebanyak 11,09 g. Dari gambar di atas terlihat jelas bahwa pada sistem penggembalaan rotasi terjadi pertumbuhan akar yang lebih panjang, dan adanya akar-akar baru yang lebih segar, dibandingkan dengan

pada sistem penggembalaan kontinyu. Hal ini terjadi kerena pada sistem penggembalaan rotasi tanaman diberi kesempatan untuk bertumbuh kembali secara optimal. Dalam perkembangan tanaman, naiknya proporsi pucuk selalu diimbangi dengan perkembangan akar yang lebih aktif. Sejalan dengan penelitian terbaru oleh Gittins et al., (2010) yang menunjukkan bahwa defoliasi yang berat tidak berpengaruh negatif terhadap kecepatan tumbuh akar, biomasa akar dan crown, kecepatan rekrutmen akar dan tingkat hidup akar rumput Poa ligularis.

Lebih lanjut dikatakan bahwa hal ini sebagai petunjuk karakteristik morfologis rerumputan yang tergolong persisten sebagai padang penggembalaan. Kemungkinan lain dari hasil penelitian kami adalah bahwa rumput B. humidicola semasa pertumbuhan vegetatif tidak hanya menyimpan cadangan energi di akar dan crown, tetapi juga alokasi asimilat terjadi secara horisontal ke stolon. Dengan demikian ketika terjadi perenggutan, untuk bertumbuh kembali tanaman rumput tidak tergantung sepenuhnya cadangan energi yang berasal dari akar dan crown saja melainkan juga dari stolon (Baruch dan Guenni, 2007).

SIMPULAN

Dari hasil yang diperoleh pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa semua keragaan pastura yang terbaik diperoleh pada interaksi sistem penggembalaan rotasi (SP2) dan stocking ratetiga (SR3).

DAFTAR PUSTAKA

Baruch, Z., O. Guenni. 2007. Irradiance and defoliation effects in three species of the forage grass Brachiaria. Tropical Grassland 41: 269-276

Busque.J., M. Herrero. 2001. Sward structure and patterns of defoliation of signal gass (Brachiariadecumbens) pastures under different cattle gazing intensities. Tropical Gassland 35: 193-204.

Carnevalli R. A., S. C. Da Silva., A. A. O. Bueno., N. G. Silva., J. P. G Morais. 2006. Herbage production and grazing losses in Panicum maximum cv. Mombaca under four grazing managements. Tropical Grassland 40: 165-176

Centro Internationale Agiculture Tropicale (CIAT). 2009. Exploiting biological nitrification inhibition in agiculture. http://www.ciat.cgiar.org.

Dawson, L. A., S. J. Gayston., E. Paterson. 2000. Effects of gazing on the roots and rhizosphere of gasses. Gassland Ecaophysisolgy and Gazing Ecoalogy. (Ed) G. Lemaire et al. CAB International.

Flemer, A. C., C. A. Busso., O. A. Fernandez., T. Montani. 2002. Root gowth, appearance and disappearance in perennial gasses: Effects of the timming of water stress with or without defoliation. Canadian Journal of Plant Science. 82: 539-547.

Gao, Y. H., P. Luo., N. Wu., W. Chen., G.X. Wang. 2007. Gazing intensity impacts on carbon sequestration in an Alpine Meadow on the Eastern Plateau. Research J. Agi and Biology Sci. 3 (6): 642-647.

Gittings,C., C. A. Busso., G, Becker., L. Ghermandi., G. Siffredi.

2010. Defoliation frequency affects morphophysiological

traits in the bunchgass Poa ligularis. Int. J. Exptl Botany 79: 55-68.

Gomez, A. A and A. A. Gomez. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. (Edisi II). PenerbitUniversitas Indonesia.

Huang, Z., Y. Guttreman. 2004. Seedling desiccation tolerance of Leymusracemous (Poaceae) (wild rye) a perennial sand-dune grass inhabiting the Junggar Basin of Xinjiang, China. Seed Sci. Res. 2(14): 233-241

Kuzyakov,Y. 2002. Factor affecting rhizosphere priming effects.J.PlantNut. SoilSci 165: 382-396

Lecain, D. R., Morgan, J. A., Schuman, J. D and H. Hart. 2000. Carbon exchange rates gazed and ungazed pastures of Wyoming. J. Range Management. 53: 199-206.

Manske, L. L. 2001. Well-Timed gazing can stimulate gassgowth and tiller development.North Dakota State University-NDSU Agiculture Communication. hhtp://www.ag.ndsu. nodak.edu

Mayne, C.S,.Wright, I.A and G.E.J. Fisher. 2000. Gassland management under gazing and animal respons. In: Gass Its Production and Utilization. Third Edition.Edited by Alan Hopkins. Institute of Gassland and Environment Research, North Wyke, Okehampton, Devon, UK. Blackwell Science Ltd.

McMaster, G.S., W.W.Wilhelm., D.B.Palic., J.R. Porter., P.D. Jamieson. 2003. Spring wheat leaf appearance and temperature: Extending the Paradigm? Annals of Botany 91: 697-705.

Mousel, E. M., W. H. Schacht., C. W. Zanner., L. E. Moser. 2005. Effects of summer gazing strategies on organic reserves and root characteristics of Big Bluestem. Crop Sci. 45: 2008-2014.

Newman,Y. C., Sollenberger.L. E., Kunkle.W. E and C. G. Chambliss. 2002. Canopy height and nitrogen supplementation effects on performance of Heifersgazinglimpogass. Agon.J.94:1375-1380

Pereira, J.M., Tarre, R.M., Macedo, R and R.M. Boddey. 2009. Productivity of B.humidicola pastures in Atlantic forest region of Brazil as affected by stocking rate and the presence of a forage legume. Nutr.Cycl.Agoecosyst83 : 179-196.

Romo, J.T. 2001.Establishing winterfat in praire restorations in Saskatchewan. Can. J. Plant Sci. 84: 173-179.

Schnyder.H and R.de Visser. 1999. Fluxes of reserve-derived and currently assimilated C and N in perennial Ryegrass recovering from defoliation. Plant Physiol.199: 1423-1436.

Sollenberger, L.E dan J.C. Burns. 2001.Canopy characteristics, ingestive behaviour and herbage intake in cultivated tropical grasslands. In: Proc. Int Cong., 19th. Sao Pedro, Brazil.

Thornton, B., Miilard, P., and U. Bausewein. 2000. Reserve formation and recycling of carbon and nitrogen during regowth of defoliated plants. P. 85-99. In: G. Lamaire et al. (ed). Gassland ecophysiology and gazing ecology. CAB Internatonal, New York.

Wang, R. Z., Gao, Q. and Q. S. Chen. 2003. Effects of climate change on biomass and biomass and biomass allocation in Leymuschinensis (Poaceae) along the Notrh-East China Transect (NECT). J. Arid.Environ. 54: 653-665.

Zhang R., D. Huang., K. Wang., Y. T. Zhang., C. W. Wang. 2011. Effect of mowing and grazing on ramet emergence of Leymus racemosus inthe inner Mongolia Steppe during the spring regreening period. African J. Biotech. 10(12): 2216-2222.

87