MODEL TINGKAT KEMISKINAN DI KABUPATEN BANGLI DENGAN PENDEKATAN PARTIAL LEAST SQUARE
on
E-Jurnal Matematika Vol. 6 (3), Agustus 2017, pp. 188-195
DOI: https://doi.org/10.24843/MTK.2017.v06.i03.p165
ISSN: 2303-1751
MODEL TINGKAT KEMISKINAN DI KABUPATEN BANGLI DENGAN PENDEKATAN PARTIAL LEAST SQUARE
Ni Wayan Eka Surya Artini1§, I Putu Eka Nila Kencana2, Ketut Jayanegara 3
1Jurusan Matematika, Fakultas MIPA – Universitas Udayana [Email: [email protected]] 2Jurusan Matematika, Fakultas MIPA – Universitas Udayana [Email: [email protected]] 3Jurusan Matematika, Fakultas MIPA – Universitas Udayana [Email: [email protected]] §Corresponding Author
ABSTRACT
The purpose of this research is to determine the dominant factors that influence the increment of poverty in 6 villages in Bangli regency which categorized as disadvantaged village in Bali province, namely, Binyan Village, Ulian Village, Langgahan Village, Abuan Village, Mengani Village, and Tembuku Village. The total respondents in this research are 84 poor families which determined through the stratified proportional random sampling method. The research regarding the poverty in disadvantaged village involves 5 latent variables, namely, poverty rate, inability to meet basic needs, the shortage of human resource competencies, inability to meet support needs, and the shortage of access to infrastructure which are each 5 of the latent variable have the reflective indicator. This research is using the variant-based (PLS-SEM) Structural Equation Modeling (SEM) method and calculated through smart PLS software. Based on the output of structural poverty rate equation model resulting from the analysis, it can be concluded that the increment of inability to meet basic needs, the shortage of human resource competencies, and the shortage of access to infrastructure have a significant effect towards the increment of poverty rate in a disadvantage village, meanwhile inability to meet support needs rate has no effect towards poverty rate in the disadvantaged village of Bangli Regency.
Keywords: Disadvantaged Village, SmartPLS, SEM-PLS, Poverty Rate
-
1. PENDAHULUAN
Badan Pusat Statistik Provinsi Bali mencatat pada tahun 2014, Kabupaten Bangli merupakan Kabupaten dengan indeks ketimpangan pendapatan terendah di Provinsi Bali, dengan Gini Rasio sebesar 0,3073. Meski demikian, pada tahun 2015 kabupaten ini justru menduduki peringkat pertama pada indikator ketimpangan pendapatan dengan Gini Rasio meningkat menjadi 0.3838 (BPS, 2016). Hal lainnya, jumlah dan persentase penduduk miskin di Kabupaten Bangli meningkat dari 12.000 jiwa (5,45 persen) pada tahun 2013 menjadi 13.000 jiwa (5,86 persen) pada tahun 2014. Peningkatan persentase penduduk miskin dan Gini Rasio di kabupaten ini membutuhkan kajian akademik untuk mengetahui penyebabnya.
Pada awal tahun 2016 Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Provinsi
Bali mencatat ada tujuh desa tertinggal atau desa miskin di Provinsi Bali. Dari tujuh desa tersebut, enam desa tertinggal berada di Kabupaten Bangli yaitu Desa Binyan, Desa Mengani, Desa Ulian, Desa Langgahan, Desa Abuan Kintamani dan Desa Tembuku, sementara satu desa lainnya yaitu Desa Sepang Kelod di Kabupaten Buleleng (Bappenas Bali, 2016).
Faktor-faktor penyebab peningkatan kemiskinan tidak dapat diukur secara langsung karena berupa konsep (variabel laten) seperti ketakmampuan pemenuhan kebutuhan pokok, keterbatasan kompetensi SDM, ketakmampuan pemenuhan kebutuhan pendukung, serta keterbatasan akses pada infrastruktur. Memperhatikan faktor-faktor tersebut, dibutuhkan suatu indikator untuk merefleksikan konsep kemiskinan. Terdapat beberapa metode
statistika yang dapat digunakan untuk mengetahui keterkaitan dari faktor-faktor tersebut, salah satunya adalah Model Persamaan Struktural atau Structural Equation Modeling (SEM). Dalam penelitian ini, penulis akan mengukur faktor dominan yang memengaruhi kemiskinan di Kabupaten Bangli dengan menggunakan metode SEM berbasis varians (PLS-SEM). PLS-SEM digunakan pada penelitian ini disebabkan karena tidak memerlukan sampel yang besar, karakteristik data tidak memerlukan asumsi kenormalan, serta dalam evaluasi model PLS-SEM tidak memerlukan indeks goodness of fit yang lengkap.
Hingga saat ini penelitian dengan menggunakan metode PLS-SEM telah banyak dilakukan, namun belum ada penelitian yang meneliti tentang PLS-SEM pada faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Kabupaten Bangli. Penelitian ini diarahkan untuk menjawab permasalahan faktor apakah yang dominan memengaruhi kemiskinan pada enam desa di Kabupaten Bangli sehingga menjadi desa tertinggal di Provinsi Bali. Penelitian ini dapat membantu pemerintah daerah untuk memperoleh informasi mengenai faktor dominan yang memengaruhi kemiskinan di Kabupaten Bangli, sehingga dalam menyusun program peningkatan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Bangli dapat dilakukan sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh masing-masing desa.
Penelitian ini dilakukan di enam desa tertinggal di Kabupaten Bangli yaitu di Desa Binyan, Desa Mengani, Desa Ulian, Desa Langgahan, Desa Abuan yang terdapat di Kecamatan Kintamani serta di Desa Tembuku Kecamatan Tembuku. Waktu penelitian direncanakan akan dilaksanakan pada periode Februari 2017 sampai Maret 2017. Dalam penelitian ini digunakan sampel sebanyak 84 rumah tangga miskin, yang diperoleh menggunakan teknik pengambilan sampel
proportional random sampling.
Dalam penelitian ini mempelajari hubungan kausal antara (a) Tingkat Kemiskinan, (b) Ketakmampuan Pemenuhan Kebutuhan Pokok, (c) Keterbatasan Kompetensi SDM, (d) Ketakmampuan Pemenuhan Kebutuhan Pendukung, (e) Keterbatasan Akses pada Infrastruktur. Variabel-variabel tersebut tidak dapat diukur secara langsung, structural equation modeling (SEM) dapat digunakan untuk memodelkan hubungan variabel-variabel yang akan diteliti dan mendapatkan jawaban dari permasalahan pada penelitian. SEM dibagi menjadi 2 pendekatan, pendekatan pertama yaitu Covariance Based SEM (CB-SEM) atau sem berbasis kovarian dan pendekatan kedua, Variance Based SEM atau yang lebih di kenal dengan Partial Least Square (PLS) yaitu sem berbasis varian. PLS-SEM digunakan dalam penelitian ini dengan pertimbangan sebagai berikut:
-
1. PLS-SEM tidak mengharuskan mengikuti asumsi normalitas data. Berdasarkan asumsi statistiknya, PLS digolongkan sebagai non parametrik sehingga tidak mengikuti distribusi tertentu (Hair, et al., 2014).
-
2. PLS-SEM tidak kehilangan kemampuan uji meskipun mengggunakan ukuran sampel yang tergolong kecil (Hair, et al., 2014).
Konsep model melibatkan 5 variabel atau konstruk yang diteliti ditunjukkan pada Gambar.1, dan hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
^l : Ketakmampuan Pemenuhan Kebutuhan
Pokok memengaruhi Tingkat Kemiskinan;
-
^2 : Keterbatasan Kompetensi SDM Memengaruhi Tingkat Kemiskinan;
-
//3 : Ketakmampuan Pemenuhan Kebutuhan Pendukung memengaruhi Tingkat Kemiskinan;
-
//4 : Keterbatasan Akses Pada Infrastruktur Memengaruhi Tingkat Kemiskinan;
Gambar 1. Konsep Model Penelitian
Profil responden masyarakat dalam penelitian ini ditinjau dari nama desa, nama kecamatan, kondisi fisik keluarga, jumlah anggota keluarga dewasa, serta jumlah anggota anak keluarga yang ditampilkan pada tabel berikut:
Tabel 1. Profil Responden
Variabel |
Kategori |
F |
Persentase |
Nama Desa |
Binyan |
4 |
4,8% |
Ulian |
7 |
8,4% | |
Langgahan |
5 |
6% | |
Abuan |
13 |
15,7% | |
Mengani |
12 |
14,5% | |
Tembuku |
43 |
50,6% | |
Nama Kecamatan |
Kintamani |
41 |
49% |
Tembuku |
43 |
51% | |
Kondisi Fisik Keluarga |
Sehat |
339 |
97,4% |
Cacat |
9 |
2,6% | |
Jumlah Anggota Keluarga Dewasa |
Laki-laki |
118 |
52,7% |
Perempuan |
106 |
47,3% | |
Jumlah Anggota Anak Keluarga |
Laki-laki |
61 |
49,2% |
Perempuan |
63 |
50,8% |
Berdasarkan pada tabel 1. dapat dilihat bahwa anggota keluarga miskin desa tertinggal di Bali sebagian besar dalam keadaan sehat dengan presentase 97,4% sementara presentase penduduk yang cacat sebesar 2,6%. Jumlah laki-laki dewasa di desa tertinggal, lebih dominan yaitu 118 dengan persentase 52,7% dan jumlah perempuan dewasa sebanyak 106 dengan presentase 47,3%. Sementara jumlah anak perempuan di desa tertinggal lebih dominan dengan presentase 50,8% dibandingkan jumlah anak laki-laki dengan presentase 49,2%. Pengambilan sampel ini dilakukan secara acak dan proporsional yang didasarkan pada data penduduk miskin di desa tertinggal.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, sebelum pengumpulan data dilakukan kuesioner yang kemudian diuji validitas dan reliabilitasnya. Setiap indikator pertanyaan yang tergolong dalam satu faktor variabel dianggap valid untuk digunakan jika correlation with total item lebih besar dari 0,30. dan kelompok sebagai representasi variabel konstruksi atau laten dikatakan reliabel jika nilai koefisien Cronbach’s Alpha lebih besar dari 0,60 (Hair, et al., 2010).
Memperhatikan Tabel 3, dapat dilihat bahwa semua item pernyataan valid untuk mengukur Tingkat Kemiskinan karena memiliki nilai correlation total-item > 0,30. Adapun nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0,775 > 0,60 menyatakan bahwa instrumen pengukuran yang digunakan untuk mengukur ketakmampuan pemenuhan kebutuhan pokok dapat dipercaya.
Tabel 3. Nilai Cronbach Alpha dan Korelasi ItemTotal Dikoreksidari Variabel Laten Ketakmampuan Pemenuhan Kebutuhan Pokok
Indikator |
Corrected Item-Total Correlation |
Cronbach Alpha if Item Deleted | |
Keluarga sulit membeli daging untuk dikonsumsi |
0,380 |
0,769 | |
%2 |
Keluarga sulit untuk memenuhi kebutuhan pangan yang baik untuk di konsumsi |
0,739 |
0,694 |
Keluarga tidak sanggup untuk membeli satu stel pakaian baru dalam setahun |
0,337 |
0,783 | |
*4 |
Keluarga mempunyai dan mengenakan pakaian yang tidak layak pakai |
0,739 |
0,694 |
Bangunan tempat tinggal keluarga tidak nyaman untuk ditempati |
0,474 |
0,751 | |
*6 |
Keluarga tidak mampu memenuhi kebutuhan pendidikan anggota keluarga |
0,426 |
0,760 |
^7 |
Keluarga tidak mampu memenuhi kebutuhan peralatan rumah tangga |
0,426 |
0,760 |
Cronbach’s Alpha |
0,775 |
Memperhatikan Tabel 4, dapat dilihat bahwa semua item pernyataan valid untuk mengukur Tingkat Kemiskinan karena memiliki nilai correlation total-item > 0,30. Adapun nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0,824>0,60 menyatakan bahwa instrumen pengukuran yang digunakan untuk mengukur keterbatasan kompetensi SDM dapat dipercaya.
Memperhatikan Tabel 5, dapat dilihat bahwa semua item pernyataan valid untuk mengukur Tingkat Kemiskinan karena memiliki nilai correlation total-item >0,30. Adapun nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0,734>0,60 menyatakan bahwa instrumen pengukuran yang digunakan untuk mengukur ketakmampuan pemenuhan kebutuhan pendukung dapat
dipercaya.
Tabel 4. Nilai Cronbach Alpha dan Korelasi ItemTotal Dikoreksi dari Variabel Laten Keterbatasan Kompetensi SDM
Indikator |
Corrected Item-Total Correlation |
Cronbach's Alpha if Item Deleted | |
Anggota keluarga yang sulit mendapatkan pekerjaan akibat dari tidak/putus sekolah |
0,504 |
0,862 | |
Keluarga tidak mampu memanfaatkan hasil alam di lingkungan tempat tinggal yang dapat meningkatkan nilai jual barang |
0,841 |
0,701 | |
■^10 |
Anggota keluarga canggung mengeluarkan pendapat dalam musyawarah desa |
0,601 |
0,800 |
¾1 |
Upah/gaji/pendapatan keluarga yang bekerja kurang seimbang dengan pekerjaan yang dilakukan |
0,720 |
0,743 |
Cronbach’s Alpha |
0,824 |
Tabel 5. Nilai Cronbach Alpha dan Korelasi ItemTotal Dikoreksi dari Variabel Laten Ketakmampuan Pemenuhan Kebutuhan Pendukung
Indikator |
Corrected Item-Total Correlation |
Cronbach's Alpha if Item Deleted | |
¾2 |
Keluarga tak sanggup dalam membeli barang |
0,673 |
0,697 |
¾3 |
Keluarga tidak sanggup dalam membayar jasa di lingkungan tempat tinggal |
0,646 |
0,613 |
■^14 |
Keluarga yang memilih membuat daripada membeli kebutuhan pangan keluarga |
0,398 |
0,739 |
^l 5 |
Keluarga yang memilih memproduksi alat-alat kebutuhan rumah tangga daripada membeli |
0,465 |
0,744 |
Cronbach’s Alpha |
0,734 |
Tabel 6. Nilai Cronbach Alpha dan Korelasi ItemTotal Dikoreksi dari Variabel Laten Keterbatasan Infrastruktur & Layanan
Indikator |
Corrected Item-Total Correlation |
Cronbach's Alpha if Item Deleted | |
¾6 |
Anggota keluarga sulit dalam menjangkau lokasi SD terdekat |
0,533 |
0,796 |
^l 7 |
Anggota Keluarga sulit dalam menjangkau lokasi SMP terdekat |
0,477 |
0,804 |
■^18 |
Keluarga kurang mampu dalam membiayai sekolah anggota keluarga |
0,371 |
0,824 |
^l 9 |
Keluarga sulit dalam menjangkau pusat pelayanan kesehatan terdekat |
0,520 |
0,798 |
^20 |
Ketidakpuasan keluarga terhadap sistem penyebaran bantuan beras miskin |
0,705 |
0,780 |
¾1 |
Keluarga yang tidak pernah memperoleh pelatihan ataupun pendampingan usaha |
0,473 |
0,803 |
^22 |
Kondisi jalan maupun jembatan di lingkungan tempat tinggal kurang baik untuk dilalui |
0,657 |
0,788 |
^23 |
Keluarga yang sulit mendapatkan air bersih di lingkungan tempat tinggal |
0,410 |
0,813 |
¾4 |
Ketidakpuasan keluarga terhadap bantuan rumah layak huni yang diberikan pemerintah |
0,705 |
0,780 |
Cronbach’s Alpha |
0,817 |
Memperhatikan Tabel 6, dapat dilihat bahwa bahwa semua item pernyataan valid untuk
mengukur Tingkat Kemiskinan karena memiliki nilai correlation total-item > 0,30. Adapun nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0,817 > 0,60 menyatakan bahwa instrumen pengukuran yang digunakan untuk mengukur ketakmampuan pemenuhan kebutuhan pendukung dapat dipercaya, sehingga model persamaan struktural yang digunakan untuk menganalisis data diubah menjadi model berikut ini:
Gambar 2. Model Persamaan Struktural yang Dianalisis
Pada dasarnya SEM terdiri dari 2 sub-model yaitu model pengukuran (measurement model) dan model struktural (structural model) (Hair, et al., 2014). Model pengukuran menggambarkan hubungan antara variabel laten dengan indikatornya, dan model struktural menggambarkan hubungan antara variabel laten eksogen dengan variabel laten endogen (Hair, et al., 2014) (Hair, et al., 2010).
Model pengukuran (indikator) dalam PLS-SEM mempunyai 2 jalur, yaitu model indikator reflektif dan model indikator formatif. Model indikator reflektif merupakan indikator terukur yang diasumsi merefleksikan atau dipengaruhi oleh variabel laten. Sementara indikator formatif
merupakan indikator terukur yang memengaruhi variabel laten. Secara matematis, ketika xi bersifat reflektif untuk konstruk ξj , hubungan variabel tersebut dapat dinyatakan seperti pada persamaan (1); namun ketika xi bersifat formatif untuk konstruk ξj , hubungan variabel tersebut dapat dinyatakan seperti pada persamaan (2) sebagai berikut:
xi = +Yιjξj+si; i = 1,..., p; j = 1, ...,q (1) ξj = +βιixi+ εj; i = 1,..., p; j = 1, ...,q (2) p dan q dalam persamaan (1) dan (2) menunjukkan jumlah indikator untuk ξj dan jumlah konstruk dalam model (Kencana & Darmayanti, 2017). Pada tahap analisis xi dan βi dinyatakan dalam bentuk standar, sehingga syarat pada Y dan β dapat dihilangkan.
Uji outer model pada indikator reflektif meliputi convergent validity, discriminant validity dan composite reliability. Validitas konvergen dapat dilihat dari nilai average variance extracted (AVE), dengan nilai pengukuran yang diharapkan > 0,5 (Ghozali, 2014). Discriminant validity digunakan untuk mengetahui apakah konstruk memiliki diskriminan yang memadai, dengan syarat nilai akar kuadrat AVE pada masing-masing konstruk harus lebih besar daripada nilai korelasi antar variabel laten. Dengan demikian, model dapat dikatakan memiliki discriminant validity yang baik (Ghozali, 2014). Nilai composite reliability digunakan untuk mengetahui suatu konstruk telah memiliki reliabilitas yang baik. Dengan nilai pengukuran yang diharapkan > 0,7 (Ghozali, 2008).
Berikut hasil olahan data dari uji outer model menggunakan software Smartpls disajikan pada tabel 8. Memperhatikan Tabel 8 dapat dilihat bahwa nilai dari AVE masing-masing variabel latent > 0,5 dan nilai Composite Reliability masing-masing variabel latent > 0,7. Sehingga model pengukuran yang dihasilkan dalam penelitian ini baik dan dapat dipercaya.
Tabel 8. Nilai AVE dan Composite Reliability
Latent Variabel |
AVE |
Composite Reliability |
Note |
Tingkat Kemiskinan |
0,567 |
0,857 |
Baik |
Ketimpangan Ekonomi |
0,652 |
0,902 |
Baik |
Tingkat Pendidikan |
0,728 |
0,859 |
Baik |
Tingkat Inflasi |
0,663 |
0,811 |
Baik |
Keterbatasan Infrastruktur & Layanan |
0,671 |
0,857 |
Baik |
Nilai akar kuadrat AVE pada masing-masing konstruk dan nilai korelasi antar variabel laten dapat dilihat dari Tabel 9 Fornell-Lacker Criteria sebagai berikut:
Tabel 9. Fornell-Lacker Criteria
Variabel Laten |
ξ4 ∖ |
ξ1 ∖ |
ξ3 ∖ |
ξ2 ∖ |
Yi |
ξ4 ∖ |
0,713 |
0,000 |
0,000 |
0,000 |
0,000 |
ξ2 ∖ |
-0,586 |
0,819 |
0,000 |
0,000 |
0,000 |
ξ3 ∖ |
0,264 |
-0,519 |
0,720 |
0,000 |
0,000 |
ξ1 ∖ |
0,512 |
-0,564 |
0,489 |
0,806 |
0,000 |
Yi |
0,635 |
-0,359 |
0,271 |
0,747 |
0,711 |
Berdasarkan tabel 9. Nilai √AVE pada masing-masing variabel laten ditunjukkan dengan angka yang bercetak tebal, dimana nilai √AVE lebih besar daripada nilai korelasi antar variabel laten. Dengan demikian, model dapat dikatakan memiliki discriminant validity yang baik.
Inner model dinilai dari melihat hubungan kausal antara variabel laten eksogen dengan variabel laten endogen. Goodness of Fit Model diukur menggunakan R-square variabel laten
dependen dengan interpretasi yang sama dengan regresi.
Tabel 10. Nilai Koefisien Determinasi (R2)
Variabel Latent Endogen |
Original sampel |
Standard Deviasi |
T-Statistics |
P- Values |
Tingkat Kemiskinan |
0,703 |
0,044 |
16,087 |
0,000 |
Dengan mengetahui nilai R2 sebesar 0,703 yang terdapat dalam tabel 10 dan nilai rata-rata AVE sebesar 0,571 yang diperoleh dari tabel 8, sehingga memperoleh nilai GoF dengan rumus GoF = √̅̅̅̅̅̅ X ̅̅̅̅ sebesar 0,63. Sehingga dapat disimpulkan bahwa model yang dihasilkan fit dan mempunyai kemampuan yang baik dalam menjelaskan data.
Tabel 11. Output dari Uji Inner Model
Hubungan Kausalitas |
Original Sample |
Standard Error |
T-Statistic |
P-Values |
Ketakmampuan Pemenuhan Kebutuhan Pokok → Tingkat Kemiskinan |
0,684 |
0,070 |
9,233 (s) |
0,000 |
Keterbatasan Kompetensi SDM → Tingkat Kemiskinan |
0,272 |
0,123 |
2,205 (s) |
0,028 |
Ketakmampuan Pemenuhan Kebutuhan Pendukung → Tingkat Kemiskinan |
-0,041 |
0,087 |
0,469 (ts) |
0,639 |
Keterbatasan Akses Pada Infrastruktur → Tingkat Kemiskinan |
0,466 |
0,074 |
6,619 (s) |
0,000 |
(s) = signifikan; (ts)= tidak signifikan
Hasil pada Tabel 11 menyatakan bahwa hubungan kausal yang terjadi antara variabel ketakmampuan pemenuhan kebutuhan pokok dengan tingkat kemiskinan, variabel keterbatasan kompetensi SDM dengan tingkat kemiskinan, dan variabel keterbatasan akses pada infrastruktur dengan tingkat kemiskinan
memiliki nilai koefisien jalur yaitu masing-masing sebesar 0,684, 0,272 dan 0,453 yang berarti semakin tinggi ketakmampuan pemenuhan kebutuhan pokok yang dialami oleh warga desa tertinggal di Kabupaten Bangli, maka tingkat kemiskinan di desa tersebut akan meningkat, semakin tingginya keterbatasan kompetensi SDM yang dimiliki warga, maka tingkat kemiskinan di desa tersebut akan meningkat, dan semakin terbatasnya akses pada infrastruktur di desa tertinggal, maka akan meningkatkan tingkat kemiskinan di desa tertinggal.
Sementara hubungan kausal antara variabel ketakmampuan pemenuhan kebutuhan pendukung dengan tingkat kemiskinan yang memiliki nilai koefisien jalur yaitu -0,041 yang berarti semakin tingginya ketakmampuan pemenuhan kebutuhan pendukung di desa tertinggal, tidak memengaruhi tingkat kemiskinan di desa tersebut.
Hubungan kausal antara variabel ketakmampuan pemenuhan kebutuhan pokok dengan tingkat kemiskinan, variabel keterbatasan akses pada infrastruktur dengan tingkat kemiskinan dan variabel keterbatasan kompetensi SDM dengan tingkat kemiskinan memiliki nilai yang signifikan pada taraf uji 5% (t-statistik > 1,96). Sementara hubungan kausal antara variabel ketakmampuan pemenuhan kebutuhan pendukung dengan tingkat kemiskinan memiliki nilai yang tidak signifikan.
Hasil analisis SEM pada penelitian ini menunjukkan bahwa ketakmampuan pemenuhan kebutuhan pokok, variabel keterbatasan kompetensi SDM, serta keterbatasan akses pada infrastruktur signifikan memengaruhi Tingkat Kemiskinan di desa tertinggal Kabupaten Bangli. Sementara Tingkat Inflasi tidak signifikan memengaruhi Tingkat Kemiskinan di desa tertinggal. Ketakmampuan pemenuhan kebutuhan pokok menjadi faktor yang dominan
memengaruhi tingkat kemiskinan di desa tertinggal.
Semakin tinggi ketakmampuan pemenuhan kebutuhan pokok, yang dialami oleh warga desa tertinggal di Bali, maka tingkat kemiskinan di desa tersebut akan meningkat, semakin tingginya keterbatasan kompetensi SDM pada desa tertinggal, maka tingkat kemiskinan di desa tersebut akan meningkat dan semakin tingginya keterbatasan akses pada infrastruktur yang dimiliki oleh warga desa tertinggal, maka akan meningkatkan tingkat kemiskinan pada desa tertinggal di Kabupaten Bangli.
Bagi Pemerintahan Kabupaten Bangli diharapkan dapat membuat kebijakan yang mampu meningkatkan upah/pendapatan warga desa sehingga dapat menurunkan ketimpangan ekonomi di desa tertinggal Kabupaten Bangli. Akses infrastruktur dan perolehan layanan gratis juga dapat menjadi bahan kajian penting dalam pembangunan kebijakan selanjutnya.
Bagi penelitian selanjutnya diharapkan dapat mengkaji secara teoritis indikator-indikator lain yang lebih sesuai untuk dapat secara optimal menjelaskan pengaruh variabel laten. Pada penelitian ini model PLS yang dihasilkan belum cukup baik, sehingga untuk penelitian selanjutnya diharapkan agar menyempurnakan lagi model dengan mengkaji secara teoritis pengaruh-pengaruh antara variabel yang terdapat pada model.
DAFTAR PUSTAKA
Bappenas. 2016. Bangli Punya Enam Desa Tertinggal Versi Bapennas Bali. http://balitoday.net/bangli-punya-enam-desa-tertinggal-versi-bapennas-bali/.
Diakses 19 September 2016.
BPS.2016. Bangli Dalam Angka. Denpasar: BPS.
Hair, Joseph F.; Hult, G. Thomas M.; Ringle, Christian M.; and Sarstedt, Marko. 2014. A Primer On Partial Least Squares Structural Equation Modelling (PLS SEM). California: SAGE Publications.
Black, William C., Babin Barr J., and Anderson, Rolph E. 2010. Multivariate Data Analysis. New Jersey: Pearson Prentice Hall.
Kencana, Eka Nila; Darmayanti, Trisna. 2017. “Causality between Frequency of Visit with Tourists’ Statisfaction: A Multi-Group Analysis”. Udayana Journal of Social Sciences And Humanities. Vol.1 (2).
Ghozali, Imam. 2008. Structural Equation Modelling Alternatif dengan Partial Least Square. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
195
Discussion and feedback