DURASI MEJEJAITAN DENGAN KEJADIAN DE QUERVAIN SYNDROME PADA PEDAGANG BANTEN DI KOTA DENPASAR

Putu Savitri Priutami1*, I Putu Yudi Pramana Putra2, Agung Wiwiek Indrayani3, I Putu Gede Adiatmika4

1Program Studi Sarjana Fisioterapi dan Profesi Fisioterapi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Denpasar, Bali

2Departemen Fisioterapi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Denpasar, Bali

3Departemen Farmakologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Denpasar, Bali

4Departemen Ilmu Faal, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Denpasar, Bali

*Koresponden: [email protected]

Diajukan: 30 Juni 2021 | Diterima: 7 Juli 2022 | Diterbitkan: 5 Mei 2022

DOI: https://doi.org/10.24843/MIFI.2022.v10.i02.p05

ABSTRAK

Pendahuluan: Pedagang banten merupakan salah satu pekerjaan yang memiliki risiko untuk mengalami gangguan muskuloskeletal. Hal ini disebabkan oleh aktivitas mejejaitan yakni kegiatan memotong dan merangkai janur menjadi banten yang akan digunakan untuk upacara agama Hindu di Bali. Aktivitas mejejaitan yang dilakukan pedagang banten dalam jangka panjang dan repetitif, akan menyebabkan gangguan muskuloskeletal salah satunya de quervain syndrome, yaitu merupakan peradangan pada selaput tendon (tenosynovitis) otot abductor pollicis longus dan extensor pollicis brevis sehingga menyebabkan nyeri pada ibu jari. Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya de quervain syndrome, salah satu faktor pencetusnya adalah durasi kerja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan durasi mejejaitan terhadap risiko terjadinya de quervain syndrome pada pedagang banten di Denpasar.

Metode: Penelitian berlangsung dari bulan Januari – Maret 2021 dengan menggunakan metode penelitian observasional analitik dan desain cross-sectional analitik. Pengambilan sampel dengan teknik accidental sampling. Responden penelitian berjumlah 90 orang. Variabel dependen yang diukur yakni de quervain syndrome menggunakan Tes WHAT (Wrist Hyperflexion and Abduction Thumb) dan interpretasi nyeri berupa Numerical Rating Scale (NRS). Hasil: Variabel independen yang diukur yakni durasi mejejaitan berdasarkan hasil wawancara. Berdasarkan hasil uji hipotesis melalui uji chi-square, didapatkan p = 0,016 (p<0,05).

Simpulan: Terdapat hubungan antara durasi mejejaitan yang signifikan dengan risiko terjadinya de quervain syndrome pada pedagang banten di Denpasar.

Kata Kunci: de quervain syndrome, mejejaitan, cedera berulang, tes WHAT, pedagang banten

PENDAHULUAN

Masyarakat yang beragama hindu di Provinsi Bali berdasarkan dari hasil data statistik Provinsi Bali tahun 2020 oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Bali mencapai 3.247.283 jiwa.1 Pemeluk agama Hindu di Bali dalam kegiatan keagamaannya menyajikan sesaji yang akan dipersembahkan untuk Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang disebut juga dengan banten. Pembuatan banten dibuat dengan cara metanding dan mejejaitan. Kegiatan menyusun bahan-bahan sesaji yang dirangkai menjadi sebuah keutuhan banten disebut dengan metanding. Adapun bagian dari metanding yaitu mejejaitan. Mejejaitan adalah menjahit janur kemudian merangkainya dengan beragam bunga dan dedaunan. Aktivitas mejejaitan menjadikan masyarakat Bali terampil dalam memotong janur menggunakan pisau, menjahit dan merangkai janur dengan semat (buluh bambu). Hal ini dikarenakan dalam mejejaitan perlu keterampilan dan ketelitian dalam melihat, menjaga, dan menata detail hasil mejejaitan agar hasil rangkaian janur tidak mudah robek. Keterampilan mejejaitan telah diwariskan dari ibu ke anak dari generasi ke generasi agar tetap lestari.2 Perkembangan masyarakat Bali pada era modern menjadikan mejejaitan dimonopoli oleh kaum wanita sebagai sebuah pekerjaan3 atau dikena sebagai pedagang banten atau sarathi.4,5 Sarana upacara atau persembahyangan rutin seperti canang, sodan, pejati maupun pesanan misalnya banten melaspas, tiga bulanan, otonan, ngaben, mepandes akan dibuatkan dan dijual oleh sarathi atau pedagang banten kepada masyarakat umat Hindu di Bali.5

Pedagang banten di masyarakat Bali mengalami perkembangan teknologi dalam aktivitas mejejaitannya, pada zaman dahulu pedagang banten menggunakan semat (buluh bambu) untuk menjahit janur namun sekarang sudah menggunakan stapler (penjepret kertas). Stapler merupakan sebuah perangkat mekanis yang dapat menghubungkan atau mengaitkan kertas atau sejenisnya dengan menggerakkan logam tipis berbentuk lembaran kemudian ujungnya dilipat, sedangkan dalam mejejaitan stapler digunakan untuk menggantikan fungsi semat (buluh bambu) dalam menjarit janur, maka postur kerja saat aktivitas mejejaitan berfokus pada aktivitas jari-jari tangan dan pergelangan tangan pada saat menjahit janur dengan stapler. Adapun postur kerja dalam menggunakan stapler terdapat tiga postur menjepret yakni postur menekan dengan ibu jari, postur menggenggam, dan postur menekan dengan kedua jari.6 Penggunaan stapler umumnya pada posisi menggenggam dan dilakukan pada kecepatan yang tinggi tanpa ada postur tangan yang spesifik yang dapat meningkatkan risiko terkena de quervain syndrome.7 Penelitian yang dilakukan Ali et al tahun 2014

mengenai frekuensi aktivitas mengetik pesan lebih dari 50 pesan per hari dengan insiden de quervain syndrome, dijelaskan sebanyak 149 responden mendapatkan hasil positif dengan uji tes Finkelstein dan ditemukan berbagai keluhan dalam aktivitas sehari-hari seperti kesulitan dalam memutar kunci, membuka pintu, mengancingkan kemeja, mencubit, membuka tutup toples, mencengkeram dan mengetik pada keyboard.8

Sebuah penelitian tahun 2019 di Taiwan oleh Shen et al menunjukkan dari tahun 2010 - 2014, total tingkat prevalensi dari 3 hand tendinopathies adalah 3,16%, dengan wanita mengalami dua kali lebih tinggi (66,27%) dibandingkan laki-laki. Kasus hand tendinopathies yang dominan dialami oleh wanita adalah de quervain syndrome (72,74%). Rentang usia pada wanita yang mengalami hand tendinopathies adalah 40 - 49 tahun (21,16%) dan 50 - 59 tahun (34,05%).9 Aktivitas kerja yang dilakukan lebih dari 2 jam per hari secara monoton dapat menimbulkan gangguan muskuloskeletal.10 Aktivitas yang repetitif berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal salah satunya de quervain syndrome. Hal ini disebutkan berkaitan dengan terjebaknya glide dari tendon abductor pollicis longus (APL) dan extensor pollicis brevis (EPB) dalam kanal fibro-osseous yang menyempit dan menyebabkan rasa nyeri.11

De quervain syndrome disebut juga stenosing tenosynovitis yaitu suatu peradangan pada selaput tendon pada selubung synovial yang menyelubungi otot APL dan EPB sehingga menyebabkan terjadinya penebalan retinakulum ekstensor pada kompartemen dorsal pertama pergelangan tangan menjadi tiga sampai empat kali lebih tebal dibandingkan normal.12 Beberapa faktor pemicu terjadinya de quervain syndrome yakni gerakan yang berlebihan dan membebani sendi carpometacarpal I seperti gesekan, tekanan dan iskemia daerah persendian yang dapat menyebabkan ruptur dan peradangan.13 Penggunaan otot-otot ibu jari secara repetitif dan monoton dapat menimbulkan rasa nyeri yang menjalar hingga ke sisi radial pergelangan tangan dan rasa nyeri meningkat oleh gerakan deviasi ulnar pergelangan tangan.14

Pada penelitian sebelumnya belum ditemukan penelitian yang membahas mengenai hubungan durasi mejejaitan dengan kejadian de quervain syndrome yang berasal dari Bali maupun dari Indonesia, sedangkan penelitian yang terkait durasi kerja suatu aktivitas dengan kejadian de quervain syndrome masih terbatas. Beberapa penelitian yang sudah dilakukan di Indonesia meneliti tentang hubungan durasi aktivitas yang repetitif dilakukan pengguna ponsel ataupun pemain mobile games. Untuk mengetahui hubungan antara durasi mejejaitan terhadap kejadian de quervain syndrome dilakukan penelitian ini khususnya pada pedagang banten dengan variabel yang dikontrol antara lain jenis kelamin, usia, lama kerja, alat kerja, postur kerja dan aktivitas mejejaitan yang dilakukan pedagang banten.

METODE

Metode penelitian observasional analitik digunakan dalam penelitian ini dengan desain studi yang dipakai adalah studi cross-sectional. Teknik sampling menggunakan accidental sampling untuk merekrut responden yaitu pedagang banten di wilayah Kota Denpasar sejumlah 90 orang yang diseleksi sesuai dengan kriteria inklusi yakni responden berjenis kelamin wanita rentangan usia 40 hingga 60 tahun, sudah menjadi pedagang banten minimal 1 tahun dan membuat sendiri banten dengan menggunakan stapler (penjepret kertas), melakukan aktivitas mejejaitan lebih dari 2 jam per hari dan responden penelitian menandatangani lembar persetujuan setelah penjelasan penelitian sebagai tanda responden bersedia ikut dalam penelitian. Adapun kriteria eksklusi yakni responden memiliki riwayat trauma pada tangan dan melakukan aktivitas mejejaitan hanya pada hari raya keagamaan umat hindu saja.

Responden penelitian direkrut dari 12 pasar tradisional dan daerah sekitarnya yang berlokasi di kota Denpasar. Penelitian ini menggunakan tes spesifik untuk mendiagnosis de quervain syndrome berupa tes WHAT (Wrist Hyperflexion and Abduction Thumb) dengan spesifisitas 0,29 dan sensitivitas 0,99.15 Prosedur tes WHAT dievaluasi oleh fisioterapis yang telah lulus pendidikan profesi dan memiliki pengalaman kerja kurang lebih 2 tahun. Pelaksanaan dilakukan pada tangan dominan responden kemudian fisioterapis menginstruksikan responden untuk fleksi pergelangan tangan semaksimal mungkin dan menjaga ibu jari agar tetap ekstensi dan abduksi sedangkan fisioterapis meningkatkan tahanan pada ibu jari, jika responden tidak dapat mempertahankan kekuatan terhadap fisioterapis dan atau merasakannya nyeri maka responden positif de quervain syndrome15 selanjutnya nyeri yang dialami responden akan diinterpretasi memakai NRS (Numerical Rating Scale). Durasi mejejaitan didapatkan melalui hasil wawancara dengan pedagang banten. Komponen yang penting dalam durasi kerja meliputi lamanya seseorang mampu bekerja dengan baik, korelasi antara waktu kerja dengan waktu istirahat, dan waktu bekerja dalam sehari berdasarkan periode waktu. Pada umumnya durasi kerja 6-10 jam per hari merupakan durasi kerja yang dapat dengan baik dilakukan seseorang dan sisa waktu digunakan untuk keperluan pribadi, keperluan berkeluarga dan keperluan masyarakat.16

Pengolahan data hasil penelitian menggunakan software SPSS versi 26 dengan Kolmogorov-Smirnov test untuk uji normalitas yang dikarenakan jumlah responden >50 responden. Analisis univariat data penelitian berupa durasi mejejaitan, usia, dan hasil test WHAT dengan interpretasi nyeri yaitu NRS yang dianalisis rerata dan persebaran data. Sedangkan analisis bivariat dengan uji chi-square guna melihat apakah ditemukan hubungan signifikan antara durasi mejejaitan terhadap kejadian de quervain syndrome melalui hasil pemeriksaan tes WHAT pada pedagang banten

Nomor layak etik penelitian ini adalah 700/UN14.2.2.VII.14/LT/2020 yang dikeluarkan oleh Komisi Etik Penelitian (KEP) Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah dan dinyatakan sudah laik etik.

HASIL

Penelitian dilakukan di wilayah Kota Denpasar dengan jumlah responden 90 orang pedagang banten dengan rentang usia 40-60 tahun dan berjenis kelamin wanita. Adapun frekuensi data responden yang dikumpulkan meliputi usia, durasi mejejaitan dan tes WHAT yang digunakan sebagai diagnosis de quervain syndrome yang dijabarkan dengan analisis univariat. Selanjutnya variabel durasi mejejaitan dengan hasil pemeriksaan tes WHAT dalam interpretasi nyeri dengan Numerical Rating Scale (NRS) dijabarkan dengan analisis bivariat menggunakan uji chisquare dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. DistribusiFrekuensUsia, DurasiMejejaitan danTes WHAT

Variabel

Frekuensi (n)

Presentasi (%)

Usia

40-49 tahun

50

56

50-60 tahun

40

44

Durasi Mejejaitan

2-4 jam per hari

41

45,6

4-6 jam per hari

19

21,1

6-8 jam per hari

11

12,2

8-10 jam per hari

6

6,7

10-12 jam per hari

7

7,8

>12 jam per hari

6

6,7

Tes WHAT

Negatif (0 = tidak nyeri)

43

47,8

Positif (1-3 = nyeri ringan)

24

26,7

Positif (4-6 = nyeri sedang)

19

21,1

Positif (7-9 = nyeri berat)

4

4,4

Positif (10 = nyeri tidak tertahankan)

0

0,0

Berdasarkan Tabel 1. menyajikan distribusi data usia responden yang banyak ditemukan pada usia 40 hingga 49 tahun (56%) sedangkan mayoritas responden berusia 50, 54, dan 60 tahun dengan jumlah 8 responden (8,9%). Distribusi data durasi mejejaitan dominan responden melakukan mejejaitan dengan durasi lama mejejaitan 2-4 jam per hari yakni sejumlah 41 responden (45,6%) dan paling sedikit melakukan mejejaitan dengan durasi lama mejejaitan 810 jam per hari dan >12 jam per hari yakni masing-masing sejumlah 6 responden (6,7%). Pada distribusi data tes WHAT ditemukan dari 90 responden sebanyak 47 responden (52,2%) positif mengalami de quervain syndrome dengan nyeri yang paling banyak ditemukan adalah nyeri ringan (skala NRS 1 sampai 3) sebanyak 24 responden (26,7%) dan 43 responden (47,8%) negatif mengalami de quervain syndrome dengan tidak nyeri (skala NRS 0).

Tabel 2. Distribusi Kejadian De Quervain Syndrome Berdasarkan Durasi Mejejaitan Durasi Mejejaitan * Tes WHAT Crosstabulation

Tes WHAT

Variabel

Negatif (0 = tidak nyeri)

Positif (1-3 = nyeri ringan)

Positif (4-6 = nyeri sedang)

Positif (7-9 = nyeri berat)

Positif (10 = nyeri tidak tertahankan)

Total

p

2-4 jam perhari

27

9

5

0

0

41

4-6 jam perhari

6

6

6

1

0

19

Durasi

6-8 jam perhari

6

4

1

0

0

11

mejejaitan

8-10 jam perhari

3

2

0

1

0

6

0,016

10-12 jam perhari

1

1

4

1

0

7

>12 jam perhari

0

2

3

1

0

6

Total

43

24

19

4

0

90

Berdasarkan Tabel 2. menampilkan dari cross-tabulation yang mengandung informasi terkait asosiasi variabe durasi mejejaitan dan variabel tes WHAT, serta memuat hasil analisis uji chi-square. Melalui hasil analisis tersebut diperoleh hasil nilai p yaitu 0,016 (p<0,05) yang berarti terdapat asosiasi yang signifikan terkait durasi mejejaitan terhadap kejadian de quervain syndrome.

DISKUSI

Karakteristik Data Penelitian

Penelitian ini menggunakan responden dengan karakteristik pedagang banten yang berdagang di pasar-pasar tradisional sekitar wilayah Kota Denpasar meliputi Pasar Badung, Pasar Sanglah, Pasar Sindhu, Pasar Nyanggelan, Pasar Satrya, Pasar Kerta Boga, Pasar Anyar Pitik, Pasar Wangaya, Pasar Abian Timbul, Pasar Banyu Sari, Pasar Ketapian, Pasar Tegal Arum dan sekitarnya yang diambil pada bulan Januari hingga Maret 2021 sebanyak 90 responden berjenis kelamin wanita pada rentang usia 40 hingga 60 tahun.

Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 1. dapat diketahui responden banyak ditemukan pada grup usia 40-49 tahun (56%) dibandingkan usia 50-60 tahun (44%). Hal ini relevan dengan penelitian Adachi et al tahun 2011 mengenai prevalensi kejadian de quervain syndrome pada subjek penelitian berjenis kelamin wanita bahwa banyak ditemukan terjadi de quervain syndrome pada grup usia 40 tahunan (16%) dibandingkan grup usia 50 tahunan (3,6%).17 Sesuai dengan Tabel 2. menunjukkan durasi mejejaitan paling banyak dilakukan selama 2-4 jam per hari dan terbanyak kedua dilakukan selama 4-6 jam perhari. Selaras dengan hasil yang ditunjukkan pada Tabel 2. mengenai hubungan durasi mejejaitan terhadap kejadian de quervain syndrome bahwa banyak ditemukan responden yang mengalami positif de quervain syndrome, dengan jumlah responden positif sebanyak 14 responden pada durasi mejejaitan 2-4 jam per hari dan 13 responden pada durasi mejejaitan 4-6 jam per hari.

Hal tersebut sesuai dengan penelitian tahun 2020 oleh Hardiyanty et al dilaporkan 18 dari 37 pemain game online mengalami de quervain syndrome setelah bermain game online lebih dari 4 jam per hari.18 Pemain game online menggunakan tangan untuk menggenggam ponsel dan jari telunjuk menopang ponsel, sementara ibu jari menekan atau mengetuk layar ponsel secara repetitif dengan sedikit jeda. Adapun pergerakan ibu jari pemain game online

meliputi bidang ekstensi-fleksi, abduksi-adduksi, dan oposisi ibu jari.19 Tabel 1. menampilkan hasil pemeriksaan tes WHAT dari 90 responden didapatkan sebanyak 47 responden (52,2%) mengalami positif de quervain syndrome dengan tingkat nyeri yang berbeda-beda dan sebanyak 43 responden (47,8%) mengalami negatif de quervain syndrome. Selaras dengan penelitian oleh Le Manac’H et al tahun 2011 postur pergelangan tangan yang menekuk secara berulang atau bertahan dalam postur ekstrim dan gerakan memutar secara berulang selama lebih dari 2 jam per hari menunjukkan semakin tinggi terjadinya de quervain syndrome.20 Aktivitas dengan jari-jari tangan hingga pergelangan tangan yang dilakukan dalam gerakan monoton yang berulang dengan repetisi tinggi tanpa mendapatkan waktu yang cukup untuk relaksasi akan menimbulkan stress pada otot oleh karena terjadi akumulasi asam laktat dan penekanan pada jaringan otot tersebut.21

Hubungan Durasi Mejejaitan dengan Kejadian De Quervain Syndrome

Sesuai dengan hasil penelitian pada Tabel 2. membahas distribusi kejadian de quervain syndrome berdasarkan durasi mejejaitan, serta menunjukkan hasil analisis uji chi-square yang telah dijabarkan dan didapatkan nilai p = 0,016 (p<0,05) yang bermakna terdapat asosiasi yang signifikan antara durasi mejejaitan atas kejadian de quervain syndrome. Serupa dengan penelitian tahun 2019 dengan subjek penelitiannya pemain mobile games oleh Ma et al yang melakukan aktivitas secara monoton dan berkepanjangan selama lebih dari 2,25 jam memiliki 3,16 kali lebih tinggi untuk hasil positif tes Finkelstein (OR, 3,16; 95% CI, 2,19-4,58; p<0,001).22 Risiko muskuloskeletal semakin meningkat sejalan dengan peningkatan jam kerja (nilai p=0,047, p<0,05).23 Oleh karena durasi kerja dipengaruhi oleh beban kerja, aktivitas kerja, dan juga jumlah pemesanan barang, demikian apabila pekerjaan yang monoton dan aktivitas kerja dengan gerakan statis tidak cukup efektif jika dilakukan dalam jangka waktu 8 jam yang termasuk jeda istirahat selama 1 jam, akhirnya membuat waktu kerja menjadi lebih dari 8 jam per hari.24 Hal ini dikaitkan dengan waktu terpapar fisik selama bekerja yang semakin meningkat seiring dengan meningkatnya durasi kerja dan berdampak pada prevalensi penyakit muskuloskeletal yang semakin naik.25

Durasi kerja yang lama ditambah dengan postur kerja tidak ergonomis yang dilakukan pedagang banten dalam melakukan aktivitas mejejaitan dapat meningkatkan pengaruh kemungkinan terjadinya de quervain syndrome. Dilaporkan suatu penelitian tahun 2017 oleh phuspa bahwa risiko perilaku tidak ergonomis dengan kejadian gangguan muskuloskeletal ditemukan adanya hubungan (nilai p=0,044, p<0,05) dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,260 yang mengarahkan ke hubungan yang positif.26 Posisi kerja tidak ergonomis mengakibatkan bagian tubuh berpindah dari posisi semula dan semakin jauh posisi tubuh dari pusat gravitasi dapat meningkatkan keluhan musculoskeletal.27 Selain itu, dapat pula menimbulkan beberapa gangguan kesehatan antara lain kelelahan otot, nyeri dan gangguan vaskularisasi.28 Postur tangan saat bekerja seperti postur mencubit (pinch grip) disertai gerakan fleksi-ekstensi dan abduksi pada pergelangan tangan ditambah frekuensi gerakan berulang yang tinggi (nilai p=0,001, p<0,05)21, postur pergelangan tangan dorsifleksi22, ekstensi ibu jari yang berulang dalam jangka panjang dikombinasikan dengan postur pergelangan tangan non-netral dapat menimbulkan risiko de quervain syndrome.29 Faktor pola kerja antara lain posisi berulang yang menahan beban, postur tangan pada posisi pergelangan tangan yang tegang saat menggenggam, postur tangan mencengkeram dengan ditambah gerakan dalam kecepatan tinggi dapat menjadi faktor pemicu de quervain syndrome, trigger finger maupun carpal tunnel syndrome.10 Sehingga apabila ibu jari tangan mengalami gangguan muskuloskeletal ini dapat mengganggu pengoordinasian pergerakan tangan dalam beraktivitas sehari-hari, dikarenakan peran ibu jari tangan sangat penting karena berfungsi mengatur pergerakan jari-jari tangan ketika menggenggam, mencubit atau menjepit.30

Keluhan pada ibu jari tangan diakibatkan karena adanya peradangan pada struktur jaringan pergelangan tangan.31 Keluhan yang biasa ditemukan adalah keluhan nyeri.30 Keluhan nyeri tersebut berkaitan dengan hubungan antara resistensi gerakan otot extensor pollicis brevis dan abductor pollicis longus dengan posisi pergelangan tangan ditemukan bahwa resistensi geser (sliding) maksimum diperoleh ketika pergelangan tangan berada pada posisi dorsifleksi maksimum. Resistensi gesekan yang meningkat dapat dengan mudah menyebabkan perubahan degeneratif dan kerusakan mekanis.32 Oleh karena itu, gerakan berulang yang membebani sendi carpometacarpal I seperti gesekan, tekanan, dan iskemia daerah persendian dapat menyebabkan peradangan dan merusak jaringan sehingga timbul nyeri.13 Hal ini relevan dengan penelitian Kuo et al tahun 2015 pada perwarnaan imunohistokimia COX-2, ditemukan bahwa peningkatan ekspresi COX-2 pada de quervain syndrome berkorelasi dengan tingkat keparahan de quervain syndrome.29

Penelitian ini memiliki keterbatasan diantaranya pada variabel durasi mejejaitan yang merupakan hasil wawancara dan bersifat subjektif, pada variabel kontrol yakni usia responden yang rentangan usianya cukup jauh, daerah persebaran responden pada penelitian ini yang luas, dan masih terbatasnya informasi maupun penelitian mengenai mejejaitan di Bali.

SIMPULAN

Simpulan yang dapat diambil yakni ditemukan hubungan yang relevan antara durasi mejejaitan terhadap kejadian de quervain syndrome pada pedagang banten di Kota Denpasar.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Badan Pusat Statistik Provinsi Bali B. Provinsi Bali Dalam Angka 2020 [Internet]. Provinsi Bali: BPS Provinsi Bali; 2020. 192–283 p. Available from: https://bali.bps.go.id

  • 2.    Hariana K. Banten Canang Sari sebagai Identitas Budaya Bali dalam Pewarisan Pendidikan Estetika dan Ecoart di Sulawesi Tengah. Semin Nas Seni dan Desain 2017. 2017;58–68.

  • 3.    Darmana K. Majejahitan dan wanita bali bagaikan mata uang dari perspektif pendekatan etnosains. 2008;1–13.

  • 4.    Mahayani NWAPM, Kebayantini NLN, Arjawa IGPBS. Perkembangan Modal Melalui Tradisi Mejejaitan Pada

Perempuan Bali Di Desa Budakeling. 2018;

  • 5.    Adhikang L. Sarathi Banten Di Bali Antara Profesi Dan Yadnya Dalam Perspektif Persaingan Pasar Bebas. J Pangkaja Progr Pascasarj Inst Hindu Dharma Negeri Denpasar. 2019;22(2):77–86.

  • 6.    Hsu CH, Liu PH, Yang KC, Chuang WY. Evaluation of staplers design on comparision of subjective rating and electromyogram. 2017 4th Int Conf Ind Eng Appl ICIEA 2017. 2017;31–4.

  • 7.    Bakhach J, Sci BJ, Res T, Chaya B, Bakhach E, Bakhach J. The De-Quervain Tenosynovitis : Literature Review. 2018;5(4):6650–2.

  • 8.    Ali M, Asim M, Hasan Danish S, Ahmad F, Iqbal A, Danish Hasan S. Frequency of de quervain’s tenosynovitis and its association with SMS texting. Muscles Ligaments Tendons J. 2014;4(1):74–8.

  • 9.    Shen P-C, Chang P-C, Jou I-M, Chen C-H, Lee F-H, Hsieh J-L. Hand tendinopathy risk factors in Taiwan. Medicine (Baltimore). 2019;98(1):e13795.

  • 10.    Laoopugsin N, Laoopugsin S. the Study of Work Behaviours and Risks for Occupational Overuse Syndrome. Hand          Surg           [Internet].          2012;17(02):205–12.          Available           from:

http://www.worldscientific.com/doi/abs/10.1142/S0218810412500207

  • 11.    Hubbard MJ, Hildebrand BA, Battafarano MM, Battafarano DF. Common Soft Tissue Musculoskeletal Pain Disorders. Prim Care - Clin Off Pract. 2018;45(2):289–303.

  • 12.    Papa JA. Conservative management of De Quervain’s stenosing tenosynovitis: a case report. J Can Chiropr Assoc                [Internet].               2012;56(2):112–20.               Available                from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22675224%0Ahttp://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=P MC3364060

  • 13.   Suryani A. Sindrom De Quervain : Diagnosis dan Tatalaksana. IDI - Contin Med Educ. 2018;45(8):592-5.

  • 14.  Ashurst J V., Turco DA, Lieb BE. Tenosynovitis caused by texting: An emerging disease. J Am Osteopath Assoc.

2010;110(5):294–6.

  • 15.  Goubau JF, Goubau L, Van Tongel A, Van Hoonacker P, Kerckhove D, Berghs B. The wrist hyperflexion and

abduction of the thumb (WHAT) test: A more specific and sensitive test to diagnose de Quervain tenosynovitis than the Eichhoff’s Test. J Hand Surg Eur Vol. 2013;39(3):286–92.

  • 16.    Suma’mur. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (HIPERKES). Padang, Sumatera Barat: Sagung Seto; 2009. 84–85

  • 17.    Adachi S, Yamamoto A, Kobayashi T, Tajika T, Kaneko T, Shibusawa K, et al. Prevalence of de Quervain’s Disease in the General Population and Risk Factors. Kitakanto Med J. 2011;61:479–82.

  • 18.    Hardiyanty N, Ramadani N, Tang A. Hubungan Intensitas Penggunaan Game Online Terhadap Resiko Kejadian De Quervain Syndrome Pada Pemain Games Online Smartphone Di Kota Makassar. J Fisioter dan Rehabil. 2020;4(1):34–40.

  • 19.    Epstein HAB. Texting Thumb. J Hosp Librariansh [Internet]. 2020;20(1):82–6. Available from: https://doi.org/10.1080/15323269.2020.1702846

  • 20.    Le Manac’h AP, Roquelaure Y, Ha C, Bodin J, Meyer G, Bigot F, et al. Risk factors for de quervain’s disease in a french working population. Scand J Work Environ Heal. 2011;37(5):394–401.

  • 21.    Amanda FN, Kurniawan B, Widjasena B. Hubungan Gerakan Berulang dan Postur Kerja Posisi Tangan Terhadap Kejadian De Quervain's Tenosynovitis Syndrome pada Buruh Sortasi Biji Kopi (Studi Kasus pada Buruh Sortasi Biji Kopi di Pt . X). J Kesehat Masy. 2020;8(4):490–6.

  • 22.    Ma T, Song L, Ning S, Wang H, Zhang G, Wu Z. Relationship between the incidence of de Quervain’s disease among teenagers and mobile gaming. Int Orthop. 2019;43(11):2587–92.

  • 23.    Fajri PN. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keluhan Muskuloskeletal Pekerja Laundry Di Keluahan Muktiharjo Kidul Semarang. 2015;1–16.

  • 24.    Ramadhiani KF, Widjasena B, Jayanti S. Hubungan Durasi Kerja, Frekuensi Repetisi Dan Sudut Bahu Dengan Keluhan Nyeri Bahu Pada Pkerja Batik Bagian Canting Di Kampoeng Batik Laweyan Surakarta. J Kesehat Masy. 2017;5(5):215–25.

  • 25.    Da Costa JT, Baptista JS, Vaz M. Incidence and prevalence of upper-limb work related musculoskeletal disorders: A systematic review. Work. 2015;51(4):635–44.

  • 26.    Phuspa SM. Hubungan Resiko Ergonomi dengan Kejadian Musculosceletal Disorder pada Pengguna Laboratorium Teknologi Pertanian Universitas X. Indones J Heal Sci. 2017;1(1):30–6.

  • 27.    Fuady AR. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Musculoskeletal Disorder (MSDs) Pada Pengrajin Sepatu Di Perkampungan Industri Kecil (PIK) Penggilingan Kecamatan Cakung Tahun 2013. Thesis. 2013.

  • 28.    Widana IK, Sumetri NW, Sutapa IK. Effect of improvement on work attitudes and work environment on decreasing occupational pain. Int J life Sci. 2018;2(3):86–97.

  • 29.    Kuo YL, Hsu CC, Kuo LC, Wu PT, Shao CJ, Wu KC, et al. Inflammation is present in De Quervain diseasecorrelation study between biochemical and histopathological evaluation. Ann Plast Surg. 2015;74(May):S146– 51.

  • 30.    prabaningrum N. Perbedaan Pengaruh Penambahan Neural Mobilization Pada Ultrasound Terhadap Pengurangan Nyeri Pada Kasus De Quervain Syndrome. Thesis. 2015.

  • 31.    Katana B, Jaganjac A, Bojičić S, Mačak Hadžiomerović A, Pecar M, Kaljić E, et al. Effectiveness of physica treatment at De Quervain᾽s disease. J Heal Sci. 2012;2(1):80–4.

  • 32.    Kutsumi K, Amadio PC, Zhao C, Zobitz ME, An KN. Gliding resistance of the extensor pollicis brevis tendon and abductor pollicis longus tendon within the first dorsal compartment in fixed wrist positions. J Orthop Res. 2005;23(2):243–8.

Karya ini dilisensikan dibawah: Creative Commons Attribution 4.0 International License.

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 10, Nomor 2 (2022), Halaman 84-88, Open Access Journal: https://ojs.unud.ac.id/index.php/mifi | 88 |