ORIGINAL ARTICLE

MAJALAH ILMIAH FISIOTERAPI INDONESIA

Volume 10, Nomor 1 (2022), Halaman 11-16 P-ISSN 2303-1921, E-ISSN 2722-0443

HUBUNGAN POSTUR KERJA DENGAN RISIKO MYOFASCIAL PAIN SYNDROME OTOT UPPER TRAPEZIUS PADA PENGRAJIN GERABAH DI DESA PEJATEN, TABANAN, BALI

Komang Embun Dini Hari1*, Sayu Aryantari Putri Thanaya2, Indira Vidiari Juhanna3, Anak Agung Gede Eka Septian Utama4

1Program Studi Sarjana Fisioterapi dan Profesi Fisioterapi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar,Bali 2,3,4Departemen Fisioterapi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar,Bali

*Koresponden: komangembundinihari@gmail.com

Diajukan: 8 Juni 2022 | Diterima: 19 Juni 2022 | Diterbitkan: 25 Januari 2022

DOI: https://doi.org/10.24843/MIFI.2022.v10.i01.p03

ABSTRAK

Pendahuluan: Myofascial pain syndrome atau myofascial trigger point syndrome (MPS) merupakan rasa nyeri yang dirasakan akibat adanya titik sensitif pada taut band. MPS muncul akibat kontraksi terus menerus karena aktivitas statis yang dilakukan selama bekerja yang menyebabkan hipoksia pada sel otot. Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya MPS adalah postur kerja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan postur kerja dengan risiko terjadinya myofascial pain syndrome otot upper trapezius pada perajin gerabah di Desa Pejaten, Tabanan, Bali.

Metode: Metode penelitian yang digunakan berupa metode observasional analitik cross-sectional dengan teknik purposive sampling pada 52 sampel yang sesuai dengan kriteria inklusi, eksklusi dan drop out. Pengumpulan data dilakukan dengan menganalisis postur kerja menggunakan RULA dan keberadaan MPS melalui palpasi oleh fisioterapis. Uji hipotesis yang digunakan berupa chi-square.

Hasil: Hasil dari analisis chi-square, diperoleh p = 0,019 sehingga p<0,05. Postur menunduk, memunculkan kontraksi eksentrik pada otot upper trapezius. Pada perajin gerabah, postur menunduk disertai dengan posisi punggung yang membungkuk atau fleksi, yang menambah pembebanan pada otot upper trapezius dan otot ekstensor leher lainnya untuk mempertahankan posisi kepala. Dengan dilakukannya postur menunduk secara statis dan dalam durasi yang lama, akan memunculkan trigger point. Kelelahan pada otot akan memicu munculnya metabolisme anaerobik yang menstimulasi otak untuk melepaskan zat kimia bradykinin, histamine dan serotonin. Zat kimia tersebut akan diterjemahkan oleh reseptor nyeri dan dipersepsikan sebagai nyeri MPS.

Simpulan: Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara postur kerja dengan risiko terjadinya myofascial pain syndrome otot upper trapezius pada perajin gerabah di Desa Pejaten.

Kata Kunci: myofascial pain syndrome, myofascial trigger point syndrome, postur kerja, perajin gerabah

PENDAHULUAN

Desa Pejaten merupakan salah satu desa di Bali dengan mayoritas masyarakatnya bermata pencaharian sebagai perajin gerabah.1 Perajin gerabah merupakan pekerja yang menekuni pengolahan tanah liat menjadi suatu produk gerabah, meliputi periuk, kendi, paso, cobek dll.1 Perajin gerabah masih menjadi mata pencaharian yang menjanjikan di Bali, karena produk gerabah masih digunakan dalam prosesi upacara adat, memenuhi kebutuhan masyarakat, hingga kebutuhan pariwisata. Pada perajin gerabah, ditemukan banyak keluhan nyeri leher yang kemungkinan diakibatkan oleh postur kerja yang buruk dengan durasi kerja yang melebihi 7 jam dan dilakukan secara statis.2 Postur kerja sangat berpengaruh dalam menentukan kesehatan kerja.3 Kategori postur kerja yang baik meliputi tubuh dalam posisi tegak, baik duduk ataupun berdiri, dada terangkat, bahu relax, dan leher sedikit menunduk dengan dagu berada satu garis dengan kepala.3 Kategori postur kerja yang buruk meliputi postur menunduk, membungkuk, tengadah terlalu lama, menyangga beban pada satu bahu, berbaring dengan posisi yang salah, dan gerakan berlebihan.3 Adanya postur kerja yang buruk mampu menurunkan kualitas kerja, kenyamanan kerja, memberi pembebanan statis bagi tubuh dan menyebabkan munculnya keluhan nyeri..3 Pada pembuatan gerabah, terdapat tujuh tahapan yang harus di lewati. Dari ketujuh tahapan tersebut terdapat postur menunduk pada tahapan pra-cetak, penggilingan dan finishing yang dilakukan selama 8 jam kerja per harinya.2 Durasi buruknya postur kerja dapat memberi pengaruh yang signifikan terdahap munculnya nyeri musculoskeletal terutama nyeri myofascial yang biasa muncul pada leher.2,4,5 Secara biomekanik, postur menunduk perajin gerabah menyebabkan otot leher maupun trunk dalam keadaan fleksi, otot-otot fleksor leher dan trunk akan cenderung mengalami kontraksi konsentrik dan otot-otot antagonis atau ekstensor seperti otot trapezius, scalene, levator scapula, splenius cavitis dan semi spinalis cavitis, akan berkontraksi secara eksentrik dan mengeluarkan gaya lebih besar untuk mempertahankan posisi sehingga kepala tidak jatuh ke depan.6

Postur kerja yang buruk dapat menurunkan 846.000 hari kerja tiap tahunnya yang menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas kerja yang menyebabkan perusahaan mengalami kemunduran.7 Dengan dilakukannya postur kerja statis dalam kurun waktu lebih dari 7 jam tentunya dapat memberikan beban kerja yang berat bagi psikis ataupun

otot pekerja.5 Postur menunduk membutuhkan kontraksi dari otot-otot leher, apabila kontraksi berlangsung secara terus menerus dalam durasi yang lama dan disertai pembebanan statis, mampu memunculkan kontraksi vascular, gangguan aliran darah, hipoperfusi, hipoksia hingga iskemia sehingga terjadi kerusakan otot, keasaman lokal, pelepasan yang berlebihan dari substansi, potassium, calcitonin-gene-related-peptide (CGRP), bradykinin, substansi p, dan adanya sensitisasi pada nociceptor otot yang menyebabkan kerusakan jaringan myofascial yang memunculkan keluhan nyeri musculoskeletal.8 Keluhan musculoskeletal yang sering terjadi pada otot leher adalah myofascial pain syndrome (MPS). Studi membuktikan bahwa 55% kasus postur kerja dengan gejala nyeri kepala dan leher, muncul akibat dari MPS.9 MPS mampu berdampak lebih buruk kedepannya dibandingkan permasalahan musculoskeletal lainnya, yaitu dapat menurunkan status gerak fungsional penderita dengan nyeri dan kehilangan fungsi.10 Penderita juga akan mengalami penurunan kualitas hidup akibat munculnya keterbatasan fungsional dari nyeri tersebut.10 MPS adalah nyeri yang dirasakan penderita pada trigger point akibat adanya taut band atau benjolan.5,11 MPS cenderung muncul pada regio leher, 93,75% MPS terjadi pada otot upper trapezius.9 MPS rentan terjadi pada rentang usia produktif yaitu 27,5-50 tahun.10 Sangat berbahaya apabila pekerjaan yang rutin dilakukan dapat mengganggu aktivitas sehari-hari, memunculkan keluhan musculoskeletal hingga menimbulkan kehilangan fungsi gerak. Tidak hanya berdampak pada diri sendiri, kemunculan keluhan musculoskeletal juga berdampak pada penurunan kinerja yang mampu menurunkan omset tempat bekerja.7 Sejauh ini, wawasan masyarakat terutama para perajin gerabah dan perusahaan gerabah mengenai pengaruh postur kerja terhadap kondisi kesehatan pekerja masih minim, sehingga usaha pencegahan masih belum dilakukan. Selain itu, belum ada yang meneliti hubungan postur kerja perajin gerabah dengan kemunculan MPS pada otot upper trapezius. Maka, tujuan dilakukannya penelitian ini adalah 1) Untuk mengetahui gambaran umum mengenai MPS otot upper trapezius, 2) Untuk mengetahui hubungan postur kerja dengan risiko terjadinya MPS otot upper trapezius pada perajin gerabah di Desa Pejaten, 3) Untuk menambah pengetahuan bagi para pembaca mengenai hubungan postur kerja duduk dengan risiko terjadinya MPS.

METODE

Metode penelitian yang digunakan berupa metode observasional analitik cross sectional dengan teknik purposive sampling. Penelitian menyasar 52 sampel perajin gerabah yang ada di Desa Pejaten, Kabupaten Tabanan, Bali yang sesuai dengan kriteria inklusi, eksklusi serta drop out yang telah ditentukan. Kriteria inklusi dari penelitian ini adalah sampel berusia 27-50 tahun, mampu berkomunikasi dengan baik, bekerja dalam durasi 7 – 8 jam/hari, bekerja pada tahapan pra-cetak, penggilingan dan finishing, dan bersedia mengisi informed consent. Sedangkan kriteria eksklusi penelitian ini adalah sampel memiliki riwayat kecelakaan, cedera atau gangguan leher sebelum bekerja, sampel merupakan pasien dengan tanda-tanda neurologis seperti stroke, HNP, dan permasalahan neurologis lainnya dan sampel dinyatakan drop out apabila tidak hadir pada saat penelitian. Penelitian telah dilaksanakan pada Januari 2021 dengan variabel terikat dari penelitian ini adalah MPS yang merupakan data nominal, variabel bebas berupa postur kerja yang merupakan data ordinal, variabel terkontrol adalah usia, durasi kerja, trauma otot dan juga tahapan pekerjaan dan variabel perancu dalam penelitian ini adalah fasilitas kerja dan lama kerja.

Sampel akan dijelaskan terlebih dahulu prosedur yang akan dilakukan dan meminta ijin apakah diperkenankan untuk memegang area bahu hingga leher bagian belakang. Jika pasien mengijinkan, pasien diminta menandatangani informed consent, dilanjutkan dengan Fisioterapis akan melakukan palpasi dan mencari keberadaan trigger point atau tonjolan yang sangat sensitif pada area otot upper trapezius. Apabila ditemukan tonjolan dan saat di berikan tekanan atau friction sampel akan merasa nyeri, tingkat kualitas nyeri akan di ukur menggunakan Visual Analogue Scale (VAS) dengan skala satu sampai sepuluh. Setelah itu, postur kerja sampel akan diukur menggunakan Rapid Upper Limb Assesment (RULA) dengan mengisi lima belas langkah pada form RULA dan pengambilan foto foto dari tiga sisi yaitu atas, samping, dan belakang sebagai bahan analisis derajat portur menggunakan goniometer.

Setelah memperoleh data, analisis dilakukan dengan analisis data univariat untuk menganalisis gambaran umum tentang frekuensi dan persentase jenis kelamin, usia, keberadaan MPS, kualitas nyeri dan juga hasil analisis RULA. Serta menggunakan analisis bivariat menggunakan chi-square untuk mengetahui hubungan antara postur kerja dengan risiko terjadinya MPS pada otot upper trapezius. Penelitian ini sudah memenuhi ijin dari Komisi Etik Universitas Udayana dengan SK NO:678/UN14.2.2.VII.14/LT/2020.

HASIL

Setelah dilakukan pengambilan data dan dilakukan analisis univariat, ditemukan data seperti tabel dibawah ini distribusi frekuensi berdasarkan usia.

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Usia

Usia

Frekuensi

Persentase (%)

27

5

9,6

28

1

1,9

29

2

3,8

31

1

1,9

32

2

3,8

33

1

1,9

36

3

5,8

37

2

3,8

39

1

1,9

40

5

9,6

Lanjutan Tabel 1. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Usia Usia Frekuensi Persentase (%)

41

2

3,8

43

3

5,8

44

1

1,9

45

3

5,8

46

2

3,8

47

5

9,6

48

6

11,5

49

2

3,8

50

5

9,6

Total

52

100

Berdasarkan Tabel 1. usia sampel penelitian dari 27 – 50 tahun dengan sampel terbanyak berusia 48 tahun (11,5%) dan rata-rata usia sampel adalah 40,8269 tahun dan standar deviasi dari usia sampel adalah 7,67405. Pada usia tersebut merupakan usia produktif seseorang untuk bekerja.

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin.

Jenis Kelamin

Frekuensi (n)

Persentase (%)

Perempuan

37

71,2

Laki-laki

15

28,8

Total

52

100

Tabel 2. didapatkan hasil bahwa dari 52 keseluruhan sampel, lebih banyak sampel perempuan yaitu 37 sampel (71,2%), dibandingkan laki-laki (28,8%).

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Keberadaan MPS.

MPS    Frekuensi (n) Persentase (%)

Ya

40

76,9

Tidak

12

23,1

Total

52

100,0

Berdasarkan Tabel 3. dari 52 distribusi frekuensi berdasarkan keberadaan MPS, dtemukan 40 sampel (76,9%) memiliki MPS dan 12 sampel (23,1%) tidak memiliki MPS.

Tabel 4. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kualitas Nyeri MPS.

Kualitas Nyeri      Frekuensi (n) Persentase (%)

Tidak Nyeri

12

23,1

Nyeri Ringan

15

28,8

Nyeri Sedang

23

44,2

Nyeri Berat

2

3,8

Total

52

100,0

Hasil pada Tabel 4. dari 52 sampel terdapat 40 sampel yang memiliki MPS dan mengalami nyeri. Sebanyak 15 sampel (28,8%) memerasakan nyeri ringan, dalam VAS sampel menunjukan skala 0,5 – 4,4. Sebanyak 23 sampel (44,2%) merasakan nyeri sedang dengan skala 4,5 – 7,4. Sebanyak 2 sampel (3,8%) mengalami nyeri berat dengan skala 7,5 – 10.

Tabel 5. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Hasil RULA.

RULA

Frekuensi (n)

Persentase (%)

Risiko Ringan

8

15,4

Risiko Sedang

23

44,2

Risiko Berat

21

40,4

Total

52

100,0

Berdasarkan Tabel 5. dari 52 sampel semuanya memiliki risiko kemunculan musculoskeletal disorder upper extremity. Terdapat 8 sampel (15,4%) memiliki risiko ringan dan perlu investigasi lebih lanjut serta perbaikan postur kerja mungkin dibutuhkan, 23 sampel (44,2%) memiliki risiko sedang dan diperlukan investigasi lebih lanjut serta perbaikan segera postur kerja dan 21 sampel (40,4%) memiliki risiko berat yang perlu diinvestigasi lebih lanjut dan perlu perbaikan langsung.

Tabel 6. Analisis Hubungan RULA dan MPS.

RULA

MPS

Total        p

Ya

Tidak

Risiko Ringan

4 (10%)

4 (33,3%)

8 (15,4%)

Risiko Sedang

16 (40%)

7 (58,3%)

23 (44,2%)  0,019

Risiko Berat

20 (50%)

1 (8,3%)

21 (40,4%)

Total

40 (100%)

12 (100%)

52 (100%)

Berdasarkan Tabel 6. dari 40 sampel yang memiliki MPS, yang memiliki risiko ringan dan perlu investigasi lebih lanjut serta perbaikan postur kerja mungkin dibutuhkan adalah 4 sampel (10%). Sebanyak 16 sampel (40%) memiliki

risiko sedang dan diperlukan investigasi lebih lanjut serta perbaikan segera postur kerja. Sebanyak 20 sampel (50%) memiliki risiko berat yang perlu diinvestigasi lebih lanjut dan perlu perbaikan langsung. Dari 52 sampel terdapat 12 sampel yang tidak memiliki MPS namun memiliki risiko kemunculan musculoskeletal disorder pada upper extremity saat dilakukan analisis RULA. Diantaranya 4 sampel (33,3%) memiliki risiko ringan dan dan perlu investigasi lebih lanjut serta perbaikan postur kerja mungkin dibutuhkan, 7 sampel (58,3%) risiko sedang dimana perlu dilakukan investigasi lebih lanjut serta perbaikan segera postur kerja dan 1 sampel (8,3%) risiko berat yang tentunya perlu diinvestigasi lebih lanjut dan perlu perbaikan langsung. Hasil asymptotic significance (2-sided) dalam uji chi-square didapatkan hasil 0,019 yang menunjukan asymptotic significance < 0,05. Apabila asymptotic sig. <0,05 ada hubungan yang signifikan antara kedua variabel yaitu MPS dan RULA.

DISKUSI

Karakteristik Sampel Penelitian

Hasil analisis univariat menemukan bahwa dari rentang usia 27-50 tahun, mayoritas sampel berusia 48 tahun sebanyak 6 sampel (11,5%). Dari 52 sampel, mayoritas adalah perempuan dengan 37 sampel (71,2%). Banyaknya perajin perempuan pada sampel dikarenakan pada tahap pra-cetak, penggilingan dan finishing mayoritas dikerjakan perempuan. Laki-laki mayoritas bekerja di tahapan yang lebih berat terutama dengan beban kerja yang lebih tinggi dibandingkan perempuan, yaitu pada tahap persiapan bahan baku, pengolahan, pemotongan tanah liat, angkat angkut gerabah ke proses pembakaran dll.

Berdasarkan hasil penelitian mengenai kemunculan MPS pada perajin gerabah, ditemukan bahwa dari 52 sampel terdapat 40 sampel (76,9%) memiliki MPS dengan kualitas nyeri ringan sebanyak 15 sampel (28,8%) nyeri sedang sebanyak 23 sampel (44,2%) dan nyeri berat sebanyak 2 sampel (3,8%). Banyaknya perajin yang mengalami MPS dikarenakan pandangan perajin kearah benda kerja cenderung terlalu menunduk, selain itu kondisi meja kerja yang tidak sesuai dengan postur perajin juga mendukung timbulnya postur menunduk.3 Hal ini selaras dengan penelitian kemunculan MPS pada penjahit yang menunduk dalam durasi lama, dari 70 sampel terdapat 41 sampel (58,6%) yang memiliki MPS.12 Penelitian lain juga dilakukan pada pekerja kantor yang mengetik secara terus menerus dengan postur menunduk, dan terbukti bahwa postur menunduk saat mengetik mampu memunculkan MPS otot upper trapezius pekerja kantor di Denpasar (p=0,000).13 Postur menunduk, memunculkan kontraksi eksentrik pada otot upper trapezius. Kontraksi secara ekstrensik ini bertujuan untuk menopang posisi tubuh terutama kepala agar tidak terjatuh kedepan dan tetap dalam posisi tegak. Pada perajin gerabah, postur menunduk disertai dengan posisi punggung yang membungkuk atau fleksi, yang menambah pembebanan pada otot upper trapezius dan otot ekstensor leher lainnya untuk mempertahankan posisi kepala.6,14 Apabila kontraksi otot dilakukan dalam durasi yang lama, secara terus-menerus atau bersifat kontinyu, disertai dengan postur tubuh atau gerakan yang salah, serta penataan dan peralatan kerja yang tidak sesuai akan membuat otot ekstensor leher kelelahan,15 dan memunculkan trigger point. Kelelahan pada otot akan memicu munculnya metabolisme anaerobik yang menstimulasi otak untuk melepaskan zat kimia bradykinin, histamin dan serotonin. Zat kimia tersebut akan diterjemahkan oleh reseptor nyeri dan dipersepsikan sebagai nyeri MPS.14

Berdasarkan hasil penelitian mengenai kualitas nyeri MPS yang dirasakan perajin gerabah, dari 52 keseluruhan sampel terdapat 40 sampel yang memiliki MPS dan mengalami nyeri. Sebanyak 15 sampel (28,8%) memerasakan nyeri ringan, 23 sampel (44,2%) merasakan nyeri sedang dan 2 sampel (3,8%) mengalami nyeri berat. Nyeri muncul akibat keberadaan trigger point. Pada penelitian ini ditemukan nyeri trigger point pasif dan aktif. Mayoritas ditemukan nyeri trigger point pasif yang merupakan rasa nyeri yang timbul hanya pada saat diberi penekanan. Nyeri trigger point pasif ini bisa menjadi nyeri trigger point aktif yang akan memunculkan nyeri saat melakukan pergerakan aktif pada bagian otot yang mengalami trigger point.16 Berdasarkan hasil wawancara, bagi perajin yang sudah mengalami trigger point aktif, nyeri tersebut sangat mengganggu aktivitas dan menurunkan performa kerja. Berdasarkan penelitian yang dilakukan sebelumnya, nyeri MPS mampu mengganggu mobilitas, dan mengurangi kesejahteraan secara menyeluruh.10

Kemunculan MPS dan nyeri akibat MPS tidak lain disebabkan karena postur kerja yang salah. Berdasarkan hasil penelitian data RULA, pada tahapan pra-cetak, penggilingan dan finishing ditemukan postur kerja yang buruk hingga menimbulkan MPS. Ditemukan bahwa dari 52 sampel terdapat 8 sampel (15,4%) dengan risiko kemunculan permasalahan musculoskeletal ringan, 23 sampel (44,2%) risiko sedang dan 21 sampel risiko berat (40,4%). Berdasarkan hasil penelitian mayoritas ditemukan perajin gerabah pada tahapan pra-cetak, penggilingan dan finishing mengalami risiko sedang hingga berat. Berdasarkan penelitian yang sudah dilaksanakan di Klaten, proses dalam pembuatan gerabah tidak sesuai dengan kaidah ergonomi, buruknya postur kerja timbul dikarenakan pengaruh peralatan kerja yang digunakan, terutama pada tahap persiapan bahan baku, pengukuran, pra-cetak, penggilingan, penjemuran, dan finishing. Postur membungkuk, menunduk, posisi lengan dan kaki yang cenderung menekuk dengan adanya beban dan durasi yang lama menyebabkan perajin mengalami keluhan.2

Hasil Uji Hubungan Postur Kerja terhadap Kemunculan Myofascial Pain Syndrome

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara postur kerja pada perajin gerabah terhadap kemunculan MPS pada otot upper trapezius. Kemunculan MPS pada perajin gerabah diakibatkan karena postur menunduk, disertai postur membungkuk, tangan yang menekuk, dan gerakan memutar pada leher (rotasi) yang dilakukan secara statis dan durasi yang lama. Postur menunduk juga terbukti mampu memunculkan MPS pada pekerja kantor yang mengetik. Dari 53 sampel pekerja kantor yang berumur 20-50 tahun, didapatkan 34 (64,2%) sampel mengalami keluhan MPS. Ada hubungan yang bermakna antara postur kerja mengetik terhadap keluhan MPS otot upper trapezius pada pekerja kantor di Denpasar (p=0,000).13

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada penjahit juga ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara postur kerja menjahit dengan kejadian MPS otot upper trapezius di Kecak Garmen (p=0,000). Dari 70 sampel dimana 41 orang penjahit (58,6%) mengalami keluhan MPS. Hal ini akibat adanya postur kerja yang buruk pada saat menjahit, salah satunya menunduknya leher akibat meja jahit yang terlalu rendah.12 Adanya kontraksi eksentrik otot upper trapezius akibat postur menunduk yang terus menerus dan berulang menyebabkan kerusakan pada retikulum sarkoplasma otot upper trapezius dan menyebabkan Ca2+ yang terlepas dari retikulum sarkoplasma tak terkontrol menuju celah sinaps, otot akan berkontraksi secara involunter disertai dengan vasokostriksi lokal yang akan menimbulkan hipoksia.16 Hipoksia akan menyebabkan kerusakan pada mitokondria dan struktur sel otot lainnya. Kerusakan struktur sel menyebabkan Ca2+ tidak dapat kembali ke celah sinaps, miosin tidak bisa terlepas dengan aktin dan panjang sarkomer otot tidak dapat kembali (relaksasi).17,18 Pemendekan pada sarkomer atau kontraksi otot secara terus menerus akan memunculkan taut band dan menyebabkan trigger point yang berujung pada kemunculan MPS.17,18

Namun dari 52 sampel penelitian, terdapat 12 sampel yang tidak memiliki MPS tetapi memiliki risiko kemunculan musculoskeletal disorder pada upper extremity saat dilakukan analisis RULA. Hal ini mengindikasikan bahwa kemunculan MPS juga dipengaruhi beberapa faktor selain postur kerja, seperti lama kerja, dan kemampuan individual dalam mengompensasi beban kerja.19 Maka disarankan untuk dilakukan penelitian terkait hubungan postur kerja dengan kemunculan MPS yang dikaitkan dengan variable-variabel lainnya.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara postur kerja dengan risiko terjadinya MPS otot upper trapezius pada perajin gerabah di Desa Pejaten,Tabanan, Bali. Kedepannya, perlu dilakukan langkah pencegahan berupa penyediaan fasilitas kerja yang mampu meminimalisir kemunculan postur kerja yang buruk serta edukasi postur kerja yang baik kepada perajin gerabah, guna menciptakan suasana kerja yang baik dan nyaman baik bagi perajin dan perusahaan. Diharapkan, untuk penelitian yang lebih lengkap kedepannya, dapat menambahkan variabel lain yaitu faktor pemicu kemunculan MPS yang dapat diteliti untuk memperkuat hasil penelitian dan menggunakan cara atau temuan terbaru untuk mendiagnosa keberadaan MPS selain dengan melakukan palpasi.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Adiputra K, Suardina IN, Mudra IW. Inovasi Kerajinan Gerabah I Wayan Kuturan Di Desa Pejaten Kecamatan

Kediri Kabupaten Tabanan Provinsi Bali. PRABANGKARA J Seni Rupa dan Desain [Internet]. 2018;22:127–37. Available from: https://jurnal.isi-dps.ac.id/index.php/prabangkara/article/view/578

  • 2.    Priyono J. Analisis Postur Kerja dan Redesign Peralatan Kerja Menggunakan Metode Quick Exposure Check

(QEC) Pada Operator Kerajinan Percetakan Gerabah (Studi Kasus: Home Industry Bapak Sutrisno, Wedhi, Bayat, Klaten) [Internet]. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Universitas Muhammadiyah Surakarta; 2014. Available from: http://eprints.ums.ac.id/id/eprint/32353

  • 3.    Belayana IBGB, Darmadi IGW, Mahayana IMB. Hubungan Faktor Waktu Kerja, Waktu Istirahat dan Sikap Kerja

terhadap Keluhan Nyeri Tengkuk pada Pengerajin Ukiran Kayu. J Kesehat Lingkung [Internet]. 2014;Volume 4(No.   1):6–15. Available from:   http://www.poltekkes-denpasar.ac.id/files/JURNAL KESEHATAN

LINGKUNGAN/Ida Bagus Gde Bayu Belayana1, I Gede Wayan Darmadi2,.pdf

  • 4.    Hoyle JA, Marras WS, Sheedy JE, Hart DE. Effects of postural and visual stressors on myofascial trigger point

development and motor unit rotation during computer work. J Electromyogr Kinesiol [Internet]. 2011 Feb;21(1):41–8. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.jelekin.2010.04.006

  • 5.    Hwang U, Kwon O, Yi C, Jeon H, Weon J, Ha S. Predictors of upper trapezius pain with myofascial trigger points

in food service workers. Medicine (Baltimore) [Internet]. 2017  Jun;96(26):e7252. Available from:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5500039/

  • 6.    Neumann DA. Kinesiology of The Musculoskeletal System-E-Book: Foundations For Rehabilitation. United

States: Elsevier Health Sciences; 2013. 251–285 p.

  • 7.   Jalajuwita RN, Paskarini I. HUBUNGAN POSISI KERJA DENGAN KELUHAN MUSKULOSKELETAL PADA UNIT

PENGELASAN PT. X BEKASI. Indones J Occup Saf Heal [Internet]. 2015 Jan 1;4(1):33. Available from: https://e-journal.unair.ac.id/index.php/IJOSH/article/viewFile/1640/1265

  • 8.    Shah JP, Thaker N, Heimur J, Aredo J V., Sikdar S, Gerber L. Myofascial Trigger Points Then and Now: A

Historical and Scientific Perspective. PM&R [Internet]. 2015 Jul 1 [cited 2021 Jun 18];7(7):746–61. Available from: http://doi.wiley.com/10.1016/j.pmrj.2015.01.024

  • 9.    Cerezo-Téllez E, Torres-Lacomba M, Mayoral-del Moral O, Sánchez-Sánchez B, Dommerholt J, Gutiérrez-Ortega

  • C. Prevalence of Myofascial Pain Syndrome in Chronic Non-Specific Neck Pain: A Population-Based CrossSectional Descriptive Study. Pain Med [Internet]. 2016  Dec;17(12):2369–77. Available from:

https://academic.oup.com/painmedicine/article-lookup/doi/10.1093/pm/pnw114

  • 10.    Jafri MS. Mechanisms of Myofascial Pain. Int Sch Res Not [Internet]. 2014 Aug 18;2014:1–16. Available from: https://www.hindawi.com/journals/isrn/2014/523924/

  • 11.    Desai MJ, Saini V, Saini S. Myofascial Pain Syndrome: A Treatment Review. Pain Ther [Internet]. 2013 Jun 12;2(1):21–36. Available from: https://link.springer.com/article/10.1007/s40122-013-0006-y

  • 12.    I P Griadhi IPAAIA. THE RELATIONSHIP BETWEEN WORKING POSTURE WHILE SEWING WITH OCCURENCE OF MYOFASCIAL PAIN SYNDROME UPPER TRAPEZIUS MUSCLE ON TAILORS IN KECAK GARMENT. Maj Ilm Fisioter Indones [Internet]. 2019 Sep 15;7(3):9. Available from: https://ojs.unud.ac.id/index.php/mifi/index

  • 13.    Fatara R, Saraswati PAS, Primayanti IDAID. THE RELATION BETWEEN WORK POSTURE WHEN TYPING

WITH COMPLAINTS OF MYOFASCIAL PAIN SYNDROME IN UPPER TRAPEZIUS MUSCLE AMONG OFFICE WORKERS IN DENPASAR. Maj Ilm Fisioter Indones [Internet]. 2019 Sep 15;7(3):13. Available from: https://ojs.unud.ac.id/index.php/mifi/article/view/54655

  • 14.    Putri NPN, A. Juhanna I. Sutadarma ID. The CORRELATION BETWEEN WORK POSTURE AND WORK SITTING DURATION WITH RISK OF NECK DISABILITY IN DENPASAR CITY WORKERS. Maj Ilm Fisioter Indones [Internet]. 2019 May 27;7(1):1–5. Available from: https://ocs.unud.ac.id/index.php/mifi/article/view/49613

  • 15.   Mufti D, Suryani E, Sari N. Kajian Postur Kerja Pada Pengrajin Tenun Songket Pandai Sikek. J Ilm Tek Ind

[Internet]. 2013;12(1):62–72. Available from: http://journals.ums.ac.id/index.php/jiti/article/view/661

  • 16.   Maruli WO, Sutjana ID, Indrayani AW. Perbandingan Myofascial Release Technique dengan Contract Relax

Stretching terhadap penurunan nyeri pada sindroma Myofascial otot Upper Trapezius. Maj Ilm Fisioter Indones [Internet]. 2014;2(3):3. Available from: https://ojs.unud.ac.id/index.php/mifi/article/view/8470/6314

  • 17.  Wangko S. JARINGAN OTOT RANGKA Sistem membran dan struktur halus unit kontraktil. J BIOMEDIK

[Internet]. 2014 Dec 15;6(3). Available from: https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/biomedik/article/view/6330

  • 18.   Alboneh RF, Ariyanto A, Arifin KK. Pengaruh penambahan ultrasound pada myofascial release terhadap

penurunan nyeri pada myofascial syndrome otot upper trapezius [Internet]. UNISA Yogyakarta; 2017. Available from: http://digilib2.unisayogya.ac.id/handle/123456789/1880

  • 19.    Zain A. SIKAP KERJA DAN KEJADIAN MYOFASCIAL PAIN SYNDROME PADA LEHER DAN BAHU PEMETIK KOPI DI DESA PASRUJAMBE KABUPATEN LUMAJANG. Universitas Jember; 2017.

    fc) ©


Karya ini dilisensikan dibawah: Creative Commons Attribution 4.0 International License.

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 10, Nomor 1 (2022), Halaman 11-16, Open Access Journal: https://ojs.unud.ac.id/index.php/mifi | 16 |