AKTIVITAS FISIK BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN NYERI DISMENORE PRIMER PADA REMAJA PUTRI



I Gusti Ayu Diah Anjaswari1*, I Gusti Ayu Artini2, Ni Komang Ayu Juni Antari3, Ni Luh Nopi Andayani4

1Program Studi Sarjana Fisioterapi dan Profesi Fisioterapi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana,Denpasar, Bali 2Departemen Farmakologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Denpasar, Bali

  • 3,4Departemen Fisioterapi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Denpasar, Bali

Diajukan: 5 Februari 2023 | Diterima: 19 April 2023 | Diterbitkan: 25 April 2023

DOI: https://doi.org/10.24843/MIFI.2023.v11.i01.p18

ABSTRAK

Pendahuluan: Dismenore primer didefinisikan sebagai kondisi nyeri haid atau menstruasi tanpa adanya kondisi panggul yang abnormal. Ada beberapa faktor yang dapat memperberat atau meringankan gejala dismenore primer, salah satunya adalah aktivitas fisik. Aktivitas fisik berperan penting dalam mencegah nyeri haid dengan meningkatkan pelepasan endorfin dan mempengaruhi hormon hipofisis untuk mengurangi nyeri yang berhubungan dengan dismenore. Selain itu, Indeks Massa Tubuh (IMT) mempengaruhi munculnya nyeri dismenore akibat kurangnya asupan gizi pada seseorang dengan IMT rendah maupun akibat gangguan hiperplasia pembuluh darah pada seseorang dengan IMT tinggi.

Metode: Penelitian ini menggunakan metode analitik observasional dengan metode cross sectional. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah simple random sampling. Pada penelitian ini jumlah sampel sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan yaitu 40 orang. Data penelitian yang dikumpulkan berupa aktivitas fisik yang diukur dengan kuesioner GPAQ serta pengukuran derajat nyeri dismenore primer yang diukur menggunakan kuesioner dismenore dan Numeric Rating Scale (NRS).

Hasil: Melalui kuesioner GPAQ ditemukan sebagian besar sampel memiliki aktivitas berat dan melalui pengukuran nyeri ditemukan sampel paling banyak mengeluhkan nyeri ringan. Uji hipotesis spearman rho digunakan untuk menganalisis hubungan antara aktivitas fisik dengan derajat nyeri dismenore primer pada remaja putri dengan IMT normal di SMA Negeri 1 Semarapura dan diperoleh nilai p sebesar 0,002 (p<0,05).

Simpulan: Terdapat hubungan signifikan antara aktivitas fisik dengan derajat dismenore primer pada remaja putri dengan indeks massa tubuh normal di SMA Negeri 1 Semarapura.

Kata Kunci: aktivitas fisik, dismenore primer, IMT

PENDAHULUAN

Perkembangan pubertas terjadi selama masa remaja, yang tercermin dalam tanda-tanda sekunder dan primer. Tanda pubertas sekunder pada wanita muda antara lain pinggul membesar, payudara membesar, dan tumbuhnya rambut di ketiak dan alat kelamin. Sedangkan tanda utama pubertas adalah menstruasi atau haid. Ketika mengalami haid atau menstruasi pada beberapa remaja putri sering kali disertai dengan adanya gangguan, salah satunya yaitu dismenore. Di Indonesia diperkirakan persentase dismenore mencapai angka 60-70%, sebagian besar didominasi oleh dismenore primer yaitu sebanyak 54,89% dan 45,11% merupakan dismenore sekunder.1

Dismenore merupakan gangguan menstruasi berupa timbulnya rasa tidak nyaman yaitu rasa nyeri, baik nyeri diam atau nyeri tekan pada area perut dan panggul saat menstruasi. Kondisi ini dapat berakibat pada terganggunya aktivitas sehari-hari dan harus mendapat pengobatan. Dismenore dapat dibedakan menjadi dua jenis. Pertama, dismenore primer yaitu nyeri menstruasi yang berulang dengan tidak disertai kondisi patologis atau kelainan pada panggul yang teridentifikasi. Kedua, dismenore sekunder yaitu gejala rasa tidak nyaman berupa nyeri menstruasi yang berhubungan atau disertai dengan adanya kelainan dan atau gangguan pada panggul seperti contohnya penyakit radang panggul, endometriosis, dan kista ovarium.2

Dismenore dapat terjadi akibat berbagai faktor penyebab seperti usia, indeks massa tubuh, menarke yang lebih dini, periode menstruasi yang lama, adanya riwayat dismenore pada keluarga, dan aktivitas fisik.1 Indeks Massa Tubuh (IMT) kurus pada remaja dapat diakibatkan oleh tidak terpenuhinya zat gizi dalam tubuh sehingga terjadinya kekurangan cadangan gizi dalam jaringan. Hal tersebut akan mempengaruhi ketahanan tubuh terhadap nyeri menjadi berkurang.1 Sedangkan pada wanita dengan IMT overweight cenderung mempunyai lemak berlebihan sehingga menyebabkan terjadinya hiperplasia atau penebalan pembuluh darah pada organ reproduksi dan akan menyebabkan dismenore pada wanita.1 Seseorang dengan IMT overweight memiliki persentase dua kali lipat lebih besar dapat menyebabkan dismenore jika dibandingkan pada seseorang yang memiliki IMT underweight.3

Kurangnya olahraga menjadi salah satu penyebab dismenore. Aktivitas fisik berperan penting dalam mencegah nyeri haid dengan cara meningkatkan sekresi endorfin, sehingga dapat menjadi analgesik non spesifik pada wanita penderita dismenore.4 Aktivitas fisik tinggi pada wanita dapat menurunkan kemungkinan untuk mengalami dismenore

dibandingkan dengan wanita yang kurang aktif beraktivitas fisik. Frekuensi dismenore akan lebih tinggi pada wanita yang tidak cukup berolahraga. Ketika mengalami dismenore akan terjadi penyempitan pembuluh darah akibat kurangnya aliran oksigen ke pembuluh darah dari organ reproduksi. Jika seorang wanita berolahraga secara teratur, dia mampu mengirimkan hampir dua kali lipat jumlah oksigen per menit untuk mengoksigenasi pembuluh darah dengan vasokonstriksi.5 Hal ini menyebabkan penurunan kejadian dismenore dengan teratur berolahraga. Aktivitas fisik penting untuk menjaga kebugaran tubuh. Hanya saja, saat ini aktivitas fisik remaja semakin berkurang, yang sebelumnya dengan mudah beraktivitas diluar ruang, sekarang banyak batasannya akibat pandemi COVID-19.6

Gejala dismenore yang paling umum adalah kram perut, nyeri punggung bawah, kelelahan, depresi, gangguan tidur, dan sakit kepala. Pada saat yang sama, gejala seperti mual dan muntah hanya terjadi pada 15% remaja.7 Kadar prostaglandin yang tinggi menyebabkan nyeri pada dismenore dan gejala sistemik lainnya. Kadar prostaglandin pada wanita dengan dismenore akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan wanita normal atau tanpa dismenore.8 Prostaglandin dapat merangsang kontraksi miometrium dengan menyebabkan vasokonstriksi, iskemia, dan nyeri.9 Sebagian besar pelepasan prostaglandin selama menstruasi terjadi selama 48 jam awal atau pada puncak gejala.9 Dismenore mengakibatkan penurunan aktivitas dan nyeri yang berat sehingga menyebabkan keputusan untuk tidak hadir kerja atau sekolah. Seseorang dengan dismenore cenderung merasakan rasa yang mudah marah, murung, rasa gelisah, sulit tidur, serta kesulitan dalam berinteraksi dengan baik terhadap lingkungan masyarakat.10

Dismenore dapat ditangani baik melalui penanganan dari segi farmakologis ataupun non farmakologis. Penanganan farmakologis yang dapat dilakukan, seperti konsumsi obat non steroid prostaglandin, obat analgetik, dan terapi hormonal. Sedangkan pelaksanaan terapi non farmakologis dapat berupa kompres hangat, relaksasi, dan juga olahraga.11 Olahraga merupakan salah satu penanganan untuk mengurangi timbulnya dismenore dengan persentase efek samping yang cukup rendah. Olahraga sendiri dapat menjadi salah satu alternatif kegiatan relaksasi dengan tujuan untuk mengurangi timbulnya nyeri dismenore.4

Aktivitas fisik seseorang khususnya remaja sangat berpengaruh terhadap kejadian dismenore primer sehingga mengetahui hubungan antara aktivitas fisik dengan derajat nyeri dismenore primer sangat diperlukan guna mengetahui pentingnya aktivitas fisik dapat mengurangi nyeri dismenore primer khususnya pada siswa SMA.

METODE

Penelitian ini menggunakan metode observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 1 Semarapura yang berlangsung pada bulan Juli 2022. Subyek penelitian ini ditentukan dengan teknik probability sampling dengan menggunakan metode simple random sampling, yang sebelumnya telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah siswi SMA Negeri 1 Semarapura yang bersedia mengisi informed consent. Berusia 15-17 tahun dengan IMT normal, telah mengalami menstruasi, memiliki gejala nyeri dismenore primer yang diidentifikasi dengan mengisi kuesioner dismenore. Kriteria eksklusi yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah ada riwayat nyeri panggul di luar siklus menstruasi, perdarahan di luar siklus menstruasi, memiliki anggota keluarga dengan dismenore, cedera ataupun operasi pada abdomen diketahui melalui proses wawancara pada seleksi sampel. Subjek yang terdaftar dalam penelitian ini berjumlah 40 subjek. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah aktivitas fisik. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah dismenore primer. Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah umur dan indeks massa tubuh normal.

Pengukuran IMT dilakukan dengan mengukur berat badan dan tinggi badan dari sampel menggunakan timbangan dan microtoise. Sampel yang dipilih adalah sampel dengan IMT normal untuk menghindari adanya bias penelitian dari faktor IMT. Pengukuran tingkat aktivitas fisik pada penelitian ini menggunakan kuesioner Global Physical Activity Questionnaire (GPAQ) yang telah divalidasi untuk mengukur aktivitas fisik pada kelompok umur 15-84 tahun, dengan reliabilitas tinggi (Kappa=0,67-0,73) dan validitas sedang (r=0,48). Dismenore primer diukur menggunakan kuesioner dismenore yang akan mendiagnosis sementara jenis dismenore dan lama menstruasi yang dialami dengan wawancara form assessment dan juga akan mengukur tingkat keparahan nyeri dismenore primer dengan NRS. Hasil pengukuran nyeri dismenore primer dapat dikategorikan menjadi nyeri dengan kategori ringan, nyeri dengan kategori sedang, dan nyeri dengan kategori berat.

Uji statistik yang digunakan pada penelitian ini, yaitu analisis univariat dan analisis bivariat. Analisis univariat dilakukan untuk melihat gambaran umum mengenai usia, indeks massa tubuh, aktivitas fisik, lama menstruasi dan derajat nyeri dismenore primer. Analisis bivariat yang digunakan pada penelitian ini yaitu spearman rho.

Penelitian ini telah mendapat persetujuan oleh Komisi Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar dengan nomor keterangan kelaikan etik 1048/UN14.2.2.VII.14/LT/2022.

HASIL

Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Usia, IMT dan Lama Menstruasi (n=40)

Variabel

Frekuensi (n)

Presentase

Usia

15 tahun

8

20%

16 tahun

28

70%

17 tahun

4

10%

Indeks Massa Tubuh Normal

40

100 %

Lama Menstruasi Normal

28

70%

>Normal

12

30%

Berdasarkan Tabel 1. tersebut dapat diketahui bahwa sampel penelitian ini memiliki umur yang berkisar antara 15-17 tahun, dengan umur terbanyak 16 tahun dan terendah di umur 17 tahun. Berdasarkan indeks massa tubuh diketahui sampel yang diambil adalah sampel dengan IMT kategori normal sehingga didapatkan nilai rata-rata IMT seluruh sampel yaitu sebesar 21,02 kg/m2. Sedangkan pada variabel lama menstruasi, diketahui sampel penelitian rata-rata mengalami menstruasi selama 2-7 hari atau pada kategori normal.

Tabel 2. Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Aktivitas Fisik

Ringan

Aktivitas Fisik Sedang

Berat

Total

Dismenore Ringan

3

6

16

25

Dismenore Sedang

2

2

4

8

Dismenore Berat

5

2

0

7

Total

10

10

20

40

Berdasarkan Tabel 2. variabel nyeri dismenore primer, klasifikasi nyeri dibedakan dalam tiga kelompok yaitu nyeri ringan, sedang, dan berat. Pada penelitian ini didapatkan 62,5 persen atau 25 orang dari total sampel mengalami nyeri dismenore ringan, sebesar 20 persen atau 8 orang dari total sampel mengalami nyeri dismenore sedang, dan 17,5 persen atau 7 orang dari total sampel mengalami nyeri dismenore yang parah.

Berdasarkan data yang ada diketahui bahwa lebih dari separuh sampel penelitian hanya mengalami dismenore ringan. Pada variabel aktivitas fisik ditemukan bahwa 10 orang atau 25% sampel melakukan aktivitas fisik ringan, 10 orang atau 25% sedang dan 20 orang atau 50% dari total sampel melakukan aktivitas fisik berat. Dari data tersebut terlihat bahwa mayoritas berada dalam kategori tingkat aktivitas fisik tinggi. Perbedaan jenis aktivitas sampel pada kategori aktivitas fisik tinggi dan sampel aktivitas fisik rendah terletak pada aktivitas rekreasi. Beberapa siswa lebih suka menonton drama dan siswa lainnya memilih gimnasium untuk mengisi waktu luang mereka. Perbedaan sampel aktivitas juga terlihat pada aktivitas perjalanan, dimana sebagian siswa memilih berjalan kaki ke sekolah, sebagian menggunakan kendaraan roda dua, dan sebagian diantar ke sekolah.

Tabel 3. Hasil Uji Korelasi Spearman Rho Mengenai Hubungan Aktivitas Fisik Dengan Derajat Nyeri Dismenore Primer Uji Korelasi

Nilai p 0,002

Berdasarkan Tabel 3. diketahui nilai p sebesar 0,002 (p<0,05), sehingga berdasarkan dasar pengambilan keputusan di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara aktivitas fisik dengan derajat nyeri dismenore primer pada remaja putri di SMA Negeri 1 Semarapura.

DISKUSI

Gambaran Subjek Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2022 di SMA Negeri 1 Semarapura. Penelitian ini dilaksanakan selama dua hari. Hari pertama, pemilihan sampel dengan menyesuaikan pada kriteria inklusi dan eksklusi. Pengambilan sampel yang sesuai dengan kriteria dilakukan secara acak, sehingga total sampel penelitian sebanyak 40 orang. Kemudian pada hari kedua, dilakukan pengukuran sampel untuk mengetahui skor aktivitas fisik serta derajat nyeri dismenore primer yang dialami sampel.

Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 1. diketahui bahwa rata-rata umur sampel penelitian adalah 15,90 tahun dan kelompok umur sampel bervariasi antara 15 sampai dengan 17 tahun. Pada usia tersebut termasuk usia puncak dismenore, dengan puncak dismenore primer terjadi antara usia 15 sampai 25 tahun.12 Tabel 1. juga memberikan gambaran hasil IMT sampel penelitian yaitu rata-rata IMT sampel penelitian diketahui sebesar 21,02 kg/m2, yang berada dalam kisaran normal. Sedangkan mengenai lama haid diketahui bahwa pada sampel penelitian rata-rata haid adalah 2-7 hari atau termasuk dalam kategori normal.

Hubungan Aktivitas Fisik Dengan Derajat Nyeri Dismenore Primer pada Remaja Putri di SMA Negeri 1 Semarapura

Berdasarkan Tabel 3. diketahui bahwa 62,5% dari total sampel mengalami tingkat nyeri kategori ringan, 20% dari total sampel mengalami tingkat nyeri kategori sedang, dan sisanya sebanyak 17,5% dari total sampel mengalami tingkat nyeri kategori berat. Untuk variabel aktivitas fisik diperoleh hasil bahwa 25% dari total sampel melakukan aktivitas fisik ringan, 25% dari total sampel melakukan aktivitas fisik sedang, dan 50% dari total sampel melakukan aktivitas fisik berat. Berdasarkan statistik Tabel 3. dengan menggunakan uji statistik spearman rho menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara aktivitas fisik dengan derajat dismenore primer pada remaja dengan nilai p 0,002. Aktivitas fisik sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap tingkatan nyeri pada seseorang dengan dismenore primer didefinisikan sebagai setiap gerakan yang dihasilkan dan dikendalikan oleh sistem muskuloskeletal serta memerlukan pengeluaran energi dari dalam tubuh. Aktivitas fisik dapat dilakukan dengan intensitas yang berbeda selama waktu senggang, mulai dari intensitas rendah, sedang, hingga intensitas yang tinggi. Aktivitas fisik berperan penting dalam pencegahan nyeri haid dengan cara meningkatkan sekresi endorfin, sehingga dapat menjadi pereda nyeri non spesifik pada wanita dengan dismenore primer. Selain itu, latihan fisik diperlukan untuk mengurangi pelepasan hormon prostaglandin. Aktivitas fisik seperti olahraga teratur dapat mengatasi dismenore primer dikarenakan ketika berolahraga otot jantung akan memompa darah lebih kuat dan meningkatkan kebugaran tubuh, sehingga mempengaruhi hormon pituitari untuk melepaskan zat opiat endogen yang disebut beta-endorfin yang berperan sebagai analgesik dari nyeri non spesifik dan dapat mengurangi timbulnya rasa nyeri pada dismenore. Karena itu, aktivitas fisik yang tinggi akan membantu menurunkan derajat nyeri pada dismenore primer, begitu sebaliknya.13

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya oleh Sugiyanto dan Luli dimana sampel pada penelitian ini menyasar siswa kelas XII SMK di Yogyakarta. Sampel penelitian ini terdiri dari 51 responden dan dipilih secara proporsional random sampling. Alat ukur pada penelitian ini berupa kuesioner Physical Activity Questionnaire for Adolescents (PAQ-A) dan ditemukan sebanyak 49% responden berada pada kategori aktivitas fisik rendah, sebanyak 9,8% berada pada kategori aktivitas fisik sedang, dan sisanya sebanyak 7,8% memiliki aktivitas fisik tinggi, serta 2% dari responden menunjukkan aktivitas fisik sangat tinggi. Bersamaan dengan pengumpulan data nyeri dismenore primer melalui kuesioner dismenore, didapatkan 9,8% responden mengalami nyeri haid ringan, 47,1% sedang, dan 43,1% dismenore berat. Pada penelitian ini, hasil uji korelasi dengan menggunakan metode Kendall-Tau menunjukkan nilai p sebesar 0,000 atau kurang dari 5%, yang berarti aktivitas fisik berhubungan dengan nyeri dismenore primer.13

Berdasarkan penelitian lainnya pada tahun 2018 menemukan hal yang sama, dimana diketahui bahwa aktivitas fisik dapat mempengaruhi dari terjadinya dismenore. Penelitian mengambil responden mahasiswi dan menemukan bahwa seseorang yang melakukan aktivitas fisik kurang atau rendah beresiko lebih untuk mengeluhkan dismenore berat daripada responden dengan aktivitas tinggi. Hal itu dibuktikan dengan nilai uji bivariat pada penelitian ini yang menunjukkan hasil p=0,002 (p<0,05).14

Sebuah studi tahun 2019 yang menyasar siswi SMA di Tuban, menemukan bahwa aktivitas fisik bermanfaat dalam mengurangi dismenore primer. Penelitian ini menemukan bahwa responden yang bebas dari dismenore primer kebanyakan aktif dalam melakukan berbagai aktivitas fisik, dan hanya sedikit yang memiliki nilai aktivitas fisik dalam kategori ringan. Selain itu, ditemukan bahwa responden yang memiliki aktivitas fisik ringan sebagian besar mengeluhkan dismenore primer, dan beberapa responden tidak mengeluhkan dismenore. Berdasarkan data tersebut, aktivitas fisik responden dapat dikorelasikan dengan nyeri dismenore primer. Aktivitas fisik sendiri dapat memperbaiki kondisi sistem kardiovaskular, meningkatkan kadar mineral tulang, meredakan nyeri haid, dan meredakan gejala sindrom pramenstruasi. Selain itu, dapat membantu mengurangi stres, menghilangkan rasa sakit, serta menjaga kesehatan, dan meningkatkan suasana hati.15

Gejala dismenore primer dapat diminimalisir melalui berbagai jenis aktivitas fisik. Salah satunya, menurut penelitian oleh Wahyuni dkk. menemukan bahwa core strengthening exercise yang dilakukan sebanyak tiga kali seminggu selama tujuh minggu dan gerakan dilakukan dengan repetisi sebanyak 8 kali dapat efektif mengurangi nyeri akibat dismenore primer. Core strengthening exercise memiliki tujuan dalam peningkatan kekuatan dari kelompok otot di sekitar area lumbal. Hal itu dapat membantu dalam mengurangi rasa nyeri selama masa dismenore pada wanita. Latihan penguatan core dapat meningkatkan kekuatan otot-otot perut, gluteus maximus, serta otot-otot back extensor yang akan membantu mobilisasi area lumbal bawah sehingga dapat berdampak pada peningkatan lumbar stability. Latihan penguatan core akan membantu otot intrinsik pada area punggung bawah untuk dapat dikondisikan siap dalam melakukan kerja yang lebih berat. Latihan ini dapat dapat meningkatkan kekuatan otot core, sehingga akan menyebabkan daya tahan dan kesiapan otot untuk melakukan aktivitas sehari-hari lebih tinggi atau bahkan jika dalam kondisi tekanan akibat siklus menstruasi.16

Kegiatan-kegiatan atau aktivitas fisik tersebut tidak hanya dapat dilakukan ketika sudah mengalami dismenore saja, tetapi baik juga dilakukan untuk mencegah timbulnya dismenore. Olahraga sebaiknya rutin dilakukan untuk mendapatkan manfaat yang maksimal bagi tubuh. Selain melalui aktivitas fisik, penanganan pada dismenore melalui terapi non farmakologis dapat berupa pemberian kompres hangat pada area nyeri, melakukan massage atau pemijatan, terapi musik, dan sebagainya. Tentunya hal tersebut lebih baik jika dapat dilakukan konsultasi terlebih dahulu pada ahli di bidangnya.16

Keterbatasan dalam penelitian ini, yaitu hanya dapat mempertimbangkan pengaruh aktivitas fisik terhadap derajat nyeri dismenore primer pada remaja putri dengan IMT normal, sementara ada faktor lain yang juga berperan besar dalam meningkatkan risiko nyeri dismenore primer, yaitu faktor menarke pada usia dini. Wanita yang mengalami menarche di bawah usia 12 tahun atau menarke dini memiliki resiko dismenore 23% lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang menarche pada usia 12-14 tahun. Hal ini disebabkan oleh karena wanita dengan menarche dini terpapar prostaglandin lebih lama, sehingga menyebabkan kram dan nyeri pada perut. Wanita yang menarche dini mempunyai konsentrasi hormon estradiol serum yang lebih tinggi.17 Meningkatnya hormon estradiol yang dipicu oleh tingginya asupan daging maupun susu dari sapi yang disuntikkan hormon pertumbuhan berperan dalam mengatur onset pubertas pada wanita.1 Saran yang dapat diberikan kepada peneliti selanjutnya adalah untuk dapat mengendalikan dan mengembangkan faktor lain yaitu menarke dini, yang berpengaruh terhadap dismenore. Bagi responden yang menderita dismenore primer dapat disarankan untuk melakukan berbagai kegiatan seperti jalan santai, bersepeda ke sekolah, dan olahraga teratur.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pada remaja putri dengan indeks massa tubuh normal di SMA Negeri 1 Semarapura terdapat hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik dengan derajat nyeri dismenore primer. Hal ini berarti peningkatan aktivitas fisik dapat berpotensi mengurangi tingkat nyeri yang dialami oleh remaja putri selama menstruasi. Hal ini menunjukkan pentingnya mendorong remaja putri untuk terlibat dalam aktivitas fisik secara teratur sebagai strategi pencegahan atau pengelolaan nyeri dismenore primer, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kualitas hidup mereka selama masa menstruasi.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Novia I, Nunik Puspitasari dan, Kabupaten Sidoarjo R, Biostatistika dan Kependudukan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga D. Faktor Risiko yang Mempengaruhi Kejadian Dismenore Primer.

  • 2.    Sadiman S. Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dismenorhea. J Kesehat. 2017;8(1):41. doi:10.26630/jk.v8i1.392

  • 3.    Hartono B, Leuhery FC. Artikel Penelitian The Relationship between Body Mass Index with the Incidence of Dysmenorrhea in Students of Faculty of Medicine. J Kedokt Meditek. 2020;26(1):17-22.

  • 4.    Homai HM, Shafai FS, Zoodfekr L. Comparing menarche age, Menstrual regularity, Dysmenorrhea and analgesic consumption among athletic and non-athletic female students at universities of Tabriz-Iran. Int J Women’s Heal Reprod Sci. 2014;2(5):307-310. doi:10.15296/ijwhr.2014.50

  • 5.    Link M. Premenstrual syndrome (PMS). Encycl Endocr Dis. 2018;7(1):432-435. doi:10.1016/B978-0-12-801238-3.03915-5

  • 6.    Atta K, Jawed S, Zia S. Correlating Primary Dysmenorrhea with Its Stressors: A Cross Sectional Study Investigating The Most Likely Factors of Primary Dysmenorrhea and Its Effects on Quality Of Life and General Well Being. Jumdc. 2016;7(4):43-51.

  • 7.    De Sanctis V, Soliman AT, Elsedfy H, Soliman NA, Elalaily R, El Kholy M. Dysmenorrhea in adolescents and young adults: A review in different countries. Acta Biomed. 2016;87(3):233-246.

  • 8.    Mrugacz G, Grygoruk C, Sieczyński P, Grusza M, Bołkun I, Pietrewicz P. [Etiopathogenesis of dysmenorrhea]. Med Wieku Rozwoj. 2013;17(1):85-89.

  • 9.    Subekti NM, Prasetyanti DK, Nikmah ANN. Gambaran faktor yang mempengaruhi kesiapan dalam menghadapi pubertas pada remaja. J Mhs Kesehat. 2020;1(2):159-165.

  • 10.    Aziato L, Dedey F, Clegg-Lamptey JNA. The experience of dysmenorrhoea among Ghanaian senior high and university students: pain characteristics and effects. Reprod Health. 2014;11:58. doi:10.1186/1742-4755-11-58

  • 11.   Marlinda R. Pengaruh senam Disminore. J Keperawatan Matern. 2013;1(2):118-123.

  • 12.   Ibrahim NK, AlGhamdi MS, Al-Shaibani AN, et al. Dysmenorrhea among female medical students in King

Abdulaziz University: Prevalence, Predictors and outcome. Pakistan J Med Sci. 2015;31(6):1312-1317. doi:10.12669/pjms.316.8752

  • 13.    Sugiyanto, Luli NA. Hubungan Aktivitas Fisik dengan Tingkat Dismenore pada Siswi Kelas XII SMK Negeri 2 Godean Sleman Yogyakarta. Univ Res Colloquim 2020. Published online 2020:7-15. http://repository.urecol.org/index.php/proceeding/article/view/979

  • 14.    Lestari DR, Citrawati M, Hardini N. Hubungan Aktivitas Fisik dan Kualitas Tidur dengan Dismenorea pada Mahasiswi FK UPN “Veteran” Jakarta. Maj Kedokt Andalas. 2018;41(2):48. doi:10.25077/mka.v41.i2.p48-58.2018

  • 15.    Kusumaningrum T, Nastiti AA, Dewi LC, Lutfiani A. The correlation between physical activity and primary dysmenorrhea in female adolescents. Indian J Public Heal Res Dev. 2019;10(8):2559-2563. doi:10.5958/0976-5506.2019.02252.6

  • 16.    Wahidah Y, Ilmu Kesehatan UMS F. Efektifitas Core Strengthening Exercise Dalam Mengurangi Nyeri Akibat Dysmenorrhea Primer.; 2019.

  • 17.    Larasati, T. A. A, Alatas F. Dismenore Primer dan Faktor Risiko Dismenore Primer pada Remaja. Majority. 2016;5(3):79-84.

    G) ®


Karya ini dilisensikan dibawah: Creative Commons Attribution 4.0 International License.

\Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 11, Nomor 1 (2023), Halaman 96-100, Open Access Journal: https://ojs.unud.ac.id/index.php/mifi |100|