Bahasa Using di Desa Serut Kecamatan Panti Kabupaten Jember
on
https://ojs.unud.ac.id/index.php/linguistika/
DOI: https://doi.org/10.24843/ling.2021.v28.i01.p5
LINGUISTIKA, MARET 2021
p-ISSN: 0854-9613 e-ISSN: 2656-6419
Vol. 28 No.1
Bahasa Using di Desa Serut Kecamatan Panti Kabupaten Jember
Elok Darojatin1, Agus Sariono2, Hairus Salikin3 1Magister Ilmu Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember 2Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember 3
3Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember e-mail: [email protected]1 e-mail: [email protected]2 e-mail: [email protected]3
Abstract--This study described the maintenance of Using language in Serut village, Panti, Jember regency and the factors influencing the situation of language maintenance. This study included into the qualitative study. The data in this study were the written and spoken information. This study used ethnographic communication approach which was the data collection works into two steps, they were observation and indepth interview. The data analysis in this study was divided into three parts: data reduction, data presentation, and pulling the conclusion. The conclusions of this study were the condition of Using language maintenance in Desa Serut, Kecamatan Panti, Kabupaten Jember categorized as high. The older age speaker was, the higher Using language maintenance speaker would be. In contrast, the younger age speaker was, the lower maintenance speaker would be. The speaker in the lower social class has a high Using language maintenance rather than a high social class. The factors that affected it were 1). The force of national language, 2). The inheritance of the language, 3). The interlanguage contact, 4). The interethnic marriage, and 5). The acknowledge of identity.
Keywords: language maintenance; Using language; minority language
Abstrak--Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pemertahanan bahasa Using di Desa Serut, Kecamatan Panti, Kabupaten Jember dan faktor-faktor yang mempengaruhi situasi pemertahanan bahasa di wilayah tersebut. Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kualitatif. Wujud data dalam penelitian ini berupa informasi lisan dan tulis. Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi komunikasi yang mana metode pengumpulan data dilakukan melalui dua tahapan, yaitu observasi dan wawancara mendalam. Analisis data dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kondisi pemertahanan bahasa Using di Desa Serut, Kecamatan Panti, Kabupaten Jember dalam ranah keluarga dan ketetanggaan tergolong tinggi. Semakin tua usia penutur bahasa, maka semakin tinggi pula tingkat pemertahanannya terhadap bahasa Using. Sebaliknya, semakin muda usianya, maka semakin rendah pula tingkat pemertahanannya. Penutur bahasa yang berada pada status sosial rendah memiliki tingkat pemertahanan lebih tinggi daripada lingkungan status sosial tinggi. Faktor-faktor yang mempengaruhinya antara lain: 1). desakan bahasa nasional, 2). pewarisan bahasa, 3). kontak antarbahasa, 4). perkawinan antaretnis, dan 5). pengakuan identitas.
Kata Kunci— pemertahanan bahasa; bahasa Using; bahasa minoritas
Vol. 28 No.1
Tak satupun manusia yang mengetahui berapa banyak bahasa yang punah terhitung sejak pertama kalinya manusia berbahasa sampai saat ini. Belum ada kepastian jumlah bahasa di dunia ini, namun dapat diperkiraan sekitar 6.000 sampai 10.000 bahasa (Almurashi, 2017: 63). Beberapa kasus kepunahan bahasa yang terjadi diakibatkan oleh kedatangan kelompok etnik tertentu yang berasimilasi dengan masyarakat dominan, lalu mereka mengadopsi bahasanya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa bahasa daerah di Indonesia juga mengalami pergeseran sebelum akhirnya mengalami kepunahan. Bahasa daerah memiliki keunikan tersendiri yang berbeda antara satu dengan lainnya. Namun, seperti diungkapkan di atas, keberagaman bahasa ini tidak abadi dikarenakan banyak penutur yang mulai meninggalkan bahasa lamanya dan beralih menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa daerah yang baru.
Kepunahan suatu bahasa tidak serta merta terjadi tanpa adanya proses pergeseran sebelumnya. Seperti halnya yang terjadi pada perilaku berbahasa masyarakat Desa Serut Kecamatan Panti. Penduduk Desa Serut Kecamatan Panti menggunakan 3 bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari, yaitu bahasa Jawa dan Madura sebagai bahasa mayoritas serta bahasa Using sebagai bahasa minoritas. Selain bahasa daerah, penduduk Desa Serut Kecamatan Panti juga menggunakan bahasa Indonesia, biasanya digunakan oleh keluarga muda untuk berkomunikasi dengan anggota keluarganya, utamanya anak-anak.
Bahasa Using merupakan bahasa yang digunakan oleh masyarakat Using atau masyarakat Blambangan (Asrumi, 2002). Abdullah dalam Asrumi (2002) menyebutkan bahwa bahasa Using merupakan bahasa yang digunakan oleh orangorang yang menamakan dirinya wong Using. Mereka tinggal di wilayah paling timur pulau Jawa yaitu Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur. Berdasarkan hasil kajian tahun 1924, wilayah Blambangan mencakup wilayah yang
terbentang dari daerah perbatasan Kabupaten Lumajang ke arah timur sampai dengan Selat Bali, sehingga sekarang diperkirakan mencakup wilayah Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jember (Erna & Sofyan, 2002). Hingga saat ini masih terdapat kelompok-kelompok masyarakat di Jember yang mengaku sebagai masyarakat Using dilihat dari penggunaan bahasa sehari-hari, salah satunya di Kecamatan Panti.
Menurut pengakuan penduduk asli Desa Serut, sekitar 50 tahun yang lalu bahasa Using merupakan bahasa yang paling banyak dipakai (mayoritas) oleh masyarakat setempat. Namun saat ini para generasi muda mulai meninggalkannya dan beralih menggunakan bahasa Jawa dan Madura. Upaya pewarisan bahasa Using dari orang tua kepada anak-anaknya melalui cara berkomunikasi secara intens dalam ranah keluarga rupanya belum membuahkan hasil yang maksimal. Selain itu tidak adanya dukungan pemerintah dalam mempertahankan bahasa Using di wilayah setempat membuat keberlangsungan bahasa Using menjadi semakin berkurang.
Keinginan kuat para penutur bahasa Using di Desa Serut untuk tetap melestarikan bahasanya bertentangan dengan situasi dan perkembangan zaman. Misalnya, dalam ranah pendidikan pembelajaran bahasa daerah bukan bahasa Using melainkan bahasa Jawa padahal bahasa Ibu di wilayah setempat adalah bahasa Using.
Using pada dasarnya masih menjadi perdebatan antara Using sebagai bahasa ataukah Using hanya sebagai dialek dari bahasa Jawa. Melalui penelitian ini penulis memutuskan Using sebagai bahasa atas landasan ilmu masyarakat bahasa (speech community) dalam bidang kajian sosiolingistik. Terdapat 3 macam masyarakat bahasa, yaitu sebahasa dan saling mengerti, sebahasa tetapi tidak saling mengerti, dan berbeda bahasa tetapi saling mengerti (Djokokoentjoro, 1982). Bahasa Using di sini tidak dapat disamakan dengan bahasa Using yang berada di pusatnya, yaitu Banyuwangi. Bahasa Using di Jember memiliki perbedaan secara semantis, fonologis, dan leksikal dengan bahasa Using yang berada di
Vol. 28 No.1
Banyuwangi. Perbedaan ini dipengaruhi oleh faktor geografis yang jauh dengan pusat budaya Using (Banyuwangi) serta kondisi multietnik di wilayah Kabupaten Jember yang cenderung terpengaruh bahasa Jawa (Erna & Sofyan, 2002).
Terkait dengan situasi pemertahanan bahasa Using di wilayah Desa Serut, Kecamatan Panti, Kabupaten Jember. Permasalahan dalam penelitian ini difokuskan pada dua hal. Pertama, bagaimana deskripsi pemertahanan bahasa Using di tengah-tengah kondisi multibahasa di Desa Serut dalam ranah keluarga dan ketetanggaan? Kedua, Faktor apa yang mempengaruhi kondisi pemertahanan bahasa Using di Desa Serut dalam ranah keluarga dan ketetanggaan?
Penelitian ini memiliki jenis penelitian kualitatif yaitu sebuah penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lain (Basrowi & Suwandi, 2008: 20). Data dalam penelitian ini berupa informasi tentang deskripsi pemertahanan bahasa Using di Desa Serut, Kecamatan Panti, Kabupaten Jember yang berwujud data lisan dan tulis. Data lisan berupa kalimat deskriptif atau informasi tentang kondisi bahasa Using terkini di wilayah penelitian.
Data ini didapatkan melalui kegiatan wawancara mendalam dan pengamatan atau observasi terlibat dalam wilayah penelitian selama 1 bulan (20 Maret-20 April 2019). Sedangkan data tulis berupa catatan profil desa berisi informasi tentang jumlah penduduk, luas wilayah, jumlah dusun, jumlah RT dan RW, pendidikan dan pekerjaan penduduk di Desa Serut.
Sedangkan, data tulis didapatkan melalui petugas kantor Desa Serut. Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi komunikasi yang mana metode pengumpulan data dilakukan melalui dua tahapan, yaitu observasi atau pengamatan dan wawancara mendalam. Tahapan analisis data dibagi menjadi tiga, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi.
-
3. Hasil dan Pembahasan
-
3.1 Deskripsi Pemertahanan Bahasa Using di Tengah Kondisi Multibahasa
-
Bahasa, selain alat untuk berkomunikasi antarmanusia, merupakan sebuah identitas yang melekat pada setiap manusia. Kepunahan bahasa dan budaya tidak hanya berakibat pada punahnya entitas bahasa sebagai sarana komunikasi atau alat untuk berinteraksi antarmanusia, tetapi lebih pada permasalahan punahnya konsepsi nilai-nilai budaya lokal yang berada di dalam simbol kebahasaan (Kusnadi, 2002: 1). Nilai-nilai budaya lokal yang terkandung di dalam ungkapan atau simbol kebahasaan menjadi kekayaan peradaban manusia serta mencerminkan interaksi manusia dengan lingkungannya. Kearifan lokal suatu masyarakat tercermin di dalam bahasa yang mereka gunakan. Kehadiran bahasa baru tidak mampu menggantikan nilai budaya karena bahasa adalah sebuah unsur yang sangat penting, yaitu peradaban manusia, dalam identitas budaya masyarakat.
Dalam hal ini, setiap penutur bahasa di Desa Serut dihadapkan pada tiga pilihan bahasa yaitu bahasa Jawa dan Madura sebagai bahasa mayoritas, serta bahasa Using sebagai bahasa minoritas sekaligus bahasa Ibu penduduk asli di wilayah ini.
Pada ranah keluarga mereka menggunakan bahasa Using dengan sedikit pengaruh bahasa Jawa. Begitu juga dalam ranah ketetanggaan, mereka menggunakan bahasa Using dengan sedikit pengaruh bahasa Jawa. Penutur bahasa pada kategori ini mengaku tidak mampu berbahasa Jawa krama (tingkatan bahasa Jawa yang diperuntukkan kepada orang yang lebih tua atau lebih dihormati) meskipun lawan tuturnya adalah orang yang berusia lebih tua. Menurut hasil wawancara, salah satu informan bernama S memiliki mertua beretnis Madura sedangkan S tidak bisa berbahasa Madura. Maka, dia lebih memilih untuk tetap berbahasa using. Berikut ini percakapan S (informan) dan P (penulis) terkait penggunaan bahasanya dalam sehari-hari:
Vol. 28 No.1
Data 1:
P: Sama orang yang lebih tua samean pake bahasa apa, mbak?
(‘sama orang yang lebih tua, anda pakai bahasa apa, mbak?)
S: Yo pancet Using,pancen
wissekelilingnya sini lingkungane ngunu mbak, ate ngomong kelendi?
(‘ya tetap Using, memang sudah sekelilingnya di sini lingkungannya begitu mbak, mau bicara bagaimana?’)
P: Ga nganggo Jowo kromo?
(‘Tidak menggunakan Jawa krama?’)
S: Boso? Lek seng ndak kenal boso. Lek seng kenal yo Using-an, masio tuwek yo podo.
(‘Boso? Kalau yang tidak kenal boso. kalau yang kenal ya Using, meskipun tua ya sama’)
P: Lek misale karo Lek Sus?
(‘Kalau misalnya sama Bibi Sus?’)
S: Ndak, Using. Lawong setiap harinya ketemu
(‘Tidak, Using. Karena bertemu setiap hari’)
P: Lek morotuone samean, mbak?
(‘kalau mertua anda, mbak?’)
S: Ndak, ndak ngerti anu mbak, ndak ngerti boso Jowo. Blas. Wong lor an, Meduro (‘tidak, tidak mengerti mbak, tidak mengerti bahasa Jawa. Sama sekali. Orang Utara, Madura’)
P: Pake bahasa opo samean?
(‘pakai bahasa apa?’)
S: Yo pancet pake bahasane aku
(‘ya tetap pakai bahasa saya’)
Selanjutnya, dalam ranah keluarga dan tetangga mereka menggunakan bahasa Using. Selain itu, mereka mampu menggunakan bahasa Madura apabila bertemu dengan lawan tutur beretnik Madura. Penggunaan bahasa Jawa dan Madura tersebut berada pada level ngoko atau terendah dalam tingkatan bahasa. Dalam situasi khusus, misalnya bertemu besan atau orang
yang dihormati yang berasal dari luar wilayah Mencek, para penutur ini dituntut untuk menggunakan bahasa Jawa Krama atau Madura Enggi Enten meskipun mereka merasa kesulitan untuk mengucapkannya. Kesadaran penutur untuk berbahasa Jawa atau Madura halus dipengaruhi oleh lawan tuturnya. Kebanyakan lawan tutur di luar wilayah Mencek menggunakan bahasa pada level atas sebagai bentuk penghormatan.
Data 2
H: Ngene iki yo opo yo nduk, seng urip keloron yo. Dikei taplak yo dilugurne (seperti ini ya nak, tidak hidup berudaan saja. diberi taplak ya dijatuhkan) S: Anake akeh (anaknya banyak)
H: Anak kucing
S: Anake siji, tapi anak buahe akeh
(anaknya satu, tapi anak buahnya banyak)
H: Ndak demen iki yo nduk, yaopo yo nduk. Iki buru teko. Durung adus (tidak suka ini ya nak, bagaimana ya nak. Ini baru datang. Belum mandi) S: Polae wong e jarang ndek omah ‘karena orangnya jarang di rumah’
H: Puh iki kujur pethuk, biasae mari mahrib ngilang mane (untung saja ini bertemu, biasanya setelah maghrib menghilang lagi)
P: Njenengan kan tiyang ngriki, tasek ndamel bahasa demen-demen? Boso Using?
(anda kan orang sini, masih menggunakan bahasa demen-demen (suka)? Bahasa using?)
H: Yo iyo, pancen wes se-Mencek
ngunu, nduk, ndak iso diubah nduk (Ya iya, memang sudah se- Mencek begitu nak, tidak bisa diubah nak)
Percakapan antara H, S, dan P di atas membicarakan tentang penggunaan bahasa
Vol. 28 No.1
sehari-hari, kapan dan dimana bahasa Using digunakan serta penggunaan bahasa di luar Mencek. H meskipun banyak berhubungan dengan orang di luar Using di tempatnya bekerja, namun tetap mampu mempertahankan bahasa Usingnya di lingkungan keluarga dan ketetanggaan. Menurut pengakuannya, penggunaan bahasa Using tetap tak tergantikan walaupun hidupnya banyak berada di luar Mencek, yaitu di tempat kerja.
Dalam hal kebanggaan atas identitas bahasa Using, dalam ranah ketetanggansebagian orang Mencek tetap menggunakan bahasa Using, sedangkan sebagian lainnya menggunakan bahasa selain bahasa Using. Pemilihan bahasa mereka tergantung kepada lawan tuturnya.Apabila lawan tuturnya adalah orang dengan kelas sosial lebih tinggi, mereka menggunakan bahasa Jawa Krama, bahasa Madura, atau bahasa Indonesia. Tetapi bila berkomunikasi dengan orang yang memiliki latar belakang sosial yang sama, tak segan orang Mencek menggunakan bahasa Using. Ungkapan yang paling banyak digunakan antara lain: kelendi ‘bagaimana’, demen ‘suka’, soren ‘petang’, paran ‘apa’, dan sebagainya. Sikap kebanggan ini tidak hanya dilakukan penutur dalam wilayah Mencek saja, tetapi juga dilakukan ketika berada di luar wilayah Mencek.
Kondisi pemertahananBahasa Using di Dusun Mencek, DesaSerut, Kecamatan Panti, Kabupaten Jember mengalami penurunan. Penurunan ini terkait dengan kondisi penduduk Indonesia yang memiliki banyak pilihan untuk berbahasa, Bahasa Indonesia atau bahasa daerah. Bahasa daerah pun terbagi atas ribuan jenis bahasa menurut wilayah pemakainya. Keduanya, bahasa daerah dan Bahasa Indonesia sama-sama dijamin oleh UUD 1945 untuk dibina dan dikembangkan. Bahasa daerah dan Bahasa Indonesia selalu berdampingan dalam
prakteknya di kehidupan bermasyarakat. Sebagai warga negara, wajib hukumnya kita untuk memelihara keberadaannya. Ciri orang yang bertanggung jawab terhadap suatu bahasa dan pemakaian bahasa menurut Pateda (2015:31) adalah:
-
1. Selalu berhati-hati menggunakan bahasa
-
2. Tidak merasa senang melihat orang yang mempergunakan bahasa secara
serampangan
-
3. Memperingatkan pemakai bahasa kalau ternyata ia membuat kekeliruan
-
4. Tertarik perhatiannya kalau orang menjelaskan hal yang berhubungan dengan bahasa
-
5. Dapat mengoreksi pemakaian bahasa orang lain
-
6. Berusaha menambah pengetahuan tentang bahasa tersebut
-
7. Bertanya kepada ahlinya jika menghadapi persoalan bahasa
Desakan Bahasa Nasional
Fenomena penurunan kuantitas penutur bahasa daerah di Indonesia telah diteliti oleh beberapa linguis sebelumnya. Salikin (2016) mengatakan bahasa Madura kini tak lagi diajarkan dalam keluarga, melainkan bahasa Indonesialah yang menjadi sarana komunikasi antar anggota keluarga. Hasil penelitian menjelaskan bahwa bahasa Madura dianggap tidak pantas digunakan lagi di masa kini karena semua pendidikan di sekolah mulai TK menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia mereka ajarkan sejak dini dengan tujuan agar anak mampu menyerap ilmu yang disampaikan guru dengan mudah.
Kenyataan akan masyarakat yang menganggap rendah bahasa daerah bila digunakan di lingkungan keluarga dan masyarakat sekitarnya, itu benar adanya. Rochiyati (2016: 52) menyampaikan secara
jelas bahwa salah satu faktor penyebab tidak diperkenalkannya bahasa daerah kepada anak-anak adalah bahasa daerah dianggap tidak atau
Vol. 28 No.1
kurang prestise. Mereka lebih memilih bahasa Indonesia dengan alasan agar terlihat lebih modern, terpelajar, dan memiliki prestise tinggi.
Pewarisan Bahasa
Mengapa terjadi kepunahan suatu bahasa? Menurut Ahearn (2012: 253) ada dua kemungkinan: (1) punahnya seluruh penutur bahasa, atau (2) mereka yang berhenti untuk mentransmisikan bahasanya kepada anak-anaknya. Penyebab pertama, punahnya seluruh penutur bahasa, dapat terjadi akibat bencana alam atau ulah manusia. Misalnya, erupsi gunung merapi di pulau Sumbawa pada 1815 yang menyebabkan kematian seluruh penutur bahasa Tambora (Nettle dalam Ahearn, 2012). Faktor kedua, tidak adanya lagi proses transmisi bahasa dari penutur bahasa kepada anak-anaknya. Seperti halnya di US (Galindo, 1985) dan Kanada (Guardado, 2008) yang menunjukkan pemilihan bahasa orang tua di dalam keluarga memberikan peran yang sangat signifikan terhadap penentuan terhadap pewarisan bahasa kepada generasi berikutnya (Lee, 2013:15).
Pemertahanan bahasa warisan menjadi perhatian yang terus menerus dilakukan bagi keluarga yang mendidik anak-anak dwibahasa atau multibahasa dalam lingkungan dimana bahasa mereka menjadi bahasa minoritas (Kheirkhah, 2016: 44). Hasil penemuan ilmuwan bahasa terdahulu menyatakan bahwa komitmen orang tua untuk mempertahankan dan mengembangkan bahasa warisan, serta identitas budayanya, secara langsung berhubungan dengan kesadaran berbudaya orang tua itu sendiri. Orang tua yang memiliki kesadaran berbudaya yang lebih kuat akan memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan pewarisan bahasa kepada anaknya.
Menurut hasil pengamatan dan wawancara mendalam peneliti terhadap informan, pewarisan bahasa Using di Mencek sebagian dilakukan, sebagian lainnya tidak. Secara terang-terangan salah satu informan
memberikan penjelasan bahwa bahasa Using kini tak lagi diwariskan kepada generasi penerusnya. Kebanyakan mereka yang tidak mewariskan bahasa using kepada anak-anaknya adalah yang berasal dari keluarga berstatus sosial tinggi. Orang tua lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa daerah. Sedangkan dalam keluarga yang berasal dari status sosial rendah cenderung mewariskan bahasa Using lebih banyak.
Kontak Antar Bahasa
Menurut Ahearn (2012), para penutur bahasa yang secara ekonomi, politik, atau sosial kurang dominan akan dipaksa atau terpaksa menggunakan bahasa yang lebih dominan. Seperti yang terjadi di Dusun Mencek, penutur Using yang secara ekonomi, politik, atau sosial cenderung minoritas maka dengan sendirinya dipaksa menggunakan bahasa Jawa yang lebih dominan. Paulston dalam Aswegen (2008) mengatakan, peraturan umumnya bila penutur bahasa minoritas berkumpul dengan penutur bahasa mayoritas dalam jangka waktu yang lama maka akan terjadi pergeseran menuju bahasa mayoritas.
Kontak bahasa yang terjadi antara penutur Using dengan penutur Jawa dan Madura otomatis membuat bahasa Using tergeser oleh Jawa dan Madura. Selain itu, munculnya kelompok penutur bahasa Indonesia juga dapat mengancam pergeseran atau bahkan kepunahan bahasa Using. Umumnya, kelompok masyarakat yang memiliki perekonomian tinggi cenderung menggunakan bahasa Jawa kepada tetangganya. Otomatis, demi bentuk penghormatan, lawan tutur yang berasal dari keluarga dengan tingkat perekonomian rendah beralih kode menggunakan bahasa Jawa pula.
Di dalam ranah sosial keagamaan, ada salah satu pemuka agama yang selalu menggunakan bahasa Madura dalam memimpin sebuah acara formal misalnya yasinan, tahlilan, dan walimahan. Hal ini mempengaruhi orang
Vol. 28 No.1
lain (jamaah) untuk menggunakan bahasa Madura pula. Misalnya, pada pembukaan acara seseorang menggunakan bahasa Madura, maka otomatis seluruh rangkaian acara tersebut dari pembukaan, acara inti, penutupan, dan doa menggunakan bahasa Madura pula meskipun dipandu oleh orang lain. Sebenarnya, pemuka agama terebut bukan berasal dari etnis Madura, melainkan etnis Using. Menurut pengakuan, pemilihan bahasa Madura dalam memimpin acara formal dia lakukan dengan alasan bahasa Using terdengar kasar, sedangkan bahasa Madura lebih sopan. Bahasa Madura memiliki 3 tingkatan (enja’-iya, engghi-enten, engghi-bhunten), sedangkan bahasa Using tidak ada. Bahasa Madura yang digunakan merupakan bahasa Madura Engghi-enten (bahasa menengah).
Perkawinan Antar Etnis
Sebagai mahluk sosial, sebuah perkawinan selayaknya dilakukan oleh setiap manusia. Pasangan yang dipilih dapat berasal dari satu etnis atau etnis yang berbeda. Perbedaan etnis menimbulkan perbedaan bahasa, budaya, dan gaya hidup. Perkawinan yang dilakukan oleh dua manusia dengan dua etnik berbeda menimbulkan kontak dua bahasa yang berakibat pergeseran salah satu atau kedua bahasa. Terdapat beberapa fakta yang ditemui peneliti di lapangan ketika seorang laki-laki beretnik Using berpasangan dengan seorang wanita beretnik Madura, maka keturunannya adalah penutur dwibahasa (Using dan Madura).
Kedua bahasa yang dimiliki seorang penutur mengakibatkan bergesernya tata bahasa salah satu atau kedua-duanya. Komunikasi yang terjalin di dalam keluarga tersebut tentunya akan menyesuaikan satu sama lain, artinya tidak mungkin sang suami menggunakan bahasa Using seperti dia berkomunikasi dengan orang tuanya karena tentunya istrinya tidak akan paham. Maka, pencampuran bahasalah yang akan menjadi alternatifnya, yaitu mencampur
adukkan bahasa Using, bahasa Madura, dan bahasa Indonesia.
Efek lain yang ditimbulkan oleh perkawinan antaretnis ini yaitu munculnya bahasa Madura di lingkungan ketetanggaan. Oleh karena banyaknya orang Using yang kawin dengan orang Jawa dan Madura, maka para pendatang itu tentu menggunakan bahasa asli mereka bila bertemu dengan orang yang seetnis dengannya. Misalnya A (etnis Using) kawin dengan B (etnis Madura), maka dalam ranah keluarga yang muncul adalah bahasa Using. Namun dalam ranah ketetanggaan, bila B (etnis Madura) bertemu dengan C (etnis Madura) maka yang digunakan oleh B dan C adalah bahasa ibu mereka, yaitu bahasa Madura.
Dalam hal ini penulis menegaskan bahwa dalam perkawinan antar etnis Using dengan etnis lain menimbulkan efek masuknya bahasa selain Using dalam ranah ketetanggaan, namun dalam ranah keluarga tetap bahasa Usinglah yang digunakan meskipun telah tercampur sedikit bahasa Jawa atau Madura.
Saat ini sudah banyak tuturan atau ungkapan yang mengadopsi bahasa Madura yang masuk dalam percakapan sehari-hari seperti kiyah ‘juga’, wan-awan isuk ‘pagi hari antarapukul 7.00 sampai 10.00’, ru-turuan ‘tidur-tiduran’, perak ‘cuma’, dan lain sebagainya. Tetapi, kecenderungan akan identitas bahasa Using di dalam percakapan itu sangat jelas yang ditandai dengan ciri leksikon dan fonologis yang muncul, serta pengakuan dari penutur itu sendiri akan identitas bahasa yang dipakainya.
Pengakuan Identitas
Baker (2011) mengatakan bahwa menunjukkan identitas menjadi hal yang penting dalam menolak pergeseran bahasa. Pengakuan penutur bahasa Using di Mencek yang menyatakan dirinya adalah etnis Using itu cukup untuk membentengi diri dari pergeseran bahasa. Menurut hasil wawancara, semua kategori usia mengakui dirinya sebagai etnis
Vol. 28 No.1
Using, ada yang mengakui sebagai etnis Using asli dan ada pula yang mengaku sebagai etnis keturunan Using. Fakta bahasa yang ditemui penulis di lapangan, diketahui bahwa semakin tua usianya, semakin kuat pengakuannya terhadap identitas Using. Sedangkan, penutur bahasa Using yang lebih muda lebih banyak mencampurkan bahasanya dengan bahasa Madura atau Jawa, namun tetap mengakui akan identitas Usingnya.
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa pengakuan akan identitas Using yang dimiliki penutur Using di Dusun Mencek, Desa Serut, Kecamatan Panti, Kabupaten Jember menjadi faktor bertahannya bahasa Using di wilayah tersebut.
mempertahankannya secara serius dan terorganisir.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi bahasa Using di Desa Serut, Kecamatan Panti, Kabupaten Jember ada lima antara lain: 1) desakan bahasa nasional, 2) pewarisan bahasa, 3) kontak antarbahasa, 4) perkawinan antaretnis, dan 5) pengakuan identitas. Kelima faktor di atas memiliki porsi yang berbeda-beda dalam mempengaruhi kondisi bahasa di wilayah setempat.
Kondisi pemertahanan bahasa Using di Desa Serut, Kecamatan Panti, Kabupaten Jember dalam ranah keluarga dan ketetanggaan mengalami penurunan atau pergeseran. Hal ini terlihat dari analisis yang dilakukan terhadap 6 kategori informan yang dilakukan oleh penulis. Berdasarkan dari sisi usia, semakin tua usia penutur bahasa, maka semakin tinggi pula tingkat pemertahanannya terhadap bahasa Using. Sebaliknya, semakin muda usianya, maka semakin tinggi tingkat pergeserannya, artinya semakin rendah tingkat pemertahanannya terhadap bahasa Using.
Berdasarkan status sosial, penutur yang berada pada kelas sosial rendah memiliki tingkat pemertahanan lebih tinggi, sedangkan kelompok masyarakat kelas sosial tinggi memiliki tingkat pergeseran bahasa yang tinggi, artinya mengalami penurunan pemertahanan bahasa Using. Penulis memastikan bahwa bahasa Using akan mengalami penurunan yang drastis atau bahkan kepunahan dalam jangka waktu 20 sampai 30 tahun ke depan apabila tidak dilakukan upaya-upaya untuk
Vol. 28 No.1
Daftar Pustaka
Ahearn, L. M. (2012). Living Language: An Introduction to Linguistic Anthropology. West Sussex: Willey Blackwell.
Almurashi, W. A. (2017). Why We Should Care About Language Death. International Journal of English Language and Linguistics Research, 5(5): 62-73.
Asrumi. (2002). Resiprokal dalam Bahasa Using. Dalam Bahasa dan Sastra Using: Ragam dan Alternatif Kajian. Editor Agus Sariono dan Titik Maslikatin. Jember: Tapal Kuda.
Aswegen, J. G. V. (2008). Language Maintenance and Shift in Ethiopia: The Case of Maale. Thesis. Pretoria: University of South Africa.
Baker, C. (2011). Foundations of Bilingual Education and Bilingualism (5th ed.). USA: Multilingual Matters.
Basrowi & Suwandi. (2008). Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta.
Djoko, K. (1982). Dasar-Dasar Linguistik Umum. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Erna, R. & Sofyan, A. (2002). Perbedaan Struktur Bahasa Jawa Dialek Using di Kabupaten Banyuwangi dengan Bahasa Jawa Dialek Using di Kabupaten Jember. Dalam Bahasa dan Sastra Using: Ragam dan Alternatif Kajian. Editor Agus Sariono dan Titik Maslikatin. Jember: Tapal Kuda.
Erna, R. (2016). Mengenalkan Bahasa Daerah Sejak Dini Kepada Anak. Dalam Jejak Langkah Perubahan Dari Using Sampai Indonesia. Editor: Novi Anoegrajekti. Jember: Ombak.
Kheirkhah, M. (2016). From family Langage Practices to Family Language Policies: Children as Socializing Agents. Sweden: Linkoping University.
Kusnadi. (2002). Orang Osing dan Orang Madura. Jember: Lembaga Penelitian Universitas Jember.
Lee, S. E. (2013). Spanish Language Maintanance and Shift among the Chilean Community in Auckland. Thesis. Auckland: Auckland University of Technology.
63
Discussion and feedback