Pelanggaran Prinsip Kesantunan dalam Video “GURU”
on
https://ojs.unud.ac.id/index.php/linguistika/
DOI: https://doi.org/10.24843/ling.2020.v27.i01.p07
LINGUISTIKA, MARET 2020
p-ISSN: 0854-9613 e-ISSN: 2656-6419
Vol. 27 No.1
Pelanggaran Prinsip Kesantunan dalam Video “GURU”
1Gusti Alit Mahendra,
2I Made Madia
Denpasar, Bali [alit.mahendra1@gmail.com], [de.mad58@yahoo.co.id]
Abstract
This research was conducted aiming to explain the forms of language impoliteness used by daughter against fathers. Speech that contains elements of politeness in language is the main object in this research. "Violation of the Principle of Politeness in the 'Guru' Video" aims to analyze the utterances on violations of the politeness principle of language in the video titled "Guru". This study uses qualitative descriptive research methods. Data collection using the refer method with the ability to engage in competent free listening then proceed with the note taking technique. The data in this study are in the form of phrases, clauses, and sentences in dialogues on "Guru" video. Based on the results, most violation data are violations of the maxims wisdom amounted 3 utterances, followed by maxim of silence feeling of 2 utterances. Implications that appears in the video "Guru" there are 6 implicature where 3 forced implicature, honestly admitted of 2 implicature and 1 admitted implicature. Impoliteness speech is dominated by daughter as speakers. This research is also expected to be an input for Balinese language teachers so that the community and school environment can apply politeness in speaking.
Keywords: Violation of politeness principle, implicature, Guru's video.
Abstrak
Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk memaparkan bentuk ketidaksantunan berbahasa yang digunakan anak terhadap ayah. Suatu tuturan yang mengandung unsur kesantunan berbahasa menjadi objek utama dalam penelitian ini. Penelitian ini berjudul “Pelanggaran Prinsip Kesantunan dalam Video ‘Guru’” bertujuan untuk menganalisis ujaran pada pelanggaran prinsip kesantunan berbahasa dalam video berjudul “Guru”. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskrptif kualitatif. Pengumpulan data menggunakan metode simak dengan teknik simak bebas libat cakap, kemudian dilanjutkan dengan teknik catat. Data dalam penelitian ini berupa frase, klausa, dan kalimat dalam dialog pada video “Guru”. Berdasarkan analisis, data pelanggaran paling banyak adalah pelanggaran terhadap maksim kearifan 3 tuturan, dan maksim perasaan bungkam 2 tuturan. Implikatur percakapan dalam video “Guru” terdapat 6 implikatur, antara lain 3 implikatur memaksa, mengakui secara jujur 2 implikatur, dan 1 implikatur mengakui. Tuturan ketidaksantunan didominasi oleh anak sebagai penutur. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi masukan untuk pengajar bahasa Bali sehingga lingkungan masyarakat dan sekolah dapat menerapkan kesantunan dalam bertutur.
Kata Kunci: Pelanggaran prinsip kesantunan, implikatur, video Guru.
Vol. 27 No.1
Kesopanan dalam menggunakan bahasa, dapat mendidik orang untuk menghormati orang lain, lawan tutur atau, pendengar berdasarkan usia dan ststus sosial. Kesantunan berhubungan dengan bagaimana orang menciptakan harmoni dalam kehidupan dan menunjukkan penghargaan terhadap orang lain atau lawan tutur. Hal ini terjadi karena manusia memiliki peran sosial, mereka saling membutuhkan untuk hidup. Kesadaran penggunaan bahasa, khususnya bahasa Bali sebagai alat komunikasi dan sebagai cerminan tingkatan harga diri. Dalam hal ini, kesopanan dalam penggunaan bahasa merefleksikan komunikasi yang kompleks berdasarkan norma dan digunakan dalam menunjukkan rasa hormat satu sama lain. Santun berbahasa menunjukan tingkah laku seseorang. Sebuah tayangan pada media komunikasi massa yang ditayangkan di layar kaca sering terjadi penyimpangan terhadap prinsip kesantunan berbahasa. Pelanggaran terhadap prinsip kesantunan berbahasa maksudnya adalah peristiwa tindak tutur yang melanggar atau tidak mengandung kategori pemenuhan prinsip kesantunan yang dirumuskan oleh Leech (2014). Teori tersebut dinamai dengan “General strategy of politeness”. Pelanggaran prinsip kesantunan, memunculkan implikatur. Dari pelanggaran prinsip kesantunan, implikatur yang muncul dari pelanggaran prinsip kesantunan pada video “Guru” dirumuskan oleh Grice (1991)
Penelitian mengenai prinsip kesantunan sudah banyak dilakuakan sebelumnya. Tiga penelitian mengenai prinsip kesantunan yang terdahulu, adalah: Nuraila dkk. (2011) dalam artikel yang berjudul “Kesantunan Tindak Tutur Direktif pada Komik Anak Donald Duck dan Terjemahanya dalam Bahasa Indonesia”. Penelitian tersebut meneliti tentang maksim kesantunan dalam bentuk tutur yang mempunyai makna direktif. Selain itu, penelitian tersebut juga mengidentifikasi teknik terjemahannya. Temuan pada penelitian itu adalah satu bentuk tindak tutur tidak santun yang dialihkan ke dalam bentuk santun dalam terjemahannya. Sebaliknya, satu
bentuk santun dialihkan ke dalam tidak santun dalam terjemahanya.
Penelitian Elvira dengan judul “Pelanggaran Prinsip Kesantunan Berbahasa dalam Film Tullah” befokus pada bentuk-bentuk pelanggaran maksim beserta implikatur yang muncul dari pelanggaran tersebut dan ironi yang terdapat pada film tersebut. Hasil penelitian ini menemukan 57 maksim pelanggaran prinsip kesantunan. Implikatur memohon muncul dengan frekuensi paling sering muncul dan diikuti oleh implikatur yang lain.
Penelitian oleh Doko. (2017) dengan judul penelitian “Kesantunan berbahasa dalam Kumpulan Cerita Rakyat Nusa Tenggara Timur”. Penelitian ini menggunakan analisis data dengan menguraikan kronologis cerita dan tuturan-tuturan percakapan yang dilakukan oleh tiap-tiap tokoh untuk mengatehui pemenuhan terhadap kaidah maksim-maksim serta pelanggarannya. Hasil penelitian tersebut menemukan 11 sumber data yang dimanfaatkan dan terdapat enam jenis maksim yang digunakan sebagai parameter dalam mengukur kesantunan dalam bertutur. Tigabelas jenis tuturan pemenuhan terhadap kebijaksanaan, 5 kedermawanan, 15 prinsip penghargaan, 2 kerendahan hati, 6 prinsip simpati. Pelanggaran terhadap maksim kesantunan yakni 29 melanggar prinsip kedermawanan, 1 pujian, 1 kerendahan hati, 3 simpati. Terdapat 3 tuturan yang tergolong implikatur nonkonvensional dan 80 tuturan lain tergolong implikatur konvensional.
Walaupun penelitian dengan topik maksim kesantunan sudah sering dilakukan, peneliti tergerak untuk meneliti lebih dalam topik ini karena teori yang digunakan adalah teori
kesantunan Leech (2014) dengan sepuluh strategi umum kesantunan. Data yang digunakan
merupakan objek kaji bahasa Bali yang diambil pada situs youtube dengan judul video “Guru” Beberapa permasalahn dalam penelitian ini, yaitu: (1) apa saja jenis pelanggaran terhadap prinsip kesantunan dalam video “Guru”? dan (2) bagaimanakah bentuk implikatur percakapan yang muncul dalam video “Guru”? Berdasarkan permasalahn penelitian di atas, berikut tujuan yang
Vol. 27 No.1
ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu (1) Menilai kesantunan pada tuturan tokoh dalam video “Guru” dimana dirumuskan kedalam 10 maksim. dan (2) Mengetahui implikatur yang ada dalam video “Guru” dalam tujuannya mengetahui apa yang diingin penutur dari maksud tuturanya.
Pelanggaran prinsip kesantunan maksudnya adalah peristiwa tindak tutur yang melanggar atau tidak mengandung prinsip kesantunan. Pelanggaran dalam film ini adalah tuturan yang terdapat dalam monolog atau dialog, bukan berupa sikap yang mengarah ke sikap tidak sopan. Pelanggaran prinsip kesantunan berbahasa bukan hanya ketika penutur menghina, mengolok, mengejek, berbicara kasar, berbicara tidak sopan, dan merendahkan lawan tutur, tetapi ketika penutur tidak mematuhi atau melanggar prinsip kesantunan berbahasa yang dari sepuluh maksim yang dirumuskan oleh Leech. Dalam kaitanya dengan penelitian ini, tuturan ketidak patuhan terhadap prinsip kesantunan yang muncul dalam video “Guru” tersebut.
Vido “Guru” merupakan cuplikan video yang diunggah oleh account yang menamakan diri “Taksu North Bali” dalam media massa youtube. Kurang dari seminggu video ini sudah mendapatkan views 254 ribu. Sebuah angka yang fantastis untuk sebuah karya dengan berbahasa Bali, mengingat populasi masyarakat yang tidak banyak. Video ini menampilkan seorang bapak yang berusaha memenuhi kebutuhan putrinya yang masih duduk di bangku SMA. Berlatar belakang ekonomi yang kurang mampu, Bapak (guru) menjual aset sapi berharganya miliknya agar sang putri mau bersekolah kembali.
Dalam kaitanya dengan pelanggaran prinsip kesantunan, terdapat berbagai tuturan pelanggran prinsip kesantunan pada video “Guru” yang di tuturkan oleh pemeran putri kepada sang bapak.
Implikatur adalah alasan untuk memberi solusi tentang persoalan mengenai bahasa dapat dituntaskan, terutama yang berkaitan dengan hal-hal yang tidak dapat diselesaikan pada tataran ilmu makna, yaitu semantik. Implikatur merujuk pada upaya meenyembunyikan sesuatu di balik percakapan. Dalam penelitian ini, tuturan dalam
video Guru dideskripsikan agar diketahui maksud tuturan implisit dari penutur, sehingga petutur dapat menerka maksud tuturan dari penutur.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif. Moleong (2005: 6) menytakan bahwa dalam metode deskriptif, data-data yang dikumpulkan berupa fakta-fakta gambaran dan bukan angka-angka sehingga dengan demikian laporan peneliti berisi kutipan-kutipan data untuk memberikan gambaran objektif tentang pelanggaran prinsip kesantunan berbahasa dalam video “Guru”.
Bentuk penelitian yang digunakan penulisan yaitu penelitian kualitatif. Moleong (2005) mendefinisikan bahwa pada penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati.
Data adalah semua informasi dari lingkungan sekitar yang harus dicari atau dikumpulkn dan dipilih. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah video “Guru”. Video “Guru” menyajikan cerita perjuangan seorang ayah dalam memenuhi permintaan sang putri. Data dalam penelitian ini berupa dialog dan monolog yang mengandung pelanggaran prinsip kesantunan berbahasa dalam video “Guru” yang sesuai dengan masalah yang diteliti.
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak. (Sudaryanto 1993:133) Metode simak secara praktik dilakukan dengan menyadap penggunaan bahasa seseorang atau beberapa orang atau menyadap penggunaan tulisan. Aktivitas penyadapan merupakan cara yang mula-mula dilakukan untuk memperoleh data yang dimaksud atau juga dikenal sebagai teknik dasar.
Dalam teknik simak bebas libat cakap ini, peneliti hanya berperan sebagai pengamat penggunaan bahasa oleh para informan. Peneliti tidak terlibat langsung dalam peristiwa penuturan yang bahasanya sedang diteliti. Peneliti hanya menyimak dialog yang terjadi antara pemeran video “Guru”.
Vol. 27 No.1
Teknik catat (taking note method) merupakan pemindahan bentuk data lisan dalam bentuk tulisan. Dalam pelaksanaanya, transkripsi dilakukan meliputi semua tuturan dalam dialog video “Guru”. Setelah pencatatan dilakukan, peneliti melakukan klasifikasi atau pengelompokan (Sudaryanto, 1993:135). Pengklasifikasian data dilakukan untuk memperoleh data yang berkaitan dengan implikatur dan pelanggaran prinsip kesantunan.
Dalam tahap analis data, metode yang digunakan adalah metode padan. Sudaryanto (1993:13) metode padan merupakan cara menganalisis data untuk menjawab masalah yang diteliti dengan alat penentu berasal dari luar bahasa. Teknik pilah unsur penentu yang digunakan dalam analisis data yang akan dilakukan akan terbagi menjadi tiga tahap.
Pertama, peneliti menyimak dan memahami secara mendalam dari tiap-tiap ujaran dalam video “Guru” dengan tujuan mengidentifikasi dan mendeskripsikan data. Kedua, klasifikasi data menjadi dasar untuk membangun hubungan baru antar kategori. Pada tahap ini, peneliti sudah mengaitkan data yang ada dalam unit kajian permasalahan. Ketiga, menganalisis data berdasarkan teori yang telah dirumuskan, yakni menganalisis pelanggaran prinsip kesantunan dan implikatur yang muncul pada video “Guru”.
Metode yang digunakan dalam menyajikan hasil analisis data pada penelitian ini adalah perpaduan metode formal dan metode informal (Sudaryanto, 1993:144). Metode formal adalah metode penyajian analaisis data untuk menyajikan data dalam bentuk penggunaan tanda atau lambang-lambang tertentu yang melambangkan kata atau istilah (bahasa Bali) yang bersifat opsionalitas. Metode informal digunakan untuk menyajikan hasil analisis dengan kata-kata biasa agar terkesan rinci dan terurai.
Teori
Teori yang digunakan adalah teori pragmatik. Teori pragmatik membedah masalah dalam kaitan prinsip kesantunan dengan implikatur.
Pelanggaran prinsip kesantunan. Leech (2014) mengenai kategori pelanggaran prinsip kesantunan dari “General strategy of Impoliteness” Setiap tindak tutur yang tidak berdasarkan kaidah atau prinsip kesantunan dapat disebut melanggar prinsip kesantunan berbahasa. Situasi seorang penutur dan lawan tuturnya berkomunikasi dengan menggunakan ungkapan yang tidak mengandung unsur kedermawanan (generosity maxim), kearifan (tact maxim), pujian (approbation maxim), kerendahan hati (modesty maxim), oblik terhadap O (obligation of S to O maxim), oblik terhadap S (obligation of O to S maxim), kesepakatan (agreement maxim), opini bungkam (opinion-retience maxim), simpati (sympathy maxim), atau perasaan bungkam (feeling reticence maxim) disebut penutur dan lawan tutur tidak mengindahkan prinsip kesantunan atau dengan kata lain melanggarnya.
Implikatur adalah tindakan bicara tidak langsung atau implisit dikatakan. Implikatur melibatkan asumsi penerima bahwa penutur mengikuti maksim percakapan. Dalam upaya untuk memahami pesan yang dimengerti dalam suatu tuturan. Terdapat dua implikatur yang dirumuskan oleh Grice (1991), yakni implikatur konventional dan implikatur nonkonvensional. Implikatur konvensional adalah implikatur yang merupakan bagian dari makna leksikal item atau ekspresi yang disepakati, bukan bagian dari kondisi untuk kebenaran item atau ekspresi. Dengan “mengatakan”, tidak berarti sekadar ucapan katakata, tetapi mengatakan bahwa ada sesuatu yang terjadi. Implikatur nonkonvensional adalah implikatur yang diilustrasikan sesuai dengan prinsip pragmatis, seperti prinsip kerja sama atau prinsip keinformtifan, dan bukan makna item atau ekspresi leksikal. Konteks situasi memengaruhi penampilan percakapan. Perbedaanya terletak pada kenyataan bahwa kedua bentuk tergantung pada kondisi kebenaran dalam penggunaan konvensional atau makna, bentuk, dan ekspresi tertentu, sedangkan yang kedua berasal dari seperangkat prinsip yang lebih umum yang mengatur prilaku yang tepat dari percakapan (Lyons, 1995: 272)
Vol. 27 No.1
Konteks: Ayu dan Bapak (Guru) sedang duduk berdua di pematang sawah. Ayu menceritakan kekesalannya karena iri tidak mempunyai laptop seperti teman-temanya yang lain.
-
(1) Ayu: Guru, cang kal sing nyak masuk, masak timpale mekejang ngelah laptop cang gen sing ngelah laptop iiish… ‘Bapak, saya tidak mau sekolah, semua teman sudah memiliki laptop, hanya saya yang tidak memiliki laptop.’
Guru: Ayu kan nawang, Bape be kene kedaane neng aketeng bape sing namping pipis, bindan je ngelah lakar beliang Ayu, de nae keto dong ambres-ambres
‘Ayu kan tau, Bapak seprti ini keadaanya, sedikitpun tidak punya uang. Nanti bapak punya, akan bapak belikan ayu. Tolong jangan ngambek seperti itu.
-
(2) Iish… Pokokne ken-ken carane pang yang ngelah laptop! Cang kal sing nyak masuk yen sing ngelah laptop.
‘Iish… Pokoknya bagaimanapun caranya agar saya punya laptop! Aku tidak sekolah kalau tidak punya laptop.’
Pelanggaran terhadap prinsip kesantunan pada dialog 1.
Dalam data tuturan (1) tersebut yang dituturkan oleh Ayu kepada Guru atau bapak, pada saat menceritakan kekesalanya terhadap ayahnya. Tuturan tersebut megandung pelanggaran terhadap prinsip kesantunan berbahasa pada maksim kearifan karena telah memberi nilai yang menguntungkan bagi keinginan penutur. Penutur ingin mendapatkan apa yang dia inginkan dengan cara mengurangi keuntungan orang lain atau menambah kerugian orang lain. Ayu merasa kesal karena lawan tutur tidak dapat memenuhi permintaannya. Lawan tutur merasa dirugikan oleh tuturan dari penutur. Dengan demikian, tuturan ini melanggar prinsip kesantunan berbahasa pada maksim kebijaksanaan.
Pada tuturan data (2), dituturkan Ayu yang sedang kesal pada Guru. Ayu sebagai penutur
meminta laptop kepada Guru sebagai petutur. Tuturan tersebut mengandung pelanggarn terhadap prinsip kesantunan berbahasa pada maksim kedermawanan, dengan memberi nilai yang menguntungkan bagi keinginginan penutur dan memberikan nilai yang tidak menguntungkan untuk keinginan penerima tutur. Penutur menuntut dan mengancam agar keinginginanya terpenuhi. Penutur kesal karena keadaan ayah yang tidak bisa membelikan laptop. Dengan demikian, tuturan pada data (2) dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap prinsip kesantunan maksim
kedermawanan/kearifan.
Implikatur Percakapan pada dialog 1
Implikatur yang muncul dalam tuturan (1) yaitu memaksa, penutur memaksa lawan tuturnya untuk memenuhi permintaan penutur, dalam konteks ini adalah laptop. Penutur merasa iri dengan teman-teman sekolahnya karena hanya dirinya yang tidak memiliki alat elektronik tersebut
Pada data (2) tuturan memiliki implikatur yang menyatakan memaksa seseorang. Pelanggaran maksim kedermawanan/kearifan memunculkan implikatur memaksa. Penutur mengancam akan tidak mau bersekolah jika tidak dibelikan laptop.
b. Dialog 2
Konteks: Ayu terlambat datang ke sekolah, dengan tergesa Ayu kemudian mengetuk pintu.
Pengajar : Kenapa kamu terlamabat?
-
(3) Ayu : Saya telat bangun bu
Pengajar : Jam berapa bangun?
-
(4) Ayu : Jam tuju
Pengajar : Jam berapa bel sekolah?
Ayu : Jam setengah tuju
Pengajar : Berarti terlambatnya 30 menit.
Kali ini saya kasi ampun. Besok anda ulang lagi seperti ini, resikonya adalah pemanggilan orang tua. Silakan duduk.
Vol. 27 No.1
Pelanggaran terhadap prinsip kesantunan pada dialog 2
Dalam tuturan (3) dan (4) di atas dituturkan oleh Ayu yang sedang datang terlambat ketika kelas sudah dimulai.
Pelanggaran maksim perasaan bungkam terjadi pada kedua tuturan data di atas. Pelanggaran maksim perasaan bungkam di atas terjadi karena penutur menceritakan keadaan sebenarnya tanpa menyembunyikan perasaannya, yaitu Ayu telat bangun dan terbangun pada pukul tujuh. Seorang murid pantang berbohong kepada gurunya, tetapi tuturan murid tersebut tetap melanggar maksim perasaan bungkam. Maksim perasaan bungkam hanya dapat terpenuhi apabila penutur menekan perasaanya senidiri dengan tidak memberi tahu kebenaran mengenai keadaan penutur yang sebenarnya.
Implikatur Percakapan pada dialog 2
Tuturan pada data (3) dan (4) merupakan sumber dari implikatur mengakui secara jujur sesuai dengan keadaan sedang dialami oleh Ayu yaitu penutur terlambat bangun dari tidurnya, sehingga terlambat ke sekolah.
c. Dialog 3
Konteks: Situasi tutur terjadi pada saat jam
istirahat sekolah. Guru, sang ayah, menghampiri Ayu anaknya di sekolah untuk membawakan bekal makanan.
Ayu: Guru nak ngujang mai?
‘Bapak ngapain kesini?’
Guru: Bape ngabang ayu nasi. Bape sing nyak ayu mati mekente, Bape nawang Ayu konden medaar mare ‘Bapak bawakan Ayu makan. Bapak nggak mau kamu mati kelaparan, Bapak tau Ayu belum makan tadi’
-
(5) Ayu: Guru ngae yang lek gen, mulih-mulih!Mai!
‘Bapak buat saya malu saja, pulang-pulang sini!’
Pelanggaran terhadap prinsip kesantunan pada dialog 3
Pada tuturan (5) di atas, tuturan dituturkan oleh Ayu yang telah melanggar maksim kearifan dengan mengusir Guru sang ayah yang sebelumnya datang kesekolah untuk membawakan makan sehingga sang anak tidak kelaparan di sekolah. Pelanggaran maksim kearifan tidak akan terjadi apabila Ayu menerima dengan sopan pemberian Ayah. Bentuk tuturan yang di tuturkan oleh Ayu termasuk tindak tutur asertif dan direktif. Tindak tutur tersebut mengandung makna asertif karena mengakui bahwa penutur merasa malu dengan kehadiran petutur. Makna direktif mempunyai maksud memerintah Ayah untuk pergi. Dengan demikian, tuturan (5) di atas merupakan tuturan yang melanggar prinsip kesantunan bahasa.
Implikatur Percakapan pada dialog 3
Pelanggaran maksim kearifan di atas menyebabkan munculnya implikatur percakapan, yaitu memaksa. Ayu juga menanyakan maksud dari kedatangan sang ayah yang tidak diharapkan. Dalam tuturan (5) di atas merupakan ekspresi dari kekesalan Ayu yang sedang memaksa sang ayah untuk pergi.
d. Dialog 4
Konteks: Ibu majikan merasa kesal dan marah kepada guru setelah mengetahui sapinya dijual tanpa pemberitahuan sebelumnya.
Majikan: Eh bape, tolih ne! ne mare nak tue sing
nawang ape, sing nawang pedaleman. Aaaah! mare be bang nyakap tanah, nyakap tegal, jani sampin cang adep bape. Engken maksud ne aaah? Ne mare nak tue sing nawang pedalemin. Ape ke anggo makan? Ape ke anggo ngasukin panak? Tolih cang ngomong! ‘Eh, Bapak liat saya! Orang tua tidak tahu dikasihani. Saya sudah berikan lahan sawah untuk digarap, sekarang malah sapi saya dijual. Dasar tidak tahu diuntung. Apa yang mau dipakai makan? Apa yang mau dipakai
Vol. 27 No.1
menyekolahkan anak? Liat saya bicara!’
-
(6) Guru: (menangis) Anggo miayin panak tiang masekolah, sampin Ibu keadep tiang. ‘Untuk keperluan anak saya sekolah. Terpaksa saya jual sapi ibu.’
Pelanggaran terhadap prinsip kesantunan pada dialog 4
Tuturan (6) di atas melanggar prinsip ketidaksantunan pada pelanggaran maksim perasaan bungkam. Guru yang tidak dapat menekan perasaanya sehingga memberitahu keadaanya kepada lawan tutur. Tuturan guru melanggar maksim perasaan bungkam karena Guru memberikan alasan kenapa dia menjual sapi majikanya. Padahal seharusnya penutur tidak perlu menjelaskan mengenai bagaimana kesedihanya dalaam menghadapi keperluan sang putri.
Implikatur Percakapan pada dialog 4
Pada percakapan di atas, tuturan Guru mengandung implikatur mengaku, yaitu dengan berterus terang mengatakan keadaan yang sebenarnya. Dalam keadaan yang mendesak harus memenuhi kemauan putrinya Ayu.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa pelanggaran prinsip kesantunan berbahasa dalam vidio “Guru” yang paling banyak ditemukan adalah pelanggaran pada maksim kearifan yang berjumlah tiga tuturan. Penutur dalam video ini banyak memberikan nilai tinggi untuk keinginan penutur dan memperbesar keuntungan untuk diri sendiri. Dalam implikatur percakapan yang muncul dalam video “Guru” berjumlah enam implikatur, Tiga diantaranya yaitu implikatur memaksa yang muncul paling banyak dengan jumlah tiga.
-
5. Daftar Pustaka
Alwi, Hasan, dkk. 2000. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Bahasa
Budiman, Umiati. 1987. Sari Tata Bahasa Indonesia. Klaten: PT Intan Pariwara.
Chaer, Abdul. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta.
Doko, Y.D., I. W Budiarta, & Umiyanti, M. 2017. Kesantunan berbahasa dalam kumpulan cerita rakyat nusa tenggara timur. RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, 3 (1), 5556.
Elvira, Suci. 2017, “Pelanggaran Prinsip
Kesantunan Berbahasadalam Film Tullah”. Pontianak: Universitas Tanjungpura.
Grice, P. 1991. Logic and Conversation.
Leech, Geoffrey. 1983. Prinsip-Prinsip Pragmatik.
Terjemahan Oka. 1993. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik (terjemahan, M.D.D. Oka) Jakarta: UI-Press. Moeliono, dkk. 2007.
Leech, G. 2014. The pragmatic of the Politeness.
Oxford University Press.
https://doi.org/10.4324/978135857381
Lyons, J. 1995. Linguistic Semantic: An
Introduction. New York: Cambridge University Press.
Lexy J. Moleong. 2005. metodologi penelitian kualitatif,Bandung: Remaja Rosdakarya
Nurlaila, Purwaningsih, E., & Firmawan, H. 2011. Kesantunan Tindak Tutur Direktif pada komik Anak Donald Duck dan Terjemahanya dalam Bahasa Indonesia. In Kajian Pragmatik Dalam Berbagai Bidang (pp. 454-458). Prasasti II.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Tehnik Analisis Bahasa (PengantarPenelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistik).
Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar
Pragmatik. Yogyakarta: Andi.
Yule, G. (2006). Pragmatik. Yogyakarta. Pustaka Belajar.
https://www.youtube.com/watch?v=wYjJ0APkHB
68
Discussion and feedback