LINGUISTIKA, SEPTEMBER 2018

p-ISSN: 0854-9613

Vol. 49. No. 25

REPRESENTASI KEKERASAN SIMBOLIK

DALAM KOMIK BOKU DAKE GA INAI MACHI

Universitas Udayana

I Gusti Agung Ayu Made Dianti Putriˡ, I Wayan Cika², I Ketut Sudewa³ Program Magister Ilmu Linguistik

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

Jalan Nias No.13, Denpasar,Bali, Telepon (0361) 250033

ˡEmail: [email protected]

²Email: [email protected]

³Email: [email protected]

Abstrak—Komik sebagai salah satu karya sastra menggunakan teks dan gambar sebagai senjata untuk menampilkan konflik cerita secara nyata. Salah satu komik yang menampilkan kekerasan di setiap ceritanya adalah komik Boku dake ga Inai Machi karya Kei Sanbe. Komik yang terdiri atas delapan volume ini menceritakan kekerasan fisik serta kekerasan simbolik yang terjadi pada tokoh-tokoh di dalam komik. Kekerasan fisik merupakan kekerasan yang langsung mengenai raga, sedangkan kekerasan simbolik merupakan kekerasan yang melukai psikis korbannya. Pada penelitian ini, analisis difokuskan pada kekerasan simbolik. Teori yang digunakan pada penelitian ini adalah teori semiotika oleh Ferdinand de Saussure mengenai penanda dan petanda serta teori semiotika oleh Marcel Danesi. Kekerasan simbolik yang ditemukan adalah kekerasan simbolik berdasarkan tindak tutur, kekerasan simbolik berdasarkan media perantara, dan kekerasan simbolik berdasarkan gestur.

Kata Kunci: kekerasan simbolik, bokumachi, komik

PENDAHULUAN

Kekerasan selalu menjadi bagian dalam konflik cerita, baik itu kekerasan fisik maupun kekerasan simbolik. Konflik yang identik dengan kekerasan dapat ditemui dalam berbagai karya sastra. Salah satu karya sastra yang mampu menampilkan konflik secara nyata adalah komik.

Komik yang menggunakan teks serta gambar dalam menyampaikan cerita mampu membuat konflik semakin hidup. Kelebihan komik menggunakan gambar juga mempermudah pembaca untuk memahami jalan cerita serta menghayati konflik yang terjadi. Salah satu komik yang berhasil menerima nominasi Reader Award dalam Tezuka Osamu Cultural Prize

adalah komik Boku dake ga Inai Machi (selanjutnya disebut Bokumachi). Komik yang menceritakan mengenai penculikan anak yang terjadi pada tahun 1988 ini terdiri atas delapan volume.

Komik Bokumachi menceritakan mengenai tokoh Fujinuma Satoru yang memiliki kemampuan kembali ke masa lalu untuk menyelamatkan teman serta keluarganya dari pembunuhan. Selama aksi penyelamatan oleh Satoru tersebut, muncul berbagai kekerasan yang melukai Satoru serta orang di sekitar Satoru. Kekerasan yang menimpa para tokoh terjadi, baik kekerasan fisik maupun kekerasan simbolik.

Konsepsi kekerasan dimaknai sebagai sebuah upaya menghadirkan pemaksaan sebagai mekanismenya, maka kekerasan dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Kekerasan dapat berupa fisik dengan raga sebagai objek kekerasan, atau psikis (jiwa), kekerasan struktur negara terhadap individu maupun kelompok, dan dapat berupa kekerasan ide, wacana, bahasa, maupun bentuk-bentuk simbolik lainnya (Fashri, 2014:32).

Menurut Bourdieu (dalam Fashri, 2014:143) kekerasan simbolik merupakan dominasi yang mengambil bentuk halus. Sebuah kekerasan yang lembut, yang tidak kasat mata. Kekerasan simbolik menciptakan mekanisme sosial bersifat objektif yang menyebabkan korban menerimanya begitu saja.

Berdasarkan hal tersebut, kekerasan simbolik merupakan kekerasan yang cukup sulit diketahui keberadaannya. Kekerasan simbolik yang terjadi secara halus tersebut menjadi fokus pada penelitian ini. Representasi kekerasan simbolik dalam komik Bokumachi dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kekerasan simbolik berdasarkan tindak tutur, kekerasan simbolik berdasarkan media perantara, dan kekerasan simbolik berdasarkan gestur.

LANDASAN TEORI

Teori yang digunakan untuk mengetahui bentuk serta memahami makna representasi kekerasan simbolik dalam komik Bokumachi adalah teori semiotika oleh Ferdinand Saussure

dan Marcel Danesi. Berikut merupakan penjabaran teori tersebut.

Saussure yang secara umum diakui sebagai tokoh yang meletakkan dasar ilmu bahasa modern mengungkapkan bahwa bahasa adalah sistem tanda; dan tanda merupakan kesatuan antara dua aspek yang tak terpisahkan satu sama lain. Dua aspek tersebut adalah signifiant (penanda) dan signifie (petanda). Signifiant adalah aspek formal atau bunyi dari tanda tersebut, sedangkan signifie adalah aspek kemaknaan atau konseptual (Teeuw, 1984:43-44).

Teori semiotika yang dikemukakan oleh Saussure berakibat pada munculnya teori-teori semiotika modern. Salah satunya adalah teori semiotika yang dikemukakan oleh Marcel Danesi. Menurut Danesi (2012:184), komik merupakan narasi yang diceritakan menggunakan sejumlah gambar yang disusun dalam panel. Komik adalah narasi di dunia modern, baik yang merefleksikan dunia modern maupun yang membantunya, bahkan sebelum munculnya televisi, komik dapat menentukan gaya berpakaian, gaya rambut, makanan, perilaku, dan sikap-sikap lainnya. Berdasarkan penjelasan tersebut, teori semiotika oleh Danesi digunakan dalam penelitian ini untuk mengkaji makna dalam komik, karena komik yang tidak hanya berupa teks, tapi juga garis-garis dan gambar tidak luput dari kebermaknaan.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Sumber data yang digunakan adalah komik Boku dake ga Inai Machi karya Kei Sanbe dan diterbitkan pada tahun 2012-2016 yang terdiri atas delapan volume. Masing-masing volume terdiri atas 190 - 200 halaman.

Penelitian ini dianalisis tanpa menghiraukan latar belakang pembuatan karya, maupun kebenaran cerita dalam karya. Metode analisis yang digunakan, yaitu deskriptif analitik yaitu dengan menjabarkan serta menganalisis data yang ditemukan. Teknik yang digunakan adalah teknik analisis yang mendukung kerja teori semiotika.

PEMBAHASAN

Representasi kekerasan simbolik yang terdapat dalam komik Bokumachi dibagi menjadi tiga bagian. Pembagian tersebut adalah kekerasan simbolik berdasarkan tindak tutur, kekerasan simbolik berdasarkan media perantara, dan kekerasan simbolik berdasarkan gestur. Berikut merupakan penjabaran bentuk serta makna dari kekerasan simbolik tersebut.

  • 1.1    Kekerasan Simbolik berdasarkan Tindak

    Tutur

Kekerasan simbolik berdasarkan tindak tutur dalam penelitian ini dibagi menjadi empat, yaitu tindak tutur langsung literal, tindak tutur tidak langsung literal, tindak tutur langsung tidak literal, dan tindak tutur tidak langsung tidak

literal.   Berikut merupakan data yang

menunjukkan kekerasan simbolik tersebut.

  • (1)    Demo, nan to iu ka... “tatte nai” Ano nee “tsutawattenai” n dayo ne. Wakarun dakedo “tarinai”. Motto fumikonde kakanaito.

Tapi, bagaimana ya..“Tidak memuaskan” Begini ya, “tidak tersampaikan”, ya. Saya mengerti, tapi “tidak cukup”. Harus menulis lebih dalam lagi.

(Sanbe, 2013a:i-3)

Data (1) termasuk ke dalam tindak tutur langsung literal karena kalimat yang disampaikan sesuai dengan maksud penutur. Editor mengatakan bahwa karya yang dibuat Satoru masih kurang dari segi penyampaian cerita sehingga harus lebih diperdalam lagi. Maksud dan makna yang ingin diucapkan oleh editor sebagai penutur, sesuai dengan kata-kata yang membentuk tuturan tersebut. Berikut ini merupakan data yang menunjukkan tindak tutur tidak langsung literal. (2) Baka na no?

Kamu idiot?

(Sanbe, 2013b:31)

Data (2) yang diucapkan oleh Hinazuki Kayo merupakan kalimat tanya untuk mengejek Satoru dengan mengatakan bahwa dia idiot. Hal tersebut menyebabkan data (2) termasuk ke dalam tindak tutur tidak langsung literal karena kalimat interogatif tersebut tidak digunakan untuk bertanya sedangkan makna yang ingin disampaikan Kayo sesuai dengan kata-kata yang membentuk kalimat tersebut. Selanjutnya merupakan tindak tutur lansung tidak literal.

  • (3)    Ima kara omae no koto yuukai suru kedo ii?

Dari sekarang, bolehkah aku menculikmu?

(Sanbe, 2014:72)

Tindak tutur langsung tidak literal adalah tindak tutur yang diungkapkan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud tuturan, tetapi memiliki makna yang berbeda dari katakata penyusunnya (Rohmadi, 2010:37). Data (3) diucapkan oleh Satoru kepada Kayo. Dari kalimat tersebut, Satoru menggunakan kata yuukai yang artinya ‘menculik’. Makna yang sebenarnya dari kata tersebut adalah ‘menyelamatkan’.

Satoru ingin menyelamatkan Kayo dari penganiayaan yang diterima dari ibu kandungnya sendiri. Untuk menyelamakan Kayo, Satoru meminta izin pada Kayo, apakah ia bersedia untuk melawan ibunya dan bersama-sama Satoru berlindung dari penganiayaan tersebut. Tindak tutur  selanjutnya yang

mencerminkan kekerasan simbolik adalah tindak tutur yang disampaikan oleh Misato. Berikut merupakan data yang menunjukkan hal tersebut. (4) Minna no kaban toka shirabete mireba, wakaru to omoimasu!

Menurut saya, kalau mengecek tas semuanya, pasti pelakunya ketahuan.

(Sanbe, 2013b:106)

Tindak tutur tidak langsung tidak literal adalah tindak tutur yang diutarakan dengan

modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang ingin diutarakan (Rohmadi, 2010:38). Data (4) disampaikan oleh Misato ketika uang makan siang seluruh anak di kelas menghilang. Misato mencurigai bahwa Kayo yang mencuri uang tersebut. Kasus hilangnya uang makan siang ini termasuk ke dalam pem-bully-an karena Misato secara sengaja mencuri uang makan siang dan meletakkannya di saku jaket Kayo.

Pada data (4), Misato hanya menyampaikan pendapatnya menggunakan kalimat deklaratif. Namun, penggunaan pola kalimat ~ba dalam bahasa Jepang menunjukkan bentuk persyaratan yang kuat dari Misato. Dengan demikian, makna yang ingin disampaikan dari kalimat tersebut adalah ‘jika memeriksa tas masing-masing, pasti ketahuan pelakunya’. Kalimat deklaratif tersebut berubah fungsinya menjadi kalimat imperatif yang menyuruh siswa di kelas untuk mengecek tas masing-masing dan akhirnya Kayo dituduh sebagai pencuri.

  • 1.2    Kekerasan Simbolik berdasarkan Media

    Perantara

Salah satu kekerasan simbolik berdasarkan media perantara yang menonjol pada komik Bokumachi adalah kamera. Keberadaan paparazzi sangat mengganggu kehidupan Satoru. Satoru yang koma selama belasan tahun akhirnya terbangun. Hal ini menarik perhatian majalah gosip dan mengincar berita mengenai Satoru.

Berikut merupakan representasi kamera sebagai media perantara kekerasan simbolik



Gambar 1. Representasi Kekerasan Simbolik berdasarkan Media Perantara: Kamera (1). (Sanbe, 2015:161)

Gambar (1) menunjukkan dua orang paparazzi yang berada di atas pohon sedang mengintai kamar Satoru. Ibu Satoru yang menyadari keberadaan paparazzi tersebut langsung menutup rapat jendela kamar Satoru. Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa keberadaan paparazzi tersebut sangat mengganggu. Kamera yang disalahgunakan oleh paparazzi tersebut menjadi bagian dari kekerasan simbolik karena membuat kehidupan orang lain menjadi tidak nyaman. Berikut ini merupakan gambar yang menunjukkan ketika teman Satoru, Airi menghajar paparazzi tersebut karena manyalahgunakan kamera.

Gambar 2. Representasi Kekerasan Simbolik berdasarkan Media Perantara: Kamera (2). (Sanbe, 2015:192-193)

Pada gambar 2 sebelah kiri menunjukkan Airi yang menghajar paparazzi, sedangkan gambar sebelah kanan menunjukkan Airi yang mengambil film dan membuang film dari kamera tersebut. Ekspresi yang ditunjukkan Airi seperti terlihat pada gambar 2 sebelah kanan bawah adalah ekspresi marah akibat penyalahgunaan kamera. Dari hal ini diketahui bahwa kamera sebagai media perantara kekerasan simbolik merugikan banyak pihak dan membuat banyak pihak merasa tidak nyaman dengan keberadaannya.

  • 1.3    Kekerasan Simbolik berdasarkan Gestur

Kekerasan simbolik berdasarkan gestur dapat ditemukan melalui tokoh paman penjaga toko buku. Toko buku yang sering dikunjungi Satoru menjadi lokasi kekerasan simbolik tersebut terjadi. Satoru yang menjadi pelanggan toko buku tersebut selalu mengecek isi buku sebelum membelinya. Kebiasaan Satoru ini ternyata mengundang paman penjaga toko buku untuk menghentikan tindakan Satoru tersebut. Berikut merupakan gestur paman penjaga toko buku yang ingin menghentikan Satoru dari tindakan mengecek isi buku sebelum membeli.

Gestur: Paman di toko buku.

(Sanbe, 2013a:75)

Pada gambar 3, terlihat seorang paman penjaga toko buku mencoba mengganggu Satoru yang sedang membaca buku di toko buku. Paman tersebut sengaja membersihkan buku dengan kemoceng hingga debunya cukup mengusik Satoru. Tindakan ini sengaja dilakukan oleh paman penjaga toko buku karena Satoru dianggap hanya membaca secara gratis dan tidak membeli buku tersebut. Namun, Satoru merasa tersinggung. Satoru selalu membeli buku di toko buku tersebut sehingga ia merasa bahwa kali ini tidak ada salahnya jika ia mengecek isi buku tersebut sebelum membelinya.

Tindakan Satoru yang mengecek buku sebelum membelinya mengundang kekesalan paman penjaga toko dan sikap paman penjaga toko terhadap Satoru juga membuat Satoru kesal. Kedua tokoh ini saling melakukan tindakan kekerasan simbolik dari gestur-gestur yang mereka tunjukkan.

SIMPULAN

Komik mampu merepresentasikan kekerasan secara nyata karena selain menggunakan teks, komik juga menggunakan gambar dalam menceritakan konflik. Kekerasan yang terepresentasi dalam komik Bokumachi terdiri atas dua macam, yaitu kekerasan fisik dan kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik yang terepresentasi adalah kekerasan yang tidak melukai tubuh korbannya, namun melukai psikis korbannya. Representasi kekerasan simbolik dalam komik Bokumachi dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kekerasan simbolik berdasarkan tindak tutur, kekerasan simbolik berdasarkan media perantara, dan kekerasan simbolik berdasarkan gestur.

Kekerasan simbolik berdasarkan tindak tutur dibagi lagi menjadi empat klasifikasi, yaitu tindak tutur langsung literal, tindak tutur tidak langsung literal, tindak tutur langsung tidak literal, dan tindak tutur tidak langsung tidak literal. Kekerasan simbolik berdasarkan media perantara dapat dilihat dari penyalahgunaan kamera sebagai suatu media untuk melakukan tindak kriminal. Sedangkan kekerasan simbolik berdasarkan gestur dapat dilihat dari tokoh Satoru dan paman penjaga toko buku yang saling menunjukkan gestur tidak menyenangkan dan membuat orang lain tidak nyaman.

DAFTAR PUSTAKA

Danesi, Marcel . 2010. Pesan, Tanda, dan Makna Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Komunikasi.     Diterjemahkan     dari

Messages, Sign, and The Meanings: A Basic Textbox in Semiotic and Communication Theory oleh Evi Setyani dan Lusi Piantari. Yogyakarta: Jalasutra.

Fashri, Fauzi. 2014. Pierre Bourdieu: Menyikap Kuasa Simbol. Yogyakarta: Jalasutra

Rohmadi, Muhammad. 2010. Pragmatik Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka

Sanbe, Kei. 2013a. Boku dake ga Inai Machi. Tokyo: Kadokawa Comics.

Sanbe, Kei. 2013b. Boku dake ga Inai Machi. Tokyo: Kadokawa Comics.

Sanbe, Kei. 2014. Boku dake ga Inai Machi.

Tokyo: Kadokawa Comics.

Sanbe, Kei. 2015. Boku dake ga Inai Machi.

Tokyo: Kadokawa Comics.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: PT.      Dunia      Pustaka      Jaya.

137