REPRESENTASI IDEOLOGI DALAM TINDAK TUTUR TOKOH PUNAKAWAN WAYANG KULIT INOVATIF CENK BLONK
on
LINGUISTIKA, SEPTEMBER 2018
p-ISSN: 0854-9613
Vol. 49. No. 25
REPRESENTASI IDEOLOGI DALAM TINDAK TUTUR TOKOH PUNAKAWAN WAYANG KULIT INOVATIF CENK BLONK
Pande I Putu Hendra Widnyana email: [email protected] Program Magister Linguistik, Universitas Udayana
I Ketut Riana
email: [email protected]
Program Magister Linguistik, Universitas Udayana
I Made Netra
email: [email protected]
Program Magister Linguistik, Universitas Udayana
Abstrak—Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan ideologi yang melatarbelakangi tindak tutur tokoh punakawan pada pertunjukan Wayang Kulit Inovatif Cenk Blonk (WKICB). Ideologi tokoh punakawan tersebut merupakan prinsip atau keyakinan yang dapat ditemukan dengan mudah dalam kehidupan masyarakat secara umum.
Pembahasan masalah dilakukan dengan menerapkan teori analisis wacana kritis menurut Fairclough (dalam Eriyanto, 2001). Analisis tersebut dapat dipandang dari dimensi tekstual, dimensi kewacanaan, dan dimensi praktis sosial budaya.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa tindak tutur tokoh punakawan WKICB dilandasi oleh sejumlah ideologi, baik ideologi yang harus dipertahankan dan ideologi yang sebaiknya ditinggalkan untuk menciptakan hubungan yang harmonis.
Kata Kunci: tindak tutur, tokoh punakawan, ideologi
Abstract—This research is aimed to explain the ideology in the speech acts performed by the figure of punakawan at Wayang Kulit Inovatif Cenk Blonk (WKICB) show. The ideology belongs to the figure of punakawan is the principal or belief that can be easily found in common society.
The discussion done by applying the theory of critical discourse analysis by Fairclough (adopted from Eriyanto, 2001). The analysis can be seen from textual dimension, discourse dimension, and social and culture practical dimension.
The results of the research show that the speech acts performed by the figure of punakawan WKICB based on ideologies, whether those must be defended and the ones which should be abandoned for creating the harmonious relations.
Keywords: speech acts, the figure of punakawan, ideology
PENDAHULUAN
Wayang Kulit Inovatif Cenk Blonk (WKICB) merupakan sebuah kelompok pertunjukan wayang kulit Bali yang dipimpin oleh I Wayan Nardayana, S.Sn.,M.Fil.H. Dengan menghadirkan inovasi dalam tampilan dan alur cerita klasik yang dinamis, Nardayana selaku dalang WKICB mampu membuat pertunjukannya selalu dipadati oleh penonton. Daya tarik yang paling kuat dari pertunjukan WKICB terletak pada percakapan tokoh punakawan. Tokoh punakawan merupakan tokoh wayang kulit yang digunakan oleh dalang untuk mengembangkan topik percakapannya. Dengan kata lain, jenis tokoh ini memiliki jangkauan yang lebih luas untuk membicarakan sesuatu daripada tokoh lain yang cenderung terikat dengan lakon atau cerita utama.
Berdasarkan keleluasaan tersebut namun tetap dibatasi, tokoh punakawan WKICB lebih ditekankan untuk menghibur dan memberi tuntunan kepada penonton. Hiburan dan tuntunan tokoh ini tercermin dari tindak tuturnya. Austin (1962) menyatakan bahwa tindak tutur merupakan tindakan dalam tuturan seseorang yang dibedakan menjadi tindak lokusi, tindak ilokusi, dan tindak perlokusi. Searle (1979, 1220) kemudian menjabarkan tindak tutur dari tindak ilokusi, yaitu asertif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklaratif. Penggunaan tindak ilokusi sebagai acuan disebabkan karena unit dasar komunikasi linguistik manusia adalah tindak ilokusi (Searle, 1976:1).
Semua tindak tutur yang dilakukan oleh tokoh punakawan WKICB sesuai dengan kelima kategori atau fungsi dasar tindak ilokusi di atas. Masing-masing fungsi memiliki sejumlah penekanan komunikasi yang sekaligus mengarah pada representasi ideologi tertentu. Beranjak dari asumsi tersebut, ternyata ideologi menjadi alasan utama tokoh punakawan WKICB melakukan suatu tindak tutur, misalnya ketika ‘menasehati’ lawan tuturnya. Dan sangat penting mengetahui ideologi tersebut agar pesan-pesan moral yang
hendak disampaikan oleh dalang WKICB dapat diterima dengan baik. Oleh sebab itu, masalah dalam penelitian ini mengkhusus pada representasi ideologi dalam tindak tutur tokoh punakawan WKICB.
Tidak dapat disangkal bahwa selain untuk menampilkan tindakan, makna tuturan atau bahasa juga mengarah pada usaha penyebaran suatu ideologi. Volosinov dalam (Sosiowati, 2013; Widyawari, 2016) juga menerangkan bahwa bahasa tidak bisa lepas dari ideologi. Storey (2004) menjabarkan empat konsep dasar suatu ideologi. Pertama, ideologi menunjuk pada kesadaran atau keyakinan. Kedua, ideologi menyangkut ide, gagasan, dan pedoman produksi tentang makna. Ketiga, ideologi menentukan cara pandang atau dalam menyikapi segala sesuatu. Dan keempat, ideologi dapat mempengaruhi pikiran, selera, perasaan serta menuntut tindakan kebudayaan dan tindakan sosial seseorang atau kelompok (as cited in Pratiwi, 2015).
Secara linguistik, ideologi atau paham yang melatarbelakangi tuturan tokoh punakawan WKICB dapat dikaji dari perpaduan makna setiap bentuk bahasa yang digunakan. Fairclough dalam (Eriyanto, 2001), memaparkan model analisis wacana kritis terhadap suatu teks maupun tuturan untuk mengetahui ideologi yang tersimpan di dalamnya. Analisis tersebut dapat dilakukan melalui tiga tahap yaitu dimensi tekstual (mikrostruktural), dimensi kewacanaan (mesostruktural), dan dimensi praktis sosial budaya (makrostruktural). Tahap pertama mengarah pada deskripsi bentuk linguistik yang meliputi analisis mengenai kebermaknaan setiap klausa, tata bahasa, dan penggunaan diksi tertentu, baik yang berupa sebuah kata maupun ungkapan metaforis. Tahap kedua mengarah pada pihak yang menghasilkan, menyebarkan, dan menggunakan teks maupun tuturan tersebut. Dan, tahap ketiga mengarah pada eksplanasi praktek sosial budaya yang mencakup level situasional, institusional, dan sosial yang menjadi alasan diproduksinya suatu teks maupun tuturan.
METODE PENELITIAN
Penelitian tentang representasi ideologi dalam tindak tutur tokoh punakawan WKICB ini menggunakan metode kualitatif dengan jenis data lisan yang bersumber dari VCD lakon Lata Mahosadhi 2010 dan Bimaniyu Makrangkeng 2011 yang diproduksi oleh Aneka Record. Metode dan teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode simak bebas libat cakap dan mencatat tuturan untuk memperoleh rekaman tertulis. Metode dan teknik analisis data dilakukan dengan metode reduksi untuk mencari unsur-unsur tuturan yang penting. Metode dan teknik penyajian hasil analisis data dilakukan dengan metode informal dalam bentuk teks yang bersifat naratif.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini berupa representasi ideologi dalam tindak tutur asertif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklaratif dari tokoh punakawan WKICB, seperti Malen, Blonk, Mredah, dan Melem.
Representasi Ideologi dalam Tindak Tutur Asertif
Tindak tutur asertif merupakan tindakan yang dilakukan oleh penutur untuk menyampaikan segala sesuatu yang diketahui dan diyakininya kepada lawan tutur. Begitu juga halnya pada pertunjukan WKICB. Tokoh punakawan menekankan tuturannya untuk menginformasikan sesuatu.
Penggalan percakapan atau tuturan di bawah ini disampaikan oleh Malen kepada Mredah. Tuturan Malen dibedakan menjadi dua, yaitu tuturan (1) berfungsi sebagai inti dan tuturan (2) digunakan sebagai proposisi tambahan.
Data: Tuturan Malen, Lakon Lata Mahosadhi 2010, VCD 1
-
(1) Jaman demokrasi dadi benya ngomong, dadi benya menyampaikan
pendapat. (2) Kewala raga ngomong pang sesuai dengan situasi, kondisi, realitas, kenyataan yang ada.
Terjemahan: (1) Jaman demokrasi boleh kamu berbicara, boleh kamu menyampaikan pendapat. (2) Namun kita berbicara agar sesuai dengan situasi, kondisi, realitas, kenyataan yang ada.
Secara keseluruhan kedua tuturan mengandung fakta tentang jaman demokrasi, yaitu setiap orang memiliki kebebasan untuk berbicara dalam menyampaikan aspirasinya asalkan semua didasari oleh kebenaran dan tidak dibuat-buat. Dari segi tekstual, tuturan Malen menggunakan sebuah kata yang mengarah pada ideologi tertentu, yaitu ‘demokrasi’. Dengan adanya kata tersebut, Malen berusaha menanamkan ideologi demokrasi melalui penyampaian hak seorang individu.
Bagian tuturan ‘…dadi benya ngomong, dadi benya menyampaikan pendapat’ mengindikasikan bahwa Malen juga berbicara dan menyampaikan pendapat sama seperti yang dikatakan. Apabila tokoh punakawan ini tidak menganut ideologi demokrasi tidak mungkin dia melontarkan tuturan tersebut kepada lawan tuturnya, sebab kata-kata yang diucapkan berasal dari apa yang diyakini. Di samping itu, hal tersebut juga didukung oleh karakter yang dimiliki. Malen adalah tokoh punakawan yang berpengetahuan luas sehingga dapat dijadikan acuan berdasarkan sudut pandang dimensi kewacanaan. Sedangkan dilihat dari dimensi praktis sosial budaya, Malen adalah tokoh punakawan yang tinggal dan menjadi penasehat dalam kerajaan yang baik. Pengalaman sosial budaya yang dia miliki tentu sangat berdampak pada pola pikirnya. Sekali lagi ditekankan bahwa ideologi yang direpresentasikan oleh Malen dalam tindak tutur asertif, khususnya memberi informasi kepada Mredah adalah ideologi demokrasi.
Representasi Ideologi dalam Tindak Tutur Direktif
Tindak tutur direktif merupakan tindakan yang dilakukan oleh penutur untuk membuat lawan tutur melakukan sesuatu. Dalam menampilkan tindak tutur direktif tokoh punakawan WKICB menggunakan tuturan atau kalimat yang mengandung permintaan, suruhan, permohonan, saran, dan sejenisnya.
Tindak tutur direktif di bawah ini diungkapkan oleh Blonk kepada lawan tuturnya dalam konteks ketika perang sedang berlangsung. Tuturan yang dia lontarkan mengandung kata larangan.
Data: Tuturan Blonk, Lakon Lata Mahosadhi 2010, VCD 3
-
(1) Da bareng masiat! (2) Dimana ada perang, hasilnya kehancuran. (3) Makane da masiat!
Terjemahan: (1) Jangan ikut berperang!
-
(2) Dimana ada perang, hasilnya kehancuran. (3) Makanya jangan berperang!
Larangan yang diungkapkan melalui sebuah kalimat imperatif yaitu ‘da bareng masiat’ (jangan ikut berperang) merupakan unsur tekstual yang mencirikan ideologi tokoh punakawan di atas. Penggunaan kalimat imperatif dapat memperlihatkan penutur berkuasa atas lawan tuturnya. Akan tetapi, kekuasaan tersebut dilandasi dengan keinginan yang baik, yaitu melarang lawan tutur mendukung kelompok yang jahat.
Dari segi dimensi kewacanaan, Blonk termasuk tokoh punakawan yang tidak suka terlibat dalam perang. Terlebih lagi, dari sisi politik Blonk melihat adanya suatu tujuan yang hanya menguntungkan kelompok atas saja. Dia tidak suka perbuatan yang merugikan rakyat seperti itu. Sesuai dengan asumsi tersebut, ideologi yang direpresentasikan oleh Blonk dalam tindak tuturnya adalah ideologi ‘menjunjung perdamaian’.
Representasi Ideologi dalam Tindak Tutur Komisif
Tindak tutur komisif merupakan tindakan yang dilakukan oleh penutur untuk mengikatkan dirinya terhadap berbagai tindakan di masa yang akan datang. Tindak tutur ini mengarah pada apa yang belum dilakukan oleh penutur. Dalam menampilkan tindak tutur komisif tokoh punakawan WKICB juga membawa suatu ideologi yang menyebabkan mereka mengucapkan sebuah janji.
Analisis ideologi dalam tindak tutur komisif diambil dari tuturan Malen. Konteksnya adalah ketika Malen sedang menasehati Sang Anoman yang sempat putus asa hingga ingin bunuh diri setelah Sang Rama, Sang Laksmana, dan semua tentara kera mati. Melihat situasi tersebut Malen mengeluarkan kata-kata yang mengikatkan dirinya terhadap apa yang akan dilakukan untuk mendukung Sang Anoman melawan para raksasa.
Data: Tuturan Malen, Lakon Lata Mahosadhi 2010, VCD 2
-
(1) Yadiastun sendiri, yadiastun tiang tua.
-
(2) Kel bebek jantukin tiang, angseh-angsehin tiang.
Terjemahan: (1) Walaupun sendiri, walaupun saya tua. (2) Akan saya jadikan angsa, saya usahakan atau perjuangkan.
Tuturan (2) pada penggalan percakapan di atas bukanlah sekedar janji tanpa ada yang melandasi. Dilihat dari bentuk linguistik yang digunakan pada ungkapan metaforis ‘bebek jantukin’ (angsa) berubah menjadi ‘angsehin’ (usahakan atau perjuangkan) diawali dengan kata ‘kel’ (akan), Malen memperlihatkan bahwa dirinya memiliki loyalitas atau kesetiaan yang tinggi terhadap atasan. Dari segi dimensi kewacanaan, khususnya pemroduksi wacana Malen termasuk tokoh yang setia terhadap katakata yang diucapkan. Lawan tuturnya pun yaitu Sang Anoman juga memiliki kesetiaan yang sama. Apalagi keduanya memang mengabdikan diri untuk raja yang baik. Sehingga, dapat
disimpulkan dengan mudah bahwa ideologi yang direpresentasikan oleh Malen dalam tindak tuturnya adalah ideologi ‘berjuang sampai tetes darah terakhir untuk menegakkan kebenaran’.
Representasi Ideologi dalam Tindak Tutur Ekspresif
Tindak tutur ekspresif merupakan tindakan yang dilakukan oleh penutur untuk menyatakan sesuatu yang dirasakannya. Dalam mengungkapkan tindak tutur ini penutur menggunakan tuturan atau kalimat yang mengandung ungkapan kegembiraan, kesenangan, kebahagiaan, kebencian, kesedihan, kesengsaraan, dan sejenisnya. Tindak tutur ini mungkin disebabkan oleh sesuatu yang dilakukan oleh penutur atau lawan tutur. Berikut ini adalah penggalan percakapan yang memperlihatkan ideologi dalam tindak tutur ekspresif tokoh punakawan WKICB.
Tindak tutur ekspresif yang diungkapkan oleh Mredah memperlihatkan adanya pertentangan pendapat dengan Malen mengenai penting atau tidaknya cinta dalam berumah tangga. Mredah tidak setuju dengan Malen yang menganggap bahwa cinta lebih penting dari harta. Data: Tuturan Mredah, Lakon Lata Mahosadhi 2010, VCD 1
-
(1) Yen i raga nganten, dadi modalin cinta dogen? (2) Layah basange, cinta e amah?
Terjemahan: (1) Kalau kita menikah, bisa hanya bermodalkan cinta? (2) Perut lapar, cintanya yang dimakan?
Ideologi yang direpresentasikan dalam tindak tutur Mredah mengarah pada suatu keyakinan bahwa yang utama dalam kehidupan adalah harta benda. Itu ditandai dari implikatur kedua tuturannya, terutama tuturan (2). Secara tidak langsung, bentuk linguistik tersebut menggiring pendengar kepada ideologi ‘materialisme’. Hal itu memang tidak salah untuk diikuti seperti di jaman sekarang ini, namun perlu disadari bahwa tidak semua dapat diwujudkan
dengan uang. Apabila dilihat dari segi pemroduksi wacana, Mredah termasuk tokoh punakawan yang pemikirannya tidak begitu luas walaupun sesekali dia dapat bertindak cerdas dan lihai. Mredah tidak memiliki sifat bijaksana seperti Malen. Latar belakang seperti itu juga dapat mempengaruhi tuturan yang dilontarkan, sebab dia hanya akan memikirkan sesuatu hanya dari satu sudut pandang saja. .
Representasi Ideologi dalam Tindak Tutur Deklaratif
Kategori tindak tutur ini bertujuan untuk mengubah dunia melalui tuturan yang mana penutur harus memiliki peran institusional khusus dalam konteks tertentu agar tuturan atau kalimatnya dapat membuat perubahan pada lawan tutur, seperti status, kedudukan, identitas, dan sejenisnya. Penekanan komunikasi yang diberikan oleh tokoh punakawan WKICB berikut ini mencerminkan perilaku yang hanya mengutamakan kepentingan pribadi.
Data: Tuturan Melem, Lakon Bimaniyu
Makrangkeng 2011, VCD 2
Ketua I ci, bendahara ci, sekretaris ci, seksi-seksi ci.
Terjemahan: Ketua I kamu, bendahara kamu, sekretaris kamu, seksi-seksi kamu.
Dilihat dari dimensi tekstual, tuturan Melem mengandung makna tindakan yang menjadikan lawan tutur merangkap sebagai ketua, bendahara, sekretaris, dan seksi-seksi dalam acara pernikahannya dengan pembantu Dewi Subadra. Sikap Melem tersebut sebenarnya digunakan oleh dalang WKICB untuk menyindir orang-orang yang serakah dan hanya berorientasi pada keuntungan tanpa mengikuti prosedur yang harus dilakukan. Artinya, dengan membebani tugas pada satu pihak, secara otomatis memudahkan pengaturan bagi pihak atasan. Terlebih lagi tugas tersebut selalu berhubungan dengan uang. Sedangkan, dari segi dimensi kewacanaan dan dimensi praktis sosial budaya,
Melem memiliki kedudukan yang sangat dekat dengan raja, sehingga mudah baginya untuk memerintah yang lain. Di samping itu, karakternya juga sama seperti oknum yang hanya mencari keuntungan untuk diri sendiri walaupun dengan membuat pihak lain menderita. Berdasarkan kenyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa ideologi yang
direpresentasikan dalam tindak tutur Melem adalah ideologi ‘mengutamakan kepentingan pribadi’.
SIMPULAN
Berdasarkan analisis terhadap masalah penelitian, diperoleh beberapa simpulan sebagai berikut.
-
1. Semua kategori tindak tutur tokoh punakawan WKICB, yaitu asertif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklaratif dengan masing-masing penekanan komunikasinya mengandung ideologi yang mencerminkan beberapa keyakinan dan selera.
-
2. Representasi ideologi dalam tindak tutur tokoh punakawan WKICB
menggambarkan keyakinan dan selera yang harus dipertahankan dan perlu ditinggalkan untuk menciptakan
kehidupan yang harmonis.
-
3. Ideologi yang disebarkan oleh tokoh punakawan WKICB, seperti demokrasi, menjunjung perdamaian, dan berjuang sampai tetes darah terakhir untuk menegakkan kebenaran merupakan pesan moral yang perlu diikuti. Sedangkan, ideologi materialisme dan kepentingan pribadi adalah hal yang utama sebisa mungkin harus ditinggalkan karena dapat berdampak pada kesengsaraan hidup.
-
4. Secara linguistik, ideologi yang dianut oleh tokoh punakawan WKICB direpresentasikan melalui tuturan langsung dan tidak langsung, penggunaan ungkapan metaforis, dan makna yang memperlihatkan hubungan sebab akibat.
DAFTAR PUSTAKA
Austin, J.L. 1962. “How To Do Things With Words”. Oxford At The Clarendon Press.
Eriyanto. 2001. “Analisis wacana: pengantar analisis teks media”. PT LKiS Pelangi Aksara.
Fairclough, N. 1995. “Language and Ideology”, dalam Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. London: Longman.
Moleong, L.J. 2014. “Metodologi Penelitian Kualitatif”. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya Offset.
Pratiwi, D.P.E. 2015. “Iklan Komersial Pada Media Elektronik: Gaya Bahasa, Makna, Dan Ideologi”. (Disertasi). Denpasar: Universitas Udayana.
Searle, J.R. 1976. “A Ckassification of Illocutionary Acts”, dalam Language in Society, Vol. 5, No. 1, pp. 1-23. Cambridge University Press.
Searle, J.R. 1979. “Expression And Meaning: Studies in the Theory of Speech Acts”. Cambridge University Press.
Sugiyono. 2014. “Memahami Penelitian Kualitatif”. Bandung: Alfabeta.
Widyawari, C.P.G.M. dan Ida Zulaeha. 2016. “Representasi Ideologi Dalam Tuturan Santun Para Pejabat Negara Pada Talk Show Mata Najwa”. (Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia). Universitas Negeri Semarang.
122
Discussion and feedback