Identifikasi Elemen dan Pola Ruang pada Taman Vihara Dharma Giri di Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan, Bali
on
JURNAL ARSITEKTUR LANSEKAP
ISSN: 2442-5508
VOL. 9, NO. 1, APRIL 2023
Identifikasi Elemen dan Pola Ruang pada Taman Vihara Dharma Giri di Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan, Bali
Benny Tantowi, Ir. Anak Agung Gede Sugianthara, I Made Agus Dharmadiatmika
-
1. Prodi Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana, Denpasar, Indonesia 800232
*E-mail: [email protected]
Abstract
Identification of Elements and Spatial Patterns in the Dharma Giri Monastery Park in Pupuan District, Tabanan Regency, Bali. This research is motivated by the absence of a description of the spatial pattern used and the character of the forming elements at Vihara Dharma Giri in Pupuan District, Tabanan Regency, Bali. This study aims to identify the physical conditions, elements and patterns of space and the philosophical concept of the Vihara Dharma Giri Garden. The method used in this research was a survey method with data collection techniques by means of observation, interviews, and literature study as well as descrictive qualitative data analysis. The results of data analysis are presented in the form of an illustration of the Dharma Giri Vihara space pattern. Based on the analysis, it is found that the characters are based on the Vihara Dharma Giri by the biophysical aspects and have a spatial pattern that follows the Tri Hita Karana concept. In the division of space, there is also a garden area which is also called a statue garden. The role and elements of society are needed in maintaining and caring for the Vihara Dharma Giri so that its sustainability is maintained.
Keywords: Dharma Giri Monastery, Identification, Landscape-forming Elements, Spatial Patterns
-
1. Pendahuluan
Provinsi Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang mempunyai keragaman budaya dan agama, salah satunya agama Buddha. Agama Buddha dinilai sebagai agama yang falsafah berladaskan pada ajaran Sakyamuni (Suzuki, 2009). Agama Buddha mengajarkan adanya dan memiliki tempat menjalankan ritual yang mempunyai nilai kesakralan yaitu Vihara. Pemeluk agama Buddha menaruh benda sakral yaitu Arca Buddha di Vihara ini. Dalam konteks ini Arca Buddha ialah suatu benda yang mampu membantu secara visual guna menolong umat manusia serta mampu mengilhami banyak orang dari berbagai generasi yang ada dalam waktu peradaban dunia
Bila dilihat dari keunikan arsitektur vihara atau tempat ibadah yang dapat dijumpai di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara, arsitektur vihara yang ada di kawasan Indonesia tidak jauh beda dengan vihara yang ada pada wilayah di India. Keunikan arsitekturnya dapat dilihat pada simbol-simbol yang diaplikasikan yang mana terlihat bermula dari falsafah dan keyakinan tradisional orang India, antara lain: stupa, sikhara, pagoda (meru), torana (gerbang), Arca Buddha, tokoh yang ada dalam sejarah, para orang yang dinilai suci dan tulisan yang ditulis dengan aksara Buddha. Berlainan dengan salah satu Vihara di Bali, yaitu Vihara Dharma Giri, yang berada di wilayah Kec. Pupuan, Kab. Tabanan, Bali yang mana mengakulturasikan kebudayaan Hindu dengan Buddha dalam arsitekturnya.
Bali memiliki bangunan-bangunan vihara yang tersebar di seluruh kawasan pulau Bali, terdapat total jumlah 31 bangunan Vihara yang berada dalam Provinsi Bali (Badan Pusat Statistik, 2018). Vihara juga merupakan sebagai rumah, pondok ataupun tempat bhikkhu/bhikkhuni. Vihara mempunyai status kepemilikan secara umum (umat Buddha) dan tidak diperkenankan menjadi milik perseorangan, dan secara umum pembentukannya dilakukan oleh sebuah yayasan dalam mengontrol keperluan tersebut (Giriputra, 1994). Manfaat paling mendasar dari Vihara untuk umat Buddha ialah dijadikan tempat ibadah dalam memuja Tuhan Yang Maha Esa lewat manifestasi Sang Tri Ratna ialah lewat manifestasi Buddha, lewat manifestasi Dhamma, dan lewat manifestasi Sangha.
-
2. Metode
-
2.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
-
Peneliti melaksanakan sebuah riset di Vihara Dharma Giri, yang tepatnya beralokasi di Kec. Pupuan, Kab. Tabanan, Bali. Penelitian ini dilakukan di Vihara Dharma Giri karena lokasi tersebut memiliki penataan taman yang kompleks dengan elemen-elemen pendukung (hardscape, softscape dan artscape) didalamnya. Peneliti melaksanakan sebuah riset dalam kurun waktu 15 (lima belas) bulan yang dimulai dari Nopember 2019 hingga Februari 2021. Lokasi tempat penelitian disajikan pada Gambar 1 sebagai berikut.
Gambar 1. Lokasi Vihara Dharma Giri, Kecamatan Pupuan Sumber: Google Earth Pro, Google (2019)
-
2.2 Alat dan Bahan
Alat yang dipakai dalam menunjang riset peneliti ialah berupa kamera, laptop, recorder, perangkat lunak (Google Earth Pro, Microsoft Word 2010, AutoCAD, Adobe Photoshop), sedangkan bahan yang dipergunakan oleh peneliti melaksanakan sebuah penelitian ini ialah berupa peta lokasi penelitian.
-
2.3 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode survei dengan teknik atau cara penghimpunan data melalui observasi, wawancara, dan studi pustaka. Metode pendekatan ini adalah bersifat kualitatif dan komprehensif. Dalam mengumpulkan sebuah data, peneliti memilih pendekatan secara kualitatif, dimana pendekatan secara kualitatif memerlukan dukungan dari perolehan data-data yang didapatkan dari lapangan. Data-data kualitatif ini didapatkan lewat perantara informan, perantara responden, perantara dokumentasi atau bahkan lewat perantara observasi pada setting sosial yang memiliki hubungan dengan subyek yang peneliti ambil (Widodo, 2000). Pada proses pelaksanaannya, peneliti melakukan pengamatan secara langsung. Teknik wawancara yang digunakan adalah teknik deep interview. Teknik wawancara ini peneliti dengan informan melakukan tatap muka yang sifatnya secara langsung pada saat sesi wawancara. Informan dalam penelitian ini adalah Bapak PMy. Liemanuel Kartika Cht (Romo Kayan), selaku ketua yayasan Vihara Dharma Giri, Pupuan. Teknik selanjutnya adalah observasi. Penulis melakukan pengamatan ke lapangan untuk memantau dan mencatat elemen-elemen pembentuk dari objek penelitian. Objek observasi dari penelitian ini ialah elemen softscape, hardscape dan artscape di Vihara Dharma Giri, Kecamatan Pupuan. Peneliti menentukan pengambilan sampel dengan cara membandingkan konsep Taman Tradisional Bali dengan yang ada pada Taman Vihara Dharma Giri.
Berikutnya dilaksanakanya pula tahap analisis terhadap data-data dari hasil perolehan observasi, hasil wawancara dan hasil studi pustaka. Berikutnya tahap sintesis ialah perolehan hasil-hasil dari penelitian, yang mencakup penggambaran pola ruang dan mencakup karakter pembentuk lanskap dan tamannya Vihara Dharma Giri di Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan yang dilihat dari aspek biofisiknya. Penelitian ini dilakukan pada area Vihara di Vihara Dharma Giri, dengan total luas area bangunan ± 9,951.35 m² (Google Earth). Penelitian terfokus pada pola ruang dan elemen-elemen di dalamnya. Penelitian yang dilakukan secara langsung yaitu pada area/tapak Vihara Dharma Giri Kecamatan Pupuan.
Vihara Dharma Giri (VDG) terletak pada Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan. Total luas area bangunan VDG adalah ± 9,951.35 m² (Wawancara dan Google Earth, 2020). VDG berbatasan dengan dua kabupaten yaitu Kabupaten Buleleng dan Kabupaten Negara. Aksesibilitas menuju VDG termasuk tidak sulit untuk ditelusuri sebab melewati jalan kabupaten.
Pada tahun 1992 VDG adalah sebuah rumah yang status kepemilikannya ialah salah satu warga di Kec. Pupuan yang memiliki tujuan awal pembangunan VDG adalah untuk mempelajari dhamma oleh umat Buddha di Pupuan. Kemudian diperbesar luas area bangunannya seluas ± 9,951.35 m² (Wawancara dan Google Earth, 2020) hingga seperti sekarang. Vihara Dharma Giri ini menjadi salah satu ikon wisata di Bali karena keunikan arsitekturnya. Pada tahun 1996 pembangunan VDG dimulai setelah mendapatkan surat ijin oleh gubernur. VDG selesai dibangun pada 12 Nopember 1997 atas bantuan dari para donatur dan pihak lain yang terlibat dalam pembangunan Vihara. Pada saat ini VDG telah melakukan banyak kegiatan dalam bentuk pengimplementasikan tujuan utama pembangunan VDG, yaitu untuk mempelajari dhamma.
Berlandaskan pada perolehan hasil-hasil pengamatan, elemen lunak (softscape) yang merupakan vegetasi yang ditemukan pada VDG sebagian besar didominasi oleh tanaman hias. Kategori pengelompokan area dibagi menjadi area bawah di mana meliputi dari area parkiran hingga kantin, area tengah/Arca meliputi area reclining Buddha dan gazebo yang terdapat pada taman Arca, dan area atas meliputi dari area bangunan kuti dan dhammasala atau dapat dibilang sebagai tempat yang paling suci, bila diilustrasikan terlihat pada Gambar 2 dan untuk vegetasi yang ditemui di VDG dapat dilihat pada Tabel 1.
Gambar 2. Pengelompokan Area Vihara Dharma Giri
Tabel 1. Vegetasi Vihara Dharma Giri di Kecamatan Pupuan
No |
Bagian Ruang |
Jenis |
Nama Lokal |
Nama Ilmiah |
1 |
Area Bawah |
Pohon |
Glodokan Tiang |
Monoon longifolium |
2 |
Area Bawah |
Pohon |
Bonsai Cemara cina |
Juniperus chinensis |
3 |
Area Tengah/Arca |
Pohon |
Cempaka |
Magnolia champaca |
4 |
Area Tengah/Arca |
Pohon |
Tanjung |
Mimusops elengi L. |
5 |
Area Tengah/Arca |
Pohon |
Bambu Kuning |
Bambusa vulgaris var. striata |
6 |
Area Tengah/Arca |
Pohon |
Sawo |
Manilkara zapota |
7 |
Area Tengah/Arca |
Perdu |
Parasok |
Cordyline australis |
8 |
Area Tengah/Arca |
Perdu |
Palem Merah |
Cyrtostachys renda |
9 |
Area Tengah/Arca |
Perdu |
Palem Waregu |
Rhapis |
10 |
Area Tengah/Arca |
Perdu |
Bunga kertas |
Bougenvillea spectabilis willd |
11 |
Area Tengah/Arca |
Perdu |
Bromelia |
Bromeliaceae sp |
12 |
Area Tengah/Arca |
Perdu |
Agave |
Agave sp |
13 |
Area Tengah/Arca |
Perdu |
Kadaka |
Asplenium scolopendrium |
14 |
Area Tengah/Arca |
Perdu |
Anthurium |
Anthurium andraeanum |
15 |
Area Tengah/Arca |
Perdu |
Sirih-sirihan |
Philodendron |
16 |
Area Tengah/Arca |
Perdu |
Puring |
Codiaeum variegatum |
17 |
Area Tengah/Arca |
Perdu |
Pisang-pisangan |
Heliconia sp |
18 |
Area Tengah/Arca |
Perdu |
Sirih Belanda |
Philodendron selloum |
19 |
Area Tengah/Arca |
Perdu |
Lidah Buaya |
Aloe Vera |
20 |
Area Tengah/Arca |
Perdu |
Bunga Tasbih |
Canna L. |
21 |
Area Tengah/Arca |
Perdu |
Iris Kuning |
Iris pseudocarus |
22 |
Area Tengah/Arca |
Perdu |
Red Ginger |
Alpinia purpurata |
23 |
Area Tengah/Arca |
Perdu |
Daun Bahagia |
Dieffenbachia |
24 |
Area Tengah/Arca |
Perdu |
Soka |
Saraca asoca |
25 |
Area Tengah/Arca |
Perdu |
Kucai |
Allium tuberosum |
26 |
Area Tengah/Arca |
Penutup Tanah |
Rumput Jepang |
Zoysia japonica |
27 |
Area Tengah/Arca |
Semak |
Euphorbia |
Euphorbia milli |
28 |
Area Tengah/Arca |
Merambat |
Janda Merana |
Vernonia elliptica |
29 |
Area Atas |
Pohon |
Bodhi |
Ficus religiosa |
30 |
Area Atas |
Pohon |
Jambu Air |
Zyzygium aqueum |
31 |
Area Atas |
Pohon |
Cemara |
Casuarinaceae |
32 |
Area Atas |
Pohon |
Cemara Udang |
Casuarina equisetifolia |
33 |
Area Atas |
Pohon |
Belimbing Wuluh |
Averrhoa bilimbi |
34 |
Area Atas |
Pohon |
Kaktus |
Cactaceae |
35 |
Area Atas |
Merambat |
Bunga Terompet |
Allamanda cathartica |
Hasil campur tangan manusia dalam pengelolaan VDG sebagai aplikasi adanya jalinan yang terjalin diantara umat manusia, hubungan yang terjalin diantara umat manusia dengan alam dan adanya hubungan yang terjalin diantara umat manusia dengan Tuhan yang dapat dipandang dari elemen-elemen yang sifatnya keras (hardscape). Berdasarkan hasil observasi, elemen keras (hardscape) di VDG dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Elemen Keras VDG di Kecamatan Pupuan
No |
Bagian Ruang |
Nama Elemen |
Jumlah |
Fungsi |
1 |
Area bawah |
Bangunan |
2 |
Tempat menjamu tamu |
Toko souvenir | ||||
Pilar Asoka |
1 |
Simbol kebesaran Dhamma | ||
2 |
Area tengah/Arca |
Patung (reclining Buddha dan |
2 |
Penghormatan kepada Sang |
Buddha bersila) |
Buddha | |||
Patung Gajah |
2 |
Simbol Religious | ||
Belong |
3 |
Sebagai ornamen | ||
Tempat Dupa |
1 |
Tempat dupa persembahyangan | ||
3 |
Area Atas |
Altar Vihara |
1 |
Tempat persembahyangan |
Patung (singa dan gajah) |
4 |
Simbol Religious |
Hasil observasi ditemukan elemen-elemen seni (artscape) berupa ukiran-ukiran yang mendukung filosofi di VDG. Adapun artscape tersebut berupa teratai/Lotus, Yin-yang dan stupa. Elemen artscape di VDG dapat dilihat di Tabel 3.
Tabel 3. Elemen Artscape di VDG
No |
Bagian Ruang |
Nama Elemen |
Fungsi |
1 |
Area Bawah |
Yin-Yang |
Keseimbangan dalam kehidupan |
2 |
Area Tengah/Arca |
Teratai/Lotus |
Tahap spiritual seseorang |
3 |
Area Atas |
Stupa |
Tempat jasad orang yang telah |
mencapai kesucian
Konsep ruang yang diaplikasikan di VDG secara tidak langsung menggunakan konsep Tri Hita Karana yang dianut dalam agama Hindu yang banyak dijumpai pada bangunan di Bali. Dalam ajaran agama Buddha tidak memiliki konsep yang baku seperti konsepsi Tri Hita Karana dalam keyakinan atau kepercayaan agama Hindu di Bali, tetapi di dalam penataan pola ruang VDG menggunakan konsepsi tata ruang yang mengarah pada konsepsi Tri Hita Karana. Konsepsi Tri Hita Karana yang terjabarkan dalam konsep pola ruang adalah Tri Mandala (konsepsi tiga area), ketiga area tersebut dikenal dengan nista mandala (area terluar/terendah), madya mandala (area peralihan/tengah), dan utama mandala (area paling tinggi/disucikan). Pola ruang pada VDG menggunakan pola ruang Linear dan Organik di mana ruang-ruang yang terdapat di dalam bangunan VDG berhubungan langsung antara satu dengan yang lainnya dan dihubungkan melalui satu jalur utama.
Pola ruang yang telah ditemukan pada Taman Arca mengimplementasikan pola ruang yang sifatnya secara Organik. Pola ruang yang sifatnya secara Organik mengimplementasikan material alami lokal guna menuntaskan sebuah rancangan bangunannya. Material alami lokal pada taman Arca dapat dilihat pada genta dan belong, disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. (a.) Belong dan (b.) Genta
Pola Organik di VDG diperlihatkan melalui bentuk-bentuk geometris, pola yang melengkung, lingkaran yang terbentuk dari perkerasan (stepping stones) dan dipadukan dengan penataan tanaman yang tidak formal. Pada taman Arca, penempatan tanaman berbeda antara sisi kiri dan kanan dengan memadukan tinggi rendah tanaman tertapi tetap mengutamakan unsur estetikanya, terlihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Penataan Sisi Kiri dan Kanan Taman Arca
Dapat dilihat dari orientasi bangunannya, Vihara Dharma Giri dibangun dengan orientasi mengikuti arah matahari terbit (5a) yang disesuaikan dengan filosofi pada saat sang Buddha mencapai penerangan sempurna yang menghadap matahari terbit. Vihara Dharma Giri terbagi menjadi 3 (tiga) zona yang didasarkan atas penjabaran Tilakhana (5b). Diketahui bahwa di dalam Tilakhana adanya pengetahuan terkait tiga spesifik atau karakterlistik yang ada pada keseluruhan yang ada. Ketiga spesifik atau karakterlistik itu ialah; Anicca (ketidakkekalan) berisi kegiatan dalam penghayatan agama Buddha, Dukkha (penderitaan) berisi kegiatan yang bersift umum, dan Anatta (tiada jiwa) berisi kegiatan bersifat spiritual. Adanya area suci hingga tidak suci
pada vihara ini sama dengan konsep Hulu-Teben yang ada di Bali (5c). Ditelurusi dalam (Pardiman, 1986) menyatakan bahwa arah atau aspek gunung/ketinggian dijadikan tolak ukur Hulu/Kaja sebagai zona yang sifatnya sakral atau disucikan dengan tata nilai utama. Sebaliknya, arah atau mata angin laut atau lawan dari gunung dianggap sebagai Kelod/Teben dan mengandung makna nista, tidak baik atau “rendah”. Adanya bagian-bagian yang sakral diberi nama dengan istilah Utama Mandala, bagian yang kurang sakral diberi nama dengan istilah Madya Mandala, dan bagian yang tidak sakral diberi nama dengan istilah Nista Mandala, disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5. (a) Ilustrasi Orientasi Pola Ruang Vihara Dharma Giri, (b) Tiga Zona Tilakhana, (c) Konsep Hulu Teben pada Vihara Dharma Giri
Elemen hardscape yang mendukung filosofi-filosofi yang dianut di VDG menurut ajaran agama Buddha, pertama Gazebo dengan atap berundag 3 (6a), gazebo difungsikan sebagai penunjang keindahan daripada taman, dengan tiang/pilar sebanyak 8 buah dikarenakan di dalam ajaran buddhis ada 8 unsur untuk menuju jalan mulia yang disebut juga jalan Arya (Wijaya. W.Y., 2008). Hal ini mirip dengan konsep Astha Dhala pada Taman Tradisional Bali, dalam konsep Buddha, delapan pilar bangunan melambangkan Arya Atthangiko Mangga yang mengandung makna delapan jalan dharma (kebenaran).
Pada hakekatnya setiap lekukan pada atap bangunan gazebo berundag 3 (tiga) merupakan perlambangan yang dimaknai sebagai alam semesta (6b) yang digolongkan secara filosfis dan digolongkan secara vertikal. Penggolongan alam ini mencakup Kamandhatu pada kaki, mencakup Rupadhatu pada badan dan Arupadhatu pada kepala atau bagian paling atas (Fatimah, 2014). Konsep ini ternyata ada kemiripan dengan konsep Tri Angga pada pola ruang Taman Tradisional Bali. Ada perbedaan sedikit dalam pemaknaan tetapi pada intinya juga sama. Dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. (a) Gazebo dengan Delapan Pilar (b) Atap Gazebo
Kedua, Genta (7a) merupakan suatu Arca yang dimaksudkan untuk mengingatkan umat bahwa di dalam diri kita ada sebuah kekosongan. Jika ada umat yang ingin bersembahyang maka Genta akan dipukul/dibunyikan. Dapat disimpulkan bahwa Genta disini merupakan sebuah alat pemberi informasi.
Ketiga, patung singa (7b), merupakan lambang dari singa para dewa-dewa dimana pada saat kehidupan sang Buddha. Selain Patung singa terdapat juga patung gajah (7c).
Keempat, pilar Asoka (7d) menggambarkan lambang adanya perdamaian dan kerukunan diantara umat beragama yang mengadung sarat akan pesan dhamma yang disajikan dalam ukirannya yang dibuat seindah mungkin.
Kelima, Reclining Buddha (7e), pada umumnya Reclining Buddha dikenal sebagai Buddha tidur (sleeping Buddha). Patung Reclining Buddha sebenarnya memanifestasikan posisi sang Buddha yang sedang bermeditasi bukan dalam posisi tidur seperti yang masyarakat umum tafsirkan. Patung reclining Buddha menggambarkan posisi wafatnya sang Buddha yang telah berbaring menghadap sisi kanan dengan kepala patung bersandar di atas bantal yang dimana disangga oleh lengan kanannya. Patung reclining Buddha dibuat dengan posisi berbaring dengan kaki menghadap ke arah selatan, dimana arah selatan merupakan arah yang sakral. Posisi sleeping atau reclining diyakini merupakan posisi saat Sang Buddha Gautama meninggalkan dunia dan memasuki Nirwana.
Keenam, patung raksasa (7f) dimanifestasikan sebagai penjaga pintu dimana lebih mengarah ke simbol agama Hindu (bhuta kala). Menurut penuturan narasumber patung raksasa ini difungsikan sebagai pengingat para umat yang ingin memasuki vihara untuk meninggalkan sifat-sifat yang seperti raksasa (kotor, tamak, jahat) saat masuk ke dalam tempat suci sehingga umat dapat khusyuk dalam bersembahyang. Keseluruhan elemen hardscape ini mengimplementasikan hubungan antara manusia dengan Tuhan, disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. (a) Genta, (b) Patung Singa, (c) Patung Gajah, (d) Pillar Asoka, (e) Patung Raksasa, (f) Reclining Buddha
Terdapat 3 elemen softscape utama pendukung filosofi-filosofi yang dianut di VDG menurut ajaran agama Buddha, pertama (8a) pohon bodhi (Ficus religiosa) tempat sang Buddha Gautama melakukan pertapaan atau semedi dan memperoleh pencerahan. Kedua, (8b) bambu kuning (Bambusa vulgaris var. striata) digunakan sebagai penolak bala atau menetralisir aura negatif dari luar saat mengunjungi vihara. Ketiga, (8c) bunga teratai (Nymphaea), sebagai bentuk lambang adanya kaidah-kaidah yang harus dipegang dalam jalan utama yang jumlah unsurnya ada delapan, disajikan pada Gambar 8. Penggunaan tanaman-tanaman ini dapat juga dikaitkan di dalam penggunaan tanaman upacara yang dipakai dalam agama Hindu.
Gambar 8. (a) Pohon Bodhi (Ficus religiosa), (b) Bambu Kuning (Bambusa vulgaris var. striata), (c) Teratai (Nymphaea)
Elemen artscape yang dimaksud adalah ukiran-ukiran yang ada pada bangunan vihara, ukiran-ukiran ini juga tidak lepas dari adanya alkulturasi antara budaya dalam agama Budha dan agama Hindu. Pertama (9a) ukiran lotus (bunga teratai), menggambarkan simbol tahap spiritual seseorang. Kedua (9b) Stupa, digambarkan sebagai tempat untuk menyimpan relik atau tempat untuk menyimpan abu jenasah dari proses kremasi dari orang-orang yang tergolong suci atau yang telah mencapai kesucian dimana ada 7 tingkat kesucian. Dalam arsitektur atau desain agama Hindu dan dalam agama Buddha, ada beberapa kesamaan yang dapat dijumpai ialah hal itu terdapat pada ekspresi arsitektur atau desainnya. Terdapat tiga bagian menjadi dasar atau pondasi ialah bagian yang ada pada kepala, bagian yang ada pada badan, dan bagian yang ada pada kaki. Ketiga bagian ini memberikan gambaran bahwa kondisi makro kosmos dunia yang tergolong atas tiga alam, ialah adanya alam atas, tengah dan bawah.
Ketiga adalah (9c) naga dimanifestasikan sebagai Naga-naga mahindhika/naga-naga para dewa yang mana akan menjaga di manapun berstananya sang Buddha. Keempat adalah (9d) Yin yang, merupakan simbol yang memiliki dua warna dan memberikan arti dari keseimbangan, disajikan pada Gambar 9.
Gambar 9. (a) Ukiran Lotus, (b) Stupa, (c) Naga, (d) Yin Yang
Adanya pembagian antara sifat Profan dan Sakral melalui Hardscape, Softscape dan Artscape yang diimplementasikan dalam bangunan Vihara Dharma Giri dengan Vihara lain yang ada di Bali. Pengertian sakral adalah sesuatu yang lebih dalam dirasakan daripada dilukiskan. Sakral merupakan sesuatu yang suci, dikeramatkan dimana hal ini kebalikan dari profan yaitu sesuatu yang tidak disakralkan, bersifat sementara, biasa. Beberapa elemen yang ada di Vihara Dharma Giri memiliki sifat Sakral daripada bangunan Vihara lain
yang ada di Bali dikarenakan setiap bangunan Vihara memiliki filosofi tersendiri dan bergantung terhadap alasan, tujuan Hardscape, Softscape dan Artscape di bangun dan diletakkan pada bangunan vihara tersebut. Adapun elemen yang memiliki sifat Sakral antara lain, reclining Buddha, pohon Bodhi, teratai, ukiran lotus, stupa, dhammasala, kuti, dan uposathagara atau sima.
Berlandaskan pada perolehan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa hardscape, softscape, dan artscape yang ada di Vihara Dharma Giri tidak lepas dari adanya alkulturasi budaya agama Buddha dengan Hindu yang ada di Bali. Alkulturasi tersebut diimplementasikan melalui tanaman, patung-patung yang diletakkan/dibangun di Vihara dan ukiran-ukiran yang ada pada dinding bangunan. Tanaman pada Vihara Dharma Giri sama-sama digunakan dalam kegunaan keagamaan dimana di dalam agama Hindu juga dipakai dalam kegiatan upacara. Vihara Dharma Giri di Kecamatan Pupuan memiliki pola ruang yang mirip dengan konsep Tri Mandala atau Tri Angga, demikian juga landasan filosofis tamannya Tri Hita Karana secara umum hampir sama seperti layaknya konsep pola ruang dan landasan filosofis tama yang ada pada Taman Tradisional Bali. Penataan ruang di Vihara Dharma Giri memiliki penataan yang hampir sama dengan konsep Hulu-Teben yang ada di Bali.
Dari perolehan pada hasil penelitian ini dapat diberikan saran-saran, Vihara Dharma Giri, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan, Bali mengakulturasikan kebudayaan Hindu dan Buddha dalam bangunannya menjadikan vihara ini dapat menjadi sarana ilmu baru bagi masyarakat lokal maupun luar sehingga diharapkan bahwa pengelola vihara dapat memberikan sarana edukasi di vihara kepada masyarakat yang mengunjungi vihara mengenai agama Buddha dan alkulturasi budaya Hindu-Buddha yang terimplementasikan dalam bangunan melalui konsep dan pola ruang bangunan Vihara.
-
5. Daftar Pustaka
Badan Pusat Satitstik Provinsi Bali. 2018. Number of Facilities for Worship by Regency/Municipality in Bali Province, 2018. Diakses pada 12 Februari 2020.
Fatimah, T. (2014). Kumpulan Makalah Seminar Nasional Riset Arsitektur dan Perencanaan SERAP#3.
Pusaka Saujana Borobudur Dalam Tinjauan Kosmologi Ruang.
Giriputra, U. W. (1994). Dhammayara Buku Pelajaran Agama Budha, Yayasan Vihara Borobudur.
Pardiman, A. P. (1986). Fundamental Study on Spatial Formation of Island Village: Environmental Study
Hiearchy of Sacred-Profane Concept in Bali, Kyoto University, Japan.
Suzuki, B. L. (2009). Agama Buddha Mahayana. In Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya.
Widodo, E., M. (2000). Yogyakarta: Avyrouz. Konstruksi Ke Arah Penelitian Deskriptif.
Wijaya, W. . (2008). Ucapan Benar. In Vidyāsenā Production, Yogyakarta.
JAL | 80
Discussion and feedback