PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS PENJUALAN MAKANAN DAN MINUMAN KEDALUWARSA DI ECOMMERCE

Fadea Putri Novrilia, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: fadeaputri@gmail.com

I Dewa Ayu Dwi Mayasari, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: dewaayudwimayasari@gmail.com

DOI: KW.2022.v12.i01.p7

ABSTRAK

Tujuan penulisan ini adalah mengkaji terkait perlindungan konsumen atas penjualan makanan dan minuman kedaluwarsa melalui e-commerce. Selain itu, dalam penulisan ini pula dikaji mengenai upaya penyelesaian sengketa konsumen atas kerugian makanan dan minuman kedaluwarsa yang diterimanya. Penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan peraturan normatif sebagai bahan primer dan buku serta hasil tulisan lainnya sebagai bahan sekunder. Hasil dari penulisan ini adalah bahwa konsumen yang menderita kerugian atas makanan dan minuman kedaluwarsa yang dibelinya melalui e-commerce dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem Dan Transaksi Elektronik. Konsumen memiliki hak untuk dijamin kesehatan dan keselamatannya atas produk makanan dan minuman yang dibeli dan dikonsumsinya. Konsumen yang merasa dirugikan dapat meminta pengembalian produk pada pelaku usaha atau mengajukan upaya penyelesaian melalui lembaga litigasi atau non-litigasi.

Kata Kunci: Perlindungan Konsumen, E-Commerce, Upaya Penyelesaian Sengketa Konsumen

ABSTRACT

The purpose of this writing is to examine consumer protection related to the sale of expired food and beverages through e-commerce. Apart from that, this paper also examines efforts to resolve consumer disputes over the loss of expired food and drinks they receive. This writing uses normative legal research methods with normative regulations as primary material and books and other written results as secondary material. The result of this writing is that consumers who suffer losses from expired food and drinks they buy through e-commerce are protected by Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection and Government Regulation Number 71 of 2019 concerning Implementation of Electronic Systems and Transactions. Consumers have the right to be guaranteed the health and safety of the food and beverage products they buy and consume. Consumers who feel aggrieved can request product returns from business actors or submit efforts for settlement through litigation or non-litigation institutions.

Key Words: Consumer Protection, E-Commerce, Consumer Dispute Resolution

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1.    Latar Belakang Masalah

Teknologi saat ini mengalami kemajuan yang sangat pesat hingga berdampak pada kegiatan jual beli masyarakat. Kemajuan teknologi tersebut berdampak pada perkembangan teknologi jual beli berbasis internet yang dikenal sebagai e-commerce. Tingginya penggunaan internet di tengah masyarakat membuat pertumbuhan penggunaan e-commerce meningkat dan menguat setiap tahunnya. Tercatat pengeluaran masyarakat Indonesia untuk transaksi di e-commerce menyentuh angka Rp 227,8 triliun pada akhir 2022.1 Tingginya transaksi yang dilakukan melalui e-commerce menunjukkan bawah e-commerce merupakan sebuah prospek besar dalam dunia bisnis.2

E-commerce jika mengutip pendapat ahli adalah sebuah wadah untuk melakukan kegiatan jual beli atau bisnis melalui internet dengan menggunakan perangkat elektronik yang kegiatannya mencakup pemberian informasi, penjualan, pembayaran, serta pengiriman.3 E-commerce merupakan sebuah model bisnis dengan karakter khusus.4 Salah satu karakter khusus yang dimiliki oleh e-commerce adalah tidak diperlukannya pertemuan langsung antara penjual dan pembeli. Berbeda dengan model bisnis konvensional yang mengharuskan penjual dan pembeli untuk melakukan pertemuan secara langsung ketika melakukan transaksi jual beli. Mudahnya transaksi dan penggunaan e-commerce, memberikan dampak yang sangat positif bagi penjual atau pelaku usaha. Salah satu dampak positifnya adalah jangkauan pasar yang menjadi lebih luas bagi pelaku usaha sehingga diharapkan dapat memperbaiki atau meningkatkan taraf hidup pelaku usaha tersebut. Jangkauan pasar yang lebih luas terhadap sebuah kegiatan perdagangan diharapkan pula dapat menjadi salah satu pendukung atau penyokong perekonomian negara khususnya dalam era digital ekonomi saat ini.5

Selain bagi pelaku usaha dan negara, perkembangan penggunaan e-commerce tentu juga memberi dampak positif khususnya bagi konsumen atau pembeli itu sendiri. E-commerce memberikan kemudahan bagi pembeli untuk dapat memilih dan membeli berbagai jenis produk baik dari barang elektronik, kebutuhan rumah tangga, hingga makanan sesuai kebutuhan dan kemampuannya. Selain itu, sejalan dengan jangkauan pasar pelaku usaha yang semakin luas, adanya e-commerce tentunya juga memberikan jangkauan pilihan produk yang semakin luas pula kepada konsumen. Konsumen dapat memilih produk yang dibutuhkan melalui pelaku usaha di dalam

negeri maupun di luar negeri. Namun, disamping keuntungan dan kemudahan tersebut tak dapat dihindari bahwa hal negatif dapat terjadi khususnya bagi pembeli. Bentuk dari hal negatif yang dimaksudkan adalah kerugian pembeli akibat adanya niat buruk dari penjual.

Bentuk kerugian yang ditanggung oleh pembeli dapat berbagai macam, salah satunya adalah kondisi barang yang diterima tidak sesuai seperti telah berakhir jangka waktu penggunaanya (kedaluwarsa). Pembeli yang dalam hal ini merupakan konsumen kemudian tidak dapat menggunakan atau mengkonsumsi barang yang telah dibelinya. Setelah mengetahui bahwa barang yang dibeli sudah tidak dapat digunakan atau dikonsumsi umumnya konsumen akan melakukan pengaduan pada penjual. Namun, sayangnya mengingat niat buruk dari penjual, penjual umumnya akan mengabaikan pengaduan tersebut dan tidak menerima pengembalian barang. Seperti yang dialami oleh Mohammad Anwar yang menerima produk minuman susu kedaluwarsa sebanyak 2 dua kali dan ketika mengajukan komplain, pihak pelaku usaha tidak memberikan respon apapun. Niat buruk dari penjual kadang kala semakin diperparah karena didukung perilaku konsumtif dari konsumen. Konsumen yang memiliki perilaku konsumtif umumnya tidak akan memperhatikan secara detail khususnya mengenai jangka waktu penggunaan produk yang dibelinya. Hal tersebut kemudian membuka celah bagi pelaku usaha untuk menjual produk yang mendekati bahkan telah kedaluwarsa dengan iming-iming diskon atau harga miring sehingga pelaku usaha tidak mengalami kerugian yang besar.6

Kerugian konsumen terhadap barang yang telah kedaluwarsa pada dasarnya dapat dicegah apabila konsumen mengetahui dan memahami bahwa terdapat hukum yang melindunginya. Hukum tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Selain itu, ketika transaksi jual beli jual beli dilakukan dengan e-commerce, maka kegiatan tersebut dilindungi oleh Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem Dan Transaksi Elektronik, dan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.

Penelitian ini jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya memiliki kesamaan pada segi topik, yaitu sama-sama mengkaji mengenai perlindungan konsumen atas makanan dan minuman kedaluwarsa. Namun, penelitian ini memiliki fokus yang berbeda. Pada tahun 2017, Gek Ega Prabandini dan I Made Udiana mengkaji mengenai “Akibat Hukum Terhadap Pelaku Usaha Yang Menjual Makanan Kadaluwarsa”. Fokus dari penelitian tersebut adalah akibat hukum bagi pelaku usaha dan transaksi yang dilakukan antara konsumen dan pelaku usaha.7

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, adapun dua permasalahan yang akan dibahas dalam bagian pembahasan, yaitu:

  • 1.    Bagaimanakah perlindungan konsumen atas penjualan makanan dan minuman kedaluwarsa di e-commerce?

  • 2.    Bagaimanakah penyelesaian sengketa penjualan produk kedaluwarsa di ecommerce?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah menganalisis terkait perlindungan hukum konsumen yang menderita kerugian akibat pembelian makanan dan minuman kedaluwarsa melalui e-commerce.

  • II.    Metode Penelitian

Jenis metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif (legal research), yaitu penelitian yang kajiannya meliputi implementasi atau pemberlakuan hukum normatif sebagai sistem norma yang hidup di tengah masyarakat.8 Adapun bahan hukum yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan dan bahan hukum sekunder berupa artikel atau jurnal hukum.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Perlindungan Konsumen Atas Penjualan Makanan dan Minuman Kedaluwarsa di E-Commerce

Konsumen dapat didefinisikan sebagai setiap orang yang untuk dirinya atau makhluk lain mempergunakan suatu produk berupa barang atau jasa dan tidak berkeinginan untuk menjual kembali produk yang telah dibeli. Sebagai pihak yang menggunakan suatu produk, konsumen dilindungi oleh hukum normatif yang tujuannya untuk memberikan keadilan, keamanan, keselamatan, serta kepastian hukum bagi konsumen. Perlindungan tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen).

UU Perlindungan Konsumen mengatur banyak hal salah satunya mengenai hak konsumen, yaitu mendapat kenyamanan, keamanan, serta keselamatan ketika mengkonsumsi suatu produk barang dan/atau jasa. Tak hanya itu, konsumen berhak untuk mendapat kompensasi atau ganti rugi jika produk yang diterimanya tidak sesuai dengan sebagaimana mestinya. Salah satu bentuk ketidaksesuaian produk yang dapat menimpa konsumen adalah produk yang dibelinya telah kedaluwarsa.

Kedaluwarsa adalah suatu kondisi barang yang batas waktu penggunaanya telah berakhir. Barang yang telah kedaluwarsa memiliki kemungkinan terdapat bakteri maupun kuman yang berkembang biak di dalamnya sehingga dapat mengganggu kualitas produk.9 Apabila suatu barang yang telah kedaluwarsa digunakan dalam jangka waktu lama tentunya akan menyebabkan terganggunya kesehatan konsumen seperti keracunan bagi produk makanan dan penyakit kanker bagi produk non-makanan misal kosmetik. Berdasarkan hal tersebut kemudian barang kedaluwarsa menjadi sebuah produk yang tidak layak diperjualbelikan karena berdasarkan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) setiap orang termasuk pelaku usaha memiliki kewajiban untuk mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Penjualan produk kedaluwarsa khususnya makanan dan minuman dapat terjadi dalam transaksi jual beli secara konvensional maupun modern melalui ecommerce. Namun, transaksi melalui e-commerce memiliki peluang yang lebih besar karena konsumen tidak dapat mengecek secara langsung pada kemasan produk melainkan hanya melalui deskripsi produk yang dicantumkan oleh pelaku usaha. Beberapa faktor penyebab penjualan makanan dan minuman kedaluwarsa kerap terjadi adalah persaingan bisnis yang semakin ketat dan tidak sehat serta ketidakpahaman pelaku usaha atas kewajibannya. Apabila tindakan penjualan produk kedaluwarsa tersebut terus terjadi, maka konsumen adalah pihak yang paling dirugikan. Konsumen harus menderita kerugian secara materiil, yaitu mengeluarkan biaya untuk membeli produk yang kualitasnya tidak sesuai harga dan yang diperjanjikan serta harus menderita kerugian immateriil seperti rasa sakit sebagai akibat dari mengkonsumsi makanan dan minuman kedaluwarsa.10

Meninjau Pasal 7 huruf c UU Perlindungan Konsumen, pelaku usaha pada dasarnya memiliki kewajiban untuk melayani konsumen secara jujur. Sejalan dengan pasal tersebut, dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PP PMSE), diatur pula informasi yang disampaikan pelaku usaha harus disampaikan secara jujur diantaranya terkait kelayakan konsumsi dan kualitas barang. Artinya, pelaku usaha wajib untuk menyampaikan pada konsumen terkait kelayakan makanan atau minuman yang dijual. Apabila produk yang dijual telah kedaluwarsa, maka pelaku usaha harus menyampaikannya sehingga konsumen tidak membeli makanan atau minuman yang dijual dan menimbulkan kerugian bagi konsumen di kemudian hari. Selain mengenai informasi produk, berdasarkan Pasal 39 ayat (1) PP PMSE pelaku usaha terhadap makanan atau minuman yang dijual harus memuat informasi mengenai pembatasan pertanggungjawaban apabila di kemudian hari terjadi risiko yang tidak diharapkan.

Berkaitan dengan pertanggungjawaban, terhadap produk yang diproduksi atau diperdagangkan, pelaku usaha wajib untuk memberi jaminan dan/atau garansi. Hal tersebut menandakan bahwa pelaku usaha sudah seharusnya melakukan pengecekan secara berkala atas produk makanan dan minuman yang dijual. Selain itu, pelaku usaha juga wajib mencantumkan tanggal kedaluwarsa apabila mereka memproduksi produk secara mandiri.11 Apabila produk yang dijual telah kedaluwarsa, maka pelaku usaha wajib menariknya dari penjualan serta menggantinya. Selain itu, berkaitan dengan penjualan yang dilakukan melalui e-commerce, pelaku usaha harus memastikan bahwa barang yang dikirim adalah barang layak konsumsi dan sesuai dengan yang diperjanjikan.

Dalam Pasal 8 ayat (1) huruf e UU Perlindungan Konsumen diatur bahwa pelaku usaha harus memastikan bahwa mutu produk yang diproduksi dan/atau diperjualbelikan memiliki mutu yang sesuai dengan label produk. Lebih spesifik dalam pasal a quo huruf g, pelaku usaha tidak diperbolehkan tidak mencantumkan tanggal kedaluwarsa atas produk yang diproduksinya. Jika dikaitkan dengan Pasal 4 huruf a UU Perlindungan Konsumen yang mengatur bahwa “hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa” maka pelaku usaha berkewajiban untuk menjamin hak konsumen atas produk yang diproduksi atau dijual.

Sejalan dengan sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Konsumen, Pasal 111 ayat (1) UU Kesehatan mengatur: “Makanan dan minuman yang dipergunakan untuk masyarakat harus didasarkan pada standar dan/atau persyaratan kesehatan”.12 Kemudian apabila makanan dan minuman memiliki standar yang tidak sesuai sebagaimana yang telah ditentukan maka harus dilarang dan ditarik peredarannya. Ketentuan tersebut menandakan bahwa produk makanan serta minuman kedaluwarsa atau kualitas mutunya sudah dipastikan menurun tidak layak untuk diperjualbelikan bagi masyarakat luas.

Pelaku usaha yang tetap menjual produk makanan dan minuman yang telah kedaluwarsa menunjukkan bahwa ia tidak memenuhi kewajibannya serta hak dari konsumen. Berdasarkan hal tersebut, sesuai ketentuan Pasal 37 PP PMSE maka dapat dikatakan bahwa pelaku usaha tidak melakukan penjualan dengan itikad baik. Dilanggarnya hak konsumen oleh pelaku usaha, maka pelaku usaha dapat dijatuhi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 62 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen yang mengatur bahwa: “Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).”

Perlu diingat ketika melakukan transaksi menggunakan e-commerce, selain terikat oleh UU Perlindungan Konsumen, pelaku usaha dan konsumen juga terikat dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) beserta perubahannya dan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem Dan Transaksi Elektronik (PP PSTE). Disebut terikat dengan UU ITE dan PP PSTE karena penggunaan e-commerce untuk bertransaksi oleh pelaku usaha dan pembeli atau konsumen maka membuat keduanya terikat dalam sebuah kontrak sebagai bentuk kesepakatan sebagaimana diatur dalam Pasal 46 PP PSTE.13

Terkait perlindungan konsumen, dalam Pasal 48 ayat (1) jo. Pasal 50 ayat (1) PP PSTE diatur hal yang serupa sebagaimana Pasal 7 UU Perlindungan Konsumen, yaitu penyediaan informasi yang lengkap dan benar atas produk harus dilakukan oleh pelaku usaha. Selanjutnya dalam Pasal 48 ayat (3) PP PSTE, pelaku usaha juga harus memberikan kesempatan pengembalian kepada konsumen dengan batas waktu tertentu apabila terdapat ketidaksesuaian antara produk yang diterima dengan yang diperjanjikan.14 Selain itu, dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE diatur bahwa pelaku usaha dilarang untuk menyebarkan berita bohong dan menyesatkan. Bentuk berita yang menyesatkan dapat berupa informasi tanggal kedaluwarsa produk dalam deskripsi produk yang tidak sesuai dengan tanggal kedaluwarsa produk aslinya. Apabila pelaku usaha melanggar hal tersebut akan dijatuhi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 45A ayat (1) UU ITE yang mengatur bahwa: “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

  • 3.2.    Penyelesaian Sengketa Penjualan Makanan dan Minuman Kedaluwarsa di ECommerce

Sebuah sengketa konsumen dapat terjadi apabila konsumen merasa atau menderita kerugian akibat kelalaian pelaku usaha. Salah satunya adalah akibat dari ketidaksesuaian antara barang yang diterima dengan yang diperjanjikan. Sengketa haruslah segera diselesaikan agar tidak menimbulkan konflik atau perselisihan berkepanjangan antara kedua belah pihak. Selain itu, sengketa harus segera diselesaikan untuk memberikan keadilan serta kepastian hukum bagi setiap pihak yang merasa dirugikan.15

Di Indonesia, sengketa umumnya diselesaikan melalui penyelesaian litigasi dan non-litigasi. Litigasi artinya penyelesaian dilakukan dengan menggunakan badan peradilan, sedangkan non-litigasi menggunakan badan di luar badan peradilan. Penyelesaian sengketa melalui lembaga litigasi pada dasarnya merupakan ultimum remedium, yaitu upaya akhir apabila upaya alternatif dalam penyelesaian sengketa tidak membuahkan hasil.16 Dalam UU Perlindungan Konsumen sendiri pada dasarnya sudah diatur mengenai upaya penyelesaian sengketa konsumen, yaitu dengan upaya litigasi dan non-litigasi.

Upaya penyelesaian sengketa dalam UU Perlindungan Konsumen dapat dijumpai dalam Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2). Dalam pasal a quo diatur mengenai penyelesaian sengketa dengan upaya litigasi, yaitu melalui peradilan umum. Ketika sengketa konsumen diselesaikan melalui upaya litigasi maka pelaksanaannya harus disesuaikan dengan ketentuan Pasal 48 UU Perlindungan Konsumen yang mengatur “Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45”.17 Ketika sengketa konsumen terjadi ketika melakukan transaksi melalui ecommerce, maka berlaku ketentuan Pasal 38 ayat (1) UU ITE yang mengatur: “Setiap Orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi Informasi yang menimbulkan kerugian.”. Berdasarkan ketentuan pasal a quo, konsumen yang merasa dirugikan dapat melakukan menggunakan badan litigasi dalam upaya penyelesaian sengketa. Selain itu, ketentuan pada pasal tersebut dapat menjadi dasar hukum yang memperkuat konsumen untuk mendapat kompensasi dan/atau ganti rugi atas kerugian yang menimpanya.18

Upaya penyelesaian sengketa konsumen melalui lembaga litigasi memiliki beberapa kekurangan diantaranya proses yang panjang serta terdapat celah bagi pelaku usaha untuk dapat membela diri. Ketika pelaku usaha membela dirinya, ada kemungkinan ia menjadi pemenang dalam proses pengadilan. Hal tersebut tentunya

kemudian menciptakan kerugian yang berganda bagi konsumen yang dirugikan. Selain telah dirugikan karena harus mengeluarkan biaya untuk membeli produk makanan atau minuman yang mutunya tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, konsumen yang kalah dalam persidangan juga harus menanggung seluruh biaya proses persidangan.19

Dalam rangka menghindari kerugian yang berganda, penyelesaian sengketa konsumen sebaiknya terlebih dahulu dilakukan melalui penyelesaian non-litigasi atau menggunakan badan penyelesaian di luar badan peradilan. Penyelesaian non-litigasi lebih disarankan karena dalam pelaksanaannya mengutamakan prinsip win-win solution daripada win-lose solution sebagaimana putusan pada lembaga litigasi.20 Selain dari sisi pihak yang bersengketa, penyelesaian non-litigasi juga memberikan dampak baik pada badan peradilan, yaitu dapat mengurangi penumpukan perkara di pengadilan.

Penyelesaian sengketa non-litigasi akrab didengar dengan sebutan mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS).21 Penerapan APS mengacu pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase sebagai dasar hukum pelaksanaannya. Salah satu lembaga non-litigasi yang menggunakan mekanisme APS di Indonesia adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). BPSK merupakan sebuah lembaga non-litigasi dengan fungsi khususnya untuk menyelesaikan sengketa konsumen. BPSK dikenal sebagai small claim court atau peradilan kecil karena penyelesaian sengketa dilaksanakan dengan cepat, sederhana, dan tanpa biaya.22 Sebagai lembaga yang memiliki fungsi menyelesaikan sengketa konsumen, BPSK tentunya memiliki dasar hukum. BPSK secara khusus diatur dalam Bab XI UU Perlindungan Konsumen yang mencakup Pasal 49 - Pasal 58. Selain itu, terkait tugas dan wewenang BPSK diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2020 Tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (Permendagri BPSK) jo. Peraturan Menteri Nomor 17/M-DAG/PER/4/2007 tentang Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Serta Tata Cara Penyelesaian Sengketa Konsumen (Permendagri Tugas Wewenang BPSK).

Penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK berdasarkan Pasal 4 huruf a Permendagri Tugas Wewenang BPSK dilakukan melalui tiga mekanisme, yaitu konsiliasi, mediasi, dan arbitrase. Adapun tahapan untuk mengajukan penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK mengacu pada Bab IV Permendagri Tugas Wewenang BPSK, yaitu diawali dengan mengajukan gugatan baik secara tertulis maupun lisan. Setelah gugatan dinyatakan lengkap maka tergugat akan diinformasikan mengenai gugatan tersebut dan selanjutnya para pihak akan dipanggil oleh Ketua BPSK untuk melaksanakan persidangan.

Dalam proses persidangan sengketa konsumen melalui BPSK, apabila gugatan yang diajukan oleh konsumen atau penggugat mengandung unsur pidana atau sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (5) Permendagri Tugas Wewenang BPSK maka akan dilakukan penyelesaian sengketa dengan konsiliasi. Konsiliasi sendiri diatur dalam Pasal 16 Permendagri Tugas Wewenang BPSK. Ketika sengketa

diselesaikan melalui konsiliasi, sesuai ketentuan dalam Pasal 16 ayat (3) Permendagri Tugas Wewenang BPSK, Majelis akan bertindak pasif dan menyerahkan seluruh proses penyelesaian sengketa serta penentuan ganti rugi kepada penggugat dan tergugat. Apabila konsumen dan pelaku usaha berhasil menyelesaikan sengketanya dengan cara konsiliasi maka hasil kesepakatannya akan dituangkan dalam sebuah perjanjian dengan ditandatangani para pihak dan dikuatkan dengan putusan Majelis. Namun, apabila dalam proses konsiliasi tidak menemukan titik terang maka selanjutnya dilakukan tahap mediasi.

Mediasi pada dasarnya sama dengan konsiliasi, tetapi terdapat sedikit perbedaan antara keduanya. Dalam proses mediasi, Majelis akan berperan aktif dalam proses musyawarah antara konsumen dan pelaku usaha. Ditinjau dalam Pasal 17 ayat (2) huruf d dan e Permendagri Tugas Wewenang BPSK, Majelis akan aktif untuk mendamaikan kedua belah pihak serta memberikan saran atau anjuran. Namun, meskipun berperan aktif, Majelis tetap menyerahkan seluruh proses penyelesaian sengketa serta penentuan ganti rugi kepada konsumen dan pelaku usaha seperti dalam konsiliasi. Apabila dalam proses mediasi telah ditemukan titik akhir maka sama seperti dalam konsiliasi, hasil kesepakatan akan dituangkan dalam perjanjian dan dikuatkan dengan putusan Majelis. Namun, apabila cara mediasi masih belum membuahkan hasil, maka langkah terakhir yang dapat dilakukan adalah dengan arbitrase.

Dalam proses penyelesaian sengketa dengan mekanisme arbitrase, anggota Majelis harus berasal dari unsur kedua belah pihak yang bersengketa (konsumen dan pelaku usaha), sedangkan ketua Majelis berasal dari unsur pemerintah. Anggota dan Ketua Majelis tersebut ditentukan sendiri oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase akan diawali dengan Ketua Majelis yang berusaha untuk mendamaikan konsumen dan pelaku usaha. Namun, apabila usaha tersebut tidak mencapai perdamaian maka gugatan konsumen dan surat jawaban pelaku usaha akan dibacakan. Namun, sebelum surat jawaban dibacakan berdasarkan Pasal 22 ayat (1) Permendagri Tugas Wewenang BPSK, gugatan yang diajukan konsumen dapat dicabut apabila konsumen telah membuat surat pernyataan. Ketika proses penyelesaian sengketa melalui cara arbitrase menemukan titik terang dan kedua belah pihak telah berdamai, maka Majelis memiliki kewajiban untuk membuat putusan yang berbentuk penetapan perdamaian.

Hasil dari ketiga cara penyelesaian sengketa konsumen yang berupa putusan akan diberikan oleh Majelis paling lambat 21 hari dihitung sejak gugatan diterima oleh Majelis. Dalam putusannya, apabila terbukti terdapat pelanggaran ketentuan UU Perlindungan Konsumen yang dilakukan oleh pelaku usaha, maka Majelis diperkenankan untuk menjatuhkan sanksi administratif. Putusan yang telah ditetapkan oleh Majelis bersifat final and binding apabila sengketa diselesaikan melalui konsiliasi dan mediasi, sedangkan apabila diselesaikan melalui arbitrase maka dapat diajukan keberatan. Putusan yang bersifat final and binding kemudian menyebabkan konsumen tidak dapat mengajukan gugatan yang sama sebagaimana diatur dalam Pasal 11 huruf d Permendagri Tugas Wewenang BPSK.

Penyelesaian sengketa konsumen selain melalui cara-cara di atas, menurut PP PMSE dapat dilakukan secara elektronik atau disebut dengan (online dispute resolution). ODR pada dasarnya merupakan salah satu jenis dari APS yang menggunakan

teknologi dalam prosesnya seperti konferensi audio atau video.23 Namun, saat ini pengaturan mengenai pelaksanaan ODR belum diatur secara khusus di Indonesia. Pelaksanaan ODR saat ini hanya disokong oleh beberapa peraturan seperti UU ITE, UU Perlindungan Konsumen dan PP PMSE.

  • IV.   Kesimpulan sebagai Penutup

    4. Kesimpulan

UU Perlindungan Konsumen merupakan sebuah peraturan yang menjamin perlindungan konsumen apabila terjadi pelanggaran atas haknya. Salah satu bentuk pelanggaran yang dapat menimpa konsumen adalah mutu produk makanan dan minuman yang dibeli tidak sama atau sesuai dengan yang diperjanjikan atau telah kedaluwarsa. Konsumen yang menderita kerugian akibat makanan dan minuman kedaluwarsa dilindungi oleh Pasal 4 huruf a UU Perlindungan Konsumen yang mana pasal a quo memberikan jaminan kesehatan dan keselamatan sebagai bagian dari hak konsumen atas produk yang diproduksi atau dijual oleh pelaku usaha. Dalam hal kerugian yang menimpa konsumen terjadi ketika melakukan transaksi melalui ecommerce maka konsumen dilindungi pula oleh Pasal 48 ayat (3) PP PSTE yang memberikan jaminan kesempatan bagi konsumen untuk dapat mengajukan pengembalian produk apabila terdapat ketidaksesuaian antara produk yang diterima dengan yang diperjanjikan. Ketika konsumen merasa dirugikan karena haknya tidak terpenuhi seperti menerima makanan dan minuman kedaluwarsa yang dibeli melalui e-commerce sebagai akibat kelalaian pelaku usaha, maka konsumen dapat mengajukan penyelesaian sengketa dengan mekanisme litigasi (badan peradilan) atau non-litigasi (di luar badan peradilan). Penyelesaian sengketa konsumen melalui lembaga litigasi pada dasarnya merupakan ultimum remedium sehingga konsumen dapat terlebih dahulu mengajukan penyelesaian sengketa non-litigasi. Lembaga yang memiliki wewenang dalam penyelesaian non-litigasi sengketa konsumen adalah BPSK. Ketika sengketa konsumen ditangani melalui BPSK maka tahap yang akan dilalui adalah konsiliasi, mediasi dan arbitrase.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Dr. Muhaimin. Metode Penelitian Hukum (Mataram: Mataram University Press, 2020), 46-49.

Jurnal

Apsari, Ni Komang Ayuk Tri Buti dan Rudy, Dewa Gede. “Perlindungan Hukum dan Penyelesaian Sengketa Konsumen Belanja Online di Luar Pengadilan”. Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 2, No. 2 (2014): 10-11.

Aziz, Muhammad Faiz dan Hidayah, Muhammad Arif. “Perlunya Pengaturan Khusus Online Dispute Resolution (ODR) di Indonesia Untuk Fasilitasi Penyelesaian Sengketa E-Commerce”. Jurnal Recht Vinding 9, No. 2 (2014): 281-283.

Cahyadi, I Made., et. al. “Pelaksanaan Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Peredaran Makanan Yang Telah Kadaluarsa Di Pasar Kreneng Denpasar”. Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 1, No. 12 (2013): 2.

Erhian. “Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Makanan dan Minuman Kadaluarsa (Studi Kasus BPOM)”. Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion 1, No. 4 (2013): 4.

Khotimah, C. A. dan Chairunnisa, J. C. “Perlindungan Konsumen Dalam Transaksi Jual Beli-Online (E-Commerce)”. Business Law Review 1, (2016): 16.

Pariadi, Deky. “Pengawasan E Commerce Dalam Undang-Undang Perdagangan dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen”. Jurnal Hukum & Pembangunan 48, No. 3 (2018): 652.

Prabandini, G. E., dan Udiana, I. M. “Akibat Hukum Terhadap Pelaku Usaha Yang Menjual Makanan Kadaluwarsa”. Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 5, No. 2 (2017): 2.

Pradnyaswari, Ida Ayu Eka & Westra, I Ketut. “Upaya Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Dalam Transaksi Jual Beli Menggunakan Jasa E-Commerce”. Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 8, No. 5 (2020): 759.

Rahmidani, Rose. "Penggunaan E-Commerce Dalam Bisnis Sebagai Sumber Keunggulan Bersaing Perusahaan". Jurnal Seminar Nasional Ekonomi Manajemen dan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang, (2015): 346.

Sucitra, Isabella. “Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Makanan Kadaluarsa Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen”. Lex Privatum 5, No. 8 (2017): 104.

Tugas Akhir

Adibatus, Sa’diyah. “Analisa Penyelesaian Sengketa Antara PT Nikko Securities Indonesia Melawan PT Bank Permata TBK Di Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI) (Studi Kasus Putusan PN No. 513/PDT.G-ARB.2012/PN.JKT.PST dan Putusan MA No. 169 K.Pdt.Sus-Arbt/2013)” (Skripsi, Universitas Muhammadiyah Malang, 2019), 18.

Arafah, Khadijah Nur. “Penyelesaian Sengketa E-Commerce Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (Ditinjau Dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Hukum Islam)” (Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018), 57.

Karisma, Linang. “Perlindungan Konsumen Dari Produk Pangan Kadaluarsa Ditinjau Dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1999” (Skripsi, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Metro, 2020), 36.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem Dan Transaksi Elektronik

Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik

Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2020 Tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Peraturan Menteri Nomor 17/M-DAG/PER/4/2007 tentang Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Serta Tata Cara Penyelesaian Sengketa Konsumen

Artikel Online

Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah. diakses dari: https://indagkop.kaltimprov.go.id/halaman/detail/badan-penyelesaian-sengketa-konsumen pada 04 Maret 2023.

Elena, Maria. 2022. “Transaksi E-Commerce Tembus Rp227,8 Triliun Per Semester I/2022”.                Bisnis.com.                Diakses                dari

https://ekonomi.bisnis.com/read/20221024/9/1590808/transaksi-e-commerce-tembus-rp2278-triliun-per-semester-i2022 pada 01 Maret 2023.

Jurnal Kertha Wicara Vol 12 No 01 Tahun 2022, hlm. 67-78