HUMANIS

Journal of Arts and Humanities

p-ISSN: 2528-5076, e-ISSN: 2302-920X

Terakreditasi Sinta-3, SK No: 105/E/KPT/2022

Vol 27.3. Agustus 2023: 258-266

Mitologi dan Peranannya dalam Pemaknaan Artefak Purbakala: Studi Kasus Kapak Perunggu di Pura Puseh Timbul, Desa Pupuan, Kecamatan Tegalalang, Gianyar

Mythology and its Role in the Interpretation of Archaeological Artifacts: Case Study of Bronze Axe at Pura Puseh Timbul, Pupuan Village, Tegalalang District, Gianyar

Gusti Ngurah Ary Kesuma Puja1, I Kadek Surya Jayadi2

1Universitas Jember, Jember, Jawa Timur

2

2Universitas Udayana, Denpasar, Bali

Email korespondensi: arikp.bull@gmail.com, surya.jayadi@unud.ac.id

Info Artikel

Masuk:16 Februari 2023

Revisi: 9 Mei 2023

Diterima:1 Juni 2023

Terbit:31 Agustus 2023

Keywords: Bronze Axe; Assimilation; Banjar Timbul; Mythology


Kata kunci: Kapak Perunggu;

Asimiliasi; Banjar Timbul;

Mitologi.

Corresponding Author:

Gusti Ngurah Ary Kesuma Puja emal: arikp.bull@gmail.com

DOI:

https://doi.org/10.24843/JH.20

23.v27.i03.p02


Abstract

This study discuss about the bronze axe which is found in Banjar Timbul, Pupuan Village, Tegalalang District, Gianyar Regency. The artifacts originating from the perundagian period were chosen as the object of study in this research because there is an interesting relationship between the pre-historic heritage site and the meaning that the people of Banjar Timbul believe in the current era. The relationship is analyzed using a theory of cultural assimilation which reads that a culture experiences a blend that eliminates the characteristics of the original culture that forms a new cultural pattern. The results of this study show that 1). The Bronze Axe in Banjar Timbul has shifted in function as well as its meaning by the community; 2). The mythology becomes a strong influential aspect in the shift of the bronze axe function in Banjar Timbul; 3). That behind the mythology of the Bronze Axe there are a numorous of hidden values, including: a symbol of protection, the majesty of ancestors, and a symbol of unity.

Abstrak

Studi ini berbicara mengenai kapak perunggu yang terdapat di Banjar Timbul, Desa Pupuan, Kecamatan Tegalalang Kabupaten Gianyar. Artefak yang berasal dari masa perundagian tersebut dipilih sebagai objek kajian dalam penelitian ini karena terdapat sebuah relasi yang menarik antara situs peninggalan pra-sejarah dengan pemaknaan yang diyakini oleh masyarakat banjar Timbul di masa kini. Relasi tersebut dikaji menggunakan perspektif teori asimilasi kebudayaan yang berbunyi bahwa suatu kebudayaan mengalami pembauran yang menghilangkan ciri khas kebudayaan aslinya yang membentuk pola kebudayaan yang baru. Adapun hasil daripada kajian ini menunjukkan bahwa 1). Kapak Perunggu di Banjar Timbul telah mengalami pergeseran secara fungsi sekaligus pemaknaannya oleh masyarakat; 2). Mitologi menjadi aspek yang berpengaruh kuat dalam pergeseran fungsi kapak perungggu di Banjar Timbul; 3).

Bahwa di balik mitologi tentang Kapak Perunggu tersebut terdapat sejumlah nilai-nilai terselubung, meliputi: simbol perlindungan, keagungan leluhur, dan simbol persatuan.

PENDAHULUAN

Banjar Timbul masuk ke dalam administrasi Desa Pupuan di Kecamatan Tegallalang, Bali. Keadaan di wilayah Banjar Timbul ini sampai saat ini masih asri, banyak tumbuh pohon-pohon besar dan banyak terdapat areal persawahan. Menurut data yang terdapat di kantor Desa Pupuan, masyarakat di wilayah Banjar Timbul mayoritas beragama Hindu yang sudah diturunkan dari generasi ke generasi. Desa Pupuan ini sendiri, berdasarkan atas cerita yang berkembang di masyarakat sudah terbangun sejak masa pemerintahan Raja Mayadenawa (Penyusun, 2015) sehingga besar kemungkinan bahwa Banjar Timbul sebagai bagian dari wilayah Desa Pupuan juga sudah terbangun sekitar pada masa tersebut. Cerita ini bagi masyarakat awam mungkin hanya mitos maupun legenda setempat yang tidak mencerminkan keadaan asli desa pada masa lalu, karena tokoh Mayadenawa yang dikenal sebagai sosok raja lalim. diperkirakan merupakan tokoh fiksi. Namun, dengan mengesampingkan keyakinan tersebut, terlihat jelas bahwa Desa Pupuan maupun Banjar Timbul merupakan pemukiman yang dibangun sejak masa kerajaan bahkan mungkin sejak masa prasejarah. Salah satu bukti yang menguatkan kepurbakalaan Desa Pupuan maupun Banjar Timbul adalah ditemukan nya tinggalan yang terpengaruh dengan budaya megalithik muda yaitu sarkofagus. Penemuan sarkofagus ini bukan hanya satu melainkan ada beberapa dengan tipologi yang berbeda-beda. Selain sarkofagus, di wilayah Banjar Timbul terdapat juga kapak perunggu yang bahkan sampai saat ini masih disimpan dan digunakan sebagai pratima di Pura Puseh Timbul. Sehingga jelas bahwa Banjar Timbul yang merupakan bagian dari Desa Pupuan merupakan banjar kuno yang masih aktif berkembang sampai saat ini.

Sebegitu banyaknya sejarah dan tinggalan arkeologi yang terdapat di Banjar Timbul, terdapat satu hal yang sangat

menarik perhatian yaitu keberadaan kapak perunggu yang sampai saat ini masih digunakan sebagai pratima di Pura Puseh Timbul. Sebelum lebih jauh membahas tentang kapak perunggu di Banjar Timbul, perlu dijabarkan secara singkat tentang pengertian dari pratima. Masyarakat Bali mayoritas memeluk Agama Hindu sebagai pedoman hidupnya, tidak terkecuali masyarakat di Banjar Timbul seperti data yang sudah dipaparkan sebelumnya. Berdasarkan data tersebut, wajar apabila masyarakat Banjar Timbul menerapkan ajaran-ajaran yang terdapat di dalam Agama Hindu. Salah satu ciri khas dari Agama Hindu yang berkembang di Bali adalah adanya simbol yang merepresentasikan berbagai macam hal yang tidak berwujud. Seperti misalnya para dewa dan para leluhur. Pratima ini merupakan salah satu sebutan untuk benda yang digunakan oleh masyarakat Hindu di Bali untuk merepresentasikan suatu hal yang diagungkan sehingga masyarakat dapat menggunakan benda tersebut sebagai sarana memusatkan bhakti pikiran pada saat melakukan persembahyangan (Winanti, 2009, hal. 101). Pratima itu sendiri dapat berwujud apa saja, tidak harus berupa simbol dari dewa tertentu. Sebuah benda dapat digunakan sebagai pratima apabila sudah diupacarai oleh pemuka agama setempat dan dianggap memiliki nilai religius-magis yang tinggi oleh masyarakat. Berdasarkan atas pemaparan tersebut, dapat dikatakan bahwa kapak perunggu yang digunakan sebagai pratima oleh masyarakat Banjar Timbul merupakan sebuah simbol yang memiliki nilai yang sangat penting di mata masyarakat, setidaknya dari segi religius-magis .

Pada awalnya, kapak perunggu tipe jantung yang digunakan sebagai pratima di Banjar Timbul berjumlah empat buah namun terdapat dua kapak yang dicuri dan sampai saat ini tidak ditemukan kembali (Puja, 2019, hal. 128). Hal ini menyebabkan sampai saat

ini kapak perunggu yang tersisa di wilayah Banjar Timbul tersebut hanya berjumlah dua buah saja dan disimpan di Pura Puseh Timbul. Meskipun demikian, masyarakat di Banjar Timbul dan sekitarnya tetap memuja dan menyucikan kapak tersebut. Bahkan tidak sembarang orang yang boleh untuk menyentuh kapak tersebut, hanya pemangku (pemuka agama) Pura Puseh Timbul saja yang diperbolehkan. Kapak perunggu ini disimpan di salah satu bale (bangunan) yang terdapat di dalam pura, dan hanya boleh dikeluarkan apabila hari-hari tertentu. Meskipun dikeluarkan hanya pada hari tertentu saja, kapak ini tetap mendapatkan perawatan yang spesial dari para pemangku pura. Melalui fakta ini terlihat bahwa masyarakat setempat sangat menjaga dan memuliakan kapak tersebut (lihat Gambar 1)

Gambar 1 Kapak Perunggu di Pura Puseh Timbul (Sumber: Mangku Sudana, 2015)

Mangku dari Pura Puseh Timbul selaku narasumber juga menjelaskan bahwa selain jarang dikeluarkan dari bale penyimpanan, apabila sudah dikeluarkan terdapat syarat-syarat yang harus dipatuhi. Seperti misalnya, sebelum hari raya Nyepi berlangsung, terdapat tradisi dimana masyarakat akan membawa pratima-pratima dari berbagai pura berkeliling banjar dan kemudian dimandikan atau disucikan. Kapak perunggu di Pura Puseh Timbul juga ikut dikeluarkan dan diarak keliling banjar pada saat itu, namun kapak ini tidak boleh terkena tanah sedikitpun meskipun kapak ini pada bagian pangkal nya yang berlobang diberi kayu sebagai penopang supaya dapat diangkat tinggi. Selain itu, pada saat mengelilingi banjar, kedua kapak tersebut harus berada di

garis depan arak-arakan. Terdapat interpretasi bahwa dengan melihat syarat tersebut, dapat dikatakan bahwa kapak tersebut merupakan penjaga dari pratima-pratima yang lain, karena berada di depan pratima yang lain dan juga memiliki bentuk yang mirip dengan ujung tombak. Akan tetapi, interpretasi tersebut masih perlu untuk dikaji lebih dalam. Pengaruh dari sisi religius atas eksistensi dari kapak perunggu di Banjar timbul tidak hanya sebatas pada data yang sudah disampaikan sebelumnya, melainkan masih ada data lain yang dapat menggambarkan tentang pengaruh tersebut. Seperti misalnya, sampai saat ini masyarakat setempat selalu datang untuk bersembahyang apabila kapak tersebut dikeluarkan, kapak tersebut selalu dihias dan diberi kain khusus apabila sudah dikeluarkan dari bale penyimpanannya, dan masyarakat setempat sering meminta (menunas) air suci atau tirta yang berasal dari air “bekas” memandikan kapak tersebut untuk mendapatkan kerahayuan atau untuk mendapatkan tenaga lebih. Melalui data yang berasal dari narasumber ini, terlihat bahwa masih sangat kentalnya pengaruh kapak perunggu tersebut di masyarakat apabila dilihat dari sisi religius.

Menurut I Wayan Sutaba, kapak perunggu yang ditemukan di Bali diperkirakan berasal dari masa prasejarah khususnya Zaman Logam/Masa Perundagian karena sering ditemukan terkubur di dalam tanah atau berada di dalam sarkofagus bersama dengan rangka manusia dan benda lain yang terbuat dari perunggu (I Made Sutaba, 1980, hal. 24). I Wayan Ardika melalui tesis nya juga menjabarkan bahwa, kapak perunggu tipe jantung di Bali sering ditemukan di dalam situs penguburan seperti di dalam sarkofagus yang ditemukan di wilayah Manuaba dan di dalam penguburan primer yang ditemukan di wilayah Gilimanuk (Ardika, 1987, hal. 24). Bahkan di dalam beberapa laporan penelitian yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Denpasar, tercatat adanya penemuan kapak perunggu atau disebut juga dengan tajak di dalam suatu penguburan. Seperti laporan penelitian arkeologi yang diketuai oleh Luh Kade Citha Yuliati di wilayah Situs Gilimanuk, ditemukan empat buah kapak perunggu

dimna tiga buah ditemukan sebagai bekal kubur dan satu ditemukan di dinding barat kotak ekskavasi (Yuliani, 2013, hal. 8).

Namun, untuk kasus kapak perunggu tipe jantung yang disimpan di Pura Puseh Timbul ini masih belum diketahui, apakah memang sebagai pratima sejak baru dibuatnya atau berasal dari masa prasejarah dan difungsikan bukan sebagai pratima karena di masa tersebut belum terdapat Agama Hindu. Kedua pernyataan tersebut memiliki peluang yang sama karena penganut Agama hindu di Bali menerapkan asimilasi antara ajaran Agama Hindu dengan kebudayaan animisme yaitu memuja leluhur. Ni Putu Winanti memaparkan bahwa salah satu bukti terjadinya asimilasi tersebut adalah di setiap rumah orang Bali yang memeluk Agama hindu pasti memiliki mrajan atau tempat suci yang ditujukan sebagai tempat distanakan nya roh suci dari para leluhur yang telah meninggal yang telah mencapai tingkatan Dewa Pitara (Winanti, 2009). Sehingga terdapat kemungkinan bahwa kapak tersebut merupakan peninggalan leluhur masyarakat Banjar Timbul yang berasal dari masa prasejarah dan kemudian disucikan sebagai pratima. Kapak perunggu yang kemungkinan merupakan warisan dari leluhur ini dapat menjadi Pratima atau benda suci berkaitan dengan teori yang dipaparkan oleh Micea Eliade terkait dengan agama. Eliade berpendapat bahwa agama merupakan perwahyuan dari Yang Kudus, agama merupakan sarana agar manusia bisa tetap berhubungan dengan masa lampau mistisnya, dan agama juga berfungsi untuk membangkitkan dan menjaga kesadaran akan dunia lain (Susanto, 1987, hal. 44). Kapak perunggu yang disucikan oleh masyarakat setempat dapat dikatakan sebagai Yang Kudus yang berasal dari masa lampau dan memiliki kekuatan magis. Kemungkinan tersebut semakin memberikan bumbu yang kuat sehingga semakin menarik untuk melakukan kajian terhadap kapak perunggu yang digunakan sebagai pratima di Pura Puseh Timbul.

Selain itu, terlihat bahwa kapak perunggu tersebut memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap perkembangan upacara dan tradisi di Banjar Timbul sampai saat ini. Para peneliti dan masyarakat sekitar juga

sangat fokus terhadap pengaruh tersebut, mungkin karena status dari kapak tersebut sebagai pratima. Namun, bercermin atas pengaruh yang sangat besar dari kapak tersebut dari sisi religius-magis pada saat ini dan juga rasa penasaran tentang asal usul dari kapak tersebut, muncul pertanyaan tentang apa yang terjadi di masa lalu sehingga kapak tersebut bisa sangat diagungkan oleh masyarakat setempat?. Pertanyaan tersebut muncul bukan hanya untuk memahami tentang masa lalu dari kapak perunggu ini, melainkan bertujuan untuk dapat membukakan pintu terhadap interpretasi-interpretasi supaya dapat menjawab rasa penasaran terkait dengan proses dari asimilasi antara budaya masa prasejarah dengan Agama Hindu yang berlangsung di Banjar Timbul. Hal ini dikarenakan, penggunaan kapak perunggu sebagai pratima merupakan usaha yang sangat terstruktur untuk dapat menyandingkan antara budaya logam yang berasal dari masa prasejarah dengan Agama Hindu yang sampai saat ini masih di peluk oleh mayoritas masyarakat Banjar Timbul. Pemahaman tentang proses asimilasi ini juga bermanfaat untuk dapat semakin mendalami elemen yang mempengaruhi terbentuknya kehidupan beragama yang sampai saat ini masih dijalani oleh masyarakat Bali, khususnya masyarakat Banjar timbul Namun, sebelum memahami terkait dengan asimilasi antara budaya dan agama ini, diperlukan analisis terkait dengan strategi di balik penggunaan kapak perunggu sebagai pratima yang dapat disarikan melalui penggambaran peristiwa di masa lalu yang berkaitan dengan kapak perunggu di lingkungan Banjar Timbul.

Melalui pemaparan sebelumnya, terlihat bahwa di dalam kajian ini tersemat dua pertanyaan utama yaitu apa saja peristiwa di masa lalu yang terjadi di Banjar Timbul yang berkaitan secara langsung dengan kapak perunggu yang digunakan sebagai pratima di Pura Puseh Timbul? dan dibalik peristiwa tersebut apakah terdapat suatu strategi yang dirumuskan oleh leluhur masyarakat Banjar Timbul yang berkaitan dengan pemakaian kapak perunggu di masa lalu dan masa sekarang?.

METODE

Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode wawancara dan kajian pustaka. Wawancara dilakukan terhadap beberapa narasumber yang memiliki hubungan secara langsung dengan kapak perunggu dan dipercaya memahami peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu yang berkaitan dengan kapak perunggu. Kajian pustaka diperlukan untuk dapat mengumpulkan beberapa data sekunder yang berfungsi untuk memperjelas data wawancara sudah diambil sebelumnya. Data yang sudah dikumpulkan kemudian direduksi dan diinterpretasi berdasarkan atas berbagai sudut pandang yang berbeda sehingga dapat menemukan beberapa kemungkinan-kemungkinan yang menjadi cikal bakal dari pemakaian kapak perunggu ini sebagai pratima di Pura Puseh Timbul.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kapak Perunggu dan Fungsi Awalnya

Sebelum menguraikan tentang kapak perunggu dan pergeseran maknanya dalam masyarakat Banjar Timbul, akan dipaparkan terlebih dahulu fungsi awal daripada kapak perunggu ini yang didasarkan atas penelitian sejumlah arkeolog. Penelitian tersebut, antara lain dilakukan oleh Sutaba. Menurut I Wayan Sutaba, kapak perunggu yang ditemukan di Bali diperkirakan berasal dari masa prasejarah khususnya Zaman Logam/Masa Perundagian karena sering ditemukan terkubur di dalam tanah atau berada di dalam sarkofagus bersama dengan rangka manusia dan benda lain yang terbuat dari perunggu (I Made Sutaba, 1980, hal. 24).

Pendapat senada juga dikemukakan oleh Ardika. I Wayan Ardika melalui tesis nya juga menjabarkan bahwa, kapak perunggu tipe jantung di Bali sering ditemukan di dalam situs penguburan seperti di dalam sarkofagus yang ditemukan di wilayah Manuaba dan di dalam penguburan primer yang ditemukan di wilayah Gilimanuk (Ardika, 1987, hal. 24).

Bahkan di dalam beberapa laporan penelitian yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Denpasar, tercatat adanya penemuan kapak perunggu atau disebut juga dengan tajak di dalam suatu penguburan.

Seperti laporan penelitian arkeologi yang diketuai oleh Luh Kade Citha Yuliati di wilayah Situs Gilimanuk, ditemukan empat buah kapak perunggu dimna tiga buah ditemukan sebagai bekal kubur dan satu ditemukan di dinding barat kotak ekskavasi (Yuliani, 2013, hal. 8).

Berdasarkan daripada hasil-hasil penelitian tersebut di atas dapat dipahami jika kapak perunggu sebagian besar berfungsi sebagai bekal kubur merujuk dari kebiasaan yang berkembang di dalam Budaya Dongson yang merupakan akar dari kebudayaan logam di Bali yang selalu menggunakan artefak perunggu (termasuk kapak perunggu) sebagai bekal kubur untuk penanda status sosial (Ardika et al., 2017). Selain itu, kapak perunggu juga sering ditemukan secara insitu terkubur di samping kerangka manusia atau di dalam sarkofagus yang diperkirakan berasal dari Zaman Logam, seperti misalnya di dalam sarkofagus yang ditemukan di Margatengah (Ardika et al., 2017).

Meskipun fungsi sebagai bekal kubur tersebut tidak secara general dapat diasumsikan ke dalam semua kapak perunggu, termasuk pada kapak perunggu di Banjar Timbul, namun dapat dipastikan bahwa kapak perunggu di banjar Timbul dengan bentuknya seperti jantung ini memiliki fungsi yang tidak jauh dengan upacara kematian, atau mungkin sebagai hiasan melihat bentuknya yang indah dan memiliki garis tepi yang mayoritas tipis.

Lantas bagaimanakah fungsi awal tersebut bisa bergeser menjadi sebuah benda dengan memberikan dampak perlindungan sebagaimana tampak dalam kasus di Banjar Timbul? Pergeseran ini muncul dengan adanya mitologi yang disematkan pada benda tersebut yang diwariskan secara turun-temurun lewat lisan, sebagaimana akan diuraikan pada sub-bab di bawah ini.

Kapak Perunggu Banjar Timbul dan Mitologi Yang Membayangi

Kapak perunggu yang sampai saat ini masih disimpan oleh masyarakat Banjar Timbul, seperti diketahui pada awalnya berjumlah 4 buah yang bentuknya sama. Menurut penuturan Jro Mangku Pura Puseh Timbul, kapak ini diceritakan ditemukan di

kebun milik warga yang mana kapak tersebut dikatakan jatuh dari langit. Masyarakat kemudian menyimpan kapak tersebut sebagai pratima di sebuah pura yang bernama Pura Panti yang letaknya tidak jauh dari Pura Puseh Timbul. Pura Panti ini sendiri merupakan pura keluarga yang disungsung atau dimiliki oleh beberapa keluarga yang tinggal di sekitar pura tersebut. Menurut Jro Mangku Pura Panti, pura ini juga sudah berdiri sejak masa kerajaan karena terdapat cerita tentang berdirinya pura tersebut dan memiliki latar waktu pada masa kerajaan. Namun tidak jelas waktu tepatnya kapak tersebut mulai digunakan sebagai pratima di Pura Panti ini. Dikarenakan pura ini merupakan pura keluarga, sehingga dapat dipastikan bahwa masyarakat setempat yang tidak berasal dari keluarga tersebut tidak bersembahyang disana dan juga tidak ikut memuja kapak perunggu tersebut selama disimpan di Pura Panti.

Masyarakat Banjar Timbul yang awalnya tidak ikut memuja kapak perunggu, mulai memuja kapak tersebut disebabkan oleh suatu peristiwa besar yang terjadi di banjar tersebut. Kembali menurut penuturan dari Jro Mangku Pura Puseh Timbul, di masa lalu pernah terjadi sebuah perang di sekitar wilayah Banjar Timbul dan terdapat waktu dimana banjar ini akhirnya akan diserang oleh musuh tersebut. Musuh yang dituturkan oleh Jro Mangku ini tidak diketahui identitasnya karena informasi tersebut hanya berasal dari cerita-cerita yang berkembang di masyarakat sekitar. Sehingga mungkin terdapat beberapa informasi yang tidak tersampaikan atau memang sengaja dipudarkan. Pada saat masyarakat Banjar Timbul mendengar bahwa wilayah mereka akan diserang oleh musuh, mereka mulai menyiapkan strategi untuk bertahan. Kembali menurut Jro Mangku Pura Puseh Timbul, Para tetua yang terdapat di banjar tersebut kemudian berinisiatif untuk menggunakan kapak perunggu sebagai senjata untuk bertahan. Para tetua menggunakan kapak tersebut untuk menggores tanah yang terdapat di perbatasan banjar sehingga menciptakan garis yang menyatu. Goresan tersebut diperuntukan supaya musuh-musuh yang akan menyerang wilayah Banjar Timbul tidak dapat melihat keberadaan

banjar tersebut. Benar saja, pada waktu musuh datang akan menyerang, mereka tidak dapat menemukan Banjar Timbul dan akhirnya mereka pun mengurungkan niatan nya untuk menyerang Banjar Timbul. Berdasarkan cerita tersebut, terlihat bahwa masyarakat Banjar Timbul memiliki hutang budi terhadap kapak perunggu yang saat ini digunakan sebagai pratima. Setelah insiden penyerangan tersebut, para tetua dan masyarakat sekitar menginginkan supaya semua kapak perunggu disimpan di Pura Puseh Timbul. Namun, terdapat penolakan dari keluarga yang menyungsung (memiliki) Pura Panti, tempat dimana kapak tersebut disimpan sebelumnya. Sempat terjadi perdebatan dan diskusi yang panjang, akhirnya kedua belah pihak sepakat untuk membagi keempat kapak perunggu tersebut, dua disimpan di Pura Panti sedangkan dua lagi disimpan di Pura Puseh Timbul, namun apabila Pura Puseh Timbul tersebut akan melaksanakan piodalan atau merayakan suatu hari raya dan akan mengeluarkan kapak dari tempat penyimpanan nya, kedua kapak ini harus berkunjung terlebih dahulu ke Pura Panti untuk disucikan kembali. Namun sayangnya, kapak perunggu yang disimpan di Pura Panti hilang karena dicuri, kemudian oleh keluarga pemilik pura dibuatkan dua buah replika untuk menggantikan kedua kapak tersebut. Meskipun kapak yang hilang adalah milik Pura Panti, namun masyarakat Banjar Timbul secara umum juga turut berduka dan merasa kehilangan yang sangat besar.

Peristiwa yang berlangsung di masa lalu ini sangatlah heroik dan cukup monumental sehingga sampai saat ini masih sangat melekat di pikiran dan hati seluruh masyarakat Banjar Timbul. Sehingga seluruh masyarakat sampai saat ini masih setia merawat dan sangat mengagungkan kedua kapak tersebut. Namun sayangnya, peristiwa ini tidak pernah didokumentasikan secara tulisan sehingga tidak terdapat bukti-bukti yang valid terkait dengan keaslian peristiwa tersebut. Akan tetapi, maskipun kronologi-kronologi dari peristiwa tersebut hanya sebatas cerita lisan turun temurun, yang kebenarannya masih sangat sulit dibuktikan. Akan tetapi di balik mitologi tersebut sejatinya terselubung sejumlah pemaknaan

yang sangat menarik untuk diuraikan lebih lanjut dalam sub bab di bawah ini.

Meninjau di Balik Mitologi Kapak Perunggu di Banjar Timbul

Mitologi yang tumbuh atas peristiwa yang berkaitan dengan kapak perunggu di Banjar Timbul memberikan gambaran bahwa kapak perunggu tersebut sudah menyelamatkan nyawa mereka dari kepungan musuh. Sehingga masyarakat Banjar Timbul memiliki hutang budi terhadap kapak tersebut.

Atas dasar itu pulalah, didorang rasa hutang budi yang besar, masyarakat banjar Timbul menjadikannya sebagai sungsungan yang disimpan di Pura Puseh. Mereka tidak mengembalikkanya lagi kepada Pura Panti, dimana awal ditemukannya artefak ini. Bila dilihat dari hirarkis pura, kedudukan Pura Puseh lebih tinggi dibandingkan Pura Panti. Di dalam kepercayaan masyarakat Hindu Bali, Pura Puseh merupakan bagian dari Kahyangan Tiga yang merupakan pura utama yang digunakan sebagai tempat persembahyangan oleh masyarakat suatu desa dan merupakan tempat bersemayamnya dewa-dewa utama di dalam ajaran Agama Hindu yaitu Tri Murti (Brahma, Wisnu, dan Siwa) dalam ruang lingkup suatu desa (Ardika et al., 2013) serta tempat bersemayamnya para leluhur (Goris, 2012, hal. 39). Begitu pula dengan Pura Puseh Timbul, merupakan bagian dari Kahyangan Tiga yang dipercayai melindungi banjar tersebut dan juga merupakan pura bersemayamnya Dewa Brahma di banjar tersebut sesuai dengan yang tertulis di dalam Babad Kahyangan Ring Puseh (Hägerdal, 2006). Sehingga dengan menyimpan kapak perunggu di Pura Puseh Timbul, sudah menaikkan derajat dari kapak tersebut sebagai sebuah pratima, dan juga masyarakat dapat dengan lebih leluasa untuk merawat kapak tersebut.

Alasan ini terlihat dari begitu dirawatnya kapak tersebut sampai saat ini di Pura Puseh Timbul, bahkan tidak diperbolehkan untuk menyentuh tanah sedikitpun. Selain itu, di masa sekarang kapak ini sudah menjadi salah satu benda yang dapat bersanding dengan sosok Dewa Brahma itu sendiri di dalam lingkungan Pura

Puseh Timbul dengan memberikan penutup kain yang memiliki warna sesuai dengan warna yang melambangkan Dewa Brahma yaitu merah.

Dengan demikian dapat dipahami jika kapak perunggu oleh masyarakat Banjar Timbul disungsung sebagai Pratima. Pemilihan kapak tersebut sebagai media pratima, kemungkinan besar karena kapak ini terbuat dari perunggu. Alasan ini diperkuat dengan kebiasaan yang berlaku pada masyarakat Bali yang sampai saat ini masih menggunakan beberapa jenis logam dalam melakukan ritual ibadah mereka. Seperti misalnya pada saat membangun tempat suci (pura) masyarakat Bali akan ikut menanam berbagai jenis logam seperti emas, perak, tembaga dan lain sebagainya (Winanti, 2009). Logam perunggu itu sendiri merupakan logam campuran yang terdiri dari tembaga, timah, timbal dan berbagai macam logam lainnya (Haryono, 2001, hal. 5). Masyarakat Bali diketahui sejak masa prasejarah sudah memahami bahwa logam perunggu merupakan logam campuran, sehingga mereka berpikir bahwa kapak perunggu tersebut memiliki syarat yang cukup apabila digunakan sebagai benda keramat atau senjata. Bukti dari pengetahuan masyarakat Bali tentang logam sejak masa prasejarah adalah di wilayah Manuaba ditemukan cetakan nekara perunggu yang memperkuat dugaan bahwa disana sudah terdapat sebuah bengkel tempat memproduksi nekara yang dibuat dari logam perunggu sehingga kuat dugaan bahwa masyarakat Bali sudah memahami prinsip-prinsip dasar dari logam perunggu itu sendiri (Poesponegoro et al., 2008, hal. 356). Oleh sebab itu masuk akal apabila para leluhur di Banjar Timbul pada masa lalu memilih untuk menggunakan kapak perunggu sebagai Pratima.

Dibalik apakah interpretasi atas kesaktian kapak perunggu tersebut sesuai atau tidak, sejatinya ada simbol-simbol lain yang dapat ditangkap dari pergeseran ini. Pertama adalah kapak perunggu ini menjadi simbol kekuatan yang melindungi seluruh masyarakat banjar Timbul. Kedua mungkin sedikit ada hubungannya dengan yang pertama bahwa kapak perunggu ini sekalgus simbol dari kesaktian yang dimiliki oleh para

leluhur sehingga masyarakat Banjar Timbul bisa selalu mengingat dan mengenang kesaktian dari para leluhur selama kapak tersebut masih tersimpan di Pura Puseh Timbul. Ketiga, kapak perunggu ini sebagai simbol pemersatu yang menyatukan semua golongan masyarakat yang terdapat di wilayah Banjar Timbul sehingga dapat menciptakan kesejahteraan bersama. Simbol tersebut berhasil mendisiplinkan masyarakat Banjar Timbul yang hingga saat ini masih sangat mengagungkan kapak perunggu tersebut seperti layaknya mengagungkan dewa dan leluhur mereka serta masyarakat juga selalu mengingat kesaktian dari para leluhur mereka melalui cerita heroik dari kapak perunggu tersebut. Bahkan menurut Jro Mangku Pura Puseh Timbul, terdapat slogan “teguh timbul” yang merepresentasikan kekuatan dan semangat masyarakat Timbul serta menjadi pedoman hidup dari masyarakat sekitar yang mana slogan tersebut terinspirasi dari kesaktian kapak perunggu dan para leluhur mereka.

SIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa telah terjadi pergeseran pemaknaan dalam artefak Kapak Perunggu di Banjar Timbul. Pergesaran tersebut erat kaitannya dengan mitologi yang disebarkan secara lisan dari mulut ke mulut yang berkaitan dengan sugesti akan kekuatan kapak perunggu yang melindungi warga banjar Timbul dari serangan musuh. Mitologi inilah yang lantas mendasari terjadinya pergeseran pemaknaan kapak perunggu dari yang sebelumnya merupakan bekal kubur atau hias sebagaimana hasil kajian para arkeolog. Di balik pergeseran makna akibat mitologi tersebut, terdapat sejumlah simbol-simbol terselubung, di antaranya: bahwa kapak perunggu ini menjadi simbol kekuatan sekaligus simbol kebanggan akan leluhur yang telah membuat kehidupan warga desa Banjar Timbu aman dan sejahtera hingga kini. Lebih lanjut, eksistensi kapak perunggu di Banjar Timbul dalam mitologinya menjadi simbol persatuan yang merangkul segenap elemen masyarakat di Banjar Timbul.

DAFTAR PUSTAKA

Ardika, I. W. (1987). Bronze artifacts and the rise of complex society in Bali. Australian National University.

Ardika, I. W., Parimartha, I. G., & Wirawan, A. A. B. (2013). Sejarah Bali: dari prasejarah hingga modern. Udayana University Press.

Ardika, I. W., Setiawan, I. K., Srijaya, I. W., & Bawono, R. A. (2017). Stratifikasi sosial pada masa prasejarah di Bali. Jurnal Kajian Bali (Journal of Bali Studies),               7,              33.

https://doi.org/10.24843/JKB.2017.v0 7.i01.p03

Budiawan. (2013). Sejarah dan memori: titik simpang dan titik temu. Ombak.

Goris, D. R. (2012). Sifat religius masyarakat pedesaan di Bali. Udayana University Press dan Pusat Kajian Bali, Unud.

Hägerdal, H. (2006). Candrasangkala: the Balinese art of dating events. Department of Humanities University of Växjö.

Haryono, T. (2001). Logam dan peradaban manusia. Philosophy Press.

I Made Sutaba. (1980). Prasejarah Bali. Yayasan Purbakala Bali.

Maulana, R. (1997). Ikonografi Hindu. Fakultas Sastra, Universitas Indonesia.

Penyusun, T. (2015). Profil Desa Pupuan.

Poesponegoro, M. D., Notosusanto, N., & Leirissa, R. Z. (2008). Sejarah nasional Indonesia: zaman prasejarah di Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Puja, G. N. A. K. (2019). Transformasi pemakaian kapak perunggu di Pura Luhur Batu Panes Belulang, Pura Taman Beji Naga Gombang, dan Pura Puseh  Timbul.  Universitas Gadjah

Mada.

Surasmi, I. G. A. (2007). Jejak tantrayana di

Bali. Bali Media Adhikarsa.

Susanto, H. (1987). Mitos:   menurut

pemikiran Mircea Eliade. Penerbit Kanisius.

Tanudirjo, D. A. (2019). Kuasa makna: perspektif baru dalam arkeologi Indonesia. Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.

Winanti, N. P. (2009). Pura keluarga dan pratima:   meneguhkan keyakinan

Kepada Tuhan. Pustaka Bali Post.

Yuliani, C. (2013). Laporan penelitian arkeologi ekskavasi situs Gilimanuk Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana, Bali.