URGENSI KEBERLAKUAN PROSEDUR DISMISSAL

DALAM PERADILAN TATA USAHA NEGARA

I Made Mahendraputra Utama, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: mademahendra19@gmail.com

Made Aditya Pramana Putra, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: adityapramanaputra@unud.ac.id

DOI: KW.2023.v12.i05.p1

ABSTRAK

Tujuan dibuatnya tulisan ini adalah untuk mengkaji bagaimana prosedur dismissal dalam Peradilan Tata Usaha Negara dari segi tahapan dan urgensi keberlakuannya. Studi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan komparatif. Hasil studi menunjukkan bahwa prosedur dismissal ini merupakan salah satu tahapan awal setelah masuknya gugatan dalam Peradilan Tata Usaha Negara yang melibatkan hakim untuk memeriksa gugatan yang masuk apakah telah memenuhi syarat atau tidak. Pentingnya mengenai prosedur dismissal dalam Peradilan Tata Usaha Negara, selain sebagai bentuk pembeda dari hukum acara pada peradilan-peradilan umum dan peradilan lainnya, juga bertujuan untuk memudahkan jalannya pemeriksaan pokok sengketa oleh Hakim, dan ditambah dengan keberlakuan asas keaktifan hakim dalam prosedur dismissal ini serta tidak serta merta semua gugatan yang telah didaftarkan itu bisa diloloskan keseluruhan.

Kata Kunci: Prosedur Dismissal, Tata Usaha Negara, Hakim.

ABSTRACT

The purpose of this paper is to examine how the dismissal process in the State Administrative Court is carried out in terms of the stages and urgency of its implementation. This study uses a normative legal research method with a statutory and comparative approach. The results of the study indicate that this dismissal process is one of the initial stages after the entry of a lawsuit in the State Administrative Court which involves a judge to examine whether the incoming lawsuit has fulfilled the requirements or not. The importance of the dismissal process in the State Administrative Court, apart from being a different form of procedural law in general courts and other courts, also aims to facilitate the examination of the subject matter of the dispute by judges, and coupled with the application of the principle of active judges in this dismissal process and not immediately all the lawsuits that have been registered can be passed in their entirety.

Key Words: Dismissal Procedure, State Administration, Judge.

  • I.   Pendahuluan

    1.1.  Latar Belakang

Indonesia dalam menjalankan pemerintahannya berlandaskan atas hukum. Artinya adalah keseluruhan tindakan yang dilakukan oleh masyarakat haruslah berlandaskan aturan dan norma berlaku. Adanya hukum ini tidak lepas dari aktivitas masyarakat karena kembali lagi, hukum merupakan suatu produk mengendalikan kelakuan setiap masyarakat dalam menjalankan aktivitasnya. Negara hukum sendiri memiliki maksud dalam hal masyarakat ini tidak bisa menyelesaikan suatu permasalahan hanya dengan melibatkan diri sendiri saja. Penyelesaian sengketanya tidak dengan cara main hakim sendiri, namun ada prosedur yang harus dilewati dalam hal untuk menjaga ketertiban masyarakat itu sendiri saat itu juga.

Karena negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan hukum, maka penyelesaian sengketa tersebut dilaksanakan oleh badan peradilan yang mempunyai tugas dan kewenangannya masing-masing. Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sendiri dapat dilihat pada Pasal 24 UUD 1945. “Kemudian diperjelas secara lebih spesifik lagi terkait dengan adanya kekuasaan kehakiman tersebut pada Undang-Undang No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya akan disebut dengan UU Kehakiman). Ada 4 (empat) peradilan yang diatur dalam Pasal 10 ayat (2) ketentuan tersebut yakni:

  • a. Peradilan Umum;

  • b. Peradilan Agama;

  • c.  Peradilan Militer;

  • d. Peradilan Tata Usaha Negara.”1

“Keempat peradilan tersebut mempunyai tugas dan kewenangannya masing-masing untuk menyelesaikan sengketa yang sering muncul dalam masyarakat. sengketa yang terjadi dalam ruang lingkup peradilan tata usaha negara akan menjadi fokus pembahasan tulisan ini. Keputusan Tata Usaha Negara atau KTUN yang memiliki dampak yang kurang baik dan berpotensi menimbulkan sengketa adalah objek dari permasalahan yang ditangani dalam lingkup peradilan tata usaha negara. Sengketa dalam lingkup peradilan TUN merupakan permasalahan yang timbul dari adanya keputusan yang dikeluarkan oleh yang berwenang untuk hal tersebut, termasuk sengketa kepegawaian.2 Pihak yang berwenang tersebut adalah instansi pejabat tata usaha negara. Pengertian, kewenangan, objek sengekta dan perihal yang masih berkaitan dengan peradilan tata usaha negara dinaungi oleh ketentuan pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (untuk selanjutnya penulis sebut dengan UU PTUN). Ketentuan tersebut sudah mencakup secara formil maupun materiil mengenai ketentuan apa dan bagaimana pelaksanaan hukum beracara dari peradilan tata usaha negara itu sendiri.”3

Sebagai tahap awal, penggugat mendaftarkan gugatannya ke pengadilan tata usaha negara jika dirasa ada permasalahan sengketa yang berkaitan dengan hal tersebut. Locus dari Pengadilan TUN tersebut ditentukan oleh tempat dimana Tergugat berkedudukan atau bertempat tinggal.4 Ada beberapa hal yang menjadikan peradilan yang satu ini berbeda dengan ketiga pengadilan lainnya. Salah satu perbedaan tersebut dapat terlihat dengan adanya tahapan Pemeriksaan dan Pendahuluan. Tahapan Pemeriksaan dan Pendahuluan ini dilakukan setelah didaftarkannya gugatan oleh Penggugat yang bersangkutan ke Pengadilan Tata Usaha Negara sebelumnya. Tahapan ini diatur dalam UU PTUN khususnya pada Pasal 62 dan dilanjutkan dengan tahapan pemeriksaan persiapan pada pasal 63 UU PTUN. Adanya tahapan tersebut juga salah satu bentuk pengimplementasian dari asas keaktifan hakim atau dominus litis. Pada proses inilah dilaksanakan rapat permusyawaratan atau prosedur dismissal

oleh hakim untuk menentukan apakah suatu sengketa ini masuk kedalam ranah peradilan tata usaha negara atau tidak.5

Prosedur dismissal ini juga menjadi ciri khas dari Peradilan Tata Usaha Negara. Ketentuan mengenai prosedur dismissal dibuat mengingat sengketa yang dimaksud ini selain bersinggungan dengan orang atau badan hukum perdata, juga kadang bersinggungan dengan sengketa kepegawaian yang pastinya berkaitan dengan pemerintahan. Disamping itu pula masih banyak pihak yang belum memahami secara fasih mengenai tugas, kewenangan serta bagaimana pelaksanaan hukum acara dari peradilan tata usaha negara itu sendiri. Bahwasannya perlu diketahui pengertian dari adanya prosedur dismissal ini merupakan pemeriksaan awal suatu gugatan yang sudah didaftarkan oleh Ketua Pengadilan untuk dipertimbangkan apakah gugatan tersebut dapat dilanjutkan ke tahap selanjutnya (pokok perkara). Diproses atau tidaknya suatu gugatan yang masuk dipengaruhi juga oleh apakah persyaratan dalam peradilan tata usaha negara itu sudah terpenuhi atau tidak. Singkatnya tahapan ini digunakan untuk menyaring mana gugatan yang persyaratannya memang sesuai dengan ketentuan UU PTUN dan masuk kedalam ranah peradilan tata usaha negara, sehingga tidak semua gugatan yang masuk bisa dilanjutkan prosesnya.

Pelaksanaan dari tahapan rapat permusyawaratan atau prosedur dismissal ini terkadang masih tidak dilaksanakan. Salah satu faktor penyebabnya adalah jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari putusan yang dikeluarkan dan ditentukan oleh UU Administrasi Pemerintahan, sehingga dirasa waktu tersebut tidak cukup untuk melaksanakan tahapan tersebut. Disatu sisi pula terkadang tahapan ini masih dilaksanakan karena memang sudah diamanatkan dalam UU PTUN itu sendiri. Hal tersebut menimbulkan apakah sejatinya tahapan ini tetap harus dilaksanakan atau langsung menuju pokok perkara yang dilaksanakan dengan persidangan sebagaimana mestinya.

Penulisan jurnal ini penulis rangkai dengan mengumpulkan refrensi yang berkaitan dengan topik yang penulis angkat. Salah satunya adalah tulisan dari Abdul Jabbar pada tahun 2016 dengan judul “Obyektivitas Putusan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Dengan Adanya Tahapan Pemeriksaan Persiapan”6. Pada tulisan tersebut lebih berfokus kepada sejauhmana tahapan pemeriksaan persiapan atau prosedur dismissal ini memberikan dampak dalam hal perbaikan gugatan yang masuk kedalam pengadilan tata usaha negara. Pada tulisan penulis ini akan berfokus kepada tahapan pelaksanaan prosedur dismissal dan juga urgensi pentingnya pelaksanaan prosedur dismissal ini pada peradilan tata usaha negara. Kemudian akhirnya penulis merumuskan tulisan ini dengan judul “Urgensi Keberlakuan Prosedur Dismissal dalam Peradilan Tata Usaha Negara”.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana tahapan prosedur dismissal pada Peradilan Tata Usaha Negara?

  • 2.    Apa urgensi keberlakukan tahapan prosedur dismissal pada Peradilan Tata Usaha Negara?

  • 1.3.    Tujuan

Tujuan dibuatnya tulisan ilmiah ini adalah mengkaji bagaimana tahapan atau prosedur dari prosedur dismissal pada Peradilan Tata Usaha Negara dan apa urgensi prosedur dismissal ini jika diberlakukan dalam PTUN. Sehingga masyarakat dapat bagaimana tahapan atau prosedur dari prosedur dismissal pada Peradilan Tata Usaha Negara serta apakah prosedur dismissal ini sejatinya tetap diberlakukan dalam PTUN atau tidak.

  • II.    Metode Penelitian

Penulis menggunakan metode hukum normatif dalam penulisan artikel ini. Metode normatif ini menitikberatkan pada kajian suatu norma dalam peraturan perundang-undangan, apakah norma tersebut tidak multitafsir, ada norma yang bertentangan atau apakah tidak ada pengaturannya. Kemudian metode yang digunakan dalam membuat tulisan ilmiah ini yakni studi kepustakaan. Penulis juga menggunakan rujukan literatur dalam mengkaji permasalahan penulis. Literatur yang penulis gunakan tersebut berupa buku-buku, jurnal ilmiah yang penulis unduh melalui internet serta penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan permasalahan yang penulis angkat.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    3.1.    Tahapan Prosedur Dismissal pada Peradilan Tata Usaha Negara

“Ada 3 (tiga) tahapan yang akan dilalui ketika suatu gugatan sudah masuk kedalam kepaniteraan, dimana tahapan tersebut terdiri dari pemeriksaan secara administratif oleh kepaniteraan. Kemudian dilanjutkan dengan rapat permusyawaratan atau prosedur dismissal seperti pada pembahasan sebelumnya, dan diakhiri dengan tahapan pemeriksaan persiapan. Ketiganya saling berkaitan satu sama lain dan gugatan yang masuk haruslah melewati ketiga tahapan tersebut.7

Jika kita beracuan pada Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, rumusan dari prosedur dismissal tidak ada dicantumkan secara spesifik. Namun makna dari istilah tersebut tercantum dalam Pasal 62 UU PTUN, yang dimana memberikan pemahaman bahwa prosedur dismissal merupakan pemeriksaan yang dilakukan sebelum memasuki pokok perkara. Pemeriksaan tersebut akan dilakukan oleh Ketua Pengadilan dan diteliti secara lebih mendetail, apakah syarat yang diamanatkan dalam UU PTUN sudah terpenuhi berkaitan dengan gugatan yang bersangkutan tersebut. Pernyataan Ketua Pengadilan terkait terpenuhi atau tidaknya suatu gugatan tersebut akan dituangkan dalam penetapan, dimana penetapan tersebut akan memuat alasan mengapa gugatan tersebut sudah memenuhi syarat ataupun tidak memenuhi syarat sebagaimana yang tertuang dalam UU PTUN.8 Apabila nantinya dianggap perlu sebelum prosedur dismissal ini dilakukan, Ketua Pengadilan dapat memanggil para pihak tersebut dan mendengarkannya.

Pertimbangan dan syarat yang harus dipenuhi dalam prosedur dismissal ini dituangkan oleh ketua pengadilan melalui suatu penetapan. Ketentuan persyaratan tersebut dapat dilihat langsung pada Pasal 62 ayat (2) UU PTUN yang menjelaskan bahwa:

  • a.    Pokok gugatan yang diajukan tersebut diluar kewenangan dari pengadilan tata usaha negara untuk menyelesaikannya. Maksud dari pokok gugatan tersebut adalah fakta yang menjadi dasar dirumuskan suatu gugatan dan karena adanya pokok gugatan itulah mengajukan tuntutan;

  • b.    Penggugat tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada Pasal 56 UU PTUN bahkan sampai sudah diingatkan dan diperingatkan;

  • c.    Dasar gugatan tersebut tidak berdasarkan atas alasan yang layak untuk diterima;

  • d.    Poin yang menjadi tuntutan dalam gugatan tersebut sudah diakomodir dalam Keputusan TUN; dan

  • e.    Waktu pengajuan gugatan sudah melewati atau belum waktunya.

Perlu diketahui, bahwa dalam UU PTUN sejatinya tidak mengakomodir secara lebih mendetail tentang bagaimanakah tahapan atau mekanisme dari pelaksanaan prosedur dismissal ini. Karena terdapat kekosongan hukum disana, Mahkamah Agung kemudian membuat Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1991 (selanjutnya disebut dengan SEMA No. 2 Tahun 1991). SEMA tersebut memuat perihal petunjuk pelaksanaan beberapa ketentuan yang tercantum dalam UU PTUN, termasuk mengenai prosedur dismissal didalamnya. Pengaturan dalam SEMA tersebut menjelaskan sebagai berikut:

  • a.    “Ketua pengadilan melaksanakan prosedur dismissal dan dapat didampingi oleh seorang Hakim yang nantinya berperan sebagai raportir;

  • b.    Prosedur dismissal ini dilaksanakan melalui rapat permusyawaratan atau bisa dilaksanakan secara singkat;

  • c.    Apabila dianggap perlu, ketua pengadilan dapat memanggil dan mendengarkan apa yang diterangkan oleh para pihak sebelum nantinya menetapkan penetapan dismissal tersebut;

  • d.    Gugatan yang dinyatakan tidak dapat diterima merupakan isi dari penetapan dismissal tersebut, dan ditandatangani oleh ketua pengadilan dan panitera kepala atau wakilnya. Dalam hal ketua pengadilan berhalangan hadir dalam penandatanganan tersebut, dapat diwakilkan oleh wakil ketua pengadilan yang bersangkutan;

  • e.    Penetapan Dismissal diucapkan dalam rapat permusyawaratan sebelum hari persidangan ditentukan, dengan memanggil kedua belah pihak untuk mendengarkan.

  • f.    Dapat diberlakukan dismissal parsial jika ada petitum yang secara nyata tidak dapat dikabulkan (hanya pada petitum yang tidak dapat dikabulkan saja);

  • g.    Ketentuan perlawanan juga berlaku terhadap adanya dismissal parsial tersebut;

  • h.    Ketentuan dalam pasal 62 hendakya tidak terlalu mudah untuk digunakan oleh Ketua pengadilan dalam hal nantinya prosedur dismissal ini diberlakukan terhadap sautu gugatan, kecuali terhadap ketentuan dalam Pasa 62 ayat (1) huruf a dan e.”9

Tidak hanya itu, pada tahapan prosedur dismissal ini juga mengenal adanya perlawanan. Perlawanan terhadap penetapan dismissal ini diberlakukan kepada penggugat yang merasa gugatan yang ia ajukan sesuai dengan apa yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan. Sejak penetapan tersebut diucapkan, 14 (empat belas) hari merupakan tenggang waktu yang diberikan untuk mengajukan perlawanan. Perlawanan tersebut kemudian diaplikasikan melalui surat gugatan yang harus sesuai dengan ketentuan Pasal 56 UU PTUN.10

Pada esensinya substansi atau isi dari perlawanan yang diajukan tersebut menjelaskan bahwa gugatan yang sudah diajukan oleh penggugat itu sudah sejalan dengan fakta hukum yang termuat dalam gugatan, serta tidak mengandung pengecualian sebagaimana termaktub dalam Pasal 62 ayat (1) UU PTUN. Upaya perlawanan ini diberikan bertujuan untuk memberi kesempatan kepada pihak yang mengajukan perlawanan untuk melakukan pengujian ulang terhadap objek sengketanya. Hal tersebut tidak terlepas dari penetapan Ketua Pengadilan yang hanya didasari atas data permulaan dan dinaungi oleh seorang hakim saja (dalam hal ini adalah Ketua Pengadilan TUN setempat). Pada persidangan perlawanan nantinya akan melibatkan 3 (tiga) orang majelis hakim yang dimana pemikiran ketiga hakim tersebut akan dituangkan dalam satu penetapan yang dapat memberikan kepastian hukum yang lebih kuat lagi. Selain itu pula dalam persidangan perlawanan ini mempertimbangkan tidak hanya data-data dari awal saja, namun juga bisa melibatkan penghadiran saksi, bukti yang otentik berupa akta tertulis dan lain sebagainya.11

Upaya perlawanan ini dapat dilihat pada Pasal 63 ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) UU PTUN serta dilaksanakan dengan acara pemeriksaan singkat melalui 2 (dua) surat Ketua Muda Mahkamah Agung dengan masing-masing No. 222/Td/TUN/X/1993 dan 224/Td.TUN/X/1993. “Surat tersebut berisiikan perihal petunjuk pelaksanaan terkait dengan upaya perlawanan, yang pada intinya menjelaskan sebagai berikut:

  • a.    Majelis hakim akan memeriksa isi dari gugatan perlawanan;

  • b.    Gugatan perlawanan yang diperiksa oleh hakim dilakukan tanpa melalui tahapan pemeriksaan persiapan;

  • c.  Pemeriksaan gugatan perlawan dilakukan secara tertutup dan dilanjutkan

dengan pembacaan putusan yang dilakukan dalam persidangan yang terbuka untuk umum;

  • d.    Kedua belah pihak dalam memeriksa gugatan perlawanan tersebut didengarkan secara seimbang dan proporsional;

  • e.    Tidak ada upaya hukum yang tersedia dalam putusan gugatan perlawanan; dan

  • f.    Jika ada para pihak yang mengajukan upaya hukum dalam gugatan perlawanan, maka panitera berkewajiban untuk membuat akta penolakan banding.

Selain itu perlu diperhatikan pula bagaimana tahapan-tahapan dari upaya perlawanan yang terkait dengan prosedur dismissal dalam PTUN. Meskipun sama

seperti sebelumnya, tata cara pemeriksaan terhadap upaya perlawanan ini juga diatur dalam UU PTUN. Dilengkapi kembali oleh Mahkamah Agung melalui Surat Mahkamah Agung RI Nomor 224/Td.TUN/X/1993 dengan perihal yang sama seperti penjelasan terkait dengan upaya perlawanan. Pada surat tersebut menjelaskan tata cara pemeriksaan upaya perlawanan yang diajukan sebagai berikut:

  • a.    Gugatan perlawanan yang dibuat atas penetapan dismissal sebelumnya dalam hal pemeriksaannya tidak perlu dilakukan sampai memeriksa materi gugatannya;

  • b.    Jika perlawanan tersebut dinyatakan benar, baru kemudian dilakukan pemeriksaan terhadap pokok perkaranya, dengan tahapan yang sama seperti sebelumnya;

  • c.    Majelis hakim yang memeriksa pokok perkaranya sama dengan majelis hakim pada saat memeriksa gugatan perlawanan tersebut, dengan penetapan yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan.12

Meskipun upaya perlawanan ini diberlakukan dan ada dasar hukumnya, perlu diketahui bahwa jika menurut pendapat dari majelis hakim saat memeriksa gugatan perlawanan, gugatan tersebut tidak dapat diterima maka secara otomatis gugatan tersebut tidak dapat diajukan upaya hukum.13

  • 3.2.    Urgensi Keberlakukan Tahapan Prosedur Dismissal pada Peradilan Tata Usaha Negara

Kita ketahui bersama bahwa dalam UU PTUN yang merupakan dasar hukum dari pelaksanaan hukum acara TUN mengatur berkaitan dengan prosedur dismissal itu sendiri. Prosedur ini merupakan kekhususan tersendiri dalam praktik beracara dalam peradilan tata usaha negara sekaligus menjadi letak perbedaan dari ketiga peradilan pada umumnya. Adanya prosedur ini merupakan hal yang penting karena tidak semua gugatan yang masuk tersebut dapat diproses, harus ada pemeriksaan terlebih dahulu apakah memang layak untuk diproses kedalam pokok perkara untuk selanjutnya atau bagaimana. Para pihak sendiri dapat berasal dari masyarakat, sedangkan yang digugat sudah barangtentu adalah badan/pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan tersebut. Disamping itu pula tahapan ini membuka peluang terkhusus kepada penggugat untuk memperbaiki gugatannya, yang dituangkan melalui penetapan yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan.

Jika dikaitkan dengan salah satu peraturan perundang-undangan yakni UU Administrasi Pemerintahan khususnya pada pasl 87 mengatur perihal perluasan objek gugatan.14 Dimana dalam peraturan tersebut memperluas obyek KTUN dengan klausula “Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum”. Keberadaan klausula tersebut memberikan pemahaman mengenai eksistensi dari adanya ketentuan dalam Pasal 2 dan Pasal 62 ayat (1) UU PTUN yang masing-masing mengatur prihal pembatasan objek gugatan dalam KTUN dan mengenai prosedur dismissal yang diajukan sebelum atau sudah melewati batas waktunya. Perluasan tersebut memberikan akibat hukum yang berkaitan dengan objek sengketa. Objek sengketa

sebagaimana dimaksud nantinya tidak hanya diartikan sebagai yang sudah menimbulkan akibat hukum secara nyata, namun juga berkaitan dengan keputusan yang dinilai akan berpotensi mengubah status atau hubungan hukum terhadap orang atau badan hukum perdata. Perluasan objek gugatan tersebut juga nantinya dapat membuat para pihak dapat mengajukan gugatannya ke peradilan tata usaha negara.15

Tidak mungkin rasanya pengadilan yang dalam hal ini adalah pengadilan TUN akan secara serta merta meloloskan gugatan yang berpotensi akan menimbulkan akibat hukum tertentu. Pentingnya dilakukan prosedur dismissal jika semua gugatan diloloskan tanpa melalui prosedur ini maka akan memberikan dampak pada objek gugatan yang berpotensi, namun ia tidak mengikat pejabat yang besar kemungkinan akan mengeluarkan keputusan definitif. Bukan hal yang tidak mungkin jika badan/pejabat tata usaha negara tersebut mempunyai kehendak lain dan sangat mungkin pula gugatan tersebut nantinya akan diputus tidak dapat diterima.

Prosedur dismissal ini juga menilai layak atau tidaknya objek sengketa tersebut untuk dilanjutkan kedalam proses persidangan, dan kewenangan tersebut hanya dimiliki oleh Ketua Pengadilan yang sudah dirumuskan dalam Pasal 62 UU PTUN. Berkaitan pula dengan ketentuan Pasal 55 UU PTUN yang merumuskan bahwa gugatan tersebut bisa saja tidak diloloskan karena belum saatnya diajukan atau prematur atau sudah melewati batas waktunya. Tolak ukur untuk menilai suatu gugatan tersebut premature atau tidak sama nilainya dengan penilaian suatu objek sengketa itu berpotensi atau tidak dalam hal nantinya objek sengketa tersebut menimbulkan keputusan yang definitif. Jika dikaitkan kembali dengan UU Administrasi Pemerintahan dan sejalan dengan pembahasan sebelumnya, penting bagi Ketua Pengadilan TUN untuk memilah objek sengketa berdasarkan 2 (dua) ukuran yaitu:

  • a.    Penelaahan tentang upaya administratif yang berdasarkan Pasal 75 s.d. Pasal 78 UU Administrasi Pemerintahan serta PERMA No. 6 Tahun 2018;

  • b.    Penelaahan berkaitan dengan objek sengketa yang berpotensi menimbulkan akibat hukum, berdasarkan ukuran yang belum definitif akan menjadi dasar terbitnya KTUN yng bersifat definitif.

Jadi pemberlakuan prosedur dismissal ini masih harus tetap diberlakukan, mengingat pada pembahasan sebelumnya dalam UU Administrasi Pemerintahan itu memperluas objek gugatan, sehingga bisa dilakukan pemilahan terkait objek yang akan dipersengketakan, apakah itu berkaitan dengan Tata Usaha Negara atau Administrasi Pemerintahan. H.L. Mustafa juga memberikan pandangan bahwa

“Dalam tahap pemeriksaan ini keterlibatan dan peranan dari asas keaktifan hakim sangat diperlukan oleh hakim dalam memeriksa sengketa-sengketa yang diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara”.

Hakim dapat mewujudkan asas keaktifannya sebagai hakim dalam hal untuk memeriksa sengketa yang masuk ke pegnadilan tata usaha negara sebagai akibat dari keputusan yang berpotensi menimbulkan sengketa dan mengganggu kepentingan dari penggugat itu sendiri. Kilas balik kembali kepada makna dari prosedur dismissal itu sendiri yang dimana merupakan pemeriksaan gugatan yang masuk oleh Ketua Pengadilan dan akan dikeluarkan penetapan baik nantinya gugatan tersebut diterima

atau dinyatakan tidak diterima. Tentunya penetapan tersebut akan mengandung alasan-alasan apa saja yang bisa membuat gugatan tersebut dapat atau tidak dapat diterima.16 Tolak ukurnya terletak pada peran dari Ketua Pengadilan sebagai Hakim itu sendiri.

Ada dan dilaksanakannya prosedur dismissal ini juga bertujuan untuk memberikan kemudahan terkait dengan peme riksaan apa yang menjadi pokok sengketa oleh hakim.17 Hal ini diperkuat karena dalam sengketa, yang akan menjadi tergugat sudah barangtentu adalah badan/pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan tersebut. Kiranya disini perlu adanya peran dari hakim melalui pelaksanaan prosedur dismissal ini untuk menyamakan kedudukan dari para pihak. Menyamakan kedudukan tersebut dapat dilakukan dengan cara penyempurnaan gugatan yang disusun oleh pihak penggugat. Memang dalam PERMA yang sudah disebutkan sebelumnya pelaksanaan prosedur dismissal ini tidak diberlakukan karena mengingat jangka waktu putusan yakni 21 (dua puluh satu) hari. Tetapi kiranya tidak bisa dilewatkan begitu saja karena sudah menjadi tahapan dalam praktik beracara pada peradilan TUN, sehingga itulah yang membuat beberapa hakim berpendapat prosedur dismissal ini masih perlu untuk dilaksanakan berdasarkan UU PTUN.

Proses yang dijalankan dalam peradilan manapun termasuk peradilan tata usaha negara hendaknya harus berorientasi pada kepastian hukum. Makna didirikannya peradilan tata usaha negara itu sendiri adalah untuk memberikan ruang bagi siapapun yang ingin mencari keadilan karena merasa dirugikan yang ditimbulkan dari keputusan TUN. Prosedur dismissal ini menjadi pembuka jalan bagi hakim yang dalam hal ini adalah Ketua Pengadilan untuk menentukan keadilan, sehingga keberadaan peradilan tata usaha sebagai salah satu lembaga yang secara tidak langsung memberikan kontrol secara yudisial akan lebih maksimal.18

  • IV.    Kesimpulan sebagai Penutup

    4. Kesimpulan

Prosedur dismissal sendiri dari definisinya tidak dirumuskan secara jelas dalam UU PTUN. Tetapi makna dan istilahnya tercantum secara eksplisit dalam Pasal 62 UU PTUN yang secara singkat menggambarkan prosedur dismissal sebagai tahapan pemeriksaan sebelum dimulainya pemeriksaan pokok perkara. Diterima atau tidaknya suatu gugatan dalam prosedur ini akan dituangkan melalui penetapan yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan. Prosedur ini dalam beberapa kondisi tidak dilaksanakan akibat jangka waktu putusan yang sangat cepat, yakni 21 (dua puluh satu) hari. Terlepas dari itu prosedur dismissal ini penting untuk tetap dilaksanakan, karena gugatan yang masuk dapat diperiksa terlebih dahulu mana yang memang memenuhi kualifikasi dan mana yang tidak. Disamping itu untuk menentukan layak

atau tidaknya, peran hakim melalui asas keaktifannya menjadi hal yang patut diperhatikan kenapa prosedur dismissal ini harus dilaksanakan. Harapan kedepan agar nantinya prosedur dismissal ini masih terus diberlakukan dan berorientasi pada kepastian hukum yang berkeadilan kedepannya.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010) Rozali Abdullah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001).

Suteki, & Taufani, G, Metodologi Penelitian Hukum (Filsafat, Teori, dan Praktik), (Depok: PT. Raja Grafindo Persada 2018).

Budi Sastra Panjaitan, 2016. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Medan: CV. Manhaji

Jurnal

Abdul Jabbar, “Obyektivitas Putusan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Dengan Adanya Tahapan Pemeriksaan Persiapan”, Jurnal Al-Ahwal 6, No. 1, (2014): 83100.

Aschari, M. dan Romana Harjiyanti, Fransisca “Kajian Tentang Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Menyelesaikan Sengketa Keputusan Fiktif Positif”, Jurnal Kajian Hukum 2, No. 1, (2017): 25-57.

Amin Putra, Muhammad, “Keputusan Tata Usaha Negara Yang Berpotensi Menimbulkan Akibat Hukum Sebagai Objek Sengketa Di Pengadilan Tata Usaha Negara”, Jurnal Hukum Peratun 3, No. 1, (2020): 1-18.

Claudia Rengkung, Jenifer, “Peranan Penggugat Dan Tergugat Pada Pemeriksaan Dismissal Dalam Hukum Acara Di PTUN”, Jurnal Lex Administratium 9, No. 8, (2021): 36-45.

Dola Riza, “Hakikat KTUN Menurut Undang-Undang Peradlan Tata Usaha Negara Vs Undang- Undang Administrasi Pemerintahan”, SOUMATERA LAW REVIEW 6, No. 2, (2019): 207-220.

Kuntara Sidi, I Gede, Ngurah Yusa Darmadi, Anak Agung, “Eksistensi Menggugat Prosedur Dismissal Pada Peradilan Tata Usaha Negara”, Jurnal Kertha Negara 2, No. 5, (2014): 1-6.

Ristandi Pradana, I Putu, Marwanto “Pelaksanaan Rapat Permusyawaratan Dalam Peradilan Tata Usaha Negara”, Jurnal Kertha Negara 1, No. 1, (2013): 1-5.

R. Pattipawae, Dezonda, “Fungsi Pemeriksaan Dismissal Dalam Peradilan Tata Usaha Negara”, Jurnal Sasi 20. No. 1, (2015): 37-55.

Ratna Surya Pratiwi, Putu, Cakabawa Landra, Putu Tuni, “Pelaksanaan Pemeriksaan Persiapan Dalam Peradilan Tata Usaha Negara”, Jurnal Kertha Semaya 5, No. 2, (2016): 1-5.

Tias Sandya Dianti, Anak Agung, Laksmi Dewi, Anak Agung, dan Sugiartha, I Nyoman, “Upaya Perlawanan Sebagai Akibat Pernyataan Dismissal Oleh Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara”, Jurnal Konstruksi Hukum 1, No. 2, (2020): 260265.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4380).

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358).

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,

(Lembaran Negara Republic Indonesia Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republic Indonesia Nomor 5601).

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 1991 tentang Petunjuk Pelaksanaan Beberapa Ketentuan Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Jurnal Kertha Wicara Vol 12 No 05 Tahun 2023, hlm. 238-248