TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2022 DALAM PERSPEKTIF RESTORATIVE JUSTICE
on
TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2022 DALAM PERSPEKTIF RESTORATIVE JUSTICE
Ni Kadek Masri Swandari, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : [email protected]
Diah Ratna Sari Hariyanto, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
DOI: KW.2022.v11.i11.p7
ABSTRAK
Tujuan ditulisnya penelitian ini untuk mengetahui bentuk penyelesaian perkara Kekerasan Seksual setelah lahirnya UU No. 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang kemudian akan dikaitkan dengan dengan pendekatan restorative justice. Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian penelitian hukum normatif yaitu menggali menggunakan pendekatan berdasarkan undang-undang. Didasarkan pada hasil penelitian didapatkan bahwa UU No. 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak mencerminkan adanya kebijakan restorative justice sebagai penyelesaian perkara dengan pengecualian pada pelaku anak. Namun penyelesaian perkara dengan restorative justice memiliki potensi untuk diberlakukan pada kekerasan seksual dimasa mendatang. Dengan beberapa cacatan dalam pelaksanaannya, yaitu harus diikuti dengan persiapan yang matang dari segi peraturan pelaksanaan yang lebih menintik beratkan pada, pemulihan bukan penghentian perkara, persetujuan/kesiapan korban dan pengawasan berlanjut setelah keputusan dihasilkan. Hal tersebut kemudian harus diikuti dengan peningkatan mutu aparat penegak hukum yang menjadi mediator antara korban dan pelaku . Sehingga nantinya selain akan berdampak pada pemulihan psikis korban juga adanya kemungkinan pelaku menyelesai perbuatannya dan tidak menggulangi kejahatannya kembali.
Kata kunci:, Restorative Justice, Kekerasan Seksual, Korban
ABSTRACT
The purpose of writing this research is to find out the form of settlement of cases of sexual violence after the enactment of Law no. 12 of 2022 concerning Crimes of Sexual Violence which will then be linked to a restorative justice approach. In this study, normative legal research research methods were used, namely exploring using an approach based on the law. Based on the research results, it was found that Law Number 12 of 2022 concerning Crimes of Sexual Violence does not reflect the existence of a restorative justice policy as a settlement of cases with the exception of child offenders. However, resolving cases with restorative justice has the potential to be applied to sexual violence in the future. With several defects in its implementation, which must be followed by careful preparation in terms of implementing regulations that focus more on recovery rather than termination of cases, approval/readiness of the victim and continuing supervision after a decision is made. This should then be followed by improving the quality of law enforcement officials who become mediators between victims and perpetrators. So that in addition to having an impact on the psychological recovery of the victim, there is also the possibility that the perpetrator will finish his actions and not repeat his crime again.
Keywords:, Restorative Justice, Sexual Violence, Victim
Kekerasan seksual adalah salah satu bentuk penyimpangan praktik seks yang ada di masyarakat. Kekerasan tersebut diartikan dalam melakukan hubungan seksual disertai kekerasan bahkan memaksa, sehingga bertentangan dengan hukum yang berlaku dimasyarakat atau yang biasa disebut norma. Salah satu kekerasan seksual yang kerap ditemui adalah pelecehan seksual. Pelecehan dilakukan bersifat seksual dari sentuhan maupun perkataan kepada orang lain namun hal tersebut tidak diterima sehingga menyebabkan terganggunya pribadi yang menerima pelecehan adalah makna dari pelecehan seksual. Selain pelecehan banyak sekali kasus mengenai kekerasan seksual yang terjadi di tengah masyarakat, yang tidak jarang korbannya dari usia belia hingga usia renta/orang tua sekalipun.
Atas kondisi kasus kekerasan seksual yang kian menuai problematic dilapangan mulailah terbentuk suatu peraturan yang khusus mengatur mengenai kekerasan seksual. Dengan diresmikannya Mei tahun 2022 Undang-Undang Kekerasan Seksual. Dalam UU No. 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang kemudian lebih dikenal dengan UU TPKS ini adalah payung hukum atas penyelesaian kasus Kekerasan Seksual yang marak terjadi. UU TPKS lahir karena atas dasar belum adanya optimalisasi peraturan perundang-undangan yang dapat mencegah kekerasan seksual, perlindungan, keadilan yang sesuai dan pemulihan bagi korban, kebutuhan hak korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang belum terpenuhi, serta hukum acara Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang belum komprehensif diatur dalam peraturan lainnya.
Pentingnya penangangan kasus kekerasan sesksual setelah dilahirkannya UUTPKS ini terlihat dari pengaturan Pasal 23 yang menyatakan “ Perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku Anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.” Atas pengaturan tersebut perlu dilihat bahwasanya jika dikaitkan dengan penyelesaian perkara yang saat ini dianjurkan yaitu dengan model pendekatan Restorative Justice, Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam UUTPKS tersebut tidak dapat ditanggani dengan metode Restorative Justice. Namun ketika dilihat lagi fokus keadilan restorative justice adalah salah satu upaya untuk mengurangi jumlah narapidana, dengan penyelesaiannya meningkatkan pola hubungan baik dalam masyarakat. Dengan restorative justice pemidanaan dapat dilakukan menjadi proses yang keterlibatan para pihak yang terlibat (pelaku, korban, keluarga pelaku dan keluarga korban) dan di pihak luar yang masih memiliki keterkaitan di dalamnya. Sehingga dihasilkan suatu kesepakatan yang seadil-adilnya oleh para pihak terutama pihak korban. Kemudian perlu dilihat kembali apakah tujuan adanya penyelesaian menggunakan pendekatan restorative justice ini akan menghasilkan sebuah penyelesaian perkara pidana yang mencapai keadilan untuk korban maupun pelaku dengan pemulihan pada keadaan semula serta kembalinya pola hubungan baik di masyarakat atau malah akan menimbulkan trauma bagi korban yang dimana nantinya akan dipertemukan dengan pelaku. Sehingga atas permasalahan tersebut perlu pembahasan lebih lanjut mengenai urgensi restorative justice jika digunakan dalam menyelesaikan Tindak Pidana Kekerarasan Seksual yang akan tertuang dalam tulisan ini.
Tinjuan yang sejenis dengan studi ini diantaranya karya Zachra Wadjo dan Judy Marria Saimima dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Seksual dalam Rangka Mewujudkan Keadilan Restoratif”.1 Adapun jurnal lainnya karya Asit Defi Indriyani dengan judul “Pendekatan Restorative Justice dalam Melindungi Korban Kekerasan Seksual”.2
Berdasarkan atas uraian tersebut terdapat beberapa persoalan yang akan diulas lebih lanjut dengan rumusan masalah sebagai berikut :
-
1. Bagaimana Pengaturan Tindak Pidana Kekerasan Seksual berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual ?
-
2. Bagaimana penyelesaian perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual dimasa yang akan datang jika dikaitkan dengan pendekatan Restorative Justice ?
Berdasarkan atas permasalahan yang diangakat terdapat tujuan dari penulisan ini adalah sebagai bentuk pemahaman akan UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang baru disahkan sebagai payung hukum dari maraknya jumlah kasus kekerasan seksual. Hal lain yaitu mengetahui potensi keberlakuan kebijakan restorative justice sebagai penyelesain perkara Kekerasan Seksual menurut UU TPKS dimasa mendatang.
Tulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yaitu dengan menggali menggunakan pendekatan berdasarkan undang-undang. Adapun sumber-sumber hukum yang dijadikan landasan dalam penelitian ini, diselesaikan atas analisis secara menyeluruh terhadap peraturan yang mengatur mengenai kekerasan seksual di Indonesia yang baru diresmikan. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam judul-judul tersebut, penulis melakukan studi dokumen atau kepustakaan untuk kemudian dikumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan dari berbagai sumber, termasuk undang-undang, keputusan pengadilan, artikel ilmiah, dan buku-buku. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah berdasar pada teknik kualitatif, dengan dilakukannya observasi terhadap beberapa kajian dan bacaan yang telah ada kemudian dikaitkan dengan peraturan serta teori-teori yang berkembang saat ini.
-
III. Hasil dan Pembahasan
-
3.1. Pengaturan Tindak Pidana Kekerasan Seksual Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual
-
Salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang merusak martabat kemanusiaan, serta adanya segregasi merupakan kejahatan yang tergolong kekerasan seksual dijelaskan dalam penjelasan UU TPKS. Kemudian hal yang sama diperjelas
kembali pada Pasal 1 angka 1 UU No 12 Tahun 2022 yang selanjutnya disebut dengan UU TPKS, “Tindak Pidana Kekerasan Seksual adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan perbuatan kekerasan seksual lainnya sebagaimana diatur dalam Undang- Undang sepanjang tidak ditentukan dalam Undang- Undang ini.” Setelah UU TPKS diterbitkan, di jelaskan pada Pasal 4 ayat (1) yaitu :
“(1) Tindak Pidana Kekerasan Seksual terdiri atas: a. pelecehan seksual nonfisik; b.pelecehan seksual fisik; c.pemaksaan kontrasepsi; d. pemaksaan sterilisasi; e. pemaksaan perkawinan; f. penyiksaan seksual;g. eksploitasi seksual; h. perbudakan seksual; dan i. kekerasan seksual berbasis elektronik”.
Terdapat pula perbuatan yang bisa digolongkan kekerasan seksual dalam UU TPKS yaitu pada Pasal 4 ayat (2) sebagai berikut:
“(2) Selain Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga meliputi:
-
a) perkosaan;
-
b) perbuatan cabul;
-
c) persetubuhan terhadap Anak, perbuatan cabul terhadap Anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap Anak;
-
d) perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban;
-
e) pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual;
-
f) pemaksaan pelacuran;
-
g) tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual;
-
h) kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga;
-
i) tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan Tindak Pidana Kekerasan Seksual; dan
-
j) tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana diatur dalam ketentuanperaturan perundang-undangan”.
Dibandingkan dengan KUHP tentunya kekerasan seksual yang dijelaskan dalam UU TPKS tentunya lebih banyak jenis dan bervariasi sehingga harapannya lebih banyak pula korban yang dapat terlindungi dengan adanya UU TPKS. Sedangkan untuk peraturan pidananya diatur lebih lanjut dalam UU TPKS yaitu dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 14 ayat (2), Pasal 15 ayat (1), Pasal 18, dan Pasal 19.
Dalam UU TPKS ini pula diatur dengan jelas bagaimana polisi dalam melakukan penyidikan dan penyelidikan saat meminta keterangan oleh korban. Hal tersebut diatur dalam Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54 dan Pasal 55 tentang Penyidikan. Selain itu tentang penuntutan terdapat dalam Pasal 57 UU TPKS yaitu :
-
“ (1) Dalam menguraikan fakta dan perbuatan yang terkait dengan seksualitas, penuntut umum sedapat mungkin menghindari uraian yang terlalu detail, vulgar, dan berlebihan dalam surat dakwaan dengan tetap memperhatikan uraian secara cermat, jelas, dan lengkap.
-
(2 ) Penghindaran uraian yang terlalu detail, vulgar, dan berlebihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk penghormatan terhadap hak asasi manusia, martabat, dan privasi Korban serta mencegah reviktimisasi terhadap Korban.
-
(3 ) Penguraian fakta dan perbuatan yang terlalu detail, vulgar, dan berlebihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan sepanjang diperlukan untuk mendukung pembuktian unsur pasal dan/atau tindak pidana, termasuk pertanggungjawaban pidananya serta kesalahan pelaku.
-
(4 ) Dalam perkara tindak pidana terhadap Korban yang dieksploitasi dan mengalami kekerasan seksual melalui media elektronik atau yang terkait dengan seksualitas, penuntut umum menghindari pencantuman atau penyalinrekatan gambar, ilustrasi, dan/atau foto Korban atau yang memuat data Korban atau yang menunjukkan organ reproduksi, aktifitas, dan/atau objek seksual dalam surat dakwaan.
-
(5 ) Penghindaran pencantuman atau penyalinrekatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bertujuan sebagai upaya Pelindungan dan jaminan keamanan serta penghormatan peradilan terhadap martabat dan privasi Korban.”
Dalam proses pemeriksaan pengadilan yang diatur oleh UU TPKS sangat memperlihatkan bahwasanya penting menjaga kondisi mental atau psikis korban dalam proses penyelesaian perkara tindak pidana kekerasan seksual. Sejalan dengan bunyi dari Pasal 23 UU TPKS yang menyatakan bahwa “Perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku Anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang”. Sehingga atas hal tersebut menurut penulis, UU TPKS dalam penyelesaian perkara tidak dapat dilakukan dengan sistem peradilan alternatif lainnya diluar proses beracara di pengadilan. Oleh karenanya dalam UU TPKS sangat jelas bahwa menerangkan metode pendekatan penyelesaian perkara restorative justice tidak bisa diterapkan pada penyelesaian perkara kekerasan seksual kecuali jika pelaku kekerasan seksual tersebut adalah anak-anak dibawah umur atau belum cakap dalam hukum.
Penerapan penyelesaian perkara menggunakan metode restorative justice sebenarnya memiliki banyak keuntungan dan manfaat untuk menyelesaikan perkara. Namun tidak semua perkara dapat diterapkan metode penyelesaian restorative justice, seperti halnya pada perkara kekerasan seksual yang telah diatur dalam Pasal 23 UUTPKS tersebut. Salah satu alasan mengapa penerapan restorative justice di Indonesia kurang mencerminkan hukum yang adil bagi korban kekerasan seksual adalah, dalam praktik di lapangan seringkali digunakan sebagai alternatif penghentian perkara, sehingga kurang bisa melindungi hak-hak korban dan pemulihan korban kekerasan seksual. Akan tetapi restorative justice dimasa yang mendatang perlu ditinjau lagi untuk diterapkan dalam kasus kekerasan seksual. Dengan pertimbangan konsep ataupun metode restorative justice yang lebih menguatkan pemulihan kepetingan korban dan bahkan dapat memulihkan psikis pelaku agar tidak mengulangi hal yang sama.
-
3.2. Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual Dengan Pendekatan Restorative Justice Dimasa Yang Akan Datang
Lahirnya UUTPKS merupakan salah satu upaya menciptakan peraturan yang lebih optimal untuk menanggani kekerasan seksual. Terdapat enam elemen kunci dalam UU TPKS menurut Komnas Perempuan, yakni: a) apa yang dianggap sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau definisi; b) sanksi dan Tindakan atas kekerasan seksual tersebut; c) hukum acara tindak pidana kekerasan seksual dari pelaporan sampai dengan pelaksanaan putusan yang diatur secara rinci; d) pemenuhan atas perlindungan, hak-hak korban serta pemulihan keadaan; e) mencegah terjadinya
tindakan kekerasan seksual, dan f) koordinasi serta pemantauan, dan termasuk pula peran lingkungan (keluarga dan masyarakat) dalam mencegah dan menanggani kekerasan seksual.3
Atas elemen tersebut bisa dilihat pemerintah berupaya memperberat sanksi serta memperlihatkan keseriusan menanggani kasus Kekerasan Seksual di Indonesia. Berdasarkan pendataan 10 tahun belakangan ini terdapat laporan kasus kekerasan seksual sebanyak 49.762. Per tahun 2022 sendiri terdapat kualifikasi kasus yang masuk dan diajukan ke Komnas Perempuan. Adapun kualifikasi tersebut seperti kekerasan berbasis gender terhadap perempuan 3.014 kasus (Catatan Tahunan Komnas Perempuan pada tahun 2012 – 2021). Jumlahnya pun disinyalir akan terus bertambah, mengingat makin banyaknya orang yang berani untuk melakukan pengaduan di zaman emansipasi Wanita seperti ini apalagi didukung dengan kemajuan media sosial. Sehingga kemungkinan akan ada banyak kasus-kasus yang masuk untuk diselesaikan.
Dalam upaya menengakan hukum yang adil dalam UU TPKS sendiri terkhusus dalam Pasal 23 sangat dengan jelas melarang penggunaan restorative justice dalam menyelesaikan perkara kekerasan seksual. Restorative justice sendiri dijelaskan sebagai suatu prinsip dalam menegakkan hukum dengan menyelesaikan perkara yang disebut sebagai instrument pemulihan dan saat ini sudah dilaksanakan dalam bentuk pemberlakuan kebijakan oleh Mahkamah Agung tertuang dalam Peraturan Mahkamah Agung dan Surat Edaran Mahkamah Agung).4 Dasar-dasar diterapkannya restorative justice adalah “pemulihan bagi korban” dengan demikian harus dijadikan landasan etika digunakan. Pemulihan tersebut dapat dilakukan dengan diberikannya ganti rugi kepada korban, ataupun melakukan suatu mediasi perdamaian antara korban dengan pelaku, ataupun kesepakatan-kesepakatan lainnya seperti pelaku melakukan kerja sosial. Dalam menerapkan restorative justice yang paling utama diperhatikan adalah ketidak berpihakan, ketimpangan etika ditemui ketidak setaraan antara pelaku dan korban serta perhatian atas keseimbagan aspek- aspek lainnya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kesempatan pelaku untuk terlibat dalam pemulihan keadaan (restorasi), serta peran masyarakat untuk melestarikan perdamaian, dan peran pengadilan menjaga ketertiban umum.5 Sehingga kemudian jika dilihat restorative justice sendiri sama-sama mengakomodir pemulihan bagi korban. Atas hal tersebut kemudian pelarangan penggunanaan restorative justice ini dilandasi oleh restorative justice yang telah berlaku kurang bisa menemukan keadilan bagi korban dan banyaknya kasus yang menggunakan kuasa untuk penyelesainnya sehingga akan menyebabkan kurangnya keadilan bagi korban dan justru menimbulkan perkara yang berulang.
Banyak yang menganggap bahwa penyelesain perkara dengan metode restorative justice akan memimbulkan kerugian psikis bagi korban. Namun dalam hal ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan apakah kemudian restorative justice layak atau tidak untuk menyelesaikan perkara kekerasan seksual. Menurut Natalia Widiasih ada potensi bisa digunakannya penyelesaian perkara menggunakan metode restorative
justice, “restorative justice dapat dijalankan apabila pendekatan yang dilakukan berorientasi pada pemulihan kerugian yang disebabkan oleh kejahatan konflik dan pelanggaran lainnya dengan partisipasi korban”.6 Penerapan restorative justice sendiri jika ditinjau kembali, sebenarnya hadir sebagai upaya perbaikan sistem hukum pidana yang ada di Indonesia. Mengingat di Indonesia yang sering mengalami problem lapas dan rutan yang terus mengalami overcapacity. Apalagi terdapat regulasi pendukung penerapan keadilan restorative justice seperti pidana bersyarat dengan masa percobaan (Pasal 14a dan 14c KUHP); Diversi dalam perkara anak (UU No. 11 Tahun 2021 tentang SPPA). Pada kasus kekerasan seksual sendiri, restorative justice sebenarnya masih bisa dipertimbangakan di masa mendatang sebagai alternatif penyelesaian perkara yang lebih efektif sehingga tidak terkesan berlarut-larut karena banyakan kasus yang masuk ke pengadilan dan tentunya sesuai dengan asas trilogi peradilan (sederhana, cepat dan biaya ringan). Hal lainnya didukung beberapa kelemahan yang dimiliki pengadilan litigasi menurut Natalia Widiasih Raharjanti antara lain7 :
-
a. Interaksi dengan personil polisi dan penegak hukum membangkit rasa trauma berulang;
-
b. Rendahnya vonis bersalah dalam kasus pemerkosaan (995 dari 1.000 orang yang dituduh melakukan pemerkosaan divonis tidak bersalah);
-
c. Merasakan proses memperoleh keadilan melalui sistem hukum pidana sangat menyakitkan dengan harus mengulang cerita kejadian di hadapan banyak orang, dan dipertanyakan kredibilitasnya;
-
d. Keinginan mencapai titik temu dengan pelaku terkadang tidak tercapai dengan prosedur pidana;
Atas kelemahan tersebut, kemungkinan dimasa yang akan datang penerapan penyelesaian keadilan restorative justice perlu dipertimbangkan untuk menyelesaikan kekerasan seksual. Hal yang mendukung penerapan restorative justice yaitu berkaitan dengan prinsip peneraparan restorative justice yang dikemukan oleh Komariah E. Sapardjaja yaitu8:
-
1. Encounter diartkan sebagai pertemuan satu sama lain antar pihak. Dengan diciptakannya kesempatan untuk terlibatnya para pihak dan disertai dengan niat untuk dilakukannya pertemuan yang membahas permasalahan dan pasca terjadi kejadian, partisipasi korban, pelaku & pihak lain dilakukan untuk secara sukarela datang bersama dengan bantuan fasilitator. Pertemuan dapat dilakukan secara tatap muka (setelah proses persiapan matang) atau video call/surat/dengan
perantara. pertemuan ini pun dilakukan atas persetujuan dari korban;
-
2. Amends sebagai tindakan pelaku yang memiliki kesadaran untuk
menyikapi permasalah dengan diambilnya langkah-langkah perbaikan atau pemulihan atas keadaan berbeda bahkan menimbulkan kerugian sebagai akibat dari perbuatanya;
-
3. Reintegration yaitu penyelesaian dengan menemukan cara pemulihan para pihak secara keseluruhan sehingga kembalinya kepada keadaan semula
dengan melibatkan kontribusi masyarakat. Dengan itu korban sendiri mendapatkan pemulihan yang tepat untuk dirinya dan memulai kehidupan seperti sebelumnya;
-
4. Inclusion atau membuka kesempatan berpartisipasi dalam penanganan kepada semua pohak yang terkait.
Atas pendapat tersebut, restorative justice sendiri dapat dilakukan dengan menitikberatkan pada keinginan atau kesiapan dari korban, serta kemampuan si pelaku untuk dimintakan pertanggungjawaban atau dalam hal ini bisa dikatakan pelaku sudah mau mengakui kesalahannya. Sehingga penting dikatakan bagaimana meminta pertangungjawaban pelaku namun tetap memperhatikan kepentingan perlindungan korban.9 Sejalan dengan hal itu Rufinus Hotmaulana Hutamaruk10 menyatakan terdapat beberapa prinsip yang melekat dalam restorative justice tersebut antara lain :
-
a. Prinsip Due Process atau penyelesaian yang adil, sebagai prinsip bahwa proses peradilan restorative justice harus dianggap sebagai perlindungan sehingga terdapat keseimbangan kekuasaan negara untuk menahan menuntut dan melaksanakan hukuman dari hasil keputusan atas hukuman tersebut. Gagasan prinsip ini adalah pencerminan presumption of innocence atau praduga tidak bersalah, fair trial atau hak memperoleh peradilan yang adil serta hak mendapatkan penasihat hukum.
-
b. Prinsip Perlindungan yang setara dikaitkan dengan restorative justice yaitu harus ada proses pemahaman akan makna dan tujuan keadilan itu, tanpa memandang suku, jenis kelamin, agama, bangsa , ras dan kedudukan golongan sehingga antara pelaku dan korban sama-sama bisa menyatakan keadilan apa yang sebenarnya dituntut. Dalam restorative justice diperlukan seorang mediator yang dapat berperilaku adil dan netral. Sehingga tidak terdapat keraguan mengenai “keadilan” diantara para partisipan. Bilamana mungkin antar para pihak memiliki ketidaksetaraan (ekonomi, intelektual, politik atau bahkan fisik).
-
c. Prinsip Perlindungan Hak-Hak Korban, sebagai suatu bentuk keharusan dalam restorative justice korban sebagai pihak yang berkepentingan harus diperhatikan hak-haknya sehingga korban dalam hal ini memiliki kedudukan hukum.
-
d. Prinsip Proporsionalitas adalah suatu prinsip adanya kesamaan sanksi-sanksi yang dikenakan kepada pelanggar.
-
e. Prinsip Praduga Tidak Bersalah, dikaitan dengan restoratif yaitu dikarenakan pengakuan bersalah merupakan syarat utama dalam perkara yang kemudian akan dilanjutkan ke lingkaran penyelesaian. Dalam restorative justice tersangka mempunyai hak untuk mengkompromikan dengan cara, yaitu dilakukan dengan terminasi proses restorasi dan penolakan atas pernyataan bahwa ia bersalah. Setelah itu terdakwa boleh membuktikan kembali di pengadilan / pengajuan banding sehingga nantinya kesepakatan yang dihasilkan saat
proses restorative justice tidak mempunyai kekuatan hukum untuk mengikatkan dirinya.
-
f. Hak bantuan konsultasi atau hak atas bantuan penasihat hukum, merupakan suatu prinsip terakhir yang terkandung dalam proses restorative justice dengan menggunakan advokat/pengacara. Dalam semua tahap restorative juctice, terdakwa dapat diberikan informasi melaui penasihat hukum mengenai hak dan kewajibannya yang dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam membuat keputusan.
Dari penjelasan tersebut sebenarnya restorative justice dalam menyelesaikan permasalahan tidak seburuk yang terjadi di lapangan. Pada prinsipnya sendiri sangat memperhatikan kepentingan perlindungan hak-hak korban seperti ketika tidak ada kepuasan mengenai hasil restorative justice yang telah dilakukan pihak korban, selanjutnya korban sendiri boleh menempuh jalur peradilan. Selain itu pelaku juga bisa mendapatkan rehabilitasi ataupun penilaian lebih lanjut mengenai psikisnya yang bisa dikatakan menyimpang. Yang paling penting disini adalah mengenai restorative justice yang didukung dengan teori reintegrative shaming yaitu harus adanya suatu pencelaan sehingga menimbulkan rasa malu karena sudah melakukan tidakan tercela.11 Selain itu penting kemudian dalam penerapan restorative justice menekan atau meminilisir ketimpangan kuasa antara korban dengan pelaku. Hal ini lah yang menjadi prolem utama ketidakefektifan restorative justice di Indonesia. Sehingga dapat dinilai keberlakuan restorative juctice dalam menyelesaikan tindak pidana kekerasan seksual sendiri dapat digunakan asalkan memperhatikan beberapa hal berikut ini :12
-
a) Penilaian peserta adalah peniaian mengenai kesesuaian dan kelayakan dilaksanakannya restorative justice. Terutama dilihat dari korban yang dirugikan. Penilaian bisa didasarkan atas psikologi korban apakah masih layak melaksanakan prosedur restorative justice dalam penyelesaian perkaranya;
-
b) Penilaian resiko yang akan ditimbulkan jika diterapkannya keadilan restorative justice. Resika dapat dilihat berdasarkan analisis jenis kekerasan seksual, latar belakang korban dan pelaku serta dampak yang ditimbulkan terhadap korban kekerasan seksual tersebut terjadi;
-
c) Persiapan menyeluruh serta kerjasama antara lembaga yang menanggani kasus kekerasan seksual;
-
d) Fleksibilitas dan alokasi waktu yang cukup, mengingat pentingnya memahami psikologis korban sehingga pelaksanaannya mengikuti kesiapan korban;
-
e) Mediator/fasilitator terlatih dan memiliki pengetahuan tentang dinamika kontrol dalam kekerasan seksual dan efek trauma serta pelatihan khusus yang memfasilitasi keadilan restoratif pada kasus kompleks;
-
f) Prosedur berjalan secara aman dan kompeten;
-
g) Partisipasi sukarela dan kerahasiaan proses;
-
h) Perlindungan dan supervisi memastikan korban tidak jadi korban kembali akibat dari proses restorative justice serta pelaku melaksanakan program rehabilitasi/korektif untuk mencegah tindak berulang;
Dengan beberapa perhatian tersebut kemudian ketika restorative justice ini kemudian diberlakukan kembali pada kekerasan seksual di Indonesia, hal yang
pertama harus dibenahi adalah pembentukan pengaturan yang lebih matang mengenai konsep restorative justice di Indonesia baik dalam pemberlakuan pada sistem pemidanaan ataupun pada persiapan aparat penengak hukum yang akan terlibat langsung dengan korban dan pelaku. Pentingnya dibentuk peraturan pemberlakuan restorative justice agar nantinya dalam menerapkan restorative justice tidak kebinggungan atau kurangnnya harmonisasi antara peraturan yang berlaku dengan peraturan/sistem pidana lain yang terkait sehingga terjadi ketidakskinkronan antara peraturan dan praktek di lapangan. Sehingga tidak ada lagi statement yang menyatakan bahwa penerapan keadilan restorative justice adalah penghentian perkara padahal jika dilihat kembali restorative justice sebagai pelengkap sistem peradilan pidana dan tidak harus menghapuskan pemidanaan.13 Selanjutnya dalam penerapan restorative justice yang menjadi fokus utama kepada pemulihan korban kekerasan seksual serta ganti kerugian yang sebanding atas tindakan yang telah dilakukan pelaku kekerasan seksual tersebut menjadi hal yang sangat dipenting untuk ditegakkan. Dalam hal ini diartikan dalam melakukan prosedur restorative justice yang pertama dilakukan adalah kesiapan dan persetujuan korban serta adanya fasilitator yang terlatih dalam proses restorative justice. Setelah itu pula perlu di perhatikan kembali mengenai pengawasan selepas adanya keputusan pada restorative justice. Dalam hal ini rehabilitasi harus dilakukan oleh kedua pihak yaitu korban dan pelaku. Hal ini sebagai bentuk pengembaliaan keadaan bagi korban agar tidak adanya trauma dan tentunya pelaku agar tidak melakukan perbuatan yang sama berulang kali. Sehingga masih ada potensi metode penyelesaian restorative justice memiliki potensi digunakan, selain pengecualian pada pelaku anak dalam Pasal 23 UUTPKS dimasa mendatang akan tetapi dengan catatan perbaikan pada sistem restorative justice di Inonesia.
Atas pembahasan yang telah dijelaskan sebelumnya dapat dibuat kesimpulan bahwa undang-undang tindak pidana kekerasan seksual mejadi peraturan mengenai kasus kekerasan seksual yang marak terjadi di Indonesia. UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual memberikan penjelasan yang lebih kompleks mengenai kekerasan seksual dan penangganan terhadap korban dan pelaku serta aturan kompleks mengenai pemeriksaan terhadap korban oleh apatur negara dalam melakukan penyidikan. Pada UUTPKS tersebut dalam salah satu pasalnya melarang adanya penerapan metode penyelesaian restorative justice, terkecuali pada pelaku anak. Namun penerapan restorative justice dalam penyelesaian tindak pidana kekerasan seksual memiliki potensi untuk digunakan dalam memerangi kasus kekerasan seksual dimasa mendatang. Mengingat restorative juctice diperlukan sebagai salah satu bentuk peradilan yang lebih cepat dan sederhana yang dilakukan dengan tetap pula mengingat pentingnya melindungi psikis korban selepas mengalami kekerasan seksual. Sebelum menerapkan restorative justice di kemudian hari, perlu adanya penyesuaian-penyesuaian terlebih dahulu dengan prinsip serta konsep yang memperhatikan sistem restorative justice yang cocok pada kekerasan seksual. Hal
tersebut dengan mempersiapkan peraturan pelaksana restorative justice yang lebih tepat dengan menjunjung tinggi keadilan dan pemulihan serta menekan adanya ketimpangan kuasa antara pelaku dan korban, sehingga selain menghukum pelaku kekerasan seksual, juga dapat memerangi kasus kekerasan seksual yang terjadi. Dengan pembentukan peraturan sebagai landasan pemberlakukan restorative justice tersebut diimbangi dengan peningkatan mutu aparatur penegak hukum yang menjadi perantara antara korban dan pelaku sehingga nantinya korban merasa aman dan hak-haknya dijunjung tinggi. Sehingga dimasa mendatang dengan kembali diterapkan restorative justice pada kekerasan seksual, menjadi bentuk sistem pidana Indonesia yang lebih berkembang dan tentunya dapat merealisasikan salah satu pemenuhan trilogi peradilan di Indonesia tanpa menggores hak-hak korban kekerasan seksual.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Huraerah Abu, 2006, Kekerasan Terhadap Anak, Cetakan I, Penerbit Nuansa. Bandung, J Syaiful Tency, 2009, Maulida dan Ibnu Elmi, Kekerasan Seksual dan Perceraian, Intimedia, Malang.
Setiadi, Edi dan Kristina, 2017, Sistem Peradilan Pidana Terpadu Dan Sistem Penegakan Hukum di Indonesia Prenadamedia Group, Jakarta.
Jurnal
Amdani, Yusi Konsep Restorative Justice dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Pencurian oleh Anak Berbasis Hukum Islam dan Adat Aceh, Jurnal Al-Adalah Vol. XII, No 1, Juni 2016
Arief, Hanafi, Ningrum Ambarsari, Penerapan Prinsip Restorative justice dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Jurnal Al Adl, Vol. 10, No 2, Juli 2018
Ayu Setyaningrum, R. A. (2019). Analisis Upaya Perlindungan dan Pemulihan Terhadap Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) Khususnya Anak- Anak dan Perempuan. Jurnal Ilmiah Muqoddimah : Jurnal Ilmu Sosial, Politik, dan Humaniora , 3 (1) 1-21. DOI :
https://doi.org/10.31604/jim.v3i1.2019.9-19.
Hadiyati, Nur., & Stathany, Hayllen. 2021. Analisis Undang-Undang ITE Berdasarkan Asas Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan di Indonesia. Mizan: Jurnal Ilmu
Hukum,Vol.10,(No.2),pp.146156.https://doi.org/10.32503/mizan.v10i2.16 57.
Ilyasa, Raden Muhammad A. (2021). Legal and Victimological Perspective on Sexual Violence against Children Cases in Indonesia. The Indonesian Journal of International Clinical Legal Education, Vol. 3, (No. 3), pp. 281-300, https://doi.org/10.15294/ijicle.v3i3.48269.
Liebmann, Marian Restorative Justice, How it Work (London and Philadelpia: Jessica Kingsley Publishers, 2007)
Mawati, E., Takariawan, A., & Sulistiani, L. (2020). Kebijakan Hukum Pidana Mengenai Rehabilitasi Psikososial Korban Tindak Pidana Terorisme Dalam Sistem Peradilan Pidana. Jurnal Belo , 5 (2), 34-56 DOI:
https://doi.org/10.30598/belovol5issue2page34-56.
Purwanti, Ani., & Hardiyanti, Marzellina. (2018). Strategi Penyelesaian Tindak Kekerasan
Seksual Terhadap Perempuan dan Anak Melalui RUU Kekerasan Seksual.
Masalah- Masalah Hukum, Vol.47, (No. 2), pp. 138-148.
https://doi.org/10.14710/mmh.47.2.2018.138- 148
Sumera, M. (2013). Perbuatan Kekerasan/Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan. Lex et Societatis , 1 (2), 39-49.
Surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice).
Zachra Wadjo, Hadibah dan Judy Marria Saimima, Perlindungan Hukum Terhadap
Korban Kekerasan Seksual Dalam Rangka Mewujudkan Keadilan Restoratif, jurnal Belo, Vol. 6, No 1, Januari 2021.
Internet
Komnas Perempuan, Pengesahan RUU TPKS: Pastikan Implementasi Terobosan dalam
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual, serta Pemulihan Korban
Kekerasan Seksual https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-
detail/pengesahan-ruu-tpks diakses pada 25 Januari 2023.
Webinar IJRS Mengurai Benang Kusut Restorative Justice Dalam Kasus Kekerasan Seksual.
http://ijrs.or.id/mengurai-benang-kusut-restorative-justice-dalam-kasus-kekerasan-seksua/ diakses pada 25 Januari 2023.
Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No 11 Tahun 2022, hlm. 1803-1814
Discussion and feedback