PERJANJIAN JUAL BELI ONLINE MENGUNAKAN SISTEM PEMBAYARAN CASH ON DELIVERY (COD) DALAM PERSPEKTIF KUH PERDATA
on
PERJANJIAN JUAL BELI ONLINE MENGUNAKAN SISTEM PEMBAYARAN CASH ON DELIVERY
DALAM PERSPEKTIF KUH PERDATA
Afina Syifa Alfafa, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
I Gusti Ngurah Dharma Laksana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
DOI: KW.2022.v11.i11.p4
ABSTRAK
Tujuan penulisan artikel ini ialah mengetahui bagaimana keabsahan perjanjian jual beli online serta mengetahui bagaimana perbuatan-perbuatan yang melanggar dalam perjanjian jual beli online menggunakan sistem metode cash on delivery (COD) terkait dengan KUH Perdata. Metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan, konseptual dan analitis dipergunakan dalam menulis artikel ini. Hasil analisis dari penelitian ini, syarat sahnya perjanjian jual beli online menggunakan sistem cash on delivery (COD) sama dengan perjanjian konvensional yaitu wajib memenuhi unsur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Perbuatan-perbuatan yang melanggar dalam perjanjian jual beli online dengan metode cash on delivery (COD) antara lain: 1). Prank paket COD, 2). Pembeli menolak bayar, 3). Barang tidak sesuai pesanan. Akibat dari perbuatan tersebut dapat dilakukan pembatalan perjanjian, meminta ganti rugi atas wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum.
Kata Kunci: Perjanjian, Cash On Delivery (COD), KUH Perdata
ABSTRACT
The motive of writing this article is to discover how the validity of the web sale and purchase agreement and discover how the actions that violate the web sale and purchase agreement using the cash on delivery (COD) method are related to the Civil Code. Normative legal research methods with legislative, conceptual and analytical approaches are used in writing this article. The results of the analysis of this study, the legal requirements for online buying and selling agreements using the COD system are the same as conventional agreements, namely that they are required to meet the elements in Article 1320 of the Civil Code. Actions that violate the online sale and purchase agreement with the cash on delivery (COD) are examples: 1). Prank COD package, 2). The buyer refused to pay, 3). The goods do not match the order. As a result of these actions can be done cancellation of the agreement, requesting compesation for default or tort.
Keywords: Agreements, Cash On Delivery (COD), Civil Code
Kecanggihan dari teknologi dapat dilihat dari pemanfaatan internet yang dilakukan oleh masyarakat dunia. Manfaat internet yang didapat yaitu membantu masyarakat untuk berinteraksi, berkomunikasi, edukasi, serta memudahkan dalam
berbisnis. Internet memberikan kemudahan dalam berbisnis, yaitu dapat melakukan perdagangan atau jual beli secara online dengan orang dari segala penjuru dunia entah itu berbeda kabupaten, kota, negara, maupun benua. Kini, hubungan penjual dan pembeli tidak lagi dibatasi oleh jarak maupun waktu. Artinya transaksi jual beli dapat dilakukan setiap saat tanpa pergi ke tokonya secara langsung, masyarakat hanya perlu menggunakan handphone yang terkoneksi dengan internet untuk melakukan jual beli online.
Ketika pandemi covid-19 jual beli online mengalami peningkatan. Asosiasi Logistik dan Forwarder (ALFI) mencatat bahwa jual beli secara online meningkat 37% selama pandemi covid-19 di Indonesia.1 Peningkatan tersebut terjadi karena adanya beberapa peraturan dari pemerintah Indonesia seperti adanya pembatasan sosial dalam skala besar, berlakunya pembatasan dalam kegiatan masyarakat, aturan bekerja dirumah atau masyarakat lebih mengenalnya dengan istilah PPKM, PSBB, WFH. Aturan tersebut mengharuskan masyarakat untuk membatasi aktivitasnya di luar rumah demi mencegah tertular dari virus covid-19. Dampak dari pademi tersebut bertemunya pembeli dengan penjual atau transaksi jual beli lansung berkurang, untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan masyarakat kini lebih memilih untuk berbelanja online di salah satu marketplace. Menurut pasal 1 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia, Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (E-Commerce), “Marketplace merupakan sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi melakukan kagiatan usaha perdagangan secara elektronik”. Marketplace yang banyak diminati oleh masyarakat Indonesia seperti lazada, shopee, tokopedia, blibli dan lain-lain.
Jual beli online di suatu marketplace memiliki kelemahan dan kelebihan. Kelemahan jual beli online di marketplace yaitu tidak terjaminnya kualitas barang, karena pembeli tidak dapat memeriksa barang secara langsung, terkadang saat barangnya sampai di rumah tidak sesuai dengan apa yang di foto bahkan tidak sedikit juga terjadi penipuan dimana saat pembeli sudah mentransfer uang akan tetapi barang yang dibeli tak kunjung dikirim. Selain memiliki kelemahan jual beli secara online memiliki segudang kelebihan diantaranya pembeli mendapatkan pilihan yang bervariasi di suatu marketplace yang bertaraf nasional maupun internasional. Lebih praktis yaitu bertransaksi dengan bermodalkan handphone dan internet. Efisiensi waktu yang cepat hanya beberapa menit saja untuk melakukan transaksi dengan memilih salah satu metode pembayaran yang diinginkan lalu tinggal menunggu barangnya dikirim sampai kerumah.
Metode pembayaran yang tersedia di marketplace salah satunya cash on delivery istilah di masyarakat yakni COD. Pengertian metode pembayaran COD ialah suatu cara pembayaran yang dilakukan langsung di tempat pada saat pembeli menerima pesanan melalui kurir dengan tujuan agar memudahkan pembeli yang tidak memiliki rekening di bank atau kartu kredit.2 Pembayaran dengan metode ini dianggap sebagai pembayaran jual beli online termudah karena tidak perlu memberi edukasi pada
pembeli yang belum mengerti penggunaan metode pembayaran berbeda.3 Hal tersebut dapat dilihat dari alur pembayaran yang sederhana dan pembeli dapat merasa lebih aman dikarenakan tidak harus memasukan nomor kartu debit atau kredit yang terhubung dengan jaringan. Walaupun sistem pembayaran ini memiliki berbagai kemudahan seperti yang telah diuraikan sebelumnya tidak menutup kemungkinan bahwa dalam prakteknya di lapangan masih banyak terjadi pelanggaran bermuculan akibat dari sistem pembayaran cash on delivery.
Sebelumnya telah dilakukan penelitian karya ilmiah serupa dengan judul “Perjanjian Jual Beli Melalui Internet (e-commerce) Ditinjau Dari Aspek Hukum Perdata” oleh Zuni Rusviana dan Adi Suliantoro membahas mengenai keabsahan kontrak jual beli dalam jaringan (daring), akibat hukum juga solusi yang didapat apabila terdapat wanprestasi berdasarkan hukum perdata. Karya ilmiah lainnya berjudul “Sistem Belanja Cash On Delivery Dalam Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen dan Transaksi Elektronik” oleh Indra Kirana dan Rahmi membahas mengenai bagaimana UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memandang metode pembayaran Cash On Delivery juga bagaimana penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan. Merujuk kedua penelitian karya ilmiah sebelumnya melalui gagasan ini, penulis memberikan sudut pandang berbeda yaitu dari segi objek kajian yakni lebih mengkhususkan membahas mengenai perspektif KUH Perdata terhadap keabsahan perjanjian jual beli serta perbuatan-perbuatan yang melanggar dalam penggunaan sistem pembayaran Cash On Delivery pada jual beli yang terhubung dengan jaringan atau online. Berdasarkan uraian tersebut maka penulis ingin menuliskannya dalam sebuah artikel yang berjudul “PERJANJIAN JUAL BELI ONLINE MENGGUNAKAN SISTEM PEMBAYARAN CASH ON DELIVERY DALAM PERSPEKTIF KUH PERDATA”.
-
1. Bagaimanakah perspektif KUH Perdata terhadap keabsahan perjanjian jual beli online menggunakan sistem pembayaran cash on deilvery (COD)?
-
2. Bagaimanakah perspektif KUH Perdata terhadap perbuatan-perbuatan yang melanggar dalam perjanjian jual beli menggunakan sistem pembayaran cash on delivery (COD)?
Penulisan artikel ini memiliki tujuan untuk mengetahui bagaimana keabsahan perjanjian jual beli daring online serta perbuatan-perbuatan yang melanggar dalam perjanjian jual beli online menggunakan sistem pembayaran cash on delivery (COD) terkait dengan KUH Perdata.
Proses penelitian di mana hukum dipelajari dan diteliti sebagai norma, kaidah, doktrin, asas dan teori hukum, literatur lain, yang bertujuan guna menjawab pertanyaan hukum yang diteliti, disebut penelitian hukum normatif dipergunakan
dalam menulis artikel ini.4 Metode ini, hukum diteliti melalui penelaahan data sekunder maupun kajian literatur.5 Pendekatan hukum normatif pada artikel ini, yaitu: a. Pendekatan perundang-undangan yaitu meneliti dan mengkaji peraturan perundang-undangan, yakni Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). b. Pendekatan konseptual didasarkan pada pendapat para ahli atau doktrin. c. Pendekatan analitis yakni menganalis bahan hukum guna memahami suatu arti dalam istilah-istilah yang termuat dalam suatu perundang-undangan dan konseptual.
-
III. Hasil dan Pembahasan
-
3.1. Perspektif KUH Perdata Terhadap Perjanjian Jual Beli Online Menggunakan
Sistem Pembayaran Cash On Delivery
Definisi jual beli menuruti KUH Perdata pasal 1457: “jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan ”. Jual beli secara online adalah aktivitas menjual dan membeli barang atau pelayanan jasa via perangkat elektronik yang terhubung dalam jaringan (daring) atau internet.6 Demikian jual beli online ialah persetujuan yang mengikat di mana pihak penjual memberikan barangnya serta pihak pembeli membayar sesuai dengan harga yang telah dijanjikan melalui perangkat elektronik yang terhubung daring atau online.
Sistem pembayaran cash on delivery atau COD merupakan sebuah pembayaran daripada aktivitas jual beli yang terhubung dengan jaringan atau online di suatu marketplace di mana pembeli membayar uang tunai ketika barang pesanan yang dikirim oleh kurir telah sampai ditangan pembeli.7 Menurut Halaweh, cash on delivery adalah “pembayaran pasca” sebab pembayaran dilakukan setelah menerima barang.8 Pembayaran dalam sistem ini hanya dapat dilakukan secara tunai maka pembeli dituntut untuk menyiapkan sejumlah uang sesuai dengan harga yang telah dijanjikan agar transaksi berjalan lancar, di mana hal tersebut selaras dengan yang tertera pada pasal mengikat di mana pihak penjual memberikan barangnya serta pihak pembeli membayar sesuai dengan harga yang telah dijanjikan..
Aktivitas jual beli daring menggunakan tipe pembayaran ini menyangkut sejumlah pihak yakni:9
-
a. Penjual ialah pihak yang menawarkan dan memperdagangkan barang di marketplace yang berkewajiban untuk memberikan informasi jelas dan rinci kepada pembeli mengenai barang yang dijual.
-
b. Pembeli adalah pihak yang membeli barang pada suatu marketplace. Saat pembeli telah sepakat akan harga, banyaknya barang, serta tanggungan biaya pengiriman, pembeli wajib melakukan pembayaran atau memberikan uang tunai sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati.
-
c. Marketplace merupakan pasar elekronik dengan penggunaan internet berperan sebagai perantara dalam melakukan kegiatan bisnis serta transaksi pihak pembeli dengan pihak penjual.
-
d. Pengantaran Barang/Jasa Ekspedisi, setelah barang pesanan pembeli dikemas, penjual mengirimkan barang tersebut melalui penyedia jasa pengantaran barang/jasa ekspedisi terpilih. Kemudian barang tersebut di antar oleh kurir ekspedisi menuju alamat pembeli. Jasa ekspedisi merupakan pihak ketiga dalam aktivitas jual beli secara online.
Hubungan pembeli dengan penjual dalam sistem pembayaran COD ini menimbulkan suatu perjanjian sebagaimana tertera pada Pasal 1338 KUH Perdata: “Semua Pertujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”.
Lebih lanjut, Pasal 1313 KUH Perdata: “suatu persetujuan adalah perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih”. Artinya jika pembeli dan penjual memenuhi kata sepakat atau setuju sehingga tercapainya kontrak jual beli tersebut telah terjadi sebagaimana yang tercantum pada Pasal 1458 KUH Perdata: “jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, segera setelah orang-orang itu mencapai kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya, meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar”.
Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan: “supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat;
-
a) Kesepakatan antara kedua belah pihak yang mengikat dirinya;
-
b) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
-
c) Suatu persoalan tertentu;
-
d) Suatu sebab yang halal”.
Syarat-syarat perjanjian secara sah digolongkan menjadi syarat subjektif dan objektif. Pertama syarat subjektif, merupakan subjek atau orang-orang yang membuat suatu perjanjian,10 syarat tersebut yaitu :
-
a) Kesepakatan antara kedua belah pihak yang mengikat dirinya
Dasar daripada kata sepakat di suatu perjanjian yakni adanya pertemuan dan persamaan kehendak pada kedua belah pihak yang mengadakan perjajian tersebut.11 Pencapaian kesepakatan ditujukan dari kedua pihak mengucapkan kata-kata seperti “setuju”, “accord”, “oke”, dan lainnya atau sama-sama menandatangani pernyataan tertulis sebagai bukti bahwasannya kedua pihak menyepakati semua yang disebutkan
dalam tulisan tersebut.12 Beberapa ahli menyetujui bahwa tercapainya kata “sepakat” dalam jual beli online di merketplace saat pembeli mengklik tombol ‘buat pesanan’ atau ‘pesan’ artinya pembeli menyetujui membeli barang dari penjual dan menyepakati harga barang, ongkos kirim serta memilih melakukan pembayaran melalui COD dengan begitu jual beli online dianggap telah terjadi.
Merujuk Pasal 1321 KUH Perdata menyebutkan bahwasannya kata “sepakat” atau “persetujuan” ini tidak sah atau tidak mempunyai kekuatan hukum apabila adanya kekhilafan atau didapat melalui paksaan atau penipuan. Maksudnya Kesepakatan ada jika tidak terjadi unsur memaksa, menipu dan kekhilafan,13
-
b) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
KUH Perdata menjelaskan pada Pasal 1329: “tiap orang berwenang untuk membuat perjanjian kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk hal itu”. Artinya pada prinsipnya siapa pun dapat mengadakan perjanjian selain mereka dalam undang-undang diterangkan tidak cakap. Merka yang tidak cakap itu diterangkan pada Pasal 1330 KUH Perdata: “Yang tak cakap untuk mebuat perjanjian adalah:
-
1. Anak yang belum dewasa.
-
2. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan.
-
3. Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat perjanjian tertentu”.
Pengertian belum dewasa pada Pasal 330 KUH Perdata adalah “mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya”. Dapat diartikan bahwasannya dewasa yakni saat seorang telah kawin atau sudah berumur dua puluh satu tahun penuh. Selain itu belum dewasa diatur juga pada Pasal 47 dan 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan bahwasannya anak berusia dibawah delapan belas tahun dan masih dalam pertanggungjawaban atau kekuasaan orangtua/wali termasuk dalam kategori anak yang dibawah umur dewasa. Lebih lanjut pada Pasal 433 KUH Perdata: “setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya dan seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosannya”. Dalam tranksaski jual beli online kecakapan para pihaknya diatur pada Pasal 46 ayat (2) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik menjelaskan sahnya kontrak elektronik jika diadakan bagi mereka yang cakap atau memiliki kewenangan untuk mewakili didasarkan pada perundang-undangan, artiinya perihal tersebut sesuai dengan KUH Perdata. Namun apabila suatu perjanjian dibuat oleh anak-anak dikatakan sah selagi tidak menimbulkan kerugian bagi kedua pihak juga berlaku dalam jual beli daring atau online.14
Kedua, syarat objektif ini mengacu kepada objek dari perbuatan hukum itu sendiri. Syarat ini terdiri atas:
-
c) Suatu Persoalan Tertentu
Pasal 1333 KUH Perdata: “suatu perjanjian harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya. Jumlah barang itu tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung”. Artinya kontrak ini harus mempunyai objek tertentu atau apa yang diperjanjikan para pihak sebagaimana dijelaskan juga pada Pasal 1332 KUH Perdata yakni: “hanya barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok persetujuan”. Artinya barang yang tidak dilarang dibisniskan bisa menjadi pokok persetujuan. Barang yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian ini mesti jelas berapa harganya, apa jenisnya, dan berapa jumlah. Begitu juga dalam jual beli online menggunakan sistem COD, penjual harus jelas mengenai keadaan barang dagangannya yang akan dijual di marketplcace. Misalnya penjualan pakaian harus jelas ukuran pakaiannya, tercantum mereknya, warna pakaiannya, pakaian terbuat dari bahan apa.
-
d) Suatu sebab yang halal
Sesuatu sebab yang diperbolehkan atau halal merujuk pada tujuan dan pokok perjanjian yang disepakati. Dijelaskan pada Pasal 1335 jo Pasal 1337 KUH Perdata bahwasannya pelarangan atau sebab larangan atas sesuatu dikarenakan adanya pelanggaran terhadap undang-undang serta berlawanan dengan ketertiban umum atau tata susila yang ada sedangkan suatu hal yang diperbolehkan atau halal itu berdasarkan dari niat baik daripada kedua pihak yang mengadakan perjanjian. Sama halnya perjanjian secara online menggunakan sistem COD ini juga harus menerapkan prinsip itikad baik.
-
3.2. Perspektif KUH Perdata Terhadap Perbuatan-Perbuatan Yang Melanggar Dalam Perjanjian Jual Beli Online Dengan Metode Pembayaran Cash On Delivery
Dalam suatu perjanjian jual beli online sering dijumpai pihak-pihak yang melakukan perbuatan-perbuatan melanggar perjanjian yakni melakukan apa yang tidak termasuk dalam perjanjian. Pada hukum perdata, ada dua bentuk pengajuan gugatan atas pelanggaran perjanjian yaitu gugatan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. Adapun perbuatan-perbuatan melanggar dalam perjanjian jual beli online diantaranya:
-
a) Prank Paket COD
Kata “prank” berasal dari bahasa Inggris yang berarti gurauan, olok-olok, menipu atau mengibuli.15 Lebih jelasnya dalam kamus Merriam Webster kata prank tersebut terdiri sebagai kata benda juga kata kerja. Dalam kata benda “prank” diartikan dengan perbuatan usil, lucu, bahkan jahat kepada orang lain sedangkan “prank” jika diposisikan sebagai kata kerja dapat diartikan sebagai kegiatan atau tindakan menipu orang lain. 16
Kasus prank untuk menipu seseorang dalam jual beli online menggunakan sistem pembayaran COD merupakan salah satu berita yang viral dikalangan masyarakat. Seperti yang diberitakan dalam sumut.suara.com bahwa seorang pembeli membeli tempat pensil dengan nominal harga Rp. 200.000,00 di salah satu marketplace dan ia menerima paket tersebut dari penyedia jasa pengantaran barang/jasa ekspedisi yang diantar ke alamatnya dengan bertansaksi menggunakan metode cash on delivery (COD) saat ia hendak membuka dan merekamnya ternyata paket dari si penjual tersebut kosong.17
Kasus prank tersebut memiliki arti untuk melakukan penipuan terhadap orang lain. Penipuan dalam hukum pidana diatur pada Buku kedua Bab XXV mengenai perbuatan curang pada Pasal 378 KUHP yang salah satu unsurnya yaitu tipu muslihat yang mendorong orang lain untuk memberikan suatu barang kepadanya sedangkan dalam hukum perdata penipuan tidak dijelaskan secara rinci namun tertera pada Pasal 1328 KUH Perdata bahwa unsur penipuan ini tidak bisa di kira-kira tetapi mesti dibuktikan serta pada Pasal 1321 KUH Perdata mejelaskan persetujuan yang memiki kekuatan apabila tidak terdapat unsur penipuan.
Pasal 1365 KUH Perdata, perbuatan melawan hukum ialah; “tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut”. Hukum perdata menerangkan perbuatan melawan hukum ini harus memenuhi 5 (lima) yaitu:18
-
• Adanya suatu perbuatan;
-
• Perbuatan tersebut melawan hukum;
-
• terdapat kesalahan daripada pelaku;
-
• terdapat kerugian pada korban;
-
• terdapat hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian.
Dari kasus tersebut termasuk dalam perbuatan melawan hukum di mana lima unsur diatas terpenuhi. Pertama, adanya suatu perbuatan yaitu perjanjian jual beli, namun perbuatan tersebut melawan hukum adanya bentuk penipuan yang membuat tidak sahnya suatu kata sepakat atau persetujuan dan terlanggarnya sebab yang halal. Kedua, perbuatan tersebut melawan hukum yaitu melanggar undang-undang, pelanggaran terhadap hak individu lain di mana haknya dilindungi hukum dan tindakan tersebut berbenturan dengan kewajiban yang dimiliki pelaku. Ketiga, kesalahan yang bersumber dari sisi pelaku dikarenakan terdapat unsur kesengajaan, unsur kelalaian dan memiliki alasan pembenar dan pemaaf. Keempat, terdapat kerugian akan korban yaitu tidak menerima barangnya. Kelima memiliki hubungan kausalitas antara perbuatan dengan kerugian yaitu penjual dan pembeli melakukan perjanjian jual beli menggunakan sistem COD namun saat barangnya datang ternyata paket kosong yang menyebabkan kerugian bagi si pembeli.
Dalam perbuatan melawan hukum, tuntuntan yang bisa diajukan diantaranya:
-
• Ganti rugi berupa uang sebagai kompensasi atas timbulnya rugi yang ada;
-
• Ganti rugi berupa pengembalian dalam kondisi awal, natura;
-
• Afirmasi bahwa telah dilakukan tindakan yang melawan hukum;
-
• Larangan untuk mengulangi tindakan itu lagi.
Pengaturan ganti rugi tersebut dijelaskan dalam Pasal 1243 s/d Pasal 1252 KUH Perdata. Perjanjian jual beli yang didalamnya terdapat unsur penipuan maka perjanjian tersebut menjadi cacat kehendak, di mana perjanjian tersebut berimpilikasi terhadap Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat perjanjian yang sah apabila tidak memenuhi unsur-unsur didalamnya membuat perjanjian jual beli itu menjadi batal atau pembatalan dapat diminta di pengadilan dan unsur merugikan orang lain ini tergolong dalam perbuatan melawan hukum di bidang keperdataan.
-
b) Pembeli Menolak Bayar
Kasus pembeli menolak bayar bukanlah kasus yang baru dalam berbelanja online melalui metode cash on delivery (COD) karena kejadian menolak bayar ini kerap terjadi di Indonesia. Pada 31 Juli 2022 dikutip dari BeritaHits.Id. Seorang ibu-ibu memarahi dan menghina seorang kurir ekspedisi yang mengantarkan barang yang ia pesan dalam suatu marketplace, ia menolak untuk membayar karena tak sesuai dengan yang ia harapkan padahal paket tersebut sudah di buka.19 Selain karena barang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan ada berbagai alasan dari oknum-oknum pembeli menolak untuk membayar barang pesanan dari penjual. Alasan lainya yaitu oknum pembeli tidak mampu untuk membayar paket yang telah dipesan.
Dalam hukum perdata pembeli menolak bayar untuk barang pesanan yang telah diterima menggunakan sistem pembayaran COD ini termasuk dalam kategori wanprestasi. Menurut Subekti jual beli yang wanprestasi kerena kelalaian dan kealpaan terdapat 4 jenis kondisi;20
-
• Tidak memenuhi apa yang seharusnya dilakukan;
-
• Menunaikan yang dijanjikan tetapi berbeda dengan yang diperjanjkan;
-
• Melakukan sesuatu sesuai dengan perjanjian namun tidak tepat waktu;
-
• Melaksanakan yang tidak boleh dilaksanakan dalam perjanjian.
Perbuatan wanprestasi yang dilakukan oleh pembeli tersebut, penjual bisa membatalkan pembelian atau meminta hak atas kerugian tersebut dengan syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 1266 KUH Perdata: “Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbal balik, andaikata salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada pengadilan. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan didalam persetujuan. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan maka hakim dengan melihat keadaan, atas permintaan tergugat, leluasa memberikan suatu jangka waktu untuk memenuhi kewajiban, tetapi suatu jangka waktu itu tidak boleh lebih dan satu bulan”.
Pasal 1267 KUH Perdata: “Pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih, memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan persetujuan, dengan penggantiann biaya kerugian dan bunga”.
Pasal 1517 KUH Perdata: “Jika pembeli tidak membayar harga pembelian, maka penjual dapat menuntut pembatalan jual beli itu menurut Pasal 1266 dan 1267”.
-
c) Barang Tidak Sesuai Pesanan
Permasalahan lainnya jual beli online menggunakan sistem pembayaran COD ini di masyarakat yaitu saat barang diterima pembeli ternyata tidak sesuai dengan yang dipesan pembeli. Seperti kasus salah satu warga Kampung Badak Putih, Kelurahan Palabuhan Ratu di Sukabumi yang berjenis kelamin laki-laki bernama Jejen Jaenudin membeli sebuah Blender di salah satu marketpalce dengan nominal Rp. 85. 490,00 Rupiah namun ternyata yang ia terima malah sendal jepit diberitakan dalam TribunJabar.Id.21
Pembeli yang menerima barang tidak sesuai dengan pesanan dapat meminta hak atas kerugian sebagaimana tertera pada Pasal 1243 KUH Perdata: “Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan yang mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu atau jika sesuatu harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan”.
Pasal 4 angka (8) jo. Pasal 7 huruf (g) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen: “Hak konsumen adalah hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya”
“Kewajiban pelaku usaha adalah memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian”.
Melakukan tuntutan hukum merupakan jalur akhir, akan lebih baik apabila pembeli yang menerima barang yang tidak sesuai pesanan melakukan konfirmasi kepada penjual karena pembeli memiliki hak untuk melakukan pengajuan pengembalian barang untuk ditukarkan sesuai dengan syarat dan kentuan dalam kebijakan marketplace.
IV. Kesimpulan sebagai Penutup
4. Kesimpulan
Berdasarkan analisis terhadap pembahasan yang telah dipaparkan, penulis menyimpulkan bahwasannya jual beli secara online mengunakan sistem pembayaran cash on delivery (COD) ialah suatu metode pembayaran daripada aktivitas jual beli daring atau online di mana barang terlebih dahulu diterima lalu dibayarkan dengan uang tunai oleh si pembeli. Syarat sahnya perjanjian jual beli online menggunakan sistem ini sama dengan perjanjian konvensional pada Pasal 1320 KUH Perdata yakni wajib memenuhi unsur-unsur didalamnya yaitu: 1). Kesepakatan antara kedua belah pihak yang mengikat dirinya; 2). Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; 3). Suatu persoalan tertentu; 4). Suatu sebab yang halal. Perbuatan-perbuatan yang melanggar dalam perjanjian jual beli daring atau online menggunakan sistem pembayaran cash on delivery (COD) ini contohnya: 1). Prank paket COD; 2). Pembeli menolak bayar; 3). Barang tidak sesuai pesanan. Akibat dari perbuatan tersebut dapat
dilakukan pembatalan perjanjian, meminta ganti rugi atas wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ishaq. Metode Penelitian Hukum Dan Penulisan Skripsi, Tesis, Serta Disertasi ” (Bandung, Alfabeta, 2017).
Muhaimin. Metode Penelitian Hukum (Mataram, Mataram University Press, 2020).
Jurnal Ilmiah
Aqil, Nabil Abduh. Putri, Chelsea Mutiara and Yunisa, Dinda. “Evaluasi Sistem Cash On Delivery Demi Meningkatkan Kepastian Hukum Dalam Perkembangan Transaksi Elektroknik Di Indonesia”. IPMIH Law Journal 2, No.2 (2022).
Fajri, Muhammad. “Humor Dalam Perspektif Hadis: Analisis Teori Hierarchy Of Needs Terhadap Aksi Prank Di Media Sosial: Humor In The Perspective Of Hadith Analysis Of The Theory Of Hierarchy Of Needs Towards Prank In Social Media”. Jurnal Imu-Ilmu Ushuluddin 09, No. 01 (2021).
Fitria, Nur Tira. “Bisnis Jual Beli Online (Online Shop) Dalam Hukum Islam Dan Hukum Negara”. Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam 03, No.01 (2017).
Hasibuan, Syamsir & Rahmania, Nika. “Tinjauan Yuridis Wanprestasi Atas Perjanjian Jual Beli Online: Juridical Review of Breach of Contract on Online Purchase Agreement”. Jurnal Dimensi 9, No.1 (2020).
Kirana, Indra and Rahmi, Ayunda. “Sistem Belanja Cash On Delivery (COD) Dalam Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen Dan Transaksi Elektronik”. Jurnal Surya Kencana Satu: Dinamika Masalah Hukum Dan Keadilan 13, No.1 (2022).
Lutfianisa, Fendira. Ramdan, Asep Muhammad and Jhoansyah, Dicky. “Analisis Kepercayaan Konsumen Dalam Memediasi Hubungan Antara Cash On Delivery Dengan Keputusan Pembelian Di Sosial Media Facebook”. Journal Of Economic, Business and Accounting 5, No.1 (2021).
Purwandari, Betty. et. al., “Factor Affecting Switcing Intention From Cash On Delivery to EPayment Services in C2C E-Commerce Transaction: COVID-19, Transaction, and Technology Perspektives”. Emerging Science Journal 6 (2022).
Rokfa, Afida Ainur. et.al. “Penyelesaian Sengketa Sistem Pembayaran Cash On Delivery Pada Media E-commerce”. Jurnal Bina Mulia 6, No.2 (2022).
Rusviana, Zuni and Suliantoro, Adi. “Perjanjian Jual Beli Melalui Internet (E
commerce) Ditinjau Dari Aspek Hukum Perdata”. Jurnal Dinamika Hukum 21, No.2. (2018).
Retna, Gumanti. “Syarat Sahnya Perjanjian (Ditinjau Dari KUH Perdata)”. Jurnal Pelangi Ilmu 05, No.1 (2012).
Sari, Emma Nurlaela. “Telaah Terhadap Pemenuhan Syarat Subjektif Sahya Suatu Perjanjian Di Dalam Transaksi Elektronik Yang Dilakukan Anak Dibawah Umur”. Jurnal Poros Hukum Padjadjaran 1, No.1 (2019).
Sari, Indah. “Perbuatan Melawan Hukum (PMH) Dalam Hukum Pidana Dan Hukum Perdata”. Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara. Vol.11 No.1 (2020).
Skripsi
Pane, Januba Munawarah. “Akibat Hukum Wanprestasi Dalam Perjanjian Jual Beli Sepeda Motor Dengan Sistem Inden (Studi Di CV. Indah Sakti Kota Pinang. Skripsi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara”. (2022).
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Kirab Undang-Undang Hukum Pidana.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia, Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (ECommerce).
Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Internet
Desfika, Theresa Sandra. https://investor.id/business/276132/selama-pandemi-alfi-belanja-online-naik-37. Diakses pada 20 Februari 2023.
Garjito, Dany. https://hits.suara.com/read/2022/07/31/141054/terjadi-lagi-emak-emak-tak -mau-bayar-paket-cod-gegara-barang-tak-sesuai-ekspektasi-kurir-lagi-yang-disalahkan. Diakses pada 20 Februari 2023.
Jalaludin, M Rizal. https://jabar.tribunnews.com/2022/07/20/warga-sukabumi-ini-kecewa-beli-blender-di-online-shop-yang-datang-malah-ini-sindir-pedagangnya. Diakses pada 20 Februari 2023.
Merriam Webster Dictionary. https://www.merriam-webster.com/dictionary/prank.
Diakses pada 20 Februari 2023.
Suhardiman. https://sumut.suara.com/read/2022/07/22/141324/viral-seller-kirim-paket-kosong-ke-customer-nitizen-bilang-begini. Diakses pada 20 Februari 2023.
Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No 11 Tahun 2022, hlm. 1770-1781
Discussion and feedback