INDIKASI PREDATORY PRICING DALAM PROMOSI

FLASH SALE PADA E-COMMERCE SEBAGAI PRAKTIK
PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

Ni Kadek Neva Rastina Meirani, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : [email protected]

Made Aditya Pramana Putra, Fakultas Hukum Universitas Udayana, [email protected]

DOI: KW.2022.v11.i11.p1

ABSTRAK

Penulisan penelitian ini bertujuan untuk menganalisa bagaimana keterkaitan promosi Flash Sale pada ecommerce dengan adanya indikasi predatory pricing sebagai praktik persaingan usaha tidak sehat dan peran KPPU sebagai lembaga penegak hukum yang berkaitan dengan indikasi predatory pricing. Penelitian ini dibuat menggunakan metode penelitian yuridis normatif diikuti dengan studi kepustakaan. Penelitian ini menunjukkan hasil bahwasanya promosi Flash Sale yang berlangsung pada e-commerce tidak mengindikasi adanya predatory pricing karena periode Flash Sale yang berlangsung dalam waktu singkat dan tujuan dari promosi tersebut hanya untuk menarik minat konsumen saja. Dalam menjalankan perannya menjadi lembaga penegak hukum terkait dengan sengketa persaingan usaha, KPPU melakukan tugasnya dengan dibentuknya Deputi Pencegahan yang bertindak mengawasi aktivitas bisnis yang berbasis digital agar terciptanya iklim persaingan usaha yang sehat.

Kata Kunci : Predatory Pricing, E-Commerce, Penegak Hukum

ABSTRACT

The aim of writing this research study is to find out how Flash Sale promotion is related to e-commerce the indication of predatory pricing as an unfair business competition practice dan the role of KPPU as a law enforcement agency related to indication of predatory pricing. This research was writing with using normatif juridical research methods and assisted with library research. The results of this study indicate that Flash Sale promotion carried out on e-commerce do not indicate of predatory pricing because the Flash Sale period lasts a short time and the purpose of the promotion is inly to attract customer interest. In carrying out its role as a law enforcement agency related to business competition disuputes, KPPU performs its duties by establishing a Deputi of Prevention who acts to supervise digital marketing activities in order to make a fair business competition.

Keywords : Predatory Pricing, E-Commerce, Law Enforcer

  • I.   Pendahuluan

    1.1  Latar Belakang Masalah

Derasnya arus globalisasi dewasa ini juga mempengaruhi teknologi yang terus berkembang di berbagai belahan dunia. Semakin berkembangnya teknologi di Indonesia sendiri dapat tercermin dari kemajuan serta kecanggihan alat-alat teknologi yang ada sehingga dapat mempermudah keberlangsungan hidup manusia. Salah satu bukti dari adanya kemajuan teknologi saat ini khususnya di Indonesia yaitu tercermin dari sektor perdagangan.1 Dimana saat ini kegiatan jual beli tak hanya bisa dilakukan di lapak atau pasar secara langsung atau tatap muka saja, tetapi juga bisa menjual

belikan suatu barang atau jasa menggunakan sistem online. Saat ini aktivitas jual beli dengan mudah bisa dilakukan secara online tentunya dibantu juga dengan mediamedia pendukung tertentu seperti halnya aplikasi berbasis sistem elektronik yang mana pembeli dan penjual hanya membutuhkan gadget saja sebagai sarana utamanya dalam berbisnis dan bertransaksi. Begitu pun pada sistem pembayarannya, pada metode jual beli online, sistem pembayarannya juga berbasis online yang mana juga berbasis elektronik.

Kegiatan bisnis atau jual beli berbasis online ini kerap kali dikaitkan dengan istilah Electronic Commerce yang merupakan kepanjangan dari e-commerce. Dapat diartikan dengan aktivitas bisnis yang mengaitkan peran antara pedagang, konsumen, dan service provider didukung bantuan device yang mendukung internet.2 Tranksasi menggunakan media elekronik atau e-commerce ini adalah satu dari beberapa bentuk kegiatan transaksi dalam dunia perdagangan sebagai imbas dari pesatnya globalisasi sehingga dari sinilah konsep bertemunya secara tatap muka antara penjual dan pembeli dalam bertransaksi perlahan-lahan berubah menjadi konsep telemarketing yang berbasis online marketing. Saat ini e-commerce yang menjamur di Indonesia maupun belahan dunia sudah menyediakan seluruh keperluan sehari-hari sehingga dapat mengefisienkan waktu dalam belanja berbagai kebutuhan. Pada umumnya, transaksi e-commerce yang terjadi antara pedagang dan konsumen yang saat ini marak terjadi tergolong ke jenis transaksi business to customer (B2C) yang dapat dipahami dengan kegiatan transaksi yang dilakukan antara perusahaan atau pelaku usaha dengan konsumen atau individu yang sifatnya bisa diinformasikan secara umum, pada jenis transaksi ini perusahaan atau pelaku usaha harus siap menerima respon baik positif maupun negatif yang diberikan konsumen tersebut.3

Pada prosesnya, kegiatan bisnis berbasis online yang pada dasarnya melibatkan beberapa pihak yaitu produsen, pedagang, penyedia jasa dan konsumen ini dalam kegiatan jual belinya juga menggunakan metode pembayaran yang relatif efektif dan juga berbasis elektronik, dimana pembayarannya dilakukan dengan memanfaatkan sistem digital yang disebut dengan e-money. Namun, beberapa lapak pada platform ecommerce juga tetap menyediakan jasa pembayaran ditempat penerimaan barang atau cash on delivery (COD) yaitu pembayaran produk barang dilakukan melalui pihak ketiga yaitu kurir saat mengantarkan barang yang dibeli oleh konsumen. Meningkatnya nilai transaksi e-commerce menjadi salah satu faktor pendorong tumbuhnya jumlah pelaku usaha yang melancarkan usahanya di Indonesia, dimana hal ini mendorong terbentuknya syarat wajib dalam persaingan usaha pasar menjadi lebih ketat dalam hal kompetitifnya.4

Saat ini, perkembangan teknologi melahirkan tak hanya satu aplikasi penyedia layanan belanja online, namun saat ini di Indonesia sendiri sudah ada beragam aplikasi yang menyediakan layanan belanja online sehingga memudahkan masyarakat untuk memilih aplikasi mana yang disukain dan menarik baginya. Masing-masing ecommerce tentunya menyediakan fasilitas yang berbeda dengan yang lainnya sehingga mengharuskan konsumen memilih e-commerce mana yang menurutnya memberikan fasilitas terbaik dalam memudahkan alur belanjanya, metode pembayarannya bahkan

yang saat ini menjamur di Indonesia yaitu adanya promosi besar-besaran yang setiap bulannya disediakan oleh beberapa e-commerce untuk menarik daya ikat konsumennya. Di Indonesia beberapa layanan e-commerce misalnya Shopee, Tokopedia, Lazada, Bukalapak, Blibli.com. Kelima layanan tersebut menyediakan berbagai kebutuhan konsumen dan fasilitas-fasilitas menarik juga yang membarenginya. Tak jarang juga layanan tersebut juga meberikan fasilitas keringanan bertransaksi dengan memberikan promosi berupa diskon penurunan harga di setiap bulannya. Setiap bulannya pada perhitungan tanggal serta bulan dengan angka yang sama seperti halnya tanggal dua belas bulan Desember atau yang lebih dikenal dengan Flash Sale 12.12, tanggal satu bulan Januari atau dikenal dengan Flash Sale 1.1 selalu mengadakan Flash Sale. Praktik promosi Flash Sale merupakan suatu kemudahan terhadap penjualan barang dan/atau jasa dengan memangkas harga dan jumlah ketersediaan produk barang yang umumnya sedikit dan berlangsung sekejap.5 Kelima layanan tersebut memberikan diskon berbeda-beda, misalnya seperti pada layanan aplikasi Shopee, pada promosi Flash Sale 12.12 aplikasi tersebut bisa menurunkan harga barangnya dengan memberikan diskon hingga 99%, harga tersebut bisa mencapai Rp.999,- dan Rp. 99,- dimana harga tersebut sangat berbeda dengan harga yang seharusnya dijual di pasaran, sedangkan pada aplikasi Lazada bisa saja hanya memberikan diskon hingga 70%. Dari promosi Flash Sale yang disediakan tiap bulannya dengan jumlah diskon yang berbeda dari setiap platform e-commerce tersebut tentunya masyarakat memiliki banyak kesempatan untuk memilah dan memilih platform e-commerce mana yang memberikan fasilitas terbaiknya berupa potongan harga atau diskon yang lebih banyak setiap bulannya disertai dengan voucher gratis ongkos kirim bagi konsumen mengingat tingginya tingkat kebutuhan masyarakat saat ini.

Tingginya peminat dari berbagai kalangan masyarakat yang diikuti pula dengan meningkatnya nilai transaksi pada platform e-commerce pastinya ikut mendorong perkembangan jumlah pelaku usaha yang juga berkecimpung di sektor perdagangan e-commerce. Lebih lajut, Nailul Huda, sebagai peneliti pada INDEF mengatakan bahwasanya pasar domestik yang ada di Indonesia memiliki potensi tinggi bagi pelaku usaha sebagai pasar untuk mengadakan aktivitas jual beli bagi produknya dengan perantara platform e-commerce. Tercermin dari pengadaan Flash Sale di beberapa e-commerce sangat berpotensi menimbulkan persaingan antar bisnis digital di Indonesia, ditambah dengan berbagai fasilitas berbeda yang ditawarkan setiap platform e-commerce sebagai pembanding dengan yang lainnya, seperti halnya praktik promosi Flash Sale. Hal tersebut mengindikasikan adanya potensi persaingan dalam sebuah kegiatan bisnis digital yang terkategorikan dalam golongan yang tidak sehat. Pada pelaku usaha dengan cakupan skala besar yang tentunya sudah memiliki modal besar dan merajai pasar tentunya memiliki kekuatan yang besar sehingga dapat mengendalikan aktivitas pasar dan penggunanya bahkan dapat memberikan hambatan untuk pelaku usaha lain memasuki pasar atau yang sering disebut dengan upaya menguasai pasar (lock-in).6 Lebih dari itu, posisi tawar (bargaining position) juga melekat dengan status para pelaku usaha atau perusahaan dengan cakupan skala besar jika dibandingkan dengan konsumennya sehingga dapat tercipta ketidaksinambungan antara kedua unsur tersebut.

Praktik promosi Flash Sale sebagai praktik pemasaran produk barang dengan harga di bawah normal dapat menimbulkan minat konsumen untuk cenderung berbelanja dengan harga yang berbeda drastis tersebut kerap kali identik dengan upaya monopoli atau menguasai pasar. Dimana hal tersebut diistilahkan dengan predatory pricing yang merupakan tindakan suatu pelaku usaha atau perusahaan untuk menyingkirkan pesaingnya dengan cara menjual produknya dibawah upah produksi sehingga dapat dijual dengan harga di bawah harga normal pada pasar. Salah satu indikator yang menentukan keberhasilan suatu pelaku usaha atau perusahaan yang melakukan predatory pricing ini lazimnya dapat dilihat dengan keluarnya suatu pihak pesaingnya yang merasa dirugikan akibat dari prilaku predatory pricing, selain itu calon pesaing yang baru memasuki dunia bisnis juga merasa terhambat akibat dari salah satu pelaku usaha yang melangsungkan praktik predatory pricing ini mengingat praktik tersebut termasuk dalam ketidaksehatan persaingan usaha.

Payung hukum di Indonesia terkait persaingan usaha tidak sehat telah termaktub pada ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang mengatur terkait aktivitas bisnis guna terhindar dari upaya persaingan secara tidak wajar. Umumnya, pengaktualan dari ketentuan undang-undang tersebut dinilai cukup terlaksana dengan baik sebagai landasan hukum dan pijakan untuk menyelesaikan kasus persaingan usaha. Keberadaan undang-undang tersebut sebagai payung hukum juga dibarengi dengan peran khusus lembaga dalam menangani masalah mengenai persaingan usaha yang tugasnya dapat dilihat mulai dari pengawasan hingga pemberian sanksi untuk pelaku usaha yang melancarkan usahanya dengan persaingan tidak sehat. Mengingat maraknya pertumbuhan bisnis digital yang berkembang di Indonesia, kini tugas KPPU pun semakin kompleks demi terciptanya iklim usaha yang sehat di negara ini. Mengenai adanya indikasi upaya jual rugi atau predatory pricing dalam bentuk promosi Flash Sale yang dilakukan sejumlah perusahaan yang masuk dalam kategori e-commerce, perlu dianalisis apakah hal tersebut termasuk dalam monopoli yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat, maka diperlukan juga analisis mengenai penegakan hukumnya oleh pihak yang berwenang, khususnya KPPU. Penulisan artikel yang dilakukan penulis ini harapannya mampu menyumbangkan pemikiran terhadap perkembangan pengetahuan khususnya dalam ranah hukum bisnis, sejalan dengan derasnya arus globalisasi yang perlahan menggerus aktivitas manusia dengan bantuan teknologi.

Guna menghindari tindakan plagiarisme atas penulisan artikel dan sebagai pembuktian atas artikel ini yang memiliki sebuah orisinalitas serta memuat keilmuan baru atas problematika yang terjadi, dengan demikian adapun penulisan artikel yang melakukan penelitian dengan persoalan yang sama namun dalam konteksnya yang lebih umum sebagai pembanding antara penulisan artikel ini. Penulisan artikel terdahulu oleh Billyzard Yossy Lauran dan I Made Sarjana yang berjudul “Praktik Flash Sale pada E-Commerce Ditinjau dari Ketentuan Predatory Pricing dalam Hukum Persaingan Usaha” dimana penulisan artikel tersebut membahas mengenai syarat praktik predatory pricing sebagaimana ditentukan dalam ketentuan perundang-undangan dan apakah promosi Flash Sale di Indonesia termasuk dalam praktik predatory pricing.7 Sedangkan pada penulisan artikel ini, selain menganalisis tentang keterkaitan promosi dengan metode Flash Sale dengan praktik predatory pricing sebagaimana termasuk dalam praktik persaingan usaha yang tidak sehat, penulis juga

menganalisis mengenai peran KPPU dalam penegakan hukum terkait dengan adanya indikasi praktik predatory pricing dalam promosi Flash Sale yang berkembang di Indonesia. Dari uraian tersebut maka penulis memiliki keinginan untuk melakukan penelitian dan penulisan artikel yang berjudul “Indikasi Predatory Pricing dalam Promosi Flash Sale pada E-Commerce Sebagai Praktik Persaingan Usaha Tidak Sehat”.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Dari pemaparan latar belakang di atas, adapun topik masalah yang diambil yaitu:

  • 1.    Bagaimana keterkaitan promosi Flash Sale pada E-Commerce yang mengindikasikan adanya predatory pricing sebagai praktik persaingan usaha yang tidak sehat dalam keberlangsungan suatu bisnis?

  • 2.    Bagaimanakah KPPU melakukan perannya dalam penegakan hukum berkaitan dengan adanya indikasi predatory pricing dalam promosi Flash Sale pada ECommerce?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Penelitian dan penulisan jurnal ini bertujuan guna menganalisis bagaimana keterkaitan promosi Flash Sale yang berlangsung di e-commerce, mengindikasikan adanya persaingan usaha tidak sehat dalam bentuk predatory prcing dalam berlangsungnya suatu bisnis dan bagaimana peran KPPU dalam penegakan hukum kaitannya dengan adanya indikasi predatory pricing dalam promosi Flash Sale mengingat hal tersebut tergolong tindakan persaingan usaha tidak sehat pada ecommerce.

  • II.    Metode Penelitian

Guna menganalisis permasalahan yang dikaji dalam studi ini maka diperlukan suatu metode penelitian hukum secara yuridis normatif yang berdasar pada norma hukum yang berlaku sesuai dengan topik permasalahan yang dianalisis. Selain itu, penelitian hukum secara yuridis normatif dalam studi ini juga menggunakan pendekatan terhadap perundang-undangan dengan mengamati serta memahami regulasi, ketentuan undang-undang dan peraturan lainnya yang erat hubungannya dengan topik masalah yang dikaji. Penelitian ini juga ditulis dengan metode penelitian kepustakaan (library research) merupakan penelitian yang memanfaatkan studi-studi kepustakaan dari berbagai literatur.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Keterkaitan Promosi Flash Sale pada E-Commerce yang Mengindikasikan Adanya Predatory Pricing Sebagai Praktik Persaingan Usaha yang Tidak Sehat

Penyelenggaraan bisnis berbasis elektronik yang dikenal dengan bisnis digital atau e-commerce sudah menjamur dan banyak diminati di Indonesia. Keberadaan e-commerce tentunya didukung oleh sistem transaksi yang juga berbasis elektronik dapat memudahkan penggunanya dalam bertransaksi sehingga dewasa ini masyarakat memilih beralih ke transaksi elektronik yang dapat digunakan sebagai media transaksi pada e-commerce. Dasar hukumnya pun tertuang dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE, khususnya pada rumusan Pasal 1 angka 2 yang merumuskan bahwa setiap perbuatan transaksi elektronik dengan menggunakan media elektronik maka dapat dikategorikan sebagai perbuatan hukum. Perbuatan hukum tersebut muncul dari adanya hubungan hukum antara pembeli selaku konsumen pada e-commerce yang dimulai pada saat konsumen melakukan registrasi atau log in pada platform e-commerce yang selanjutnya

konsumen dapat mengakses semua produk yang diminatinya pada platform e-commerce tersebut.8 Menjamurnya pelaku bisnis digital tak menutup kemungkinan terjadi adanya persaingan sesama pelaku bisnis tersebut dengan cara yang tidak sehat. Segala cara tentunya digunakan untuk meraih posisi dominan pada pasar sehingga akan lebih dikenal oleh konsumen, salah satunya yaitu praktik predatory pricing yang kerap menjadi strategi pelaku usaha meraup keuntungan pada beberapa e-commerce yang dilakukan saat waktu tertentu.

Di Indonesia predatory pricing dikenal dengan istilah praktik jual rugi. Predatory pricing merupakan praktik penjualan produk barang dalam dunia bisnis dengan menggunakan strategi penjualan dengan mematok harga tidak sewajarnya atau kerap kali dengan harga dibawah standar pasar sehingga predatory pricing ini dikenal dengan praktik jual rugi. Secara teoritis, predatory pricing ini dapat dipahami sebagai tindakan pelaku usaha yang memberikan harga bagi produk barang yang dijualnya berkisar pada jangkauan harga sangat murah.9 Praktik predatory pricing tersebut dapat tergambarkan dari adanya pelaku usaha yang menduduki posisi teratas atau dominan dalam sebuah pasar sehingga memiliki kemampuan ekonomi yang memadai dapat memasarkan produk barangnya di bawah biaya produksi. Adanya praktik predatory pricing ini diyakini memiliki tujuan terselubung, salah satunya yaitu untuk membuat kondisi tidak nyaman bagi pelaku usaha atau pesaing usaha lainnya sehingga ia tidak mampu untuk menyainginya dan dengan keadaan terpaksa keluar dari kondisi pasar bisnis tersebut, setelah itu pelaku usaha yang berhasil menyingkirkan pesaingnya tersebut nantinya yang akan mendominasi pasar. Secara perlahan, pelaku usaha akan menjual produk barang dengan harga melonjak naik dari harga pasar yang kenaikkannya dilakukan secara signifikan seiring dengan keberhasilannya menguasai dan mendominasi pasar.

Lebih lanjut lagi, menurut Prof. L. Budi Kagramanto menegaskan bahwasanya terdapat tiga syarat agar dapat mengindikasi benar atau tidaknya pelaku usaha melakukan praktik perbuatan jual rugi atau predatory pricing, yaitu :10

  • 1.    Harus dilaksanakan pemeriksaan dan pembuktian untuk membuktikan bahwa benar adanya pemasaran barang dengan patokan harga rugi yaitu di bawah harga prduksi. Apabila harga produk barang yang dijual pengusaha sangat murah, tetapi tidak mengalami kerugian, maka dianggap pelaku usaha melakukan kegiatan predatory pricing.

  • 2.    Apabila terbukti adanya penjualan barang jauh lebih rendah dari harga produksi, maka harus dibuktikan adanya alasan dari jual rugi yang dilakukannya tersebut. Ini dilakukan karena memang ada saatnya pelaku usaha melakukan praktik predatory pricing hanya dengan maksud untuk menghindarkan diri dari potensi kerugian yang semakin besar sehingga semua barang dan/atau jasanya dijual dengan harga murah agar menarik banyak konsumen sehingga kerugiannya pun tidak terlalu besar. Jika pelaku usaha demikian, maka perbuatan tersebut tidak termasuk dalam predatory pricing yang mengindikasikan praktik persaingan usaha tidak sehat karena tidak terciptanya posisi dominan pada pasar dan tidak merugikan pelaku usaha lainnya.

  • 3.    Dapat dikatakan melakukan predatory pricing sebagai indikasi persaingan usaha yang tidak sehat jika ada pengusaha melancarkan tindakan predatory pricing dalam jangka waktu tertentu yang relatif lama, lalu secara tiba-tiba dilakukan

peningkatan harga terhadap produknya secara signifikan pada periode berikutnya.

Dengan adanya praktik jual rugi atau yang dikenal dengan predatory pricing tentu akan menguntungkan konsumen walaupun dilakukan dalam jangka waktu singkat. Namun, akan berubah bila pelaku usaha yang sudah dominan telah berhasil menyingkirkan pesaingnya dan calon pelaku usaha baru yang hendak ikut berkecimpung di dunia perdagangan. Dari hal tersebut, posisi dominan yang diduduki pelaku usaha dengan mudah dapat mencari keuntungan dengan cara menjual produk barangnya dengan harga terlampau mahal mengingat tidak ada pesaingnya yang masih berada pada posisi dominan. Pada situasi tersebut, apabila berlangsung lama akan jelas tampak kerugian pada konsumen akibat dari praktik monopoli perdagangan menjual rugi atau predatory pricing oleh pengusaha yang sudah menempati kedudukan teratas. Larangan persaingan usaha tidak sehat, khususnya perbuatan monopoli berupa predatory pricing atau jual rugi sejatinya telah diatur pada ketentuan yang sifatnya rule of reason, termuat pada peraturan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang sejatinya memiliki kesamaan substansi dengan ketentuan Pasal 7, pada dasarnya merumuskan mengenai larangan bagi pelaku usaha terkait dengan dilakukannya pemasokan barang disertai penetapan harga sangat rendah di bawah harga pasar bertujuan untuk menyisihkan pesaingnya dan menghalau calon pengusaha yang bergabung di pasar tersebut sehingga berakibat pada terciptanya posisi dominan dan berlangsungnya ketidaksehatan dalam persaingan usaha. Dari rumusan yang termuat pada aturan tersebut, secara implisit menerangkan bahwa praktik jual rugi atau predatory pricing tidak seutuhnya dilarang selama pelaksanaannya praktik itu tidak mempengaruhi terciptanya monopoli perdagangan dan persaingan usaha yang tidak sehat.11

Flash Sale adalah metode promosi dengan mengurangi harga suatu produk dalam periode singkat dan kuantitas barang yang minim, dilakukan pada platform e-commerce sehingga konsumen harus berlomba-lomba membelinya atau melakukan check out barang yang dibelinya. Dewasa ini Flash Sale digunakan sebagai strategi promosi yang dilakukan untuk meningkatkan minat masyarakat dalam berbelanja dan tentunya meningkatkan omset pelaku usaha. Selain itu, dengan diberlakukannya promosi Flash Sale oleh pelaku usaha berdampak pada naiknya rating online shop yang berbasis pada e-commerce sehingga lebih dikenal oleh masyarakat luas yang nantinya antusiasime konsumen untuk membeli produk Flash Sale pun otomatis juga meningkat. Adanya keuntungan tersebut, mengakibatkan maraknya pelaku usaha memberlakukan Flash Sale. Secara psikologis, konsumen pastinya lebih tertarik berbelanja saat periode Flash Sale mengingat murahnya harga produk walaupun dengan keterbatasan stock, waktu yang singkat dan produk yang mereka beli pun belum tentu menjadi kebutuhan penting bagi konsumen.12

Di setiap e-commerce seperti Bukalapak, Shopee, Blibli.com, Tokopedia, Lazada, memiliki syarat tentunya harus dipenuhi oleh pelaku usaha untuk dapat mengikuti program Flash Sale. Salah satu syarat yang harus dipenuhi yaitu harga promosi barang dan/atau jasa saat berlangsungnya Flash Sale minimal harus dibawah 1% dari harga normal, harga barang dan/atau jasa saat Flash Sale harus ditetapkan lebih rendah dari akumulasi harga saat tiga puluh hari terakhir produk barang itu ditawarkan. Sementara itu, harga promosi barang saat berlangsungnya Flash Sale harus dibawah dari harga

normal yang berlaku di platform e-commerce yang dimiliki oleh pelaku usaha, dengan kata lain harga saat Flash Sale harus lebih rendah dari harga promosi lainnya yang sedang berlangsung bersamaan. Selanjutnya, persyaratan mengenai pelaku usaha yang dapat mengikutsertakan online shop-nya pada promosi Flash Sale salah satunya yaitu pelaku usaha tidak diizikan untuk mengubah jenis produk, harga dan foto tampilan barang dan/atau jasa yang dipasarkannya pada platform e-commerce hingga periode Flash Sale berakhir.13 Lebih lanjut, syarat bagi konsumen yang ingin berbelanja saat berlangsungnya promosi Flash Sale umumnya yaitu adanya Batasan dari pelaku usaha mengenai kuantitas pembelian yang dilakukan oleh konsumen.14 Dengan kata lain, konsumen tidak diizinkan untuk membeli produk barang dan/atau jasa saat periode Flash Sale melebihi jumlah yang disyaratkan.

Menilik dari persyaratan serta ciri-ciri strategi promosi Flash Sale biasanya berlangsung di platform e-commerce dengan waktu singkat seperti halnya pada tanggal dan bulan yang menunjukkan angka yang sama, mencerminkan bahwasanya Flash Sale tidak berlangsung lama dan berkelanjutan. Jika dilihat bersama, penetapan harga produk yang sangat rendah pada e-commerce dalam jangka waktu lama kelak dapat menimbulkan perang harga karena banyaknya pelaku usaha yang memasang harga murah dapat berakibat pada terciptanya langganan tetap dan tidak beralihnya konsumen dari lapak satu ke lapak lainnya. Untuk dapat menentukan apakah strategi Flash Sale ini termasuk dalam praktik predatory pricing maka dapat menilik kembali ketentuan perundang-undangan yang berlaku seperti halnya yang sudah dijabarkan di atas. Mengacu pada periode pelaksanaan promosi Flash Sale yakni dalam jangka waktu tertentu yang umumnya singkat maka dapat dianalisa bahwasanya Flash Sale bukan termasuk dalam praktik predatory pricing, untuk dapat dikategorikan dalam upaya penerapan predatory pricing, promosi Flash Sale seharusnya periode berlangsungnya tak terbatas sepanjang pelaku usaha pesaingnya masih bertahan pada pasar dan belum berhasil disingkirkan. Selain itu, dapat dilihat bahwasanya harga dari produk barang dan/atau jasa yang dijual pada Flash Sale, dimana tidak semua produk dijual dengan harga rendah di bawah harga produksi, mengingat syarat harga yang dipatok pada promosi Flash Sale minimal dibawah 1% dari harga normal. Dari hal tersebut dapat tercermin bahwa tidak semua promosi Flash Sale terindikasi sebagai upaya predatory pricing, mengingat syarat dari predatory pricing salah satunya yaitu harga barang yang dijual dibawah biaya variabel rata-rata (average variable coast) yang nantinya menimbulkan harga yang tidak wajar atau timpang sebelah.15

Dari analisa di atas maka dapat diketahui bahwasanya kecil kemungkinan pelaku usaha dapat melancarkan praktik predatory pricing pada platform e-commerce mengingat jangkauan pasar pada e-ommerce sangatlah luas jika dibandingkan dengan jual beli konvensional sehingga apabila pada salah satu e-commerce kedapatan melakukan praktik predatory pricing maka konsumen akan lebih memilih berbelanja pada platform e-commerce lainnya. Dengan banyaknya platform e-commerce dalam negeri dan luar negeri maka masyarakat lebih banyak memiliki pilihan dalam menggunakan platform e-commerce mana yang dapat dipercaya, baik dari segi pelayanan dan kualitas produk yang diperolehnya. Hal tersebut menjadi salah satu dampak positif dari perkembangan digital yang tak membatasi masyarakat untuk bertransaksi sesuai dengan apa yang dianggapnya menguntungkan asal tidak menyalahi aturan yang ada.

  • 3.2    Peran KPPU dalam Penegakan Hukum Terkait dengan Adanya Indikasi Predatory Pricing dalam Promosi Flash Sale pada E-Commerce

Kegiatan penguasaan pasar digital sama halnya dengan penguasaan pasar konvensional yang erat kaitannya dengan perebutan posisi dominan. Dalam mewujudkan upaya optimalisasi sumber daya sebagai strategi dalam pemenuhan aspek kebutuhan hidup masyarakat maka dibutuhkan adanya kehidupan ekonomi pasar yang sehat. Dewasa ini, penyelenggaraan e-commerce yang semakin luas juga tak menutup keumungkinan terjadi pelanggaran dalam aktivitas di dalamnya. Menjamurnya keberadaan e-commerce diamati dari perspektif hukum persaingan usaha tampak diikuti oleh rintangan pada penyelenggaraannya. Secara spesifiknya, tantangan tersebut berkenaan dengan potensi terjadinya monopoli perdagangan sebagai dampak dari tidak sehatnya persaingan usaha yang dilakukan. Pengusaha yang melancarkan upaya persaingan usaha tidak sehat diketahui sebagai tindakan yang bersifat menghalangi persaingan pada pasar terkait disertai upaya menyingkirkan pesaingnya dengan cara yang tidak dibenarkan dibenarkan oleh hukum yang berlaku.

Diamati dari perspektif hukum persaingan usaha, penegakan hukum yang diimplementasikan berupa rangkaian mekanisme sebagai upaya menegakkan fungsi aturan-aturan hukum sebagai sebuah panduan dalam berpijak khususnya pada subjek-subjek yang terkait dalam dunia usaha. Tak hanya itu, menurut Soerjono Soekanto menegaskan perihal penegakan hukum yang dapat dicermati dengan kegiatan guna menyelaraskan keterkaitan antar nilai-nilai yang terkandung pada aturan atau paham-paham pada suatu ajaran untuk menciptakan guna mempertahankan tentramnya kehidupan.16 Ditinjau dari subjek penegakan hukumnya, dapat mencakup masyarakat umum dan secara spesifik dalam artian subjek khususnya yaitu orang-orang yang terlibat langsung dalam pasar seperti halnya pelaku usaha, produsen dan konsumen yang tentunya perlu perlindungan hukum yang juga dapat mencerminkan dari adanya implementasi dari penegakan hukum persaingan usaha. Dari realisasi yang mencerminkan tegaknya hukum pada aspek persaingan usaha ini, wajib adanya perlindungan terhadap subjek hukum yang berada pada posisi lemah, tak hanya pada posisi dominan saja sehingga subjek hukum yang berada pada posisi lemah dapat bertahan di dunia bisnis ini dan berakibat pada meratanya pasar bisnis.

Penegakan hukum persaingan usaha terkait dengan keberadaan bisnis berbasis digital atau e-commerce secara tersurat tidak tertuang pada ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, selebihnya ketentuan itu memuat praktik-praktik persaingan usaha juga dapat tercermin melalui praktik persaingan usaha yang dilakukan pada e-commerce. Ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 umumnya menguraikan bahwasanya ada tiga tindakan tidak sehatnya persaingan usaha yang dilakukan namun masih marak terjadi dan tentunya dilarang hukum yang dapat dikategorikan sebagai anti persaingan usaha, yaitu tentang larangan mengenai beberapa perjanjian, larangan mengenai beberapa kegiatan dan adanya kedudukan dominan pada pasar. Seperti yang telah dibahas sebelumnya mengenai rintangan dari bisnis e-commerce kini salah satunya yaitu berkaitan dengan adanya indikasi predatory pricing yang tampak dari promosi Flash Sale. Mengenai hal tersebut, berkesinambungan dengan larangan dari pembuatan perjanjian tertentu sebagai upaya praktik monopoli perdagangan yang sejatinya dilarang sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 khususnya pada rumusan Pasal 5 hingga Pasal 8 yang mengatur perihal pelaku usaha yang dilarang untuk menetapkan harga yang tidak normal.

Penjualan produk dengan harga jauh dibawah biaya marginal oleh pelaku usaha sebagai ciri dari predatory pricing di satu sisi akan menguntungkan konsumen sedangkan di lain sisi dapat mendatangkan kerugian pada pelaku usaha yang menjadi pesiangnya. Lebih lanjut, hal tersebut jika berlangsung lama akan berakibat pada terciptanya upaya monopoli perdagangan, pasalnya dari praktik predatory pricing kelak akan menimbulkan satu posisi dominan pada pasar. Sesuai dengan aturan yang termuat pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 khususnya Pasal 24 merumuskan terkait larangan pelaku usaha untuk menghambat atau menguasai proses pembuatan maupun perdagangan. Menindaklanjuti sanksi yang diberikan untuk pelaku usaha yang terindikasi melanggar aturan yang terkait, tentunya mengenai sanksi juga tertuang dalam rumusan ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Penetapan mengenai sanksi kepada pengusaha karena terindikasi melakukan monopoli perdagangan, dalam hal ini yaitu predatory pricing, diatur pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 khususnya pada rumusan Pasal 47 dan Pasal 48 yang terbagi menjadi sanksi administratif dan juga dapat dikenai sanksi pidana. Wujud dari sanksi tersebut dapat berupa pencabutan izin usaha, pengenaan denda, ganti rugi, penghentian kegiatan tertentu yang menimbulkan kerugian kepada pihak lain dan larangan pelaku usaha untuk menjabat sebagai direksi atau komisaris sesuai periode yang ditentukan.

Menindaklanjuti indikasi predatory pricing sebagai akibat dari promosi Flash Sale pada platform e-commerce, peran penegak hukum menjalankan tugasnya menjadi sorotan banyak pihak. Pada lingkup hukum persaingan usaha, untuk mencegah dan menyelesaikan perkara berhubungan dengan persaingan usaha di Indonesia, maka diperlukan peran lembaga sebagai kunci pengawasan di masyarakat, lembaga tersebut yaitu KPPU yang merupakan singkatan dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Lebih jelasnya, KPPU adalah salah satu lembaga negara bentukan pemerintah yang sifatnya independen, terbentuk berdasarkan atas surat Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999. Lembaga ini memiliki peran kompleks sebagai penegak hukum yang bertugas dalam pengawasan persaingan usaha sesuai atas mandatnya yang dirumuskan dalam ketentuan Pasal 35 dan 36 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

Peran kompleks ini dimandatkan kepada KPPU dipengaruhi oleh semakin maraknya mobilisasi bisnis yang mencakup bidang yang luas disertai dengan pembaharuan metode guna memenangkan posisi antar pesaing pada bisnisnya.17 Secara hakikatnya, KPPU sebagai lembaga yang mengawasi dalam realisasi ketentuan pada undang-undang yang tidak dapat dipengaruhi oleh pihak lain. Namun tidak mutlak berarti bahwa KPPU tidak membutuhkan peran dari lembaga lainnya yang perannya juga sebagai penegak hukum dan juga yang berwenang terkait dengan penanganan perkara pesaingan usaha tidak sehat. Spesifiknya lagi, dalam ranah e-commerce, KPPU saat ini sudah mempunyai Deputi Pencegahan yang bertugas melakukan pengawasan bisnis pada platform e-commerce dengan teknik pengawasan terhadap adanya prilaku diskriminasi. Dalam hal ini, peran KPPU dalam mengawasi persaingan usaha bertindak layaknya wasit yang mengawasi dan menilai aktivitas bisnis yang mencakup persaingannya dalam ranah digital. KPPU melalui Deputi Pencegahan menerangkan mengenai perannya untuk melakukan pencegahan terkait persaingan usaha tidak sehat sembari mengawasi prilaku yang berpotensi menciptakan upaya pembedaan dan perampasan dari platform terhadap produsen atau antar sesama platform, dan praktik

predatory pricing18. Pada tahapan pemberian sanksi kepada pelaku pelanggaran persaingan usaha, penjatuhan sanksi pidana maupun perdata notabenenya diluar kewenangan KPPU sehingga hanya dapat memberikan sanksi administratif. Hal tersebut mengingat keberadaan KPPU yang merupakan lembaga administratif, bukan lemaga peradilan khusus persaingan usaha.19

Kewenangan yang dimiliki KPPU tercermin dari tahapan pemeriksaan hingga pada tahap pembacaan putusan, KPPU juga berwenang dalam melakukan pemeriksaan secara spesifik, melangsungkan penyelidikan, penyidikan sampai pembuatan putusan yang nantinya pembacaannya dilakukan pada sidang yang terbuka untuk umum sama halnya yang termuat pada ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 khususnya Pasal 43 ayat (4). KPPU pada tahapan pemberian putusan, memberikan putusan yang pelaksanaannya wajib dilakukan sehingga pelaku usaha yang dinyatakan bersalah wajib untuk memberitahukan laporan pelaksanaan putusan tersebut kepada KPPU. Sama halnya seperti perkara lainnya, maka dalam penyelesaian perkara predatory pricing ini, apabila ada keberatan sebagai penyangkalan dari pelaku usaha yang bersalah atas putusan KPPU sebelumnya, dapat diselesaikan di Pengadilan serta Mahkamah Agung yang memiliki kewenangan sama dalam menyelesaikan sengketa perihal persaingan usaha tidak sehat yang masuk ke ranah perkara pidana, salah satunya bisa disebabkan oleh tidak dijalankannya putusan KPPU yang sebenarnya sudah inkracht (berkekuatan hukum tetap).20

Ketika menganalisis apakah ada pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 oleh pelaku usaha, maka dikenal adanya dua teori pendekatan yang dilakukan oleh KPPU, yaitu pendekatan ekonomi dan pendekatan hukum. Memfokus pada pendekatan hukum tersebut, dikenal dengan dua metode yaitu pendekatan per se illegal dan rule of reason. Pendekatan dengan per se illegal menekankan bahwasanya pada perbuatan tersebut telah terjadi pelanggaran terhadap ketentuan yang telah diatur sehingga pembuktiannya dilakukan oleh pihak yang menuduh melakukan pelanggaran bahwa tindakan tersebut memang dilakukan tanpa harus memikirkan akibatnya. Terdapat syarat pada pendekatan per se illegal yang harus dipenuhi, pertama yaitu lebih berfokus terhadap prilaku bisnis sebagai lingkupnya dan kedua yaitu adanya identifikasi yang efisien mengenai jenis praktik yang mengindikasikan pelanggaran dan batasan prilaku yang terlarang.21 Perbuatan terlarang yang sifatnya per se illegal merupakan himbauan untuk tidak dilaksanakan prilaku yang sangat besar kemungkinan dapat merusak persaingan seperti halnya praktik price fixing atau penetapan harga yang pemeriksaan atas adanya suatu perbuatan tersebut, pembuktiannya dibebani oleh pihak penggugat. Pada ketetuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, rumusan pasal diketahui mengandung pendekatan per se illegal terlihat dari bunyi pasal yang mengharuskan persaingan usaha yang dilakukan tersebut menunjukkan dampak negatif. Selanjutnya, pendekatan yang lingkupnya lebih luas yaitu rule of reason karena pendekatan ini menitikberatkan pelaksanaan perbuatan yang dilarang, pembuktiannya harus dilakukan diawal sampai sejauh mana tindakan tersebut akan berakibat pada persaingan pasar. Pendekatan rule of reason digunakan terhadap tindakan yang sulit diketahui keabsahannya tanpa mengamati dampak terjadinya tindakan tersebut. Jadi

diharuskan untuk mempertimbangkan berbagai faktor salah satunya yaitu latar belakang dilakukannya bisnis agar selanjutnya dapat ditentukan apakan tindakan tersebut sifatnya illegal atau tidak.22

Substansi yang mencerminkan penerapan rule of reason terkandung pada rumusan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terlihat dari frasa yang menunjukkan bahwa adanya akibat dari perbuatan yang terlebih dahulu harus dibuktikan secara menyeluruh dan harus memenuhi unsur-unsur yang termuat pada rumusan ketentuannya. Pasal 7 dan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 merumuskan mengenai dilarangnya penerapan predatory pricing termasuk dalam cerminan dari pendekatan rule of reason. Berlandaskan pada uraian sebelumnya, sehingga diketahui pula bahwa pendekatan rule of reason tepat diaplikasikan untuk memastikan bahwa apakah promosi Flash Sale yang berlangsung pada e-commerce terindikasi predatory pricing atau tidak. Pasalnya, pendekatan ini lebih fokus pada proses pembuktian secara luas dengan Teknik analisis ekonomi untuk mengamati implikasi persaingan usaha. Mengarah pada hal tersebut, maka secara garis besar praktik predatory pricing yang dapat menciptakan kekuatan ekonomi yang sifatnya berpusat pada satu pihak dan timbulnya posisi dominan sebagai indikasi dari adanya persaingan usaha tidak sehat yang sejatinya dilarang. Keberadaan praktik predatory pricing dalam promosi Flash Sale dapat dibuktikan lebih jauh dengan pendekatan rule of reason mengingat metode promosi Flash Sale walaupun menguntungkan bagi konsumen mengingat penjualan barang dengan harga terlampau rendah, namun di lain sisi berdampak pada pelaku usaha yang justru merasa dirugikan karena adanya posisi dominan dalam pasar yang jika berkelanjutan maka berakibat mematikan usaha sejenis.

  • IV.    Kesimpulan sebagai Penutup

    4. Kesimpulan

Keterkaitan praktik predatory pricing dengan promosi Flash Sale pada platform ecommerce seperti Shopee, Bukalapak, Lazada, Blibli.com dan Tokopedia yang dilakukan dalam bentuk pemberian potongan harga pada produk barang sehingga penjualan produk tersebut dipasarkan dengan harga murah bahkan di bawah harga produksi, dapat dianalisa bahwasanya tindakan tersebut tidak mengindikasikan adanya upaya predatory pricing sebagai praktik persaingan usaha tidak sehat. Analisa tersebut didukung oleh promosi Flash Sale yang nyatanya mematuhi ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang khususnya mengatur predatory pricing atau jual rugi pada rumusan Pasal 20 yang memuat substansi yang sama dengan Pasal 7. Mengacu pada periode pelaksanaan promosi Flash Sale yang relatif singkat dan tujuan dari dilaksanakannya hanya untuk menarik minat konsumen untuk berbelanja maka kecil kemungkinan dapat terindikasi predatory pricing, mengingat ciri-ciri dari praktik predatory pricing salah satunya yaitu pemberian harga murah dengan periode yang lama dengan tujuan untuk menyingkirkan pelaku usaha pesaingnya. Teori pendekatan yang digunakan untuk menganalisis apakan promosi Flash Sale terindikasi predatory pricing atau tidak maka digunakan pendekatan rule of reason dengan mengamati berbagai faktor, salah satunya yaitu latar belakang terbentuknya bisnis. Dalam aspek penegakan hukumnya, lembaga KPPU memiliki peran penting mulai dari pengawasan hingga pemberian sanksi jikalau ditemukan perkara yang menyangkut persaingan usaha. Kewenangan dan tugas KPPU termuat dalam rumusan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 khususnya pada Pasal 35 dan Pasal 36. Seiring dengan berkembangnya sektor e-

commerce, KPPU membentuk Deputi Pencegahan sebagai pusat kontrol pelaku usaha dalam menjalankan persaingan usaha pada platform digital.

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Adi Nugroho, Susanti. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dalam Teori Praktik Serta Penerapan Hukumnya. (Jakarta, Kencana, 2012).

Kagramanto, L. Budi. Mengenal Hukum Persaingan Usaha Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (Sidoarjo, Laros, 2015).

Simbolon, Alum. Hukum Persaingan Usaha (Yogyakarta, Penerbit Liberty, 2018).

Jurnal :

Anindita Maheswari, Alya. “Batasan, Wewenang dan Keterlibatan KPPU dalam Kasus Persekongkolan Tender Menurut Hukum Persaingan Usaha.” Jurist-Diction 3, No. 5 (2020).

Dewi, Ni Luh Putu Diah dan I Dewa Made Suartha. “Penerapan Pendekatan Rules of Reason dalam Menentukan Kegiatan Predatory Pricing yang Dapat Mengakibatkan Persaingan Usaha Tidak Sehat.” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 5, No. 2 (2017).

Effendi, Basri. “Pengawasan Dan Penegakan Hukum Terhadap Bisnis Digital (E-Commerce) Oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Dalam Praktik Persaingan Usaha Tidak Sehat.” Syiah Kuala Law Journal 4, No. 1 (2020).

Fadhilah, Meita. “Penegakan Hukum Persaingan Usaha Tidak Sehat Oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Dalam Kerangka Ekstrateritorial.” Jurnal Wawasan Yuridika 3, No. 1 (2019).

Fitri dan Sri Jaya Lesmana. “Indikasi Predatory Pricing Pada Praktek Flash Sale Pelaku Usaha E-Commerce Dalam Perspektif Hukum Persaingan Usaha.” Supremasi Hukum 17, No. 2 (2021).

Hotana, Melisa Setiawan. “Industri E-Commerce Dalam Menciptakan Pasar Yang Kompetitif Berdasarkan Hukum Persaingan Usaha.” Jurnal Hukum Bisnis Bonum Sommune 1, No. 1 (2018).

Lukito, Imam. “Tantangan Hukum dan Peran Pemerintah Dalam Pembangunan ECommerce.” Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum 11, No. 3 (2017).

Malaka, Mashur. “Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha.” Jurnal Al-‘Adl 7, No, 2 (2014).

Murni. “Pendekatan Per Se Illegal dan Rule Of Reason Dalam Hukum Persaingan Usaha di Indonesia.” Jurnal Rechtens 2, No. 1 (2013).

Nur Hayati, Adis. ”Analisis Tantangan Dan Penegakan Hukum Persaingan Usaha Pada Sektor E-Commerce Di Indonesia” Jurnal Penelitian Hukum De Jure 21, No. 1 (2021).

Rai Mantili, Hazar Kusmayanti dan Anita Afriana. “Problematika Penegakan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dalam Rangka Menciptakan Kepastian Hukum.” PJIH : Padjajaran Jurnal Ilmu Hukum 3, No. 1 (2016).

Saputri, Respi, Asep Muhamad Ramdan, dan Nor Norisanti. “Peran Flash Sale dalam Memediasi Hubungan Sales Promotion Terhadap Keputusan Belanja Online.” Jurnal Syntax Idea 2, No. 6 (2020),

Syahnas Natalia, Titie. “Tinjauan Yuridis Mengenai Transaksi E-Commerce Berdasarkan Perspektif Hukum Perdata.” Jurnal Keadilan Progresif 11, No. 1 (2020).

Wiradiputra, Ditha dan Vicky Darmawan. “Predatory Pricing dalam E-Commerce Menurut Perspektif Hukum Persaingan Usaha.” Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan (JISIP) 6, No. 3 (2022).

Yossy Lauran, Billyzard dan I Made Sarjana. “Praktik Flash Sale pada E-Commerce Ditinjau dari Ketentuan Predatory Pricing dalam Hukum Persaingan Usaha.” Jurnal Kertha Negara 9, No. 12 (2021).

Majalah :

Remy Shaydeini. “E-Commerce Tinjauan Dari Perspektif Hukum.” Majalah Hukum Bisnis 12 (2001).

Peraturan Perundang-Undangan :

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No 11 Tahun 2022, hlm. 1731-1744