SANKSI PIDANA PEMISKINAN SEBAGAI UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Petrus Brad Michael, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: michaelmnk23@gmail.com

Diah Ratna Sari Hariyanto, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: diah_ratna@unud.ac.id

DOI: KW.2022.v11.i12.p7

ABSTRAK

Tujuan dari studi ini untuk memahami pengaturan dari sanksi pidana pemiskinan dalam penanggulangan tindak korupsi di Indonesia dan mengetahui bagaimana kajian sanksi pidana pemiskinan di Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023. Metode yang dipakai dalam studi ini adalah metode penelitian hukum normatif yang memfokuskan kepada norma hukum positif dengan pendekatan instrument hukum atau produk hukum (The Statue Approch). Sanksi pidana pemiskinan tidak diatur secara eksplisit dalam undang-undang manapun akan tetapi eksistensi dan pengaturan mengenai aspeknya dapat dilihat dalam Undang-Undang No 1 Tahun 2023. Pengaturan dari Sanksi pidana terhadap koruptor yang ada dinilai belum dapat membuat efek jera bagi koruptor maka dibutuhkan kebijakan dan peraturan lain yang tegas untuk mengatur mengenai sanksi pidana pemiskinan koruptor sehingga dapat menjadi dasar hukum yang kuat.

Kata Kunci: Korupsi, Sanksi Pidana Pemiskinan, Tindak Pidana Korupsi

ABSTRACT

The Study aims to deepen the regulation of impoverishment criminal sentence in overcoming corruption in Indonesia and to know how the review of impoverishment criminal sentence in Indonesia according to the Act Number 1 of 2023. The method used in this study is a normative legal research method that focuses on positive legal norms with a legal instrument or legal product approach (The Statue Approch). The criminal sanction for impoverishment is not explicitly regulated in any law, but the existence and arrangements regarding its aspects can be found in the Act Number 1 of 2023. The existing punishment has considered not been able to create a chary effect for corruptors, so a emphatic, positive regulations is needed to run the impoverishment criminal sentence so that it can become a strong law.

Keywords: Corruption, Impoverishment, Corruption Crime

  • I.   Pendahuluan

    1.1  Latar Belakang

Sejak bergulirnya masa reformasi, korupsi menjadi salah satu permasalahan yang semakin terkenal dan meningkat pelakunya. Akibat yang ditimbulkan oleh korupsi cukup serius, yakni dapat menyebabkan melambatnya pertumbuhan ekonomi di suatu negara, menurunnya investasi, meningkatnya angka kemiskinan, serta menimbulkan kesenjangan ekonomi. Korupsi dalam bahasa latin yakni, Corruptio-Corrumpere yang mempunyai arti menyogok, merusak, ataupun memutar balik. Koruptor merupakan pihak yang melakukan tindakan korupsi; pihak yang melakukan penggelapan uang negara di dalam perusahaannya ataupun di tempat kerjanya.

Korupsi di Indonesia masuk kedalam bagian dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Korupsi merupakan tindakan yang membuat kerugian bagi negara dan masyarakat karena hanya menguntungkan segelintir pihak yang melakukannya. Aparat penegak hukum di Indonesia telah mengupayakan tindakan pencegahan dan pemberantasan koruptor, dimulai dari pidana penjara, denda, uang pengganti, bahkan sampai dengan hukuman mati. Dalam sanksi yang diberikan belum serta merta diterapkan seutuhnya di Indonesia, walaupun Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sudah menerapkan juga mengenai pemiskinan yang dilakukan dalam kejahatan korupsi. Namun demikian, langkah-langkah konvensional tersebut terbukti belum bisa menyelesaikan permasalahan korupsi, hal ini dapat terbukti pada Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang terakhir didapat yakni pada tahun 2022 yang mendapatkan angka sebesar 34/100, semakin rendah nilai IPKnya maka semakin korup negaranya.

Karena tingginya angka kasus korupsi pengamat hukum menciptakan pemikiran-pemikiran baru mengenai alternatif sanksi pidana bagi koruptor, seperti halnya pidana penyitaan dan pemiskinan. Pengertian mengenai Pidana Pemiskinan di Indonesia tidak dapat ditemukan dalam perundang-undangannya, sehingga istilah pemiskinan perlu dicari melalui pandangan para sarjana dan ilmu pengetahuan hukum pidana (doktrin). Pidana Pemiskinan merupakan keseluruhan dari peraturan-peraturan mengenai cara atau upaya untuk membuat seseorang ataupun kelompok orang serba kekurangan dalam menjalani kehidupannya. Dasar pemikiran munculnya sanksi pemiskinan koruptor yakni pertama, dikarenakan para koruptor tidak jera dan jumlah koruptor tidak kunjung berkurang. Kedua, pidana lain berupa penjara, denda dan sanksi membayar uang pengganti dinilai kurang membuat jera. Ketiga, adanya keunikan perilaku korupsi. Keempat, wacana pemiskinan koruptor ini juga dipicu dari banyaknya vonis hakim yang rendah terharap pelaku korupsi. Dasar pemikiran terhadap sanksi pidana pemiskinan koruptor yakni, dikarenakan ketidakjeraan koruptor dan kasus tindak korupsi yang tak kunjung berkurang. Sanksi pidana lain yakni denda, penjara, dan sanksi lainnya dinilai tidak membuat jera. Munculnya keunikan perilaku dari pelaku korupsi ini juga menjadi dasar dari pemikiran. Banyaknya vonis rendah yang diberikan oleh hakim kepada pelaku korupsi juga menjadi dasar pemikiran dari sanksi pidana pemiskinan koruptor.1 Di Indonesia koruptor yang sudah ditahan tidak ada yang miskin walaupun berita media massa mengatak menyita seluruh aset namun aset yang dimiliki diganti dengan orang lain ataupun sanak keluarga yang lain, akan tetapi dalam pembuktiannya sangat sulit ditelusuri, karena diduga terdapat banyak ketidakjujuran antara satu pihak dengan pihak lainnya.

Substansi hukuman yang ideal adalah mampu meneror secara psikis dan bersifat nestapa kepada seseorang agar mereka tidak melakukan kejahatan yang serupa apabila diterapkan. Penolakan terhadap pidana yang memberatkan

seringkali hanya mempertimbangkan hak kemanusiaan dari pelaku dan tidak mempertimbangkan hak kemanusiaan dari korban (masyarakat luas) yang telah dirugikan. Dalam beberapa kasus, tidak jarang pelaku kejahatan adalah residivis dimana mereka melakukan perbuatan kejahatan secara berulang kali dikarenakan ringannya hukuman.

Dalam penulisan jurnal ini, penulis akan membahas mengenai pengaturan sanksi pidana pemiskinan serta kajiannya jika dilihat dari kitab undang-undang hukum pidana yang baru ditetapkan yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 dan bagaimana penanggulangan tindak pidana korupsi dalam konteks sanksi pidana pemiskinan. Beralih dari pada latar belakang di atas, penulis sangat tertarik untuk meneliti, menganalisis dan membahas lebih jauh mengenai pidana pemiskinan melalui bentuk jurnal dengan judul “Sanksi Pidana Pemiskinan Sebagai Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi". Penelitian ini merupakan gagasan dan analisis asli dari peneliti. Salah satu contoh penelitian yang memiliki topik yang relatif yakni jurnal dari Temmy Hastian yang berjudul “Pro Dan Kontra Sanksi Pemiskinan Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Pro And Contra Improverishing Punishment To Corruptor In Indonesia)”. Dalam penelitian tersebut lebih meneliti mengenai pihak-pihak yang setuju dan mendukung sanksi pemiskinan serta pihak-pihak yang tidak setuju dan tidak menkung sanksi pemiskinan tersebut. Dalam penelitian ini akan menjelaskan mengenai pengaturan sanksi pidana pemiskinan di Indonesia dan juga mengkaji sanksi pemiskinan ini menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 (KUHP terbaru).

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana pengaturan sanksi pidana pemiskinan dalam penanggulangan tindak pidana korupsi di Indonesia?

  • 2.    Bagaimana kajian sanksi pidana pemiskinan dikaitkan dengan sanksi pidana menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023?

  • 1.3    Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penelitian ini yakni, untuk memahami pengaturan sanksi pidana pemiskinan sebagai penanggulangan tindak korupsi di Indonesia dan juga untuk memahami sanksi pidana pemiskinan jika dikaji dengan sanksi pidana secara umum menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Baru disahkan (UU No. 1 Tahun 2023).

  • II.    Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan pada penulisan jurnal ini adalah penelitian hukum normatif yakni penelitian yang digunakan untuk membahas masalah-masalah yang ada dengan cara mengkaji dengan teori-teori hukum dan dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Pendekatan yang igunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan instrumen hukum

(Statue Approch) artinya “pendekatan yang dilakukan dengan meneliti berbagai jenis undang-undang dan regulasi sesuai hukum yang ditangani”.2 Bahan hukum yang dibahas ialah bahan hukum primer dan juga sekunder, bahan hukum primer yakni merupakan peraturan yang membahas mengenai sanksi pidana koruptor (sanksi pidana pemiskinan), bahan hukum sekunder yakni berasal dari buku-buku, karya ilmiah, dan juga dari pemikiran para ahli hukum. Teknik penulisan dalam jurnal ini menggunakan studi kepustakaan yang menitikberatkan kepada data-data sekunder dan hukum tertulis. Metode analisis dilakukan secara kualitatid, yang menganalisis data-data yang sifatnya deskriptif.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

  • 3.1    Pengaturan Sanksi Pidana Pemiskinan dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Korupsi masuk kedalam salah satu extraordinary crime atau tindak kejahatan luar biasa. Mochtar Mas’oed (1994) mengartikan korupsi sebagai suatu tindakan menyimpang yang dilakukan untuk memperoleh keuntungan pribadi dan keluarga dekat. Penyimpangan yang dimaksud menggambarkan penyimpangan dari suatu kewajiban formal jabatan publik. Biasanya, korupsi merupakan transaksi atau negosiasi antara dua pihak, antara lain pihak yang menempati jabatan publik dengan pihak yang bertindak sebagai pribadi swasta. Biasanya, korupsi merupakan tindakan transaksi atau negosiasi antar dua pihak, antara pihak yang mempunyai jabatan publik dengan pihak yang berkedudukan sebagai pribadi.

Dalam perspektif hukum, definisi korupsi dapat kita temukan pada 13 buah pasal dalam peraturan perundang-ungangannya.3 Menurut R. Dyatmiko Soemodiharjo di Indonesia, praktik korupsi telah mencapai tingkat yang sangat berbahaya dalam kehidupan bernegara (Soemodihardjo, 2001:3). Tindak pidana korupsi telah menggerogoti masyarakat dan menyebar secara luas. Hal tersebut terbukti dengan jumlah kasus yang kian meningkat, kerugian yang diderita maupun jenis tindak pidana yang terjadi semakin sistematis dan menyeluruh.

Di Indonesia, korupsi telah ada sejak dari masa penjajahan dan seiring dengan perkembangan waktu serta perubahan sistem pemerintahan terus mengalami perubahan dan perkembangan. Pada tahun 2022, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia mendapat poin 34 dari total poin 100 (bersih dari korupsi). Sementara pada tahun 2021, IPK Indonesia berjumlah 38 poin. Menurunnya IPK tersebut menempatkan Indonesia pada posisi 110 dari total 180 negara yang disurvei. Perkembangan tingkat korupsi di Indonesia dapat dilihat melalui data di bawah ini.

Merupakan suatu rangkaian cara untuk melakukan tindak pencegahan maupun pemberantasan para koruptor berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Pemberantasan tersebut juga didukung oleh keikutsertaan masyarakat dengan cara mengkoordinasi kasus dan melakukan monitor. Sebagai tindak pidana extraordinary

crime, maka diperlukan juga extraordinary effort dengan sanksi paling berat untuk memberantas para pelaku tindak pidana korupsi.

Awal mula munculnya wacana pemiskinan koruptor ialah karena para koruptor tak kunjung jera dan jumlahnya pelaku tindak pidana korupsi tak kunjung berkurang. Selain daripada itu, pidana yang telah ada seperti pidana penjara, denda ataupun kewajiban untuk membayar uang pengganti, dirasa kurang memberi efek jera dan dapat dibuktikan melalui angka korupsi yang kian meningkat. Wacana pemiskinan koruptor kian menguat lantas banyaknya vonis hakim yang dijatuhkan dengan rendah, yakni rata-rata 3 tahun (berdasarkan catatan ICW pada periode Januari-Juni 2020). Ketika pidana penjara dirasa tidak lagi memberi efek jera bagi koruptor, maka diperlukan suatu ide, langkah atau terobosan baru serta tindakan yang konkrit untuk mengatasi korupsi.

Sanksi Pidana Pemiskinan koruptor awalnya merupakan suatu ide yang dikemukakan oleh Mahfud MD, mantan Pimpinan Mahkamah Konstitusi dengan Mas Achmad Santosa yang merupakan seorang anggota Satgas Anti Mafia Hukum. Para koruptor dipercaya akan lebih takut dengan kemiskinan dibandingkan dengan hukuman pidana penjara, sehingga kebijakan untuk memiskinkan pelaku korupsi dinilai menjadi suatu langkah yang ampuh membuat para koruptor jera. Pemikiran ini didukung oleh mantan “Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai keadilan Sejahtera (PKS), Indra”, yang menyatakan bahwa bilamana koruptor tidak dimiskinkan, maka koruptor dapat memiliki instrumen aparat negara atau bahkan membeli kehormatan. Sebagaimana halnya yang seringkali terjadi pada lembaga pemasyarakatan yang ditempati oleh narapidana koruptor, banyak narapidana yang menikmati fasilitas mewah dengan ruang sel yang besar. Hal tersebut membuktikan bahwa apabila masih memiliki uang, para narapidana koruptor bisa melakukan apa saja.

Pengertian pemiskinan tidak dapat ditemukan dalam peraturan perundang-undangan, namun istilah “pemiskinan” berakar dari kata “miskin” yang artinya tidak mempunyai harta. Secara etimologis, kata miskin berasal dari bahasa Arab yaitu “sakana”, artinya serba kurang secara ekonomi. Sedangkan “pemiskinan” berarti membuat seseorang menjadi serba kekurangan dalam hidupnya 4

Sehingga dapat diartikan bahwa pemiskinan merupakan suatu upaya untuk membuat seseorang menjadi kekurangan dalam hidupnya dengan cara mengambil kekayaan, kekuatan atau wewenang yang dimilikinya.

Bentuk pemiskinan telah diperhitungkan dengan mendalam yang dapat dirincikan sebagai berikut:

  • 1.    Pemiskinan dapat dilakukan dengan penyitaan;

  • 2.    Penyitaan dijalankan sesuai dengan regulasi yang ada;

  • 3.    Penyitaan telah dipenghitungan dengan kerugian yang dialami Negara; dan

  • 4.    Pengefektifan UU TPPU, serta UU Tipikor (Khususnya Pasal 18 dan Pasal 38 C)

Pasal 18 UU Tipikor menjelaskan bahwa pemerintah dapat melakukan “perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan…” dan juga melakukan pencabutan hak dan keuntungan terhadap pelaku yang terpidana.5

Kebijakan pemiskinan tersebut harus dikukuhkan dalam suatu peraturan perundang-undangan agar tidak melewati batas-batas hukum maupun mengarah pada pelanggaran HAM. Terkait efek daripada pidana pemiskinan itu sendiri, tidak akan hanya dirasakan oleh diri pribadi seorang koruptor, melainkan seluruh keluarganya juga akan merasakan efek tersebut. Hal yang dimaksud sanksi Pemiskinan Koruptor disini yaitu memposisikan koruptor itu sendiri ke dalam situasi dimana dia mendapatkan, bukan hanya sanksi denda dan penjara semata, tetapi juga sanksi sosial dan ekonomi yang berdampak kepada kehidupannya. Tindakan pemiskinan yang dimaksud yaitu :

  • 1.    Penyitaan harta

Penyitaan yang dimaksud adalah penyitaan yang dengan batasan:

Hasil perhitungan kerugian yang dialami negara serta Penyitaan keseluruhan harta yang dimiliki para koruptor dihitung dari lamanya koruptor tersebut mulai melakukan korupsi

  • 2.    Penyitaan Hak dan Martabat

Hal ini seperti hukuman sosial dan ekonomi terhadap koruptor dengan cara membatasi hak-haknya, seperti terdapat pada Pasal 35 ayat (1) KUHP. Penyitaan jenis ini efektif untuk membuat efek jera terhadap koruptor, yang dimana secara otomatis akan berdampak besar terhadap kehidupan si pelaku korupsi.

Penjatuhan Pidana Pemiskinan ini juga melihat dari aspek darimana saja harta yang didapat oleh si pelaku korupsi. Terdapat pada Pasal 37 ayat 3 dan ayat 4 UU TIPIKOR yang menjelaskan mengenai kewajiban terdakwa untuk menerangkan asal usul harta bendanya. Jika terdakwa tidak dapat menjelaskan dari mana saja harta kekayaannya, ditambah bukti bahwa penghasilannya tidak seimbang dengan hartanya, maka dianggap harta tersebut diperoleh dari tindakan korupsi dan berhak untuk dirampas oleh negara.

Pemiskinan sebagai suatu ide untuk menindak perbuatan korupsi dianggap akan memberi pengaruh yang signifikan, dikarenakan tujuan utama para koruptor melakukan korupsi adalah untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak. Konsep pemiskinan tersebut berkaitan dengan ajaran Von Feuerbach yaitu paksaan psikologis. Menurutnya, paksaan psikologis ini memiliki tujuan untuk memastikan tindakan-tindakan yang tidak diperkenankan dalam ketentuan pidana agar tidak semata-mata tertulis dalam undang-undang, melainkan juga terdapat macam pidana yang diancamkan.6 Hal ini bermaksud supaya pelaku pidana mengetahui terlebih dahulu mengenai pidana yang diancamkan. Dalam pengimplementasiannya, pemiskinan harus menyesuaikan UU Tipikor dan UU TPPU mengenai ancaman dendanya, disesuaikan dengan keadaan saat ini dan menjadikan Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagai pidana pokok.

Pemikiran mengenai pemiskinan koruptor melanggar Hak Asasi Manusia merupakan sesuatu yang dilebih-lebihkan. Melanggar suatu hak tidak lah sama dengan melanggar suatu HAM, dimana ada hak maka disitu akan ada kewajiban. Benar adanya bahwa koruptor memiliki hak dan sebagai manusia harus dilindungi HAM-ny, akan tetapi jika para pelaku korupsi tersebut melakukan tindakan korupsi maka ia telah merebut dan melanggar hak orang lain terutama hak secara masyarakat secara luas.7

3.2 Kajian Sanksi Pidana Pemiskinan Dikaitkan Dengan Sanksi Pidana Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023

Tujuan dari pemidanaan sendiri tidak semerta-merta untuk merendahkan seseorang melainkan untuk pembinaan dan pembimbingan orang yang terpidana supaya menjadi lebih baik dan beguna lain sekaligus mencegah terjadinya hal-hal yang dinilai merugikan sesama manusia. Pengaturan mengenai sanksi-sanksi pidana dalam KUHP diatur menjadi 3 bagian yakni “pidana pokok, pidana tambahan dan pidana khusus untuk tindak pidana tertentu”. Pidana pokok dibagi lagi menjadi beberapa jenis yakni “pidana penjara, pidana tutupan, pidana pengawasan, pidana denda, dan pidana kerja sosial”.8 Pidana tambahan dibagi menjadi beberapa jenis juga yakni “pencabutan hak tertentu, perampasan barang tertentu dan/atau tagihan, pembayaran ganti rugi, pemenuhan kewajiban adat setempat dan pengumuman putusan hakim”.9 Pidana Khusus dalam KUHP merupakan pidana mati yang biasanya akan diancamkan selalu dengan alternatif pidana lain kepada pelaku pidana.

Penetapan sanksi pidana untuk pelaku korupsi jika ditinjau dengan KUHP dapat berupa “pidana mati, pidana penjara dan denda serta juga pidana tambahan”. Pidana Mati berdasarkan Pasal 98 KUHP merupakan pidana terberat yang dijatuhkan kepada pelaku pidana, menurut Pasal 2 ayat (2) UUTPK (Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi) menyatakan bahwa “pelaku tindak pidana korupsi dapat dijatuhkan pidana mati apabila dilakukan dalam keadaan tertentu”. Pidana Penjara menurut Pasal 68 KUHP dapat dijatukan seumur hidup (tanpa minimal atau maksimal) dan sementara (waktu tertentu) dengan waktu paling lama 15 tahun dan paling pendek 1 hari. Pidana penjara dalam UUTPK diatur untuk semua tindak pidana korupsi di dalamnya mulai dari penjara seumur hidup maupun sementara. Penjara seumur hidup dalam UUTPK terdapat dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 12, Pasal 12B ayat (2). Pidana sementara (waktu tertentu) dalam UUTPK diancam dengan batas maksimum dan batas minimum yakni dengan minimum 1 tahun dan maksimum 20 tahun. Pidana denda menurut pasal 78 KUHP merupakan sejumlah uang yang wajib dibayararkan oleh terpidana berdasarkan putusan pengadilan. Pidana denda dibagi kedalam tingkatan kategori 1 sampai 8 sesuai dengan kategorinya, uang denda yang harus dibayarkan juga mulai dari Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) sampai dengnan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah), dalam UUTPK pidana denda ditentukan kategorinya sesuai dengan jenis korupsi yang dilakukan.

Pemiskinan secara eksplisit tidak tercantum dalam undang-undang manapun akan tetapi eksistensi dari sanksi pidana pemiskinan dapat ditemukan implisit dalam UU No.1/2023 tentang KUHP yakni tentang penyitaan harta dan juga penyitaan hak dan martabat. Dalam KUHP mengenai hal ini diatur dalam Pasal 86 butir (a) yakni hak untuk mendapatkan jabatan publik atau jabatan tertentu lainnya. Sanksi ini dapat dijatuhkan jika pelaku diancam pidana penjara selama 5 tahun atau lebih atau pelaku melakukan Tindak Pidana terkait jabatannya atau melanggar kewajiban menggunakan jabatannya dan juga melakukan Tindak Pidana yang terkait dengan Profesinya.10 Dalam halnya penyitaan harta dari pelaku korupsi dapat dipidana sesuai dengan Pasal 91 butir (e) yang menjelaskan bahwa pidana berupa perampasaan barang tertentu dan/atau tagihan dari keuntungan ekonomi yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak

langsung dari Tindak Pidana dapat dilakukan, sehingga segala jenis harta yang diraih pelaku korupsi dalam bentuk apapun dapat dirampas kembali sebagai sanksi bagi pelaku Tindak Pidana Korupsi. Pada pasal 92 KUHP dijelaskan pula bahwa pidana berupasa perampasan Barang tertentu dapat dijatuhkan atas bawang yang tidak disita dengan cara menentukan barang tersebut (barang dari pelaku) diserahkan atau diganti dengan sejumlah uang menurut taksiran hakim.

IV. Kesimpulan sebagai Penutup

4. Kesimpulan

Berdasarkan penjabaran penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan yakni pertama, pemiskinan merupakan suatu upaya untuk membuat seseorang khususnya pelaku korupsi hidup dengan dengan beban karena berbuatannya. Dalam hal ini, pemiskinan sudah diperhitungkan secara mendalam, bukan pemiskinan yang bersifat absolut. Pemiskinan yang dimaksud yaitu Pemiskinan yang melibatkan penyitaan seluruh harta si pelaku korupsi, yang diduga maupun yang patut diduga asal usul harta tersebut. Pemiskinan sebagai suatu ide untuk menindak perbuatan korupsi dianggap akan memberi pengaruh yang signifikan, dikarenakan tujuan utama para koruptor melakukan korupsi adalah untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak. Pemiskinan koruptor bukanlah suatu pelanggaran HAM dikarenakan, ketika para koruptor tersebut melakukan tindakan korupsi, maka ia sudah merebut dan melanggar hak orang lain terutama hak masyarakat secara luas, juga tidak melanggar HAM apabila hal ini dilaksanakan oleh penegak hukum yang berwajib dan adil. Terakhir, sanksi pidana dalam KUHP dibagi menjadi 3 bagian yang masing-masing dari bagiannya memiliki tingkatan-tingkatan dalam pemidanaan yang berurut dan dinilai sesuai dengan tujuan pemidaan yakni pidana pokok, pidana tambahan, dan pidana khusus. Dari banyaknya sanksi pidana yang diterapkan bagi koruptor, dimulai dari pidana penjara, denda, uang pengganti, bahkan sampai dengan hukuman mati, semuanya dianggap tidak dapat membuat jera. Sehingga penerapan pidana pemiskinan dianggap menjadi efek yang dapat menjerakan jika penegak hukum melakukan dengan baik. Walaupun tidak diatur secara eksplisit mengenai sanksi pidana pemiskinan ini akan tetapi dalam KUHP dan Undang-Undang.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Hamzah, Andi. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional. (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2006)

Hiariej, Eddy O.S. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. (Yogyakarta, Cahaya Atma Pustaka, 2014)

Marzuki, Peret Mahmud. Penelitian Hukum. (Jakarta, Prenada Media Group, 2010)

JURNAL

Aji, Y.B. “Pemiskinan Koruptor Sebagai Hukuman Alternatif Dalam Penegakan Hukum Kasus Korupsi Di Indonesia”. Jurnal Kriminologi Indonesia. Vol.9 No.1 (2017)

Fajar, Muhammad dan Zul Azhar. “Indeks Persepsi Korupsi dan Pembangunan Manusia Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Negara-Negara Asia Tenggara”. Jurnal Ecogen. Vol.1 No.3 (2018)

Damanik, K.G. “Antara Uang Pengganti Dan Kerugian Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi”. Masalah-Masalah Hukum. Vol.45 No.1 (2016)

Hastian, Temmy. “Pro Dan Kontra Sanksi Pemiskinan Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Pro And Contra Improverishing Punishment To Corruptor In Indonesia)”. Nestor Tanjungpura Journal of Law. Vol.13 No.1 (2017).

Kholig, Mohamad Nur dan Evan, S.G. “Pengambilalihan Piutang Milik Terpidana Untuk Menggantikan Kerugian Keuangan Negara Pada Tindak Pidana Korupsi”. Jurnal Legislatif. Vol.4 No.2 (2021)

Muhtarom, Herdin dkk. “Akar Budaya Korupsi Indonesia: Historiografi, Penyebab, dan Pencegahannya. Historiography. Vol.2 No.1 (2022)

Prasetyo, D.R. “Penyitaan Dan Perampasan Aset Hasil Korupsi Sebagai Upaya Pemiskinan Koruptor”. DIH: Jurnal Ilmu Hukum. Vol.12 No.24 (2016)

Priscyllia, M.Y. “Pemiskinan Korupsi Sebagai Salah Satu Hukuman Alternatif Dalam Tindak Pidana Korupsi”.

https://yustitia.unwir.ac.id/index.php/yustitia/article/view/102/96 (2014)

Sugiarto, Agus. “Pidana Pemiskinan Koruptor Pada Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”. Jurnal Yustitia. Vol.6 No.1 (2020)

Suryani, Ita. “Penanaman Nilai Anti Korupsi Di Perguruan Tinggi Sebagai Upaya Preventif Pencegahan Korupsi”. Jurnal Visi Komunikasi. Vol.12 No.2 (2013)

Tahik, Nelson A. 2019. “Pemiskinan Koruptor Sebagai Ius Contituendum Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”. Tesis. Universitas Nusa Cendana. Kupang

Yani, Ahmad. “Pemiskinan Korupsi Sebagai Salah Satu Hukuman Alternatif Dalam Tindak Pidana Korupsi”. SOL JUSTICIA.Vol.2 No.1 (2019)

Yanto, Oksidelfa. “Efektifitas Putusan Pemidanaan Maksimal Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dalam Rangka Pengentasan Kemiskinan”. Syiah Kuala Law Journal. Vol.1 No.2 (2017).

Yolanda, Berlin dan Margo H.D. “Impoverishment As A Recovery Effort For Corruptors In Indonesia”. Corruptio. Vol.3 No.1 (2022)

Wahyu Wiriadinata, Korupsi dalam Pencurian Aliran Listrik Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, Kementerian Hukum dan HAM RI, Vol.8 No.3 (2014).

UNDANG-UNDANG

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

Undang-Undang No 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

SUMBER LAIN

Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW. 2022. Tren Penindakan Kasus

Korupsi Semester 1 Tahun 2022. https://antikorupsi.org/id/tren-penindakan-kasus-korupsi-semester-1-tahun-2022. Diakses Pada 6 Febuari 2023

Ika. 2013. UU Tipikor Perlu Direvisi. https://ugm.ac.id/id/berita/7547-uu-tipikor-perlu-direvisi,. Diakses Pada 6 Febuari 2023

Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No 12 Tahun 2022, hlm. 1875-1884