CASE REPORT

MAJALAH ILMIAH FISIOTERAPI INDONESIA

Volume 11, Nomor 2 (2023 , Halaman 213-221 P-ISSN 2303-1921, E-ISSN 2722-0443

PENINGKATAN KEBUGARAN PADA PENDERITA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS STABIL DENGAN MEMANFAATKAN STATIC CYCLE

Stephanus Benedictus Bera Liwun1*, Yohanes Maria Vianney Basyari Liwun2, Margaretha Senda3

  • 1Universitas Gunadarma, Kota Depok, Provinsi Jawa Barat

Diajukan: 8 Maret 2023 | Diterima: 8 Agustus 2023 | Diterbitkan: 15 Agustus 2023 DOI: https://doi.org/10.24843/MIFI.2023.v11.i02.p19

ABSTRAK

Pendahuluan: Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyakit yang sering diderita masyarakat Indonesia. Sebaga aturan, penyakit ini disebabkan oleh merokok dari mereka yang terkena. Perokok berat 37-38,2% pada kelompok usia 25-64 tahun, sedangkan pada kelompok umur 15-24 tahun meningkat menjadi 18,6%. Probabilitas kejadian pada perokok adalah 16 kali lebih tinggi pada pria (65,9%) dibandingkan pada wanita (4,2%). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menurunkan kebugaran penderita penyakit paru obstruktif kronik dan mengetahui peningkatan kebugaran melalui latihan dengan sepeda statis.

Metode: Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif dan penelitian deskriptif pada penderita penyakit paru obstruktif kronik. Jumlah subjek penelitan adalah 2 (dua) orang penderita dengan diagnosis medis penyakit paru obstruktif kronik stabil.

Hasil: Berdasarkan hasil evaluasi empat kali pasca perawatan menunjukkan adanya peningkatan VO2Max dengan uj jalan selama 6 menit. Selisih VO2Max sebesar 0,17 dan subjek kedua adalah 0,04. Berdasarkan observasi yang dilakukan selama latihan, kedua penderita mengalamai peningkatan VO2Max.

Simpulan: Pertama, faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan kebugaran seperti faktor patologis di mana pengidap penyakit paru obstruktif kronik yang seringkali disertai sesak sehingga penderita kekurangan oksigen pada tubuhnya. Kedua, hasil latihan menggunakan static cycle menunjukkan adanya peningkatan kebugaran kardiopulmonal.

Kata Kunci: static cycle, paru-paru, merokok

PENDAHULUAN

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyakit tidak menular yang cukup menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Penyebab dari penyakit ini antara lain peningkatan usia harapan hidup dan peningkatan paparan faktor risiko, seperti faktor pejamu yang diduga berhubungan dengan terjadinya penyakit paru obstruktif kronik; meningkatnya jumlah perokok terutama pada kelompok usia muda; dan polusi udara di dalam ruangan dan luar ruangan serta tempat kerja. 1 Hal ini dibuktikan dengan peningkatan 0,27 persen jumlah perokok muda berusia di atas 15 tahun di Indonesia selama periode 2020-2021. Namun, pada 2022, ada penurunan sebesar 0,7 persen.2 Data dari World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa pada tahun 1990, penyakit ini merupakan penyebab kematian nomor enam di dunia. Pada tahun 2002, penyakit paru obstruktif kronik menduduki peringkat kelima penyebab utama kematian di seluruh dunia, dan pada tahun 2030 akan menjadi penyebab kematian ketiga di dunia setelah penyakit kardiovaskular dan kanker.1 Gambaran umum perokok di Indonesia pada tahun 2010 adalah 34,7 persen. Tingkat kebugaran merokok secara keseluruhan tertinggi di Provinsi Kalimantan Tengah (43,2%) dan terensdah di Provinsi Sulawesi Tenggara (28,3%). Prevalensi perokok berat pada kelompok usia 25-64 tahun dalam rentang 3738,2%, sedangkan angka kelompok usia 15-24 tahun adalah 18,6%. Prevalensi merokok 16 kali lebih tinggi pada pria sebesar 65,9% dibandingkan wanita yakni 4,2%. Perokok memiliki risiko 15-20 persen terkena penyakit paru obstruktif kronik. Hubungan antara merokok dan penyakit paru obstruktif kronik adalah hubungan dosis-respon, semakin banyak rokok yang dihisap dan semakin lama kebiasaan merokok dilakukan, semakin banyak rokok yang dihisap dan semakin lama kebiasaan merokok dilakukan, semakin besar risiko terkenan penyakit paru obstruktif kronik. Prevalensi penyakit paru obstruktif kronik yang didiagonsis di Indonesia pada tahun 2018 sebesar 2,4 persen dari penyakit lainnya.1

Kesulitan fisik juga meningkat seiring bertambahnya usia, terutama pada kelompok usia lanjut (geriatri) karena gangguan fungsi fisiologis beberapa sistem tubuh.3 Kekakuan otot pernafasan berkurang dan kaku. 4 Penyakit paruk obstruktif kronik merupakan masalah Kesehatan yang disebabkan oleh kegagalan pernafasan pada kelompok geriatri. Gejala yang paling umum dari penyakit paru obstruktif kronik adalah sesak napas, batuk kronis, dan produksi dahak.5 Penyakit ini menganggu jaringan paru pada sistem respirasi sehingga membutuhkan oksigen. Beberapa gejala yang ditimbulkan jika terinfeksi penyakit ini adalah sesak nafas, batuk kronik (dalam kurun waktu 2 minggu), terdapat sputum pada batuk. Umumnya batuk terbanyak terjadi pada pagi hari.6 Lebih lanjut, gejala spesifik dari penyakit ini akibat emfisema adalah sesak nafas saat melakukan kegiatan yang disertai dengan batuk kering dan mengi. Penderita

umumnya menunjukkan hyperinflated lung dengan berkurangnya ekspansi dada pada saat inspirasi, perkus hipersensor dan nafas pendek.6

Keluhan utama yang disampaikan oleh Subjek 1 adalah nafas terasa berat saat pagi hari Ketika berjalan dan bekerja berat. Berdasarkan penuturan Subjek 1, awal merokok saat kelas 1 SMA dengan rokok tanpa filter. Beliau berhenti merokok pada usia 45 tahun. Pada tahun 2006, dalam keadaan tidak beraktivitas merasakan sesak nafas dan saat berjalan rasa sesak nafas semakin terasa sehingga memutuskan untuk mengunjungi IGD di RS terdekat dan mendapatkan perawatan inap selama 1 hari. Tahun 2021, dalam keadaan tidak beraktivitas mengeluhkan hal yang sama disertai dengan batuk dan sputum yang tidak dapat keluar, sehingga memutuskan untuk mengunjungi IGD. Sekitar Juni 2013, subjek 1 mengeluhkan stupum yang tidak keluar, kemudian mendapatkan perawatan inap selama 3 hari.

Berbeda dengan Subjek 1, keluhan utama yang dirasakan oleh subjek 2 adalah sesak nafas saat pagi hari. Kondisi ini dirasakan ketika akan mengambil air wudhu untuk shalat subuh dan baru hilang saat menggunakan obat yang mengandung albuterol. Berdasarkan penuturan Subjek 2, awalnya merokok saat usia 17 tahun. Saat merokok lebih kurang menghabiskan 2-3 bungkus rokok tanpa filter lalu berhenti sekitar tahun 2010. Pada tahun yang sama dalam keadaan tidak beraktivitas, Subjek 2 mengeluhkan sesak dan ketika berjalan semakin terasa sesak. Kemudian memutuskan untuk mengunjungi IGD di RS terdekat dan mendapatkan perawatan inap selama 3 hari. Kemudian pindah ke ruang rawat biasa selama 9 hari. Selama menjalani perawatan Subjek 2 melakukan tiga kali terapi. Sekembalinya dari RS, subjek 2 merasa tidak mampu mengangkat beban berat sehingga memutuskan untuk tidak melanjutkan pekerjaannya. Dua tahun berselang, Subjek mengalami keluhan yang sama kembali, sehingga dilarikan ke RS terdekat. Subjek 2 dirawat inap selama lima hari dan menjalani terapi selama tuga kali. Hasilnya Subjek 2 diperbolehkan pulang. Pada April 2014, Subjek 2 mengeluhkan hal yang sama dan dilakukan terapi hingga sekarang.

Salah satu cara untuk membantu penderita penyakit paru obstruktif kronik adalah terapi fisik. Pelayanan kesehatan ini menyasar individu atau kelompok untuk pengembangan, pemeliharaan, dan pemulihan fungsi motorik dan tubuh sepanjang siklus hidup, penggunaan tangan, peningkatan mobiltas, peralatan, pelatihan fungsional, komunikasi.7

Peran fisioterapi dalam meningkatkan kualitas hidup penderita dengan penyakit paru ini dapat diwujudkan dengan cara rehabilitasi paru. Tujuannya adalah untuk meningkatkan ventilasi dan menyinskronkan aktivitas otot perut dan dada melalui teknik latihan yang mencakup latihan pernafasan diafragma dan pursed lips breathing. Tujuan dar latihan ini adalah untuk memungkinkan penderita mengatur kecepatan dan pola pernafasan, sehingga mengurangi air trapping, meningkatkan fungsi diafragma, meningkatkan ventilasi alveolar untuk meningkatkan pertukaran gas tanpa kerja pernafasan, meningkatkan mobiltas dada, mengatur kecepatan pernafasan, dan terkoordinasi seperti ini. Bahwa sesak nafas berkurang. Pernafasan dapat menurun, yang mengarah pada peningkatan kualitas hidup.8 Prosedur in bertujuan untuk mengontrol gejala, menguranginya dan meningkatkan kinerja secara optimal sehingga orang tersebut dapat menjalani hidup mandiri. Intervensi yang dilakukan pada penelitian ini beberapa latihan dengan siklus statis.

Bersepeda merupakan salah satu bentuk olahraga yang paling efektif dan murah yang dapat digunakan sebaga alternatif bagi penderita penyakit paru obstruktif kronik. Bersepeda secara teratur dapat merangsang dan meningkatkan fungsi paru-paru, membiasakan bernafas lebih lama. Bersepeda juga meningkatkan energi sebanyak 20 persen dan mengurangi kelelahan hingga 65 persen. Ini karena bersepeda merangsang otak untuk melepaskan dopamin neotransmitter yang berhubungan dengan energi, yang memastikan aliran darah lancar dan membuat tubuh terasa lebih segar. Mengayuh meningkatkan vaskularisasi dan oksigenasi, yang juga mengaktifkan jantung dan paru-paru. Bersepeda juga termasuk olahraga aerobic yang relative mudah dikontrol, sehingga intensitas latihannya bisa diatur sesuai kebutuhan.9

Latihan statis di atas sepeda merupakan aktivitas fisik yang tergolong latihan penguras oksigen, terutama pada otot-otot tungkai bawah yang membutuhkan peningkatan kebutuhan energi, yang dipenuhi dengan peningkatan kerja kardiorespirasi berupa peningkatan denyut jantung, kecapatan dan gerakan. Latihan sepeda statisioner dan pernafasan diafragma yang ditingkatkan secara progresif dapat meningkatkan VO2max dan kebugaran penderita penyakit paru obstruktif kronik.10 Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui faktor-faktor penurunan kebugaran pada penderita penyakit paru obtruktif kronik dan mengetahui peningkatan kebugaran dengan latihan static cycle.

METODE

Pada penelitian ini digunakan metode kualitatif sebagai metode penelitian yang hasilnya disajikan dalam bentuk penelitian deskriptif pada penderita penyakit paru obstruktif kronik. Jumlah subjek penelitan adalah 2 (dua) orang penderita dengan kondisi diagnosis medis berupa penyakit paru obstruktif kronik stabil. Sebelum subjek menjalan program terapi, subjek diperiksa secara fisik yang meliputi tanda vital pada keadaan umum sampai dengan problematic fisioterapi. Seluruh pemeriksaan fisik dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pemeriksaan Fisik Berupa Tanda Vital dan Keadaaan Umum

Subjek

Tekanan Darah (mmHg

Denyut Nadi (kali/menit

Pernafasan (kali/menit

Saturasi (%

Suhu Tubuh (0C

Indeks Massa Tubuh (IMT [Standar WHO: 18,5-25]

Nilai    Keterangan

1

130/80

74

22

96

36

24,6       Normal

2

120/80

80

22

95

36

18,46      Normal

Selain pemeriksaan fisik berupa tanda vital dan keadaan umum, pemeriksaan fisik juga berupa cara berjalan, bernafas, dan postur. Pemeriksaan ini bertujuan melihat kondisi fisik dari subjek dengan cara melihat kondisi fisik terutama dari postur seperti disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Pemeriksaan Fisik Berupa Cara Berjalan, Cara Bernafas, dan Postur

Subjek

Gait

Pola Pernafasan

Tampak Depan

Postur

Tampak Samping

Tampak Belakang

1

Normal

Normal

Bahu kanan lebih rendah dari bahu kiri.

Mammae kanan lebih rendah dari kiri.

Os. clavicula kanan lebih rendah dari kiri.

Body arm distance kiri lebih lebar dari kanan.

  • •    Kifosis thorakal.

  • •    Bahu retraksi.

Bahu kanan lebih rendah dari bahu kiri.

2

Cenderung menyeret kaki kanan saat berjalan

Normal

Bahu kanan lebih rendah dari kiri Mammae kanan lebih rendah dari kiri Os. clavicula kiri lebih menonjol dari kanan.

Body arm distance kiri lebih lebar dari kanan.

Bahu retraksi.

Bahu kanan lebih rendah dari bahu kiri

Ada empat Teknik pemeriksaan fisik dada: inspeksi, palpasi, perkusi, dan mendengarkan. Pada penelitian in Teknik pemeriksaan yang digunakan adalah palpasi seperti disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Kesimetrisan Gerak Nafas

Subjek

Upper

Palpasi

Middle                    Lower

1                     Simetris

2                      Simetris

Simetris                         Simetris

Simetris                         Simetris

Spasme otot bantu pernafasan atau peregangan otot yang berlebihan yang memfasilitasi pernafasan, terutama pada otot interkostal. Kondisi ini paling banyak menyebabkan nyeri dada, tidak berbahaya, dan tidak biasanya hilang dengan sendirinya. Hasil spasme otot dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Spasme Otot Bantu Pernafasan

Subjek

Otot

M. Sternocleidomastoideus bilateral       M. Uppertrapezius        M. Pectoralis Mayor

bilateral                     bilateral

1

2

Tidak ada                       Tidak ada                    Ada

Ada                        Tidak ada                  Ada

Nyeri tekan dengan palpasi diukur dengan Visual Analog Scale (VAS). Alat ini digunakan untuk pengukuran intensitas nyeri yang dianggap paling efisien yang telah digunakan dalam penelitian dan pengaturan klinis. umumnya disajikan dalam bentuk garis horisontal.Hasil VAS dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Nyeri Tekan dengan Palpasi

Subjek

Jenis Otot yang Terindikasi

Hasil Visual Analog Scale (VAS

1

M. Pectoralis Mayor bilateral

3

O

M. Sternocleidomastoideus bilateral

2

2

M. Pectoralis Mayor bilateral

3

Suara napas ekstra, atau mengi, adalah suara abnormal yang terjadi karena udara tidak bergerak secara optimal melalui paru-paru. Jenis-jenis suara nafasa tambahan yaitu ronchi, wheezing, stidor, crackles, whooping, dan lainnya. Pada penelitian ini hanya berfokus pada tiga suara tambahan seperti yang disajikan pada Tabel 6., sedangkaan untuk hasil pemeriksaan ekspansi thorak dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 6. Pemeriksaan Suara Nafas Tambahan

Subjek

Jenis Suara Nafas Tambahan

Ronchi                    Wheezing

Stidor

1

Tidak ada                      Tidak ada

Tidak ada

2

Tidak ada                      Tidak ada

Tidak ada

Tabel 7. Pemeriksaan Ekspansi Thorak

Subjek

Posisi

Mekanisme Pernafasan

Rentang Nornal

Selisih

Inspirasi          Ekspirasi

Upper

101

100

1

1

Middle

104

101

3

Upper: 1-3

Middle: 3-5

Lower: 5-7

Lower Upper

100

99

94

97

6

2

2

Middle

103

100

3

Lower

94

89

5

Tabel 8. Pemeriksaan Khusus Sesak Nafas (Menggunakan Skala Borg)

Subjek

Saat Pemerikasaan          Saat Sesak Muncul             Keterangan

1

2

0                             1               Sesak sangat ringan

0                             2               Sesak ringan

Tabel 9. Pemeriksaan Fungsi Motorik Shoulder

Subjek

Range of Motion (ROM        Range of Motion (ROM Aktif (0

Gerakan              Normal (0                 Dx                Sn

1

2

Fleksi                    0-170                     0-170                0-170

Ekstensi                    0-60                       0-45                  0-50

Abduksi                  0-180                    0-180               0-180

Adduksi                     0-45                        0-45                  0-40

Fleksi                    0-170                     0-170                0-170

Ekstensi                   0-60                      0-60                 0-60

Abduksi                  0-180                    0-180               0-180

Adduksi                     0-45                        0-45                  0-45

Tabel 10. Pemeriksaan Fungsional

Subjek

Pemeriksaan

Activity of Daily Living (ADL         Fungsional Kerja      Fungsional Rekreasi

1

2

Interpersonal: Mandiri                         Mampu                 Mampu

Intrapersonal: Mandiri

Interpersonal: Mandiri                         Mampu                 Mampu

Intrapersonal: Mandiri

Tabel 11. Pemeriksaan Kemampuan Kognitif, Interpersonal, dan Intrapersonal

Subjek

Hasil Pemeriksaan Kemampuan

Kognitif                    Interpersonal                 Intrapersonal

1 dan 2

Subjek dapat memahami dan Subjek mempunyai keinginan Subjek diberi dukungan oleh mengerti instruksi yang          dan semangat untuk menjalani keluarga dalam menjalani

diberikan oleh terapis.            terapi.                             terapi.

Tabel 12. Pemeriksaan Penunjang

Subjek

VO2Max                      Metabolic Equivalents (METs

1

2

16.36                                         4.67

16.15                                         4.61

Riwayat penyakit terdahulu yang dialami oleh subjek pertama dan kedua berupa sakit jantung, diabetes melitus, hipertensi seluruhnya disangkal. Hal yang sama juga dinyatakan oleh pihak keluarga dari subjek pertama maupun kedua yang menyatakan bahwa tidak ada anggota keluarga yang memiliki sakit yang sama dengan subjek.

Setiap subjek menjalani program terapi sebanyak 5 (lima) sesi terapi. Keluhan yang diketahui adalah sesak nafas di pagi hari, berjalan, dan kerja berat. Intervensi yang dilakukan adalah breathing exercise, latihan chest mobility expansion, dan latihan aerobik. Tujuan dari intervensi dalam jangka panjang adalah mengatasi sesak nafas. Subjek 1 dan 2 mengeluh sesak nafas pada saat keduanya sedang tidak melakukan aktivitas apa pun. Salah satu dari kedua subjek telah melakukan terapi terkait sesak nafas yang dialaminya sejak tahun 2014 hingga saat ini. Kondisi tersebut berawal dari keduanya yang merokok saat masih di bangku SMA. Hal ini juga diperparah dengan frekuensi merokok yang cukup intens. Selama proses intervensi dilakukan beberapa intervensi yang bertujuan mereduksi sesak nafas yang dialami oleh Subjek. Hasil intervensi dapat disajikan pada Tabel 13.

Kedua Subjek memiliki pekerjaan yang berbeda. Pada kasus ini, dapat dibedakan dengan pekerjaan kasar yaitu montir dan jaksa. Namun, saat penelitian ini dilakukan keduanya sudah berstatus purnakarya (pensiun). Berdasarkan riwayat penyakit yang didapatkan data bahwa kedua Subjek tidak memiliki penyakit paru bawaan (genetik). Namun, kebiasaan merokok yang memicu penyakit paru obstruktif kronik pada kedua Subjek yang juga dapat memicu penyakit lain pada paru yaitu kanker. Pada kondisi Subjek yang diamati tidak terjadi gejala yang mengindikasikan penyakit tersebut. Hal ini dibuktikan pada Tabel 8 bahwa kedua Subjek memiliki kategori sesak yang ringan.

Masalah fisioterapi pada subjek pertama dan kedua adalah adanya gangguan pada postur, gangguan fisiologi berupa ada sesak dan sputum minimal. Kondisi ini diperparah dengan adanya penurunan daya tahan tubuh. Masalah berikutnya adalah subjek ketergantungan pada bronkodilator. Hasil diagnosis fisioterapi dari kedua subjek menindikasikan bahwa adanya penurunan daya tahan tubuh akibat adanya sesak nafas, sputum minimal, yang diserta dengan gangguan pada postur dan berhubungan dengan penyakit paru obstruktif kronik stabil. Hasil prognosis dar kedua subjek adalah quo ad functionam artinya ada pengaruh penyakit pada fungsi organ manusia dalam melakukan aktivitasnya. Berdasarkan kondisi ini yang dapat dilakukan adalah meningkatkan daya tahan tubuh secara aerobik.

Tabel 13. Intervensi

Subjek

Intervensi

Metode

Dosis

Keterangan

1

Breathing Exercise

Pursed Lips

Breathing (PLB)

F: 4 kali/hari

I: inspirasi 2-3 detik; ekspirasi 3-4 detik

T: 10-15 menit

T: pulse lips breathing

R: 8 kali/set, 4 set/sesi, 2 sesi, istirahat 10 detik/set, dan 20 detik/set

  • •    Mengurangi sesak nafas

  • •    Mengurangi frekuensi pernafasan (RR)

  • •    Mereduksi kerja otot bantu pernafasan

  • •    Meningkatkan volume tidal

  • •    Memperbaiki toleransi exercise

Latihan Chest Mobility Expansion

Ekspansi upper dan middle

  • •    Mengangkat

bahu

  • •    Memutar siku

  •    Streching M.

Pectoralis

Ekspansi middle dan lower

  •    Forward bending

  •    Side bending

  •    Chest twist

F: 2 kali/hari

I: 8 kali/set

T: 15 menit

T: ekspansi chest upper, middle, dan lower

R: 8 kali/set, 2 set/sesi, satu bagian 1 sesi, istirahat 20 detik/set, dan 30 detik/sesi

Mempertahankan ekspansi thoraks upper, middle, dan lower

Latihan Aerobik

Static cycle

F: 3x seminggu

I: 29 Watt

T: 5-30 menit (waktu ditingkatkan bertahap setiap minggu)

T: Static cycle

R: 1 set setiap latihan

Meningkatkan daya tahan aerobik

Lanjutan Tabel 13. Intervensi

Subjek

Intervensi

Metode

Dosis

Keterangan

2

Breathing Exercise

Pursed        Lips

Breathing (PLB)

F: 4 kali/hari

I: inspirasi 2-3 detik; ekspirasi 3-4 detik

T: 10 menit

T: pulse lips breathing

R: 8 kali/set, 4 set/sesi, 2 sesi, istirahat 10 detik/set, dan 20 detik/set

  • •    Mengurangi sesak nafas

  • •    Mengurangi frekuensi pernafasan (RR)

  • •    Mengurangi kerja otot bantu pernafasan

  • •    Meningkatkan tidal volume

Memperbaiki toleransi exercise

Latihan Chest Mobility Expansion

Ekspansi upper dan middle

  • •    Mengangkat

bahu

  • •    Memutar siku

  •    Streching M.

Pectoralis

Ekspansi middle dan lower

  •    Forward bending

  •    Side bending

Chest twist

F: setiap hari

I: 8 kali/set

T: 15 menit

T: ekspansi chest upper, middle, dan lower

R: 8 kali/set, 2 set/sesi, satu bagian 1 sesi, istirahat 20 detik/set, dan 30 detik/sesi

Mempertahankan ekspansi thoraks upper, middle, dan lower

Latihan Aerobik

Static cycle

F: 3x seminggu

I: 20 Watt

T: 5-30 menit (waktu ditingkatkan bertahap setiap minggu)

T: Static cycle

R: 1 set setiap latihan

Meningkatkan daya tahan aerobik

HASIL

Profil subjek penelitian meliputi usia, jenis kelamin, pekerjaan, keluhan utama, dan riwayat penyakit. Profil subjek dapat ditemukan pada Tabel 14.

Tabel 14. Profil Subjek Penelitian

Subjek

Usia (Tahun

Jenis Kelamin

Pekerjaan

1

75

Pria

Purnakaryawan

2

60

Pria

Purnakaryawan

Pada evaluasi ini membandingkan antara kondisi sebelum dan sesudah melakukan aktivitas menggunakan static cycle. Pengamatan dilakukan selama 5 (lima) hari dengan jumlah terapi sebanyak 4 (empat) kali terapi. Parameter yang diamati berupa denyut nadi, saturasi, dan konsumsi oksigen yang disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15. Evaluasi Terapi dengan Static Cycle

Subjek

Parameter

Hasil Pemeriksaan Awal

Kondisi Aktivitas

Hasil Latihan Ke-

1

2

3

4

5

Denyut Nadi [RR]

99

Sebelum

22

22

22

24

24

(x/menit)

22

Sesudah

30

28

28

28

-

4

Saturasi [SpO2] (%)

Sebelum

96

96

96

94

96

1

96

Sesudah

95

97

96

95

-

Konsumsi Oksigen

9 A

16,36

Sebelum

Tidak dilakukan

(VO2Max)

Sesudah

Tidak dilakukan

16,53

Denyut Nadi [RR]

99

Sebelum

22

24

26

22

22

(x/menit)

22

Sesudah

24

28

28

26

-

9

Saturasi [SpO2] (%)

QA

96

Sebelum

96

98

96

97

97

2

Sesudah

95

98

96

98

-

Konsumsi Oksigen

16,15

Sebelum

Tidak dilakukan

(VO2Max)

Sesudah

Tidak dilakukan

16,29

DISKUSI

Penyebab Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Penyakit paru obstruktif kronik adalah kondisi kronis yang mempengaruhi paru-paru. Penyakit ditandai dengan obstruksi jalan napas yang progresif, ireversibel, atau Sebagian reversibel. Bertentangan dengan apa yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu pada penyakit paru obstruktif kronik stabil dengan kriteria pasien tanpa gagal nafas akut pada gagal nafas kronik, sputum yang dihasilkan bening dan tidak berwarna, serta tidak menggunakan bronkodilator tambahan. Alasan utamanya adalah merokok. Hal ini dibuktikan dengan hubungan yang signifikan antara tingkat merokok berdasarkan indeks brinkman dan prevalensi penyakit paru obstruktif kronik, oleh karena itu perokok yang disarankan untuk berhenti merokok untuk meninimalkan kerusakan fungsi paru yang progresif.11

Dalam hal ini, timbul masalah dengan gangguan ventilasi saluran udara dan difusi alveolar yang buruk. Hal ini menyebabkan berkurangnya pasokan oksigen dalam darah, menghilangkan oksigen dari sel-sel tubuh. Oksigen dalam tubuh berperan penting dalam metabolisme sel. Kekurangan oksigen memiliki efek yang signifikan pada tubuh, salah satunya adalah kematian. Kebutuhan akan oksigen merupakan kebutuhan yang paling utama dan sangat esensial bag tubuh.12 Penyakit ini menyebabkan seseorang tidak dapat melakukan aktivitas dengan baik atau dikenal dengan penurunan kondisi kardiopulmoner. Seseorang membutuhkan sekitar 300 cc oksigen per hari (24 jam), atau sekitar 0,5 cc per menit. Pernapasan berperan dalam menjaga kelangsungan metabolisme sel, dalam hal ini diperlukan pernapasan yang tepat. Pemenuhan kebutuhan oksigen merupakan bagian integral dari fungsi sistem pernapasan dan kardiovaskular, yang menyediakan kebutuhan oksigen tubuh.10

Intervensi pada Penderita Penyakit Paru Obstruktif Stabil

Pada subjek pertama dan kedua dapat dilihat dengan gejala-gejala yang dirasakan oleh penderita. Ada kemungkinan penyakit yang diderita adalah campuran dari emfisema dan bronchitis kronik. Hal ini didasari karena adanya tanda-tanda khusus dari emfisema dan bronchitis kronik yang muncul pada penderita tersebut.

Latihan fisik berupa latihan kardio dapat meningkatkan asma yang terkontrol dan juga kualitas hidup pada penderita asma dewasa. Latihan fisik dapat mengurangi kesukaran bernafas dan gejala asma lainnya dengan menguatkan otot-otot pernafasan, dan mengurangi ventilasi pada saat latihan.13 Senam aerobik dapat mengurang sesak napas yang sering dialami penderita PPOK karena senam tersebut melibatkan banyak otot besar. Latihan sirkuit statis di mana penderita mengayuh secara teratur, dengan ayunan pedal melibatkan otot-otot tungkai bawah. Menggunakan otot ini dapat mengubah serat otot sedemikian rupa sehingga dapat menyebabkan perubahan bertahap pada bentuk beberapa serat glikolitik yang berkedut cepat. Perubahan bentuk serat otot dapat mengakibatkan peningkatan diameter otot pernafasan, jumlah mitokondria, aliran darah dan kekuatan.9

Salah satu yang dilakukan juga dalam intervensi adalah breathing exercise. Cara ini merupakan bentuk rehabilitasi pulmonal pada penderita penyakit paru obtruktif kronik adalah pursed-lip breathing (PLB). Cara ini dapat meningkatkan pertukaran gas di paru-paru, mengurangi frekuensi pernapasan, dan volume ekspirasi akhir sehingga mengurangi hiperinflasi.14 Hiperinflasi paru dapat terjadi pada penderita penyakit paru obtruktif kronik saat istirahat atau hiperinflasi statik dan saat latihan atau hiperinflasi dinamis ketika kebutuhan ventilasi meningkat dan waktu ekspiras diperpendek. Hiperinflasi secara klinis berhubungan dengan penderita penyakit paru obtruktif kronik karena berkontribusi pada sesak napas dan morbiditas lain yang berhubungan dengan penyakit paru obtruktif kronik.15

Perubahan fisiologis yang diinduksi oleh pursed-lip breathing menyebabkan peningkatan pada tekanan intrabronkial selama ekspirasi dan mengakibatkan meningkatnya diameter bronkial sehingga aliran inspirasi dan ekspirasi juga meningkatkan. Tekanan intrabronkial positif mencegah kolapsnya bronkus saat ekspirasi oleh karena itu dapat menurunkan volume penutupan dan meningkatkan kapasitas inspirasi dan kapasitas vital. Peningkatan kapasitas inspirasi setelah melakukan pursed-lip breathing pada penderita penyakit paru obtruktif kronik dapat menurunkan gejala sesak napas.14

Latihan dengan teknik pursed-lip breathing (PLB) dapat mengaktifkan otot abdominal selama ekspirasi, meningkatkan pertukaran gas, dan saturasi oksigen pada pembuluh darah. Pursed-lip breathing (PLB) diharapkan dapat meningkatkan pola pernapasan, meningkatkan volume tidal, dan mengurangi sesak napas sehingga meningkatkan kapasitas fungsional pada penderita penyakit paru obtruktif kronik.16 Deep breathing mempunyai fungs dapat meningkatkan keefektifan otot intercostalis yang terletak di antara sangkar thorax yang mana membantu pernapasan, saturasi oksigen, fungsi paru, dan kapasitas fungsional sehingga dapat mencapai peningkatan pada kualitas hidup.17

Hasil Intervensi terhadap Kebugaran Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil

Subjek pertama untuk dapat dilihat beban kerja yang seharusnya melakukan pursed-lip breathing (PLB) sebanyak dua sesi. Namun, disebabkan oleh membaiknya ventilasi dalam saluran pernafasan maka penderita dalam melakukannya dalam tiga sesi latihan yang sebenarnya semakin banyak dilakukan akan menghasilkan tingkat kebugaran yang baik.

Intervensi yang telah dilakukan dengan menggunakan static cylcle untuk meningkatkan kebugaran kardiopulmonal pada kondisi penyakit paru obtruktif kronik stabil. Latihan dengan static cycle menggunakan intensitas rendah hingga sedang dan waktu yang lama dapat membuat peningkatan kerja jantung secara bertahap sehingga darah mengikat oksigen lebih banyak untuk dibawa ke sel-sel di seluruh tubuh. Bersepeda memiliki manfaat bagi kesehatan, salah satunya dapat meningkatkan kekuatan otot pernapasan dan mengurangi dampak kecemasan, depresi, dan stres.9

Latihan static cycle dilakukan dengan rencana yang telah dibuat dengan peningkatan waktu setiap tiga kal latihan. Pada kondisi ini, penderita tidak mengalami kesulitan saat melakukan latihan tersebut. Selama observasi pada latihan, nampak bahwa dengan latihan teratur sehingga pola pernafasan penderita akan semakin membaik. Daya tahan tubuhnya dari kondisi kelelehan akan menjadi lebih bugar.

Intervensi fisioterapi dilakukan sebanyak delapan kali latihan. Berdasarkan latihan yang telah dilakukan, maka terdapat peningkatan jumlah konsumsi oksigen yang digunakan untuk kerja otot atau dapat disimbolkan dengan VO2Max walaupun tidak terjadi secara signifikan. Peningkatan VO2Max memungkinkan tubuh melakukan aktivitas lebih lama. Ketika seseorang berolahraga secara teratur VO2Max meningkat antara 15-20 persen.14 Bersepeda statis intesitas sedang dapat meningkatkan VO2Max, memperlambat denyut jantung, dan meningkatkan inspirasi maksimal pada lansia.18

Evaluasi setelah melakukan empat kali terapi menunjukkan peningkatan VO2Max dengan uji coba berjalan 6 menit. Subjek pertama memiliki selisih VO2Max sebesar 0,17 dan subjek kedua sebesar 0,04. Berdasarkan observasi selama latihan, kedua penderita memiliki peningkatan VO2Max. Namun, peningkatannya sangat kecil. Hal tersebut didasarkan pada faktor-faktor yang membuat latihan tidak optimal, seperti penderita tidak ingin melakukan aktivitas yang menguras tenaga seperti berjalan kaki dan penderita dilarang oleh keluarga melakukan aktivitas fisik karena kekhawatiran berlebih. Evaluasi yang seharusnya dilakukan enam minggu sesudah terapi dengan masing-masing tiga kali latihan setiap minggu tetapi hanya dilakukan empat kali latihan atau setara dengan satu minggu terapi. Jika terapi terus dilakukan akan mendapatkan hasil lebih baik lagi sehingga penderita dapat melakukan seperti biasanya.

Jika VO2Max yang didapatkan diperoleh menunjukkan penderita dapat melakukan kerja maka penderita haruslah tetap melakukan aktivitas aerobic untuk mempertahankan kebugarannya. Hal ini diperlukan mengingat penyakit paru obstruktif kronik ini bersifat progressive dan irreversible, maka penderita diwajibkan selalu melakukan aktivitas yang perlu konsumsi oksigen banyak seperti berjalan kaki, bersepeda, dan renang.

Penelitian selanjutnya dapat dilakukan untuk membandingkan metode lain untuk latihan aerobik lainnya seperti senam dan jalan kaki. Untuk penderita dengan penyakit paru obstruktif kronik stabil, olahraga teratur dan motivasi untuk meningkatkan kualitas hiduo sangat dianjurkan untuk hasil optimal. Data awal berupa riwayat penyakit pada setiap Subjek lebih diperjelas dengan adanya hasil pemeriksaan laboratorium tidak hanya berupa pemeriksaan fisik saja.

SIMPULAN

Pada penelitian yang dilakukan kepada penderita dengan diagnosis medis penyakit paru obstruktif kronik stabil dapat disimpulkan bahwa: pertama, faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan kebugaran seperti faktor patologis di mana penderita penyakit paru obstruktif kronik yang seringkali disertai sesak sehingga penderita kekurangan oksigen pada tubuhnya. Faktor selanjutnya adalah perubahan anatomi paru-paru. Faktor ini merupakan saluran ventilasi paru pada bagian distal mengalami gangguan elastisitas otot polos. Kedua, hasil latihan menggunakan static cycle menunjukkan adanya peningkatan kebugaran kardiopulmonal, sehingga penderita dapat menjalankan aktivitasnya tanpa perlu merasa khawatir akan terjadi sesak nafas karena nilai ambang batas kelelahan telah meningkat. Hasil penelitian ini dapat mereduksi sesak nafas yang dialami oleh Subjek dengan latihan secara teratur misalnya setiap Subjek melakukan latihan dengan sepeda statis dalam rentang waktu tiga kali dalam satu minggu. Setiap latihan diberikan perlakuan berupa pembebanan yang berbeda-beda dari ringan hingga sedang.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Penyakit Paru Obstruktif Kronik.; 2019.

  • 2.    Survei Sosial Ekonomi Nasional. Persentase Merokok Pada Penduduk Umur ≥ 15 Tahun Menurut Provinsi (Persen), 2020-2022. Badan Pusat Statistik. Published 2022. Accessed February 22, 2023. Https://Www.Bps.Go.Id/Indicator/30/1435/1/Persentase-Merokok-Pada-Penduduk-Umur-15-Tahun-Menurut-Provinsi.Html

  • 3.    Sya’diyah H. Keperawatan Lanjut Usia Teori Dan Aplikasi. Indomedia Pustaka; 2018.

  • 4.     Darmojo B. Buku Ajar Geriatri. Balai Penerbit Fk Ui; 2014.

  • 5.    Tiara Rosha P, Sari Tetra Dewi F. Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Kualitas Hidup Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis Factors Associated With Quality Of Life Among Patients With Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Bkm Journal Of Community Medicine And Public Health. 2018;32(2):62-66.

  • 6.    Djojodibroto D. Respirologi (Respiratory Medicine). Buku Kedokteran (Egc); 2014.

  • 7.    Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia.; 2015.

  • 8.    Setiawan Nb. Perbedaan Latihan High Intensity Ground Walking Dan Latihan Static Bicycle Terhadap Kapasitas

Latihan Pada Penderita Ppok. Jurnal Keterapian Fisik,. 2016;1(1):1-8.

  • 9.    Maulani, Sri Kadarsih, Yuni Permatasari I. Latihan-Sepeda-Statis-Meningkatkan-Peak. Muhammadiyah Journal

Of Nursing. 2014;1(1):55-61. Doi:Https://Doi.Org/10.18196/Ijnp.V1i1.643

  • 10.    Asmadi A. Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep Dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. (Medika S, Ed.).; 2016.

  • 11.   Najihah K, Megaputri Theovena E. Merokok Dan Prevalensi Penyakit Paru Obstruksi Kronik (Ppok). Window Of

Health:     Jurnal Kesehatan.     2022;5(4):745-751.     Accessed February 22,     2023.

Http://Jurnal.Fkmumi.Ac.Id/Index.Php/Woh/Article/View/Woh5405

  • 12.    Potter Pa, Perry Ag. Fundamental Keperawatan Buku 1. 7th Ed. Salemba Medika; 2015.

  • 13.   Anuj K. Agarwal, Avais Raja, Brandon D. Brown. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Statpearls Publishing

Llc; 2022.

  • 14.    Igildafani Moutya Devi, Agus Widodo. Case Study Program Fisioterapi Pada Kasus Penyakit Paru. Jurnal Kesehatan Dan Fisioterapi (Jurnal Kefis) . 2022;2(3):60-66.

  • 15.    Gagnon P, Guenette Ja, Langer D, Et Al. Pathogenesis Of Hyperinflation In Chronic Obstructive Pulmonary Disease. International Journal Of Copd. 2014;9:187-201. Doi:10.2147/Copd.S38934

  • 16.    Hudy Ariadie D, Retnowulan H. Ariadie Et Al, The Effect Of Pursed-Lip Breathing Original Research Borneo. The Borneo Review Of Medical Sciences. 2020;1(1):9-16. Doi:10.1035/J.Brms2020.07.015

  • 17.    Shimaa T.M. Taha, Zahra M.H. Serry, Emad M.I. Taha, Youssef M.A. Soliman Md. Effect Of Deep Breathing On Functional Capacity Among Healthcare Workers Wearing Ffp2/N95 Filtering Facepiece Respirators. Med J Cairo Univ. 2021;89(39):1699-1706.

  • 18.    Prabowo E, Bagiada A, Ali Imron M, Studi Fisioterapi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Aisyiyah Yogyakarta P. Perbedaan Pelatihan Jalan Dengan Static Bicycle Terhadap Vo2 Max, Inspirasi Maksimal, Dan Heart Rate Pada Lansia. Vol 4.; 2016.

Karya ini dilisensikan dibawah: Creative Commons Attribution 4.0 International License.

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 11, Nomor 2 (2023), Halaman 213-221, Open Access Journal: https://ojs.unud.ac.id/index.php/mifi |221|