ANALISIS KRITIS TERHADAP ALAT PENCEGAH

KEHAMILAN DAN ALAT PENGGUGUR KEHAMILAN
DALAM RKUHP

Rahmatunisa, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Gede Artha, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

DOI: KW.2023.v12.i02.p1

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dan mengetahui substansi RKUHP mengenai alat pencegah kehamilan dan alat penggugur kehamilan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Penelitian hukum normatif yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji memberikan penjelasan bahwa penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang menelaah bahan kepustakaan, peraturan perundang-undangan, teoritis, dogmatis, serta biasa disebut dengan penelitian doctrinal. Terdapat norma dalam RUU KUHP yang kontroversial di publik seperti pada penerapan norma alat pencegah kehamilan dan penggugur kandungan yang terdapat dalam pasal 414 RKUHP yang menjadi pertentangan kontradiktif khususnya mengenai adanya kata “anak” dan “yang berwenang” dianggap tidak ada penafsiran yang jelas mengenai batasan umur, dan siapa yang dianggap berwenang dalam penyuluhan alat kontrasepsi ini. Selain itu Pasal 414 RKUHP dianggap menuai konflik norma karena bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945 dan Program-program Pemerintah seperti Program Keluarga Berencana (KB) serta upaya penularan terjangkitnya penyakit HIV dan AIDS. Hasil penelitian menemukan adanya konflik norma, konflik hearaki serta multitafsir dalam penjelasan pada substantifnnya.

Kata kunci: Kontraversial, Kontrasepsi, RUU KUHP.

ABSTRACT

The purpose of this study was to analyze and determine the substance of the RKUHP regarding contraceptives and abortion devices. The method used is the normative juridical research method, which uses literature with an emphasis on secondary data and this research also places the law as a system of norms that contains the rules of court decisions, perpu, agreements and doctrinaires using an interview approach. There are norms in the Draft Criminal Code that are controversial in the public, such as the application of the norms for contraceptives and abortions contained in Article 414 of the Criminal Code which is contradictory, especially regarding the existence of the words "child" and "authorized" which is considered to have no clear interpretation of the limits. age, and who is considered competent in counseling this contraceptive. In addition, Article 414 of the RKUHP is considered to be a conflict of norms because it contradicts Article 28 of the 1945 Constitution and Government programs such as the Family Planning Program (KB) as well as efforts to transmit HIV and AIDS. The results of the study found that there was a conflict of norms, conflict of hearaki and multiple interpretations in the explanation of the substantive.

Keywords: Controversial, Contraception, Criminal Code.

  • I.   Pendahuluan

    1.1.  Latar Belakang Masalah

Pembaharuan dalam Hukum Pidana merupakan suatu upaya untuk melakukan peninjuan dan penilaian Kembali mengenai norma hukum yang sudah atau belum terbentuk. Upaya dalam pembaharuan hukum pidana memiliki makna yaitu menciptakan suatu kondifikasi hukum pidana nasional untuk mengganti kondifikasi

hukum pidana yang merupakan warisan Kolonial Belanda yakni Wetboek Van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie 1915, yang merupakan turunan dari Wetboek van Strafrecht Negeri Belanda tahun 1886. Pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia haruslah bersumber pada nilai-nilai sosial, budaya dan structural masyarakat Indonesia, di Indonesia Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum sehingga setiap peraturan perundang-undangan harus sesuai dengn nilai-nilai dalam pancasila. Dapat dipastikan bahwa KUHP tidak sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila karena merupakan hukum warisan Belanda sehingga diperlukannya pembaharuan terhadap KUHP. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia yaitu dengan membentuk RUU KUHP yang menjadi wujud adanya pembaharuan hukum pidana Indonesia. Adanya RKUHP diartikan sebagai suatu upaya dalam melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana. Salah satunya mengenai norma dalam Pasal 414 RKUHP yang menjadi kontroversi di dalam masyarakat karena dianggap multitafisr yang menimbulkan stigma-stigma masyarakat yang berujung ke permasalahan hukum lainnya. Substansi pada pasal yung diatur dalam RKUHP yang menjadi perhatian publik mengenai pengaturan adanya larangan penyiaran, menawarkan serta mempertujukan alat kontrasepsi kepada anak. Dan diperjelas didalam pasal 416 bahwa orang yang berhak melakukannya adalah pihak berwenang. kata pihak berwenang inilah yang menjadi kekhawatiran beberapa pihak seperti tokoh masyarakat khususnya orangtua, karena takut apabila melakukan sex education mengenai alat kontrasepsi ini akan bermasalah dengan hukum. 1

Mengenai alat kontrasepsi ini bukanlah merupakan hal baru di Indonesia, adanya alat kontrasepsi ini ditunjukan pengatur jarak kelahiran supaya meningkatkan kualitas hidup dan melindungi kesehatan ibu dan anak, baik secara fisik maupun psikhis. Akan tetapi dalam perkembangan zaman alat kontrasepsi ini malah di salahgunakan oleh anak yang belum dewasa sebagai pencegah atau menggugurkan kehamilan yang dikarenakan seks bebas. Bentuk dari penggunaan alat kontrasepsi ini isa dari berbagai cara seperti pil KB, penggunaan kondom, suntik KB, Implan dan lainnya. Seiring berjalannya waktu alat kontrasepsi ini semakin menyebar diseluruh wilayah yang mengakibatkan alat kontrasepsi ini mudah di akses dan di dapatkan oleh siapapun bahkan anak dibawah umur. Mudahnya mendapatkan alat kontrasepsi ini dapat mengakibatkan penyalahgunaan yang dilakukan oleh kalangan anak dibawah umur. Permasalahan kontrasepsi ini diakibatkan kurangnya penyuluhan mengenai tujuan penggunaan alat kontrasepsi ini. Di dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga diatur mengenai kewenangan tenaga Kesehatan, dikatakan bahwa tenaga Kesehatan memiliki kewenangan untuk menyampaikan informasi dan/atau peragaan alat, obat dan cara kontrasepsi, terdapat tenaga terlatih selain tenaga kesehatan yang juga diberi kewenangan. Diatur pula bahwa dalam pasal tersebut prosedur pelaksanaan kegiatan harus sesuai dan harus dilakukan di tempat yang layak. Selain itu terdapat aturan yang berkaitan dengan pembatasan kewenangan untuk melakukan perbuatan tersebut juga diatur di dalam Pasal 414, Pasal 415, Pasal 416 dalam pelaksanaan penyuluhan alat kontrasepsi ini. Norma yang terdapat dalam pasal-pasal ini dianggap masih multitafsir dan mengakibatkan stigma-stigma masyarakat. Kuatnya stigma tersebut bisa saja mengakibatkan permasalahan hukum lainnya. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui,

menelaah, memahami sejauh mana kebijakan terkait norma yang ada di RKUHP mengenai alat kontrasepsi ini.

Pengaturan mengenai alat kontrasepsi dan alat penggugur kandungan saat ini diatur didalam KUHP pasal 283, 284, dan pasal 535 KUHP. Didalam pasal 283 diatur mengenai larangan menunjukkan alat kontrasepsi dan alat penggugur kandungan kepada anak dibawah 17 tahun dengan pidana penjara maksimal 9 bulan atau denda 9 ribu rupiah, serta dalam pasal 535 KUHP mengatur mengenai apabila barangsiapa secara terang-terangan tanpa diminta menunjukkan alat kontrasepsi dan alat penggugur kandungan diancam dengan Pidana kurungan paling lama dua bulan atau denda paling banyak 3 ribu rupiah. Sedangkan dalam RKUHP diatur dalam pasal 414-426 dimana dalam pasal 414 menyebutkan, Setiap Orang yang secara terang-terangan mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan kepada Anak dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I. selanjutanya Pasal 415 menjelaskan bahwa, Setiap Orang yang tanpa hak secara terang-terangan mempertunjukkan suatu alat untuk menggugurkan kandungan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat untuk menggugurkan kandungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori I. Sementara dalam Pasal 416 menjelaskan adanya pengecualian bagi petugas yang memang berwenang mengenalkan alat kontrasepsi untuk kepentingan ilmu pengetahuan atau Pendidikan.Terdapat perbedaan pengaturan mengenai alat kontrasepsi di dalam pasal 283, 534 KUHP dan pasal 414-416 RKUHP, dimana di dalam pasal 283, 534 KUHP terdapat definisi pada batasan umur , wewenang, dan hukuman di KUHP terdapat hukuman pidana penjara sedangkan di dalam RKUHP tidak terdapat pengaturan sanksi pidana penjara dan hanya terdapat pidana sanksi denda pada kategori I - II.

Dengan adanya pembatasan terhadap upaya penyuluhan alat kontrasepsi sehingga untuk menghindari seks bebas dapat berakibat adanya pemaksaan perkawinan seperti “perjodohan” di mana kasusnya seorang anak dipaksa untuk dinikahkan dengan seseorang yang tidak dia dinginkan. Unsur kekerasan seksual tersebut dapat terjadi apabila anak tersebut dipaksa karena tidak mau melakukan hubungan seksual dengan orang yang tidak ia ingingkan atau orang yang tidak dikenal. Pemaksaan melakukan perkawinan ini dapat dianggap sebagai pemerkosaan dalam rumah tangga (marital rape) Ketika adanya pemaksaan untuk melakukan aktivitas seksual oleh suami atas istri, mengenai hal tersebut maka semakin terlihat jelas, norma yang ada di pasal 414 masih dapat mengakibat permasalahan hukum lainnya seperti terlihat jelas mengenai ketakutan tokoh masyarakat dalam memberikan penyuluhan mengenai alat pencegah kehamilan.

Terdapat penelitian terdahulu yang menjadi rujukan dalam penelitian ini ditulis oleh Mochamad Yendra Priambada pada tahun 2019. Penelitian tersebut berjudul "Pengaruh Tragedi Kontroversi RUU KUHP Terhadap Jiwa Nasionalisme”, yang membahas mengenai pasal- pasal kontroversi dalam RKUHP. Perbedaan penelitian ini yang juga menjadi aspek novelty yang diangkat yaitu uraian spesifik terkait pasal 414 tentang larangan menunjukkan alat kontrasepsi dan alat penggugur kandungan. Dalam hal ini penulis menemukan adanya tumpang tindih antara pasal 414 RKUHP dengan peraturan lainnya yang dapat menimbulkan konflik norma, multitafsir serta konflik hierarki di masyarakat yang akan menjadi aturan prioritas dalam penegakkan hukum.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Dengan berbagai fakta-fakta yang telah dikemukakan di dalam later belakang maka penulis mengangkat rumusan masalah sebagai berikut:

  • 1.    Bagaimanakah implikasi dalam masyarakat terhadap penerapan norma alat pencegah kehamilan?

  • 2.    Apakah yang dimaksud alat penggugur kehamilan bab xv bagian ketiga dalam RKUHP?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Tujuan ditulisnya jurnal ini adalah untuk menganalisis mengenai implikasi dalam masyarakat terhadap pembatasan alat pencegah dan penggugur kehamilan serta untuk mengetahui maksud alat penggugur kehamilan bab xv bagian ketiga dalam RKUHP.

  • II.    Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan suatu hal yang sangat penting dalam sebuah penelitian. Pada penulisan jurnal ini penulis menggunakan metode penelitian hokum normatif. Penelitian hukum normatif yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji memberikan penjelasan bahwa penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang menelaah bahan kepustakaan, peraturan perundang-undangan, teoritis, dogmatis, serta biasa disebut dengan penelitian doctrinal.2

Penelitian ini membas tentang norma dalam RUU KUHP yang kontroversial di publik dalam penerapan norma alat pencegah kehamilan dan penggugur kandungan yang terdapat dalam pasal 414 RKUHP yang menjadi pertentangan kontradiktif khususnya mengenai adanya kata “anak” dan “yang berwenang” dianggap tidak ada penafsiran yang jelas mengenai batasan umur, dan siapa yang dianggap berwenang dalam penyuluhan alat kontrasepsi ini. Selain itu Pasal 414 RKUHP dianggap menuai konflik norma karena bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945 dan Program-program Pemerintah seperti Program Keluarga Berencana (KB) serta upaya penularan terjangkitnya penyakit HIV dan AIDS.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Implikasi dalam Masyarakat terhadap Penerapan Norma Alat Pencegah Kehamilan.

RKUHP sudah digagas sejak 58 tahun silam yang lalu hingga saat ini terus menjadi perbincangan di kalangan masyarakat hingga para praktisi hukum. Pada dasarnya untuk mencapai kesempurnaan dari pada RKUHP itu sendiri dengan mewujudkan kepastian, kemanfaatan serta keadilan hukum yang sejatinya kesempurnaan hanya ketentuan tuhan, apapun yang akan dituliskan dalam rancangan tersebut selalu akan menimbulkan pro dan kontra. Alat kontrasepsi merupakan alat yang digunakan sebagai upaya proses menunda kehamilan yang bertujuan untuk mengurangi angka kelahiran yang tinggi tiap tahunya hanifa dan manuaba (2008).

Hal ini muatan dari substansi pasal 414 RKUHP yang memberikan penjelasan adanya larangan menyiarkan, menawarkan, serta mempertunjukan untuk memperoleh alat kontrasepsi, ini yang jelas menjadi kontradiktif bertentangan pada pasal 28 UUD

1945 yang memberikan kebebasan berekspresi dan mengungkapkan pendapatnya, dan hak setiap warga negara untuk memperoleh alat kontrasepsi sebagai upaya Kesehatan dalam melakukan hubungan seksual, hal ini terlihat pada pasal 416 bahwa adanya pengecualian yang tidak di pidana hanya petugas yang berwenang saja, dalam hal ini yang akan menimbulkan diskriminasi tertuang jelas dalam pasal 27 ayat 1 makna dari substansinya warga negara bersamaan kedudukanya di dalam hukum dengan mengenal asas persamaan di hadapan hukum artinya tidak ada perbedaan satu sama lain dihadapan hukum untuk menyampaikan kebebasan ekspresi dan mengemukakan pendapat dimuka umum, termasuk mendapatkan alat kontrasepsi tersebut.

Kemudian juga telah dijelaskan bagaimana bisa disalahkan dalam menyiarkan, memberikan, mempertunjukan alat kontrasepsi jelas diatur pada pasal 4 ayat 1 UU kekuasaan kehakiman, bahwa pengadilan mengadili menurut hukum tidak boleh membedakan orang didepan hukum dalam hak asasinya. Aturan ini sangat rentan untuk terjadi pelanggaran maka ketika tidak mentaati regulasi tersebut, akan dikenakan sanksi pidana denda pada kategori I senilai 1 juta rupiah ini mencerminkan adanya komersialisasi dari pemerintah terhadap rakyat dengan larangan untuk mempertunjukan, menyiarkan serta memberikan alat kontrasepsi, dari lain hal lalu bagaimana yang dimaksud dengan anak tersebut dalam pasal 414 tidak diberikan penjelasan secara eksplisit mengenai batasan umur. Karena pada dasarnya kasus yang banyak terjadi di masyarakat halnya yang dikemukakan oleh KPAI Rita Praawati adanya fenomena anak yang harus terpaksa dinikahkan lantaran hamil diluar nikah di Madiun.3 Sebenarnya alat kontrasepsi ini menjadi upaya penting untuk menitiskan generasi yang berkualitas untuk mencegah adanya kehamilan pada waktu dini, yang dapat mengontrol angka kelahiran, serta mengurangi angka kematian. Selanjutnya pasal 414 juga bertentangan dengan UU Kesehatan pada pasal 9 ayat 1 terang disampaikan setiap orang berkewajiban mempertahankan serta mewujudkan Kesehatan masyarakat termasuk Kesehatan dalam hubungan seksual lanjut diperjelas pada ayat 2 sebagai pelaksanaan upaya preventif Kesehatan perseorangan termasuk alat kontrasepsi yang menjadi sebagai upaya mencegah penularan penyakit HIV/AIDS.

Dengan ini juga diperjelas dalam Permenkes pada pasal 15 ayat 4 huruf g kontrasepsi menjadi salah satu pelayanan Kesehatan bagi Ibu pasca persalinan, pasal 414 RKUP itu sendiri justru berlawanan dengan program-program pemerintah seperti program keluarga berencana (KB) serta upaya penularan terjangkitnya HIV dan AIDS, lalu bagaimana pasal tersebut bisa diundangkan jika banyak menuai konflik norma. Dalam program (KB) telah tertuang norma pada pasal 5 huruf (I) UU No. 52 tahun 2009 setiap orang dapat menentukan jumlah anak, umur anak, serta jarak kelahiran anak proses dalam mewujudkannya dengan menggunakan obat, obat dalam pengertian yang terdapat pada UU Kesehatan yakni termasuk alat kontrasepsi itu sendiri, jika pasal 414 RKUHP tidak direvisi serta penjelasan yang lebih eksplisit lagi maka akan dapat menimbulkan benturan antar norma lainya yang memicu ketidak pastian hukum itu sendiri. Jelas sudah diterangkan pada asas kepastian hukum setiap orang berhak adanya jaminan yang dijalankan oleh hukum untuk mendapatkan putusan.4

Pada muatan dari substansi pasal 414 RKUHP yang memberikan penjelasan adanya larangan menyiarkan, menawarkan, serta mempertunjukan untuk memperoleh alat kontrasepsi. Hal ini dianggap dapat mengakibatkan overkriminalitas dan mengancam

program KB. Karena adanya kalimat “pihak berwenang. Sementara dalam Pasal 416 menjelaskan adanya pengecualian bagi petugas yang memang berwenang mengenalkan alat kontrasepsi untuk kepentingan ilmu pengetahuan atau Pendidikan seperti petugas yang berwenang dalam rangka pelaksanaan keluarga berencana, pencegah penyakit infeksi menular seksual atau kepentingan lainnya seperti Pendidikan atau penyukuhan Kesehatan. Ketentuan di dalam substansi RKUHP Pasal 414 mengenai kata “setiap orang” dapat diancam pidana dan Pasal 416 mengenai adanya kata “pihak berwenang” mendapatkan kritik karena dinilai dapat Membuat adanya stigma, kebingungan dan kekhawatiran di masyarakat.

Unsur tanpa hak yang disebutkan dalam Pasal 415 memperjelas konsep bahwa pihak yang berwenang menunjukan alat kontrasepsi adalah petugas, sementara masyarakat sipil yang melibatkan beberapa pihak lain seperti pihak swasta, tokoh masyarakat terancam pidana. Peraturan mengenai petugas yang berwenang ini dapat menghabat upaya penyuluhan kesehatan reproduksi oleh orang tua, tenaga pendidik dan masyarakat yang selama ini sangat efektif. Ini berarti petugas berwenang tidak berada dalam rujukan pertama bagi anak untuk mendapatkan penyuluhan kesehatan reproduksi. Ancaman pidana ini dapat mengakibatkan ketakutan masyarakat yang mengakibatkan overkriminalitas.

Penyuluhan yang hanya dilakukan oleh petugas bisa tidak menyeluruh dan penyuluhan tersebut tidak akan selalu ada, selain karena kurang meratanya petugas diseluruh lingkungan dan jika penyuluhan tersebut hanya dilakukan sekali bisa dianggap percuma. Adanya larangan ini membuat orangtua yang beranggapan apapun bisa terjadi kepada anaknya, seperti maraknya seks bebas di usia anak. orangtua mengenai anaknya yang melakukan seks bebas tanpa adanya bekal sex education (penyuluhan mengenai alat pencegah kehamilan ini) dianggap akan berakhir fatal.

Kemudian pasal 414 tetap untuk diundangkan, maka akan berimplikasi pada kenaikan angka pengangguran dalam pandangan analisis kami mengapa hal itu terjadi, hal ini tentu saja pemicunya adanya pengecualian dalam menyiarkan, mempertunjukan serta memperjual belikan hal ini tentu juga bagian dari pada proses marketing pada penjualan oleh perusahaan, lalu bagaimana hanya pihak yang berwenang saja yang dapat menyiarkan, hal ini tentu akan mengurangi pada omset dari penjualan pemasaran yang akan berpengaruh pada pengurangan karyawan pembuat alat kontrasepsi, penyiaran atau mempromosikan merupakan bagian dari hak atas perusahaan yang diatur dalam bab I UU No. 70 tahun 2019. Hal ini tidak dijelaskan lebih eksplisit yang dituangkan dalam pasal 414 RKUHP terdapat batasan dalam menyiarkan alat kontrasepsi oleh pihak berwenang tidak ada penafsiran yang jelas, yakni siapa yang dimaksudkan pihak yang berwenang tadi, apa perusahaan pemproduksi alat kontrasepsi dapat dikatakan sebagai pihak berwenang dalam menyiarkan alat kontrasepsi tersebut, jika tidak dapat dikatakan demikian, artinya apakah perusahaan pemproduksi alat kontrasepsi harus mengeluarkan biaya Kembali baik untuk izin, membayar baik ke Lembaga atau pihak tertentu yang berwewenang supaya dapat produknya tadi bisa di siarkan dan dipertunjukan di muka umum. Lalu jika begitu maka lebih baik perusahaan melanggar aturan tersebut dengan membayar denda pada kategori I dari pada harus mengeluarkan biaya besar untuk pihak yang berwewenang untuk memperkenalkan produk nya.

Hal ini penulis menilai dalam analisis ini harus dihadapi dengan 2 pilihan yang sama merugikan hanya perbedaan pada nominal saja dari pihak pelaku usaha, Kembali terlihat adanya komersialisasi pada aturan RKUHP tersebut. Dapat ditarik benang merahnya ketika RKUHP ini dapat diterbitkan maka secara asas lex specialis derogate legi

generall artinya RKUHP ini akan dikesampingkan oleh UU lain yang bersifat spesialis, namun berdasarkan asas lex posterior derogate legi priori secara makna hukum yang baru akan menghapuskan hukum yang lama artinya, apakah UU yang bersifat spesialis akan terhapus begitu saja dengan adanya RKUHP yang sifatnya general ini yang menjadi kekhawatiran kami maka aka ada kesulitan dalam memberikan putusan akan digunakan norma yang mana, aturan hukum yang baru tetapi sifatnya general atau aturan hukum yang lama namun sifatnya spesialis hal ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang membuat hilangnya unsur hukum dari pada hukum itu sendiri (Lex Certa). Pasal ini tak lain hanya menimbulkan konflik norma, multitafsir serta konflik hierarki mana yang akan menjadi aturan prioritas penegakan hukum adanya tumpang tindih dari peraturan perundang-undangan.

  • 3.2.    Yang dimaksud dengan Alat Penggugur Kehamilan Bab XV Bagian Ketiga dalam RKUHP.

Problematika yang cukup menarik dalam pembahasan ini terutama pada ketentuan dalam pasal 415 terkait pelarangan menawarkan, menyiarkan serta mempertunjukan alat pengguguran kehamilan pada dasarnya penulisan substansi tersebut belum sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan mengenai muatan materi atau pada kejelasan rumusan. Tentu kita bisa menelaah adanya bias kognitif pada substantifnya karena tidak ada keterangan yang menjelaskan secara eksplisit apa saja alat pengguguran kehamilan yang tidak boleh disiarkan, tawarkan serta mempertunjukan, lalu menimbulkan kekhawatiran terhadap masyarakat karena tidak ada kategori jenis alat tersebut yang dapat menggugurkan kehamilan, yang justru kini menjadi multitafsir yang dimaksud pada alat tersebut, seperti apa jenisnya apakah obat-obatan, minuman beralkohol, jamu tradisional, benda tajam, atau benda tumpul yang dimaksud dalam muatan pasal 415 itu.

Diatur lebih lanjut pada pasal 416 terdapat pengecualian jika digunakan dalam kepentingan ilmu pengetahuan dan Pendidikan, ini yang menjadi tolak pikir kami, hal ini tidak memberikan penjelasan subjek siapa saja yang dapat melakukan menyiarkan, mempertunjukan serta memberikan, karena tidak menutup kemungkinan dapat terjadi siapa saja dapat mempergunakannya dengan dalih kepentingan ilmu pengetahuan maupun Pendidikan, ini yang harus diwaspadai bersama karena tidak ada batasan-batasan pihak manakah yang dapat diperbolehkan mana yang tidak diperbolehkan dalam menyiarkan serta mempertunjukan alat pengguguran tersebut.

Kami melihat formulasi RKUHP substansi pasal 414-416 ke-objektif dan subektifnya belum memenuhi dari pada unsur teori ROCCIPI jelas terlihat pada ketidakpastian aturan hukum yang justru menimbulkan konflik norma berdampak sulitnya dalam memberikan putusan, tidak terlihat adanya communication antar pihak-pihak tertentu yang menjadi pada toppoksinya agar terciptanya substansi yang tidak menimbulkan polemic serta memberikan solusi, kami hanya menemukan adanya Interest saja pada pembuatan formulasi aturan tersebut pada pihak -pihak tertentu yang justru ini akan menjadi berbahaya dari pada fungsi substansi RKUHP pasal 414-416 itu sendiri. Seperti yang disampaikan oleh Prof, Mahfud MD dalam Naska Akademik terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan harus ada tujuh indicator yang biasa disebut dengan ROCCIPI.5

Penulis melihat pasal 414-416 pada RKUHP seperti pasal guyonan, hal ini berbanding kebalikan pada alat kontrasepsi diberikan batasan pihak-pihak tertentu yang dapat menyiarkan serta mempertunjukan namun yang justru lebih berbahaya bukan alat kontrasepsinya tapi alat pengguguran kehamilannya yang sebenarnya harus diberikan batasan-batasan pada subjek tertentu saja yang dapat menyiarkan, memberikan serta mempertunjukan agar tidak terjadi kesewenang-wenangan dalam penggunaan alat pengguguran kehamilan tersebut.

  • IV.  Kesimpulan sebagai Penutup

    4.   Kesimpulan

Peneliti menemukan tingkat pelanggaran akan sangat tinggi dikarenakan dalam pasal 414 RKUHP terdapat tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan lainnya yaitu pasal 28 UUD 1945 mengenai kebebasan berekspresi dan dapat memperoleh alat kontrasepsi merupakan salah satu hak masyarakat dalam mendapatkan upaya Kesehatan pada pasal 9 ayat 1 UU kesehatan dikatakan bahwa setiap orang berkewejiban mempertahankan dan mewijudkan kesehatan termasuk kesehatan dalam hubungan seksual, alat kontrasepsi ini juga digunakan sebagai pencegahan terjangkitnya penyakit HIV dan AIDS serta penyakit menular seksual lainnya serta program pemerintah seperti KB. RKUHP tidak memberikan tolak ukur secara jelas mengenai kata "anak' dan "pejabat yang berwenang" dimana hal ini menyebabkan terjadinya multi tafsir di kalangan masyarakat. Alat kontrasepsi seharusnya lebih digalakkan lagi dalam memberikan penyuluhan bukan diberi batasa seperti pada pasal 414. Urgensi pengesahan pengaturan mengenai alat penggugur kandungan harusnya lebih digalakkan mengingat justru yang paling penting saat ini. Alat penggugur kandungan seharusnya lebih mendapat perhatian untuk dibentuk peraturan mengenai batasan-batasan pada subjek tertentu saja yang dapat menyiarkan, memberikan serta mempertunjukan agar tidak terjadi kesewenang-wenangan dalam penggunaan alat pengguguran kehamilan tersebut dan sebagai upaya mencegah terjadinya tindak pidana aborsi.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Atmaja, Dr. Gede Mahendra Wijaya. Metodelogi Dan Bahasa Perundang-Undangan. (Denpasar: Bimbingan teknis penyusunan peraturan daerah kantor wilayah kemenkumham bali tahun, 2016)

Dr. H. Ishaq, SH., M. Hum. Metode Penlitian Hukum (Bandung: Albertha, 2017) Usfunan, Yohanes. Perancangan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik Menciptakan Pemerintah Yang Bersih Dan Demokratis (Denpasar: Universitas Udayana, 2014)

Isnawati. Asas Dalam Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan (Samarinda: Program Study Ilmu Hukum Universitas 17 Agustus 1945, 2014)

Prof. Dr. I Ketut mertha, sh.,M.Hum. Buku Ajar Hukum Pidana (Denpasar: Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2016)

Jurnal

Alya, Anira. "Implikasi dekriminalisasi pasal 534 KUHP dikaitkan dengan perkembangan dalam bidang Kesehatan di Indonesia." Jural Jurist-Diction Vol. 3,No. 3 (2020): 781-794

Arief, Barda Nawawi. "Pidato Pengukuhan Guru Besar UNDIP-Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana ." Badan Penerbit Undip, 2007.

Emy, Ika Haryadi. "Analisis framing media online Kompas.com tentang pemberitaan RUU KUHP Tahun 2019." Jurnal commercium vol 3,No 3 (2020): 62-73

Fila rais, DKK. "Analisis keberlakuan rkuhp dan ruu pks dalam mengatur tindak pidana kekerasaan seksual." Jurnal lex scietia law review vol 3,no 1 (2019): 55-68

Gunarto, Marcus Priyono. "Asas Keseimbangan Dalam Konsep Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana." Jurnal Mimbar Hukum vol 24, no.1 (2012): 85.

Hardianto, Salimung Dg. "Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan alat kontrasepsi tubektomi pada pasangan usia subur di rumah sakit umum sawerig gading kota palopo." Jurnal fenomena Kesehatan vol. 2,no 2 Oktober (2019): 286-294

Kusuma Aqnes, DKK. "Analisis keberlakuan RKUHP dan RUU PKS dalam mengatur tindak kekerasan seksual." Jurnal lex scienntia review. Vol 3 No. 1 Mei, 2019.

Mochamad, Yendra Priambada. "pengaruh tragedi kontraversi RUU KUHP terhadap semangat jiwa nasionalis pemuda." Jurnal Academia, n.d.

Ririn, Indraswari. "Penggunaan diksi pada pasal 480 tentang polemik RUU KUHP di Indonesia ." Jurnal ilmiah pranata edu Vol 1, No. 2 (2019): 80-86

Sumiarti, DKK. "Kajian UU No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Dan Peraturan Perundang-Undangan Lain Terkait Hak Kesehatan Reproduksi Dan Keluarga Berencana." Jurnal Penelitian Sistem Kesehatan Vol.16,No.3 (2013): 249-258

Tony, Praogo R. "Penerapan asas kepastian hukum dalam peraturan mahkamah agung No. 1 Tahun 2011 tentang hak uji materil dan dalam peraturan mahkamah konstitusi No. 06/pmk/2005 tentang pendoman beracara dalam pengajuan UU." Jurnal Legislasi Indonesia Vol.16, No. 3 (2016): 191-201

Website

https://simdos.unud.ac.id

https://amp.kompas.com/nasional/read/2018/02/04/16325151/siapa-yang-bisa-dipidana-dalam-pasal-soal-alat-kontrasepsi-di-rkuhp

https://icjr.or.id/pasal-mempertunjukkan-alat-pencegah-kehamilan-dalam-rkuhp-mengancam-program-keluarga-berencana-dan-kesehatan-reproduksi-masyarakat/ Skripsi

Nur, Fadlan. "Kebebasan jual beli alat kotrasepsi secara online perspektif peraturan pemerintah No. 82 tahun 2012, UU No. 11 tahun 2008, dan SAAD-DZARI’AH." Skripsi Hukum Bisnis Syariah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, 2017.

Nur, Hanifa. "Hukuman Bagi Pelaku Tindak Pidana Pelecehan Seksual Atau Kesusilaan Melalui Media Sosial (Cyberporn) Dalam Perspektif Hukum Positif Dan Hukum Islam." Skripsi Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, 2018.

Yahya, Rahmadyan. "Pelecehan Seksual,dilihat kacamata hukum islam dan kuhp." Skripsi Universitas Islam Negeri Syarif hidayatullah, 2010.

Undang-Undang

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009

Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No. 48 Tahun 2009

Undang-Undang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga No. 52 tahun 2009

PERMENKES No. 97 Tahun 2014

PERMENDAG No. 70 Tahun 2019

KUHP

RUU KUHP

Jurnal Kertha Wicara Vol 12 No 02 Tahun 2023, hlm. 79-87