PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI PELAKU PENYANDANG DISABILITAS DALAM KASUS

PEMBUNUHAN BERENCANA

Ni Putu Diah Indira Pramesti, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail:[email protected]

Anak Agung Ngurah Oka Yudistira Darmadi, S.H., M.H., Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

DOI: KW.2022.v11.i11.p6

ABSTRAK

Tujuan dari penulisan ini untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan hukum positif di Indonesia terkait pertanggungjawaban pidana bagi pelaku penyandang disabilitas di Indonesia dan penjatuhan sanksi pidana bagi pelaku penyandang disabilitas yang sebagai intelectual dader dalam kasus pembunuhan berencana. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan metode normatif dengan pendekatan pada peraturan perundang undangan. Dalam penelitian ini memperoleh hasil bahwa mengenai pengaturan pertanggungjawaban pidana bagi pelaku penyandang disabilitas mengacu pada Pasal 44 KUHP. Penjatuhan sanksi pidana bagi pelaku penyandang disabilitas yang sebagai intelectual dader dalam kasus pembunuhan berencana tetap dapat dimintai pertanggungjawaban pidana sesuai Pasal 340 KUHP dengan mempertimbangkan ketentuan UU No 8 Tahun 2016 dalam menjatuhkan sanksi pidananya.

Kata Kunci: disabilitas, pembunuhan berencana, pertanggungjawaban pidana.

ABSTRACT

This paper has the purpose of understand and analyze the Indonesian ius constitutum on criminal responsibility of perpetrator with disability in Indonesia and the imposition of criminal sanction for perpetrator with disability as an intellectual dader in a premeditated murder. This study used the method of normative with an laws and regulations approach. This study shows that the criminal responsibility of perpetrator with disability is regulated on Article 44 of the Criminal Code. The imposition of criminal sanction for perpetrator with disability as an intellectual dader in a premeditated murder in the form of criminal responsibility is still possible according to Article 340 of the Criminal Code and take the provision of Law Number 8 of 2016 as the consideration in imposing criminal sanction.

Keywords: disability, premeditated murder, criminal responsibility.

  • I.   Pendahuluan

    1.1.  Latar Belakang Masalah

Di zaman sekarang, pelaku tindak pidana tidak hanya orang yang memiliki fisik normal tetapi ada juga pelaku yang memiliki keterbatasan secara fisik atau yang sering disebut pelaku penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas dikenal sebagai orang yang mempunyai keterbatasan baik yang berupa keterbatasan intelektual, keterbatasan fisik, mental, dan juga sensorik sehingga memiliki hambatan dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Orang yang tergolong disabilitas juga

merupakan subjek hukum, sehingga apabila penyandang disabilitas melakukan suatu perbuatan tindak pidana, tentu bisa diadili menurut hukum yang berlaku. Terkait penyandang disabilitas yang menjadi pelaku kejahatan, biasanya diakibatkan karena pengaruh lingkungan, perlakuan dari individu di sekitar mereka, maupun pengaruh pengalaman unik mereka secara pribadi. Terkait pertanggungjawaban pidana bagi pelaku penyandang disabilitas, perlu dilihat kembali apakah mereka sudah memenuhi unsur - unsur tindak pidana. Disamping itu, ada juga syarat - syarat tertentu yang bisa menyebabkan seseorang tidak bisa dijatuhi pidana, misalnya seseorang itu tidak menyadari tujuan dan akibat suatu perbuatan yang dilakukannya, tidak menyadari sifat melawan hukum, dan tidak bisa memberikan arah kemampuannya.

Ada cara untuk mengetahui ketidakmampuan penyandang disabilitas yang bisa dijadikan alasan penghapus pidana, yaitu dengan sistem menyatakan (menentukan penyebab penghapus pidana melalui keterangan ahli jiwa apabila terdakwa terbukti mengalami gangguan jiwa), sistem mempernilai (melihat apakah pelaku menyadari bahwa perbuatannya melanggar hukum), dan gabungan dari kedua sistem tersebut.1 Maka dari itu, dalam meminta pertanggungjawaban pidana bagi pelaku penyandang disabilitas, perlu dibuktikan terlebih dahulu apakah pelaku bisa dikatakan mampu bertanggung jawab. Kemampuan bertanggung jawab ini dilihat dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh ahli jiwa dan hakim yang kemudian memberi penilaian terkait keadaan kejiwaan pelaku dengan tindak pidana yang dilakukannya. Pengaturan terkait pertanggungjawaban seseorang dalam melakukan tindak pidana diatur dalam Pasal 44 KUHP, akan tetapi tidak mengatur lebih spesifik mengenai kemampuan bertanggung jawab bagi pelaku penyandang disabilitas sehingga bisa menimbulkan norma kabur dalam hal ini.

Sebagaimana yang telah diteliti oleh peneliti sebelumnya mengenai “Pertanggungjawaban Pidana Penyandang Disabilitas Mental Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Putusan Nomor 50/Pid.Sus/2013/Pn.Ska)” dan “Pemidanaan Terhadap Penyandang Disabilitas Mental Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Putusan Perkara Nomor 16/Pid.Sus/2019/Pn.Wsb)” yang mana dalam penelitian ini juga sama - sama terfokus untuk meneliti pengaturan hukum terhadap penyandang disabilitas. Terlihat disini bahwa kedua peneliti sebelumnya menekankan pada objek penelitian tindak pidana pencabulan, sementara penelitian ini lebih menekankan pada objek pembunuhan berencana.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini ialah sebagai berikut :

  • 1.    Bagaimana pengaturan hukum positif di Indonesia terkait pertanggungjawaban pidana bagi pelaku penyandang disabilitas ?

  • 2.    Bagaimana penjatuhan sanksi pidana bagi pelaku penyandang disabilitas yang sebagai intelectual dader dalam kasus pembunuhan berencana ?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini adalah untuk memahami dan mengetahui pengaturan hukum positif di Indonesia terkait pertanggungjawaban pidana bagi pelaku penyandang disabilitas dan untuk mengetahui penjatuhan sanksi pidana bagi pelaku penyandang disabilitas yang sebagai intelectual dader dalam kasus pembunuhan berencana.

  • II.    Metode Penelitian

Metode penelitian jurnal ini menggunakan metode normatif. Problematika norma dalam penulisan jurnal ini yaitu dalam peraturan perundang undangan di Indonesia masih terdapat kekaburan norma mengenai pertanggungjawaban pidana utamanya bagi pelaku penyandang disabilitas. Oleh sebab itu, penelitian ini mempergunakan pendekatan perundang - undangan (statue approach) dengan menggunakan bahan hukum yang bersumber dari studi kepustakaan yang memanfaatkan buku - buku ilmiah dan beberapa literatur yang menunjang penulisan jurnal ini.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Pengaturan Hukum Positif di Indonesia Terkait Pertanggungjawban Pidana Bagi Pelaku Penyandang Disabilitas

Penjatuhan sanksi pidana hanya bisa dilakukan bila seseorang telah terbukti melakukan perbuatan yang tergolong tindak pidana dengan memenuhi unsur unsur delik seperti yang termuat dalam peraturan perundang undangan yang berlaku, Biarpun penyandang disabilitas digolongkan atas beberapa jenis, tetapi tidak menjadikan mereka kebal hukum karena penyandang disabilitas juga diakui sebagai subjek hukum. Pengaturan perlindungan disabilitas dari penegak hukum, substansi, maupun budaya hukumnya memang masih bisa dikatakan sangat minim.2 Jika kita telaah dalam KUHP memang tidak mengatur mengenai pertanggungjawaban pidana bagi penyandang disabilitas, Pasal 44 Ayat (1) KUHP berbunyi “Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.” Kecacatan dalam jiwa tidak bersifat mutlak dan hanya dapat dijelaskan dari segi medis oleh ahli jiwa atau psikolog. Keterangan ahli psikiatri di pengadilan tentunya memegang peranan penting dalam pembuktian, baik berupa lisan maupun tulisan. Keterangan ahli mempunyai nilai pembuktian yang bebas.3 Kemudian jika dilihat dari Pasal 44 Ayat (2) KUHP berbunyi “Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.” Berdasarkan hal itu, maka seseorang bisa dimintai pertanggungjawaban apabila mampu memahami nilai, resiko, dan kemauannya.4

Disamping berkaca pada KUHP, jika dilihat pengaturan di dalam KUHAP juga tidak mengatur secara spesifik pengaturan hukum yang berkaitan dengan penyandang disabilitas sehingga bisa menyebabkan adanya perlakuan diskriminatif bagi mereka. Perlakuan diskriminatif terhadap penyandang disabilitas bisa kita lihat dalam hal kedudukannya sebagai saksi ataupun saksi korban, yang mana terdapat persyaratan yang seakan menunjukkan generalisasi tanpa melihat bahwa sesungguhnya

penyandang disabilitas memiliki beberapa tipe tertentu.5 Terkait pertanggungjawaban pidana bagi pelaku penyandang disabilitas juga tidak diatur secara jelas. Pengaturan dalam KUHAP penyandang disabilitas masih dianggap tidak cakap hukum sehingga dalam menangani suatu perkara terhadap pelaku penyandang disabilitas sehingga dalam penerapannya cenderung berdasarkan perspektif para penegak hukum masing -masing.

Menurut Undang - Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat juga tidak memberikan pengaturan terkait kemampuan bertanggung jawab seorang disabilitas sehingga tetap mengacu Pasal 44 KUHP. Undang Undang No 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas juga tidak mengatur hal yang sama, tetapi hanya mengemukakan bahwa “Penegak hukum sebelum memeriksa Penyandang Disabilitas wajib meminta pertimbangan atau saran dari :

  • a.    Dokter atau tenaga kesehatan lainnya mengenai kondisi kesehatan;

  • b.    Psikolog atau psikiater mengenai kondisi kejiwaan;

  • c.    Pekerja sosial mengenai kondisi psikososial.”

Dari pasal tersebut, dapat dikatakan bahwa dalam undang - undang ini menekankan terkait pentingnya peran ahli kejiwaan apabila penyandang disabilitas terlibat dalam proses hukum. Sementara menurut Pasal 31 dinyatakan bahwa “Penegak hukum dalam melakukan pemeriksaan terhadap anak penyandang disabilitas wajib mengizinkan kepada orang tua atau keluarga anak dan pendamping atau penerjemah untuk mendampingi anak penyandang disabilitas”. Dalam Pasal 32 menyatakan “Penyandang Disabilitas dapat dinyatakan tidak cakap berdasarkan penetapan pengadilan negeri”. Ketika pelaku tindak pidana merupakan seorang disabilitas, perlu memperhatikan apakah penyandang disabilitas tersebut mampu bertanggung jawab yang didukung oleh alat bukti yang kuat. Penyandang disabilitas terutama penyandang disabilitas mental, juga bisa dikaitkan dengan Undang Undang No. 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa yang mengatur terkait pemeriksaan kesehatan jiwa. Mengacu pada Pasal 1 angka 3 juga seakan menimbulkan spekulasi penempatan penyandang disabilitas sebagai hal yang harus dikendalikan.6 Terkait pemeriksaan kesehatan jiwa bertujuan untuk menentukan kemampuan bertanggung jawab seseorang dan kecakapan hukum dalam menjalankan proses peradilan.

Saat ini masih ada kekosongan hukum baik formil dan materiil mengenai pedoman mengadili anak penyandang disabilitas.7 Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Sistem Pengadilan Anak hanya mengatur jika anak penyandang disabilitas dikatakan mampu bertanggung jawab, selanjutnya mengikuti ketentuan UU No. 3 Tahun 1997. Disamping itu, pengaturan dalam Undang Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak juga hanya menegaskan terkait kemampuan bertanggung jawab anak yang dibedakan atas umur dan apabila anak penyandang disabilitas berurusan dengan hukum maka perlu diperiksa oleh ahli jiwa atau psikologi untuk mengetahui kemampuan bertanggung jawabnya. Undang undang ini juga mengatur penyelesaian perkara di luar pengadilan yang berupa upaya

diversi bagi anak. Pengaturan hukum yang terakhir yakni dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 juha hanya belum mengatur lebih spesifik mengenai pertanggungjawaban pidana bagi pelaku penyandang disabilitas. Ada juga membahas penetapan perlindungan proses peradilan penyandang disabilitas untuk mengakses keadilan, adanya pengakuan dan persamaan hak di depan hukum bagi penyandang disabilitas. Meskipun sudah ada pengaturan mengenai hak, realitanya hak - hak penyandang disabilitas masih kurang mendapat perhatian misalnya dalam hal pemeriksaan psikologis dan medis yang terkadang ditanggung oleh pendamping bukan lembaga penegak hukum yang berwenang.8

  • 3.2.    Penjatuhan Sanksi Pidana Bgai Pelaku Penyandang Disabilitas yang Sebagai Interlectual Dader Dalam Kasus Pembunuhan Berencana

Ketika penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum, fokus utama kita seharusnya bukan hanya sebatas pada aspek fisik maupun mental mereka, bagi para penegak hukum dan lembaga peradilan juga perlu menganggap mereka juga mempunyai kedudukan yang sama dan setara dengan kita di mata hukum. Penanganan perkara mereka perlu dijadikan sebagai suatu sasaran perlindungan. Penting juga mengubah persepsi aparat penegak hukum yang masih beranggapan bahwa penyandang disabilitas yang diibaratkan bukan sebagai manusia yang seutuhnya.9 Dalam berperkara, seringkali kita jumpai penyandang disabilitas yang kurang memahami proses penegakan hukum dan hak yang semestinya bisa mereka dapatkan. Ketidaktahuan ini dimungkinkan bisa berakibat pada ketidakadilan putusan yang diberikan.10 Terkait hak penyandang disabilitas seperti apa yang dikemukakan oleh M. Syafei tentu menjadi hal penting yang perlu diperhatikan di persidangan terhadap pelaku penyandang disabilitas, baik berupa hak mendapat pendamping, menerjemah, dan hak - hak lainnya. 11

Ada beberapa hal yang bisa menjadi penyebab hakim memberikan pembebanan hukum bagi penyandang disabilitas misalnya dengan mempertimbangkan persamaan kedudukan setiap orang termasuk bagi penyandang disabilitas yang diakui sebagai subjek hukum.12 Aspek selanjutnya adalah terbukti adanya tindak pidana atas perbuatan yang dilakukan. Penjatuhan putusan dibuktikan dengan menghadirkan minimal dua alat bukti di persidangan. Selanjutnya, dilihat bahwa tidak ada alasan penghapus pidana terhadap perbuatan yang dilakukan dan termasuk kategori mampu bertanggung jawab. Penyebab yang terakhir dilihat atas dasar usia terdakwa sudah sesuai dengan undang undang. Usia dari pelaku tindak pidana merupakan unsur penting yang harus diperhatikan karena bisa mempengaruhi putusan hakim. Terkait usia pelaku tindak pidana yang dalam hal ini penyangkut penyandang disabilitas masih belum diatur dalam peraturan perundang undangan di

Indonesia.13 Perlu penekanan kembali, bahwa penyandang disabilitas yang melakukan tindak pidana harus juga memperhatikan aspek aspek yang termuat dalam UU No. 8 Tahun 2016.

Berbicara mengenai intelectual dader, menurut pendapat Langemeijer bahwa dader adalah orang yang menyuruh melakukan atau menyuruh orang lain melakukan suatu tindak pidana. Intelectual dader kemudian diartikan sebagai orang yang menggunakan intelektualnya dalam melakukan tindak pidana. Intelectual dader biasanya dilakukan oleh orang berpendidikan yang dari kalangan profesi sehingga atas perbuatan pidana yang dilakukan tergolong mampu bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya.14

Peran intelectual dader dalam suatu tindak pidana kemudian berkaitan dengan Pasal 55 Ayat 1 KUHP tentang Penyertaan Dalam Tindak Pidana, dalam pasal tersebut berbunyi “Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:

  • 1.    Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;

  • 2.    Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan, kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain, supaya melakukan perbuatan”.

Sementara itu, pembunuhan berencana sesungguhnya merupakan bagian dari tindak pidana pembunuhan, hanya saja perbedaannya terletak pada adanya unsur berencana. Pembunuhan berencana dilakukan dengan rencana dan pemikiran tenang, adanya jangka waktu tertentu sampai pelaksanaan kehendak.15 Perbedaan lainnya terlihat dari diri pelaku sebelum melaksanakan pembunuhan.16 Dalam pembunuhan berencana, pelaku juga menyadari perbuatan yang dilakukannya.17 Tindak pidana pembunuhan pada intinya harus ada unsur akibat “hilangnya nyawa” orang lain.18

Adanya perbedaan antara pengertian dan bentuk hukuman yang diberikan antara pembunuhan berencana dengan pembunuhan biasa karena dilihat dari adanya bobot kejahatan dan adanya niat (mens rea) sehingga pembunuhan berencana lebih berat dari pada pembunuhan biasa. Dalam hukum pidana mengenai unsur kesengajaan dibedakan menjadi tiga macam yaitu :

  • -    Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) artinya kesengajaan dimana pelaku menghendaki akibat dari tindakan yang dilakukan.

  • -    Kesengajaan sebagai kepastian (opzet als zekerheidsbewustzijn) artinya suatu kesengajaan dimana pelaku sadar dalam melakukannya tetapi menimbulkan akibat lain dan bukan akibat yang dikehendakinya.

  • -    Kesengajaan sebagai kemungkinan (dolus eventualis) artinya kesengajaan

dimana pelaku sadar akan perbuatannya tetapi memiliki akibat lain sebagai suatu akibat yang tidak diinginkan, akan tetapi pelaku tetap melakukan

perbuatannya. bentuk kesengajaan ini juga dikenal dengan teori “apa boleh buat”.

Berdasarkan jenis - jenis kesengajaan tersebut, maka jika dikaitkan dengan pembunuhan berencana termasuk kedalam kesengajaan sebagai maksud. Pembunuhan Berencana diatur dalam Pasal 340 KUHP yang berbunyi “Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.” Maka bisa disimpulkan bahwa unsur - unsur pembunuhan berencana terdapat dua macam, yaitu unsur subyektif dan unsur obyektif. Seiring dengan perkembangan zaman, kemudian terdapat syarat syarat unsur berencana dalam pembunuhan berencana, misalnya memutuskan kehendak dengan tenang, adanya durasi waktu tertentu dalam melakukan perbuatan, dan pelaksanaan kehendak dalam suasana tenang. Apabila ketiga syarat itu terpenuhi maka baru bisa dikatakan memenuhi unsur berencana karena hal tersebut bersifat kumulatif. Terpenuhinya syarat pertama dan kedua memperlihatkan terbentuknya syarat berencana, sedangkan syarat ketiga membuktikan adanya pembunuhan berencana.

Oleh sebab itu terkait pengaturan hukum mengenai penyandang disabilitas sebagai intelectual dader dalam pembunuhan berencana tetap bisa dikenakan hukuman pidana sesuai dengan hukum yang berlaku. Meskipun penyandang disabilitas dibedakan atas beberapa tipe, akan tetapi dalam hal penyandang disabilitas sebagai intelectual dader sesungguhnya sudah membuktikan bahwa ia tidak memiliki kecacatan intelektual sehingga ia dikategorikan secara sadar mengetahui tindakan yang diperbuatnya dan mampu bertanggung jawab atas perbuatannya dan tetap bisa dikenakan ancaman pidana mati, atau pidana seumur hidup, atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun jika terbukti melakukan tindak pidana pembunuhan berencana.

  • IV.   Kesimpulan sebagai Penutup

    4.   Kesimpulan

Pengaturan pertanggungjawaban pidana bagi pelaku penyandang disabilitas di Indonesia diatur dalam KUHP yakni mengacu pada Pasal 44 mengenai kemampuan bertanggung jawab seseorang karena beberapa pengaturan hukum lainnya masih belum mengatur secara spesifik kemampuan bertanggung jawab penyandang disabilitas. Jika penyandang disabilitas sudah terbukti sebagai intelectual dader dalam pembunuhan berencana maka ia termasuk ke dalam kategori orang yang dikatakan mampu bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukannya. Dasar hukum mengenai pembunuhan berencana diatur dalam pasal 340 KUHP dimana nantinya hakim menjatuhkan pidana juga perlu memperhatikan ketentuan dalam UU No 8 Tahun 2016 untuk memeriksa keadaan penyandang disabilitas serta memberikan apa menjadi haknya di muka pengadilan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Lilik Mulyadi. “Hukum Acara Pidana” (Jakarta, Citra Aditya Bakti, 2007).

Leden Marpaung. “Asas Teori Praktik Hukum” (Jakarta, Sinar Grafika, 2012).

Anwar, M. “Hukum Pidana Bagian khusus” (Bandung, Alumni, 1986).

Moeljatno. “Asas – Asas Hukum Pidana” (Jakarta, PT Rineka Cipta, 2009).

Jurnal :

Ohoiwutun, Y. A. T. “Urgensi Bedah Mayat Forensik Dalam Pembuktian Tindak Pidana Pembunuhan Berencana”. Jurnal Yudisial Vol. 9, No. 1 (2016): 73-92.

Yanri, F. B. “Pembunuhan Berencana”. Jurnal Hukum dan Keadilan Vol. 4, No. 1 (2017): 36-48.

Yeni, F. “Pemrofilan Kriminal Pelaku Pembunuhan Berencana”. Jurnal Psikologi Vol. 1 No. 1 (2017): 1-10.

Alfan, Alfian. “Perlindungan Hukum Terhadap Kaum Difabel Korban Pemerkosaan”. Jurnal Ilmu Hukum Vol. 9, No. 4 (2015): 629–642.

Arrista, Trimaya. “Upaya Mewujudkan Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Melalui Undang - Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas”. Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 13, No. 4 (2016).

Eddyono, Supriyadi Widodo dan Kamilah, Ajeng Gandini. “Aspek - Aspek Criminal Justice Bagi Penyandang Disabilitas, Institute for Criminal Justice Reform” (2015).

Gusti Agung Darna Dewi dan A.A. Ngurah Wirasila. “Perlindungan Hukum terhadap Anak Penyandang Disabilitas yang Mengedarkan Narkotika dalam Sistem Peradilan Anak di Indonesia”. Jurnal Ilmu Hukum Vol. 7, No. 4 (2018): 1.

Ferryal Basbeth, Erwin Kristanto, Irmansyah, Rudy Satriyo. “Tindak Pidana Pada Retardasi Mental : Kasus Yang Belum Terjangkau Oleh Hukum”. Indonesian journal of Legal And Forensic Science Vol. 1, No. 1 (2008).

  • A. Karim Nasution. “Masalah Hukum Pembuktian: Jilid I Pusdiklat Kejaksaan Agung RI” (1976): 76-77.

RR. Putri A. Primasari. “Hukum yang Berkeadilan Bagi Penyandang Disabilitas”, Jurnal Hukum Vol. 48, No. 2 (2019): 217.

Siti Nurhayati. “Kesetaraan di Muka Hukum Bagi penyandang Disabilitas (Analisis Putusan Nomor 28/Pid.B/Pn.Skh/2013)”. Jurnal Hukum Vol. 14, No. 1 (2016): 98-107.

Iin Suny Atmaja dan Andrie Irawan. “Peran Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak - Hak Penyandang Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Perlindungan Hukum bagi Perempuan Disabilitas Korban Kekerasan.” UIR Law Review Vol. 2, No. 2 (2018).

M. Syafei. “Sistem Hukum di Indonesia Diskriminatif Kepada Difabel”. Jurnal Difabel Vol. 2 (2015): 170.

M. Syafei. “Potret Difabel Berhadapan Dengan Hukum Negara” (2014): 37.

Trisno Raharjo dan Laras Astuti. “Konsep Diversi Terhadap Anak Penyandang Disabilitas Sebagai Pelaku Tindak Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak”. Jurnal Hukum Vol. 24, No. 2 (2017): 181.

Peraturan Perundang - Undangan :

Kitab Undang Undang Hukum Pidana

Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

Undang Undang No 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat

Undang Undang No 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas

Undang Undang No. 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa

Undang Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Sistem Pengadilan Anak

Undang Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Undang Undang Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Convention On The Rights Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak Penyandang Disabilitas)

Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No 11 Tahun 2022, hlm. 1794-1802