KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PELAKSANAAN DEFERRED PROSECUTION AGREEMENT TERHADAP TPPU DITINJAU DARI SISTEM PERADILAN PIDANA
on
KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM
PELAKSANAAN DEFERRED PROSECUTION AGREEMENT TERHADAP TPPU DITINJAU DARI SISTEM PERADILAN PIDANA
Ni Wayan Luh Duti Ari Anggreni, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: dutianggreni03@gmail.com
I Wayan Bela Siki Layang, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: belasikilayang@unud.ac.id
DOI: KW.2022.v11.i09.p6
ABSTRAK
Studi ini bertujuan untuk mengkaji dan memahami konsep umum Deferred Prosecution Agreement (DPA) serta keberadaannya di Indonesia sebagai kewenangan dari kejaksaan dalam penyelesaian perkara korporasi yang melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) ditinjau dari sistem peradilan pidana. Metode penelitian yang digunakan yakni hukum normatif dengan pendekatan konseptual, perbandingan, dan perundang-undangan. Hasil studi ini menunjukkan bahwa konsep ideal DPA yakni kewenangan jaksa untuk mengalihkan perkara dari proses peradilan dengan syarat tersangka mengakui kesalahannya. Konsep DPA dapat diterapkan di Indonesia dengan memperhatikan dan menyesuaikan budaya hukum di Indonesia. Selain itu, DPA sebagai kewenangan kejaksaan sesuai dengan Asas Oportunitas dan perannya sebagai dominus litis. Keberadaan DPA memberikan pengaruh terhadap sistem peradilan pidana terkait dengan koordinasi dan sinkronisasi antar elemen penegak hukum dalam penyelesaian perkara TPPU melalui kerja sama pengadilan dengan kejaksaan dalam hal ini hakim sebagai pihak ketiga dalam proses negosiasi antar jaksa dengan terdakwa sehingga dapat mewujudkan tujuan sistem peradilan pidana yaitu due process of law. DPA yang masih mengalami kekosongan norma apabila diterapkan di Indonesia penting untuk memperhatikan sistem peradilan pidana dalam hal koordinasi dan sinkronisasi kebijakan DPA terhadap elemen penegak hukum lainnya.
Kata Kunci: Deferred Prosecution Agreement, TPPU, Korporasi, Sistem Peradilan Pidana.
ABSTRACT
This study aims to examine and understand the general concept of the Deferred Prosecution Agreement (DPA) and its existence in Indonesia as the authority of the prosecutor's office in resolving corporate cases that commit Money Laundering (TPPU) in terms of the criminal justice system. The research method used is normative law with conceptual, comparative, and statutory approaches. The results of this study indicate that the ideal concept of DPA is the prosecutor's authority to divert cases from the judicial process on condition that the suspect admits his guilt. The DPA concept can be applied in Indonesia by taking into account and adjusting the legal culture in Indonesia. In addition, DPA as the Attorney General's authority is by the Opportunity Principle and its role as dominus litis. The existence of DPA influences the criminal justice system related to coordination and synchronization between elements of law enforcement in the settlement of ML cases through cooperation between the court and the prosecutor's office, in this case, the judge as a third party in the negotiation process between the prosecutor and the defendant so that it can realize the objectives of the criminal justice system, namely due process of law. DPA, which is still experiencing a void in norms when applied in Indonesia, is
important to pay attention to the criminal justice system in terms of coordinating and synchronizing DPA policies with other law enforcement elements.
Key Words: Deferred Prosecution Agreement, TPPU, Corporation, Criminal Justice System.
Badan hukum atau yang sering disebut dengan korporasi telah banyak mengambil peran dalam sistem kehidupan bermasyarakat. Menurut Yan Pramadya Puspa, korporasi diartikan sebagai suatu organisasi atau kumpulan yang dari sudut pandang hukum dianggap selayaknya sebagai manusia, pemilik hak berikut kewajiban serta mempunyai hak untuk menggugat maupun digugat di hadapan persidangan.1 Secara sederhana, korporasi dapat dipersamakan dengan orang perorangan yang memiliki hak dalam peradilan perdata. Dewasa ini, keberadaan korporasi tidak hanya berkaitan dengan peradilan perdata namun juga dalam peradilan pidana. Korporasi sebagai subjek hukum dalam peradilan pidana belum diakomodir oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun, dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) korporasi telah ditempatkan sebagai pembuat tindak pidana yang dapat diminta pertanggungjawaban pidananya. Hal tersebut sesuai dengan tujuan dibentuknya RKUHP sebagai penyesuaian dengan perubahan masyarakat, perkembangan zaman, dan kebutuhan hukum modern. Perkembangan zaman dan masyarakat menghadirkan inovasi baru seperti organisasi atau perkumpulan yang disebut dengan korporasi. Kehadiran korporasi dalam negara hukum sangat penting regulasinya untuk memberikan kepastian hukum. Selain itu, keberadaan korporasi sebagai subjek hukum telah diakui oleh beberapa peraturan perundang-undangan di luar KUHP seperti dalam tindak pidana korupsi, tindak pidana ekonomi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana narkotika, dan tindak pidana lingkungan hidup.2
Tidak hanya pengaturan terkait dengan subjek hukum, penanganan perkara pidana terhadap korporasi telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi. Diberikannya peluang untuk menjerat korporasi yang melakukan tindak pidana telah membuka celah dalam penegakan hukum terhadap pihak korporasi. Pembaharuan tersebut sangat berdampak tidak hanya kepada pihak korporasi tetapi juga terhadap aparat penegak hukum. Prinsip korporasi sebagai subjek hukum yang termuat dalam beberapa peraturan perundang-undangan tidak sedikit berdampak pada banyaknya perkara tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi di Indonesia mulai terungkap khususnya dalam hal tindak pidana pencucian uang (TPPU). Menurut Penilaian Risiko TPPU di Indonesia Tahun 2021, diperoleh data
bahwa Faktor Risiko TPPU dari hasil analisisnya diperoleh tingkat risiko tertinggi diduduki oleh pelaku korporasi yakni sebesar 9,00. Adapun salah satu contoh kasus TPPU oleh korporasi di tahun 2021 yakni TPPU yang dilakukan oleh PT Peputra Supra Jaya. Selanjutnya merujuk pada penilaian mandiri terkait risiko TPPU yang terjadi pada korporasi/badan usaha oleh aparat penegak hukum, lembaga pengawas serta Industri, dan pihak yang mengatur risiko TPPU diperoleh hasil yakni risiko TPPU yang tertinggi terjadi disebabkan oleh perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas (PT).3
Soedjono Dirdjosisworo mengemukakan bahwa kejahatan money laundering ialah sebagai salah satu jenis kejahatan yang sulit dibasmi dan merupakan kejahatan yang dominan pada penghujung abad ke-20 serta pengawal abad ke-21.4 Khusus terhadap korporasi, proses pembuktian perkara TPPU yang dilakukan oleh korporasi memerlukan ketelitian yang tinggi sehingga memakan waktu yang cukup lama. Salah satu faktor yang mempengaruhi penyelesaian perkara TPPU oleh korporasi yakni, terkait dengan modus dan teknik TPPU yang beragam. Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang kian pesat membuat modus operandi TPPU yang dilakukan oleh korporasi juga semakin bervariasi. Para pelaku khususnya korporasi akan mencari celah dengan menggunakan kemajuan teknologi guna membuat TPPU semakin sulit untuk dibuktikan. Menjadi suatu tantangan tersendiri bagi pihak penegak hukum, salah satunya kejaksaan ketika menangani perkara yang berkaitan dengan korporasi oleh sebab banyaknya modus operandi dalam proses pembuktian. Sulitnya proses pembuktian TPPU oleh korporasi berimbas terhadap proses penyelesaian perkara yang memberikan dampak dalam penerapan asas trilogi peradilan yakni penyelesaian perkara secara cepat, sederhana, dan biaya ringan.5 Maka dari itu, perlu adanya reformasi terhadap proses penyelesaian perkara pidana oleh korporasi tanpa menghilangkan maksud dan tujuan yang ingin dicapai.
Salah satu konsep penyelesaian perkara yang dapat diterapkan dalam proses penyelesaian perkara TPPU dan telah berlaku di negara lain yakni Deferred Prosecution Agreement (DPA). DPA merupakan suatu konsep baru dalam peradilan pidana sebagai alternatif yang dapat dipilih dalam penyelesaian perkara pidana dengan mengedepankan keadilan dengan memperbaiki tindakan pelaku, keadilan dengan memberi perlindungan atau perhatian kepada korban, dan keadilan dengan memperhatikan kedua hal tersebut.6 Penerapan konsep DPA dapat mempercepat proses penyelesaian perkara khususnya dalam proses pembuktian TPPU oleh jaksa penuntut umum. Meskipun DPA menawarkan kemudahan, namun tetap perlu diperhatikan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum maka sudah barang tentu setiap keputusan dan pembaharuan yang akan diberlakukan
untuk kepentingan umum harus memiliki dasar hukum guna menjamin kepastian hukum saat diterapkan.
Konsep DPA belum diatur dalam hukum positif di Indonesia sehingga menimbulkan kekosongan norma dalam penerapannya. Selain itu, terhadap suatu konsep baru yang belum memiliki pengaturan di Indonesia akan mengalami banyak problematik terkhusus berkaitan erat dengan sistem peradilan pidana yakni suatu sistem yang dibuat untuk mengatur peran masing-masing elemen penegak hukum agar terciptanya koordinasi dan sinkronisasi. Penerapan kebijakan penyelesaian perkara di Indonesia melalui proses DPA sebagai kewenangan kejaksaan yang merupakan salah satu elemen penegak hukum penting untuk dipertimbangkan pengaruh kebijakan tersebut dalam sistem peradilan pidana karena elemen yang berperan dalam penyelesaian suatu perkara tidak hanya kejaksaan melainkan juga elemen-elemen lainnya.
Terhadap problematika a quo, penulis tertarik untuk mengulas dan meneliti lebih lanjut mengenai konsep DPA dalam penerapannya terhadap hukum di Indonesia khususnya terhadap perkara TPPU. Selain itu, DPA sebagai bentuk kewenangan kejaksaan yang merupakan elemen dalam sistem peradilan pidana penting untuk ditelaah lebih mendalam pengaruhnya terhadap sistem peradilan pidana. Maka dari itu, studi ini akan membahas lebih lanjut terkait dengan “Kewenangan Kejaksaan dalam Pelaksanaan Deferred Prosecution Agreement Terhadap TPPU ditinjau dari Sistem Peradilan Pidana .”
Guna menjamin orisinalitas tulisan ini, adapun beberapa penelitian yang membahas topik serupa diantaranya sebagai berikut:
-
1. Penelitian Jurnal Ilmiah yang dilakukan oleh I Made Santiawan dan Gde Made Swardhana pada tahun 2021 dengan judul “Konsep Deffered Prosecution Agreement (DPA) dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.” Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa: 1) Dalam penerapan DPA di Indonesia terdapat hal-hal yang harus dipertimbangkan seperti rangkaian konstitusional serta hukum yang menjadi tradisi di Indonesia, dampak yang menjadi beban regulatory and compliance terhadap korporasi, bentuk kejahatannya harus berupa kejahatan serius. Dalam penyelenggaraan DPA perlu diperhatikannya kepentingan umum dan agar korporasi yang melakukan kecurangan dapat ditemukan.
Peningkatan kepercayaan publik dengan membentuk skema DPA di Indonesia yang memberikan keadilan, sesuai dengan akan, dan
proporsional sehingga diperlukannya adanya pedoman dalam penerapan DPA; 2) DPA dapat dilakukan melalui penawaran oleh jaksa atau pembuatan kebijakan terhadap perusahaan yang memberikan tindakan kooperatif pada tahap penyidikan, membenarkan fakta-fakta, dan menerima hukuman yang dapat diberikan.7
-
2. Penelitian Jurnal Ilmiah yang dilakukan oleh Muhammad Ridho Sinaga pada tahun 2021 yang berjudul “Konsep Deferred Prosecution Agreement (DPA) dalam Upaya Pemberantasan Korupsi oleh Korporasi di Indonesia.” Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa: 1) DPA merupakan
proses negosiasi antara jaksa dengan terdakwa atau penasihat hukumnya guna mengalihkan penuntutan dari proses peradilan. Kejahatan korporasi yang merupakan kejahatan serius dengan korban yang berkelompok dan berkaitan dengan perekonomian sehingga memakan biaya yang besar, lambat, dan kompleks; 2) Mekanisme DPA dapat memberikan kelebihan terhadap korporasi yakni nama baik korporasi tidak terlalu jatuh, perkara tidak terlalu lama di proses di peradilan, karyawan korporasi tidak menjadi korban. Selain itu, korporasi juga tetap mendapatkan sanksi tindakan serta lebih cepatnya negara memperoleh manfaat berupa denda yang dibayar oleh korporasi dan dikembalikannya kerugian negara.8
Sehubungan dengan pemaparan topik tersebut, dapat diuraikan dua rumusan permasalahan yang akan dikaji lebih lanjut pada pembahasan yakni sebagai berikut:
-
1. Bagaimanakah konsep umum Deferred Prosecution Agreement dan keberadaannya di Indonesia?
-
2. Bagaimana kewenangan kejaksaan dalam pelaksanaan Deferred Prosecution Agreement terhadap TPPU ditinjau dari sistem peradilan pidana?
Berkaitan dengan topik yang dibahas lebih lanjut, maka tujuan penulisan studi ini untuk Pertama, mengkaji dan memahami konsep umum Deferred Prosecution Agreement dan keberadaannya di Indonesia. Kedua, menganalisis kewenangan kejaksaan dalam pelaksanaan Deferred Prosecution Agreement terhadap TPPU ditinjau dari sistem peradilan pidana.
Metode penelitian dalam studi ini digunakan jenis penelitian hukum normatif. Berikut beberapa pendekatan yang digunakan untuk mengatasi problematika norma yakni berupa kekosongan norma ialah:9 1) pendekatan
konseptual (conceptual approach), yakni dengan menelusuri sumber hukum sekunder melalui buku hukum, artikel hukum, dan ensiklopedia hukum sehingga dapat memberikan pemahaman konsep dari DPA secara umum serta pengaruhnya dalam sistem peradilan pidana; 2) pendekatan perbandingan (comparative approach), Untuk mengisi kekosongan norma penerapan DPA maka dilakukan perbandingan penerapan DPA pada beberapa negara sehingga diperoleh konsep ideal penerapan DPA; dan 3) pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), yakni menganalisa berbagai ketentuan yang memiliki korelasi dalam penyelesaian perkara pidana yang berpengaruh atas penerapan konsep DPA. Selain itu, sifat penelitian ini ialah penelitian deskriptif yang didukung dengan data sekunder, yakni data yang diacu dari dokumen, buku, maupun hasil penelitian lainnya berbentuk laporan, tesis, disertasi dan lain-lainnya melalui teknik pengumpulan data berupa studi kepustakaan. Terkait dengan sumber
hukum yang digunakan dalam penelitian berupa antara lain: i) bahan hukum primer yakni peraturan perundang-undangan yang memiliki relevansi terhadap topik yang dikaji; ii) bahan hukum sekunder yakni literatur, jurnal-jurnal, karya tulis ilmiah lainnya di bidang hukum terkait yang masih memiliki relevansi terhadap topik penelitian yang diajukan; dan iii) bahan hukum tersier yakni literatur lainnya selain yang telah disebutkan bahan hukum primer dan sekunder sepanjang masih memiliki relevansi dengan topik terkait.10
-
III. Hasil dan Pembahasan
Deferred Prosecution Agreement (DPA) merupakan suatu alternatif, pembaharuan, dan inovasi terhadap penanganan perkara pidana yang berkaitan dengan korporasi sebagai pelakunya melalui cara negosiasi antara Jaksa dengan Terdakwa atau penasihat hukumnya guna mengalihkan proses penuntutan melalui proses pemulihan administrasi atau sipil. Konsep dari DPA memiliki kesamaan dengan konsep Plea Bargaining namun perbedaannya ialah DPA diperkenalkan untuk menangani perkara pidana dengan subjek hukum korporasi.11
Penerapan konsep DPA pertama kali dilakukan oleh negara Amerika Serikat yang kemudian diikuti penerapannya oleh negara Inggris. Munculnya konsep DPA di AS sejak tahun 1992 berawal pada kasus Salomom Brothers dan DOJ (Departemen Kehakiman Amerika Serikat) dengan kesepakatan untuk membatalkan penuntutan organisasi dengan alasan kerja sama yang belum pernah terjadi sebelumnya.12 Sejarah awal tentang pengaturan DPA sesungguhnya tidak diatur secara eksplisit. Namun dalam Rule 11 Federal Rules of Criminal Procedure telah diatur terkait dengan Pleas yang pada pokoknya merumuskan permohonan terkait dengan pengakuan bersalah dan tidak bersalah dari seorang terdakwa. Secara umum, konsep DPA sama dengan Pleas yakni terdakwa mengakui kesalahannya. Menurut hemat penulis dasar pengaturan DPA secara implisit terdapat pada Rule 11 Fedreal Rules of Criminal Procedure yang merupakan bagian dari Title 18 United States Code yang mengatur terkait kewajiban pengadilan untuk memastikan pengakuan bersalah dari terdakwa dilakukan secara sukarela dan berdasarkan keyakinannya. Selanjutnya terkait dengan persyaratan untuk menggunakan DPA diresmikan oleh DOJ dalam United States Attorneys' Manual (ss9-22.000) (USAM) terkait dengan syarat pengalihan penuntutan. DPA di negara Amerika Serikat berkembang hingga menunjukkan efektivitasnya pada tahun
2008 dengan adanya 18 perjanjian, selanjutnya tahun 2009 terdapat 32 perjanjian, dan pada tahun 2015 terdapat 100 perjanjian.13
Sedangkan di Inggris, konsep DPA mulai diberlakukan pada tahun 2014 dan diatur secara eksplisit dalam Crime and Courts Act 2013, United Kingdom pada Bab 17 Pasal 1 angka 1 ayat (1)14 memberikan pengertian terkait dengan DPA yang pada pokoknya yakni perjanjian antara jaksa dengan seseorang yang melakukan pelanggaran dengan syarat sebagaimana ditentukan pada ayat (2). Tujuan DPA adalah “to provide proseccutors with an extra tool to tackle economi crime in England and wales which curerently too often goes withoutbredress.” (DPA sebagai alat tambahan jaksa dalam menangani perkara ekonomi di Inggris dan Wales yang tidak mendapatkan penyelesaian). DPA di Inggris telah diterapkan pada beberapa kasus seperti diantaranya pada tahun 2015 DPA diterapkan pada kasus Standard Bank, tahun 2016 diterapkan pada kasus Perusahaan XYZ Limited, dan tahun 2017 diterapkan pada kasus Rolls-Royce PLC.15
Penerapan DPA pada negara-negara yang telah mengadopsinya memiliki metode tersendiri dengan menyesuaikan ciri dan karakter masing-masing negara. Seperti halnya pelaksanaan di Amerika Serikat, DPA dilakukan dengan ketentuan bahwa: Pertama, penyelenggaraan DPA dapat dilakukan pada subjek hukum baik perorangan dan juga korporasi. Kedua, pihak yang terlibat hanyalah jaksa dengan tanpa melibatkan pihak pengadilan dikarenakan fungsi pengadilan ialah sebagai pemantau perkembangan perkara. Ketiga, dalam proses penyidikan diperbolehkan adanya permintaan bantuan kepada pihak luar. Keempat, dalam proses penuntutan pelaksanaannya dapat dilakukan oleh Jaksa Federal atau Jaksa Negara sesuai dengan locus delicti. Kelima, penyelenggaraan DPA dapat diterapkan pada semua kasus terkecuali kasus yang melibatkan keamanan nasional, urusan luar negeri, dan pejabat negara.16 Adapun syarat khusus penerapan DPA di Amerika Serikat yakni berupa perjanjian untuk:17
-
1) Bekerja sama secara jujur dan sepenuhnya dalam proses penyelidikan dan terhadap tindakan penegakan hukum lainnya yang berkaitan;
-
2) Mengadakan perjanjian jangka panjang;
-
3) Mematuhi larangan dan/atau usaha secara tegas selama periode penuntutan yang ditangguhkan; dan
-
4) Dalam keadaan tertentu, setuju untuk mengakui atau tidak membantah fakta-fakta mendasar yang akan digunakan dalam menetapkan pelanggaran undang-undang sekuritas federal.
Penerapan DPA di Inggris dilaksanakan dengan ketentuan bahwa: Pertama, subjek hukum hanyalah korporasi. Kedua, diperlukan keterlibatan
pengadilan yakni oleh seorang Juri yang memberikan persetujuan terhadap suatu kasus untuk dapat diselesaikan melalui proses DPA atau tidak. Selain itu, syarat-syarat yang harus dipenuhi terdakwa sesuai dengan yang ditentukan oleh Juri Pengadilan. Ketiga, penyidikan dilakukan oleh penyidik khusus dan tidak dapat melibatkan pihak luar. Keempat, penuntutan dilakukan oleh jaksa yang ditunjuk dalam penyelesaian kasus tersebut. Kelima, DPA hanya bisa dilakukan terhadap tindak pidana suap dan tindak pidana korporasi.18 Selain itu, dalam penerapannya di Inggris terdapat beberapa faktor yang dapat menjadi pertimbangan untuk menyelesaikan suatu perkara melalui jalur DPA, yaitu:19
-
1) pelaku menunjukkan sikap proaktif dan kooperatif;
-
2) pelaku sebelumnya tidak memiliki riwayat perilaku serupa;
-
3) pelanggaran yang terjadi terdiri dari insiden yang terisolasi oleh individu nakal;
-
4) pelanggaran tersebut tidak terjadi baru-baru ini dan organisasi, struktur atau budayanya telah berubah menjadi lebih baik sejak pelanggaran itu terjadi; dan
-
5) hukuman yang mungkin diberikan memiliki konsekuensi yang tidak proporsional bagi pelaku atau efek jaminan pada publik, karyawan, dan pihak ketiga yang berkepentingan.
Pada hakikatnya, DPA dapat dilaksanakan sebelum perkara memasuki proses pemeriksaan di pengadilan. Bentuk pelaksanaan DPA umumnya berupa perjanjian antara korporasi dengan negara. Isi perjanjian tersebut pada pokoknya bahwa korporasi telah mengakui tindak pidana yang terjadi dan berjanji bahwa perbuatan tersebut tidak akan terulang kembali serta segera melakukan pencegahan dan perbaikan atas kerugian yang telah ditimbulkan. DPA dapat ditawarkan oleh jaksa atau regulator dengan syarat, yakni: Kesatu, suatu korporasi bersikap kooperatif pada saat proses penyidikan. Kedua, korporasi mengakui fakta-fakta yang terjadi serta menerima ketentuan hukum yang berlaku seperti sanksi, denda, reparasi, dan/atau langkah preventif guna tidak terulanginya perbuatan pidana tersebut. Adapun tindakan preventif yang menjadi kewajiban hukum, meliputi:20
-
1) Pengakuan terhadap pelanggaran yang dilakukan korporasi;
-
2) Melakukan pembayaran denda dan kompensasi;
-
3) Pengawasan kegiatan perusahaan ke depannya dengan jangka waktu tertentu oleh auditor independen yang telah ditunjuk;
-
4) Melakukan pemecatan pegawai tertentu;
-
5) Melaksanakan program pemenuhan.
Penerapan konsep DPA memiliki kelebihan dan kekurangan yang perlu diperhatikan. Adapun kelebihan dalam penyelenggaraan DPA yakni:
-
1) Terjaganya Reputasi dan Kepercayaan Publik Terhadap Perusahaan
Kepercayaan menjadi poin penting bagi perusahaan dikarenakan faktor yang berpengaruh terhadap sukses atau tidaknya suatu perusahaan
adalah kepercayaan baik antara karyawan, pelanggan mitra bisnis, dan pihak lainnya yang berkepentingan. Penyelesaian perkara melalui proses DPA memberikan penawaran yakni dalam proses penyelesaian perkara tidak akan adanya publikasi sehingga reputasi dari suatu perusahaan akan terjaga dan kepercayaan terhadap perusahaan tidak akan terkena pengaruh;
-
2) Mengurangi Indikasi Ruginya Suatu Korporasi yang Menyebabkan Terjadi Kepailitan
Suatu korporasi yang mendapat sanksi pidana tertentu akan berpengaruh langsung pada kepercayaan konsumen terhadap korporasi atau bahkan kehilangan mitra bisnis yang sedikit tidaknya akan memberikan efek domino pada kelangsungan perekonomian korporasi tadi dan mengarah pada kepailitan. Masuknya konsep DPA atas hal demikian diusahakan untuk tidak memberikan pengaruh terhadap kelangsungan perusahaan. Hasil DPA yang pasti membuat korporasi dapat beraktivitas dalam bisnisnya dengan baik sehingga pendapatan tidak terganggu;
-
3) Sebagai Alternatif dalam Penyelesaian Perkara Guna Menghemat Waktu, Tenaga, dan Biaya
Sulitnya pembuktian tindak pidana korporasi membuat proses penyelesaian perkara sangat memakan tenaga, waktu, dan biaya yang tinggi. Adanya konsep DPA melalui pengakuan oleh korporasi terhadap tindak pidana yang dilakukan dapat memberikan dampak yang signifikan dalam proses penyelesaian perkara yakni tidak perlunya dilaksanakan proses pembuktian di pengadilan yang memakan waktu cukup lama dan biaya serta tenaga untuk menghadirkan saksi juga ahli guna membantu pembuktian dapat dikurangi sehingga proses pembuktian yang sulit tidak perlu dilaksanakan;21
-
4) Tujuan daripada Pemidanaan Tetap Terealisasi
DPA tidak menghilangkan tujuan pemidanaan dikarenakan jaksa tetap dapat memberikan pertimbangan pilihan pidana terhadap pihak korporasi agar esensi pemidanaannya tetap terlaksana. Sebelumnya di Inggris menyatakan bahwa tujuan pemidanaan ialah ganjaran yang setimpal, namun hal tersebut telah mengalami perubahan sehingga tujuan pemidanaan ialah sebagai pencegahan, pemulihan, inkapasitasi, teori-teori sosial, dan perbaikan. Akan tetapi, konsep ganjaran setimpal tidak serta merta dihapuskan karena dalam mengukur tingkat keseriusan kejahatan, pengadilan harus mempertimbangkan kemampuan dari pelaku dan dampak yang ditimbulkan. Selain itu, terdakwa mungkin untuk membayar dana ke badan amal atau pihak ketiga. Sedangkan di Amerika Serikat, DPA menyediakan sanksi finansial dengan jumlah yang dapat dibandingkan dengan denda di Pengadilan. Selain itu, penentuan sifat kooperatif perusahaan dilakukan dengan adanya penilaian yang menunjukkan tujuan dari DPA yakni pencegahan. Terdapat pula paham retributif dalam hal ini korporasi mungkin untuk dipaksa membayar sejumlah uang yang ditentukan oleh jaksa atas pelanggaran pidana atau DPA. Disamping itu, untuk membayar dana ke badan amal atau pihak
ketiga tidak disarankan dikarenakan akan menimbulkan konflik kepentingan juga masalah etika lainnya;
-
5) Sebagai Inovasi terhadap Tata Kelola dan Kepatuhan Hukum yang Lebih Efektif
Inovasi yang efektif ini dapat dilihat dari keberhasilan penerapan DPA oleh negara Amerika Serikat dan Inggris yang membuktikan bahwa penerapan DPA sebagai alat yang berguna dan bersifat fleksibel bagi penyidik ataupun penuntut. Hal tersebut dibuktikan melalui berhasilnya penuntut menjerat pelaku korporasi dengan waktu, biaya, dan tenaga yang efektif. Di lain sisi, korporasi dapat bernegosiasi guna mencegah kerusakan yang semakin meluas akibat dari proses penyidikan dan mengurangi ketidakpastian proses penuntutan. Selain itu, terdapat program Compliance yang merupakan syarat DPA memberikan kontrol secara eksternal dan independen sehingga dapat mencegah terulangnya tindak pidana tersebut oleh korporasi;
-
6) Mencegah Dampak bagi Pihak Ketiga
Apabila suatu korporasi dipidana maka akan berakibat pada keutuhan suatu korporasi. Apabila suatu perusahaan dipidana dan menimbulkan kerugian yang besar maka sangat berdampak pada nasib karyawan yang harus kehilangan pekerjaan. Selain itu, kerusakan struktur pasar juga dapat terjadi apabila suatu perusahaan khususnya perusahaan besar yang berperan penting dalam dunia pasar harus menerima sanksi pidana yang berpengaruh terhadap keutuhan perusahaan.22
Selain daripada kelebihan tersebut, terdapat pula kekurangan ataupun catatan kritis dalam penerapan konsep DPA, diantaranya:
-
1) Mudahnya Terjadi Penyalahgunaan Wewenang
Penyalahgunaan wewenang adalah bentuk tindakan yang dilakukan oleh badan atau pejabat pemerintahan dengan menggunakan wewenangnya untuk melakukan perbuatan yang menyimpang dari kewenangan yang seharusnya.23 Penyelenggaraan DPA memiliki kemungkinan terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang terlibat. Sebagai contoh, jaksa yang berperan penting dalam proses pelaksanaan DPA sangat besar kemungkinannya untuk melakukan penyalahgunaan wewenang yakni dalam proses penyelesaian perkara tidak dilakukan sesuai dengan prosedur. Seperti adanya gratifikasi yang diberikan kepada jaksa untuk mempermudah proses pelaksanaan DPA khususnya dalam penuangan klausul perjanjian. Selain itu, apabila jaksa sebagai penentu guna menentukan apakah kasus ini dapat diselesaikan melalui jalur DPA atau pengadilan maka sangat besar kemungkinan adanya gratifikasi yang diberikan kepada jaksa oleh korporasi guna menentukan perkara tersebut telah memenuhi kriteria penyelesaian perkara melalui konsep DPA.
Berdasarkan analisis di atas bahwasanya baik negara Amerika Serikat dan negara Inggris sama-sama telah menerapkan konsep DPA dalam proses penyelesaian perkara pidana terhadap korporasi. Kedua negara tersebut memiliki penyesuaian tersendiri dalam penerapan konsep DPA sehingga antar kedua negara tentu terdapat perbedaan penerapan. Namun, perlu dipahami konsep DPA yang ideal dalam penyelesaian perkara pidana ialah suatu alternatif pengalihan perkara pidana yang dilakukan oleh korporasi sebelum perkara tersebut dilimpahkan ke tingkat pengadilan yang dilaksanakan melalui proses negosiasi antara jaksa dengan terdakwa berdasarkan syarat yang telah ditentukan, seperti terdakwa menunjukkan sifat kooperatif, mengakui kesalahan, dan menerima ketentuan hukum yang berlaku. Disamping itu, penerapan DPA pada perkara pidana juga tidak dapat diterapkan secara serta merta terhadap seluruh tindak pidana yang dilakukan korporasi melainkan terdapat jenis-jenis tindak pidana yang telah digolongkan dapat diselesaikan dengan menggunakan konsep DPA sesuai dengan pengaturan masing-masing negara. Dengan demikian, konsep ideal DPA sebagaimana diuraikan di atas dapat diterapkan di Indonesia dengan proses absorbsi konsep DPA yang menyesuaikan dengan budaya hukum di Indonesia seperti negara-negara lainnya dalam proses pelaksanaan DPA tetap memperhatikan budaya hukum masing-masing negara.
-
3.2 Kewenangan Kejaksaan dalam Pelaksanaan Deferred Prosecution Agreement terhadap TPPU ditinjau dari Sistem Peradilan Pidana
Tindak Pidana Pencucian Uang (TTPU) telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya disebut dengan Undang-Undang TPPU). Pencucian Uang merupakan serangkaian perbuatan mentransfer atau melakukan investasi terhadap uang hasil dari kegiatan ilegal atau tindak pidana dengan tujuan agar uang tersebut tidak diketahui asal usulnya sehingga mendapatkan status legal.24
Undang-Undang TPPU telah memberikan konsep pemidanaan baik terhadap subjek hukum berupa perorangan ataupun korporasi. Pemidanaan terhadap korporasi yang diketahui melakukan TPPU telah diakomodir dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang TPPU yang mengatur subjek hukum TPPU ialah setiap orang dan korporasi. Kemudian, Pasal 1 angka 10 Undang-Undang TPPU memberikan definisi korporasi pada pokoknya sebagai badan hukum ataupun tidak berbentuk badan hukum yang terdiri dari perkumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi. Selanjutnya dalam Pasal 6 Undang-Undang TPPU, pidana yang dapat diberikan kepada korporasi ialah diberikan kepada korporasi dan/atau personil pengendali korporasi. Terhadap pidana yang dapat diberikan kepada korporasi dengan syarat: Pertama, personil pengendali memerintahkan atau melaksankan pencucian uang secara langsung. Kedua, tujuan dan maksud pencucian uang dilaksanakan untuk kepentingan korporasi. Ketiga, dilakukannya pencucian uang ialah sesuai fungsi dan tugas pelaku maupun pemberi perintah.
Keempat, dilaksanakannya pencucian uang ialah guna memberi keuntungan bagi korpoasi. Bentuk pemidanaan yang dapat diberikan kepada korporasi telah diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang TPPU yang pada pokoknya membagi pemidanaan ke dalam dua jenis yakni pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok yang diberikan yakni pidana sanksi denda maksimal Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dengan pidana tambahan yakni: 1) Pengumuman putusan hakim;
-
2) Pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha korporasi;
-
3) Pencabutan izin usaha;
-
4) Pembubaran dan/atau pelarangan korporasi;
-
5) Perampasan aset korporasi untuk negara; dan/atau
-
6) Pengambilan korporasi oleh negara.25
Merujuk ketentuan di atas, maka dalam hal menjerat korporasi yang melaksanakan TPPU tidaklah mudah. Sulitnya pembuktian TPPU dikarenakan pelaku TPPU yang profesional dengan pengetahuan dan kekuasaan yang tinggi dalam melaksanakan kejahatannya (white collar crime) memberikan tantangan besar terhadap jaksa dalam proses pembuktian.26 Sebagai pihak penuntut umum, dalam hal menjerat korporasi jaksa tidak hanya membuktikan Pasal 3, 4 atau 5 yang mengatur terkait dengan perbuatan TPPU melainkan jaksa harus mampu membuktikan bahwa benar TPPU tersebut dilakukan oleh korporasi dengan syarat sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 6 ayat (2). Proses pembuktian yang sedemikian memiliki tingkat kesulitan dan ketelitian yang tinggi sehingga memerlukan tenaga, waktu, dan biaya yang cukup besar.
Fungsi DPA disini ialah sebagai inovasi yang memberikan efisiensi dalam penyelesaian perkara. Jaksa sebagai penuntut umum tidak lagi memerlukan waktu yang lama dalam proses pembuktian melainkan dapat membuat suatu kesepakatan dengan terdakwa untuk mengakui kesalahannya. Konsep DPA dapat dilihat dari aspek ekonomi yakni pendekatan hukum dengan bertumpu pada efisiensi dalam penanganan hukum ditinjau dari aspek ekonomi yang berpusat pada analisis biaya manfaat (cost-benefit analysis). Analisis biaya manfaat dilihat dari segi biaya yang dikeluarkan untuk
menyelesaikan perkara dan keuntungan yang akan didapatkan yakni
pengembalian uang negara. DPA memberikan solusi proses penyelesaian perkara yang lebih efisien sehingga membutuhkan biaya yang lebih sedikit daripada proses penyelesaian perkara di pengadilan namun pengembalian kerugian yang ditimbulkan oleh perkara tersebut tetap diperoleh dengan maksimal.27
Konsep DPA sebagai kewenangan jaksa sejalan dengan peran kejaksaan sebagai dominus litis yang dalam menjalankan fungsi dan tugasnya dapat saja
mengambil kebijakan (diskresi). Diskresi dalam pidana formal yakni kewenangan aparat penegak hukum untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 35 ayat (1) huruf c dirumuskan pada pokoknya Jaksa Agung memiliki wewenang untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Hal ini sejalan dengan wewenangnya selaku penuntut umum berlandaskan asas oportunitas yakni Jaksa Agung memiliki hak dalam menghentikan atau melanjutkan proses penuntutan perkara. Pengaturan tersebut memberikan angin segar terhadap keberadaan DPA sebagai kewenangan kejaksaan. Peraturan a quo menjadi pijakan awal bahwa sesungguhnya jaksa dapat mengambil suatu kebijakan dalam proses penyelesaian perkara.28
Pelaksanaan DPA sebagai inovasi dalam penyelesaian perkara berkaitan erat dengan sistem peradilan pidana. Sistem peradilan pidana (criminal justice system) ialah sistem yang dibentuk dalam penegakan hukum pidana antar elemen penegak hukum yakni kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan sehingga terciptanya sinkronisasi, koordinasi, dan kerja sama antar lembaga.29 Ketika salah satu elemen menerapkan sebuah kebijakan dalam penyelesaian perkara, dalam sistem peradilan pidana perlu diperhatikan dampak pelaksanaan kebijakan tersebut terhadap elemen penegak hukum lainnya sehingga sinkronisasi tetap terjaga serta terwujudnya due process of law yakni proses penegakkan hukum yang adil, benar, serta baik dengan melalui pemenuhan terhadap hak-hak manusia.30 Adanya konsep DPA terhadap sistem hukum di Indonesia dapat dianalisis melalui konsep umum daripada DPA. Dalam proses absorbsi konsep DPA terdapat hal menarik yang perlu diperhatikan yakni salah satu syarat DPA yaitu terdakwa mengakui kesalahannya. Konsep demikian menuai pro dan kontra dalam penyesuaiannya dengan sistem hukum di Indonesia, salah satunya terhadap keberlakuan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Asas praduga tak bersalah memberikan makna bahwa setiap tersangka atau terdakwa wajib dianggap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap menyatakan kesalahannya.31 Hal tersebut juga telah diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan telah menjadi hak setiap orang. Ketika proses negosiasi hanya dilakukan oleh jaksa dan terdakwa sebagaimana kekurangan DPA maka akan adanya kemungkinan timbul penyalahgunaan wewenang. Secara tidak langsung syarat DPA yakni terdakwa mengakui kesalahannya memberikan
batasan terdakwa untuk membela diri bahwa ia tidak bersalah. Kemudian, proses negosiasi yang dilakukan hanya oleh kedua belah pihak dapat menimbulkan ketimpangan dalam pengambilan keputusan yakni salah satu pihak akan mendominasi dalam pengambilan keputusan sehingga dapat menimbulkan ketidakadilan.
Penerapan DPA oleh kejaksaan apabila dilihat dari tujuan sistem peradilan pidana yakni due process of law memiliki tantangan atau kendala dalam penerapannya. Salah satu contoh dampak yang mungkin timbul ialah penyalahgunaan wewenang dalam proses negosiasi. Maka dari itu dalam penerapan DPA, konsep ideal yang di absorbsi dalam hukum di Indonesia tidak hanya terfokus pada kejaksaan saja melainkan penting untuk memperhatikan peran-peran elemen penegak hukum lainnya dalam sistem peradilan pidana agar tujuan due process of law tetap dapat tercapai. Guna menyiasati kondisi tersebut, maka dalam penerapannya perlu penyesuaian dengan sistem hukum di Indonesia. Penyesuaian konsep DPA dilakukan sesuai dengan pendekatan dalam sistem peradilan pidana yang menitikberatkan kepada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana sehingga asas praduga tak bersalah dapat diselaraskan atau diharmonisasikan melalui koordinasi elemen penegak hukum dalam sistem peradilan pidana. Harmonisasi dilakukan dengan menentukan bahwa proses DPA yang diawali dengan negosiasi tidak boleh hanya melibatkan kedua belah pihak saja, namun perlu adanya pihak ketiga sebagai penengah atau juri yang bertugas memutuskan apakah perkara telah memenuhi syarat untuk diselesaikan dengan konsep DPA atau tidak. Selain itu, perlu adanya syarat-syarat yang jelas terkait hal-hal apa saja yang harus dipenuhi oleh terdakwa dalam pelaksanaan DPA sehingga terciptanya keadilan. Hal tersebut sebagai bentuk pencegahan terjadinya penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan DPA.
Kemudian, peran elemen penegak hukum lainnya yakni kepolisian selaku penyidik perlu untuk dilaksanakan koordinasi melalui pemberian informasi perkembangan perkara serta hasil dari penetapan DPA. Hal tersebut menjadi penting karena kewenangan kejaksaan untuk tidak melanjutkan perkara harus memiliki alasan yang jelas. Sebagai contoh, apabila tidak dilanjutkannya proses penuntutan karena kurangnya alat bukti maka sangat berkaitan erat dengan penyidik sebagai elemen pertama yang menetapkan tersangka dengan syarat minimal 2 alat bukti. Proses perolehan alat bukti dan barang bukti dilaksanakan pada proses penyidikan seperti penggeledahan dan penyitaan sehingga penting adanya pemberitahuan kepada penyidik sebagai bahan evaluasi terkait kekurangan dan kendala penyelesaian perkara sehingga tidak terulang lagi kedepannya. Atas hal tersebut, penting untuk adanya koordinasi antar kejaksaan dan kepolisian dalam pelaksanaan DPA melalui pemberitahuan perkembangan perkara. Kemudian pengadilan sebagai lembaga yang berwenang untuk memutus suatu perkara memiliki hubungan yang penting dalam proses pelaksanaan DPA. Ketika DPA dilaksanakan sebagai kewenangan kejaksaan maka perkara tersebut berhenti pada tingkat penuntutan yang secara sederhana tidak ada peran pengadilan dalam penyelesaian perkara. Konsep demikian menimbulkan kekhawatiran terhadap kepastian hukum proses peradilan pidana. Selain itu, sebagaimana kekurangan DPA yakni memungkinkan timbulnya penyalahgunaan wewenang oleh
kejaksaan, sesungguhnya hal tersebut dapat diatasi sembari melaksanakan kerja sama dengan pengadilan dalam proses pelaksanaan DPA.
Fungsi pengadilan disini dapat sebagai pihak ketiga atau juri yang menengahi proses negosiasi antar kedua belah pihak. Pengadilan melalui hakim akan bersama mengetahui, menilai, dan menyetujui proses DPA tersebut sudah sesuai dan berjalan dengan transparan. Peran hakim dalam hal ini sejalan dengan ketentuan dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang berkaitan dengan hakim pemeriksaan pendahuluan yang berwenang untuk menilai jalannya penyidikan, penuntutan, dan lainnya.32 Dengan adanya kerja sama antar hakim dan jaksa dalam pelaksanaan DPA maka sistem peradilan pidana tetap berjalan dan menghindari penyalahgunaan wewenang dalam proses pelaksanaan DPA sehingga tujuan due process of law tetap dapat tercapai.
Keberadaan daripada konsep DPA di Indonesia hingga saat ini belum secara nyata diterapkan dan hanya dinormakan secara implisit dalam RUU KUHAP33 sehingga penerapannya di Indonesia belum memiliki regulasi pengaturan yang jelas dan menimbulkan kekosongan norma dalam penerapannya. Mengingat jumlah keuntungan yang ditawarkan DPA secara umum dan terkhusus dalam penyelesaian perkara TPPU yang tidak hanya mendukung implementasi asas trilogi peradilan juga memberikan kebermanfaatan dan keuntungan dari aspek ekonomi, oleh sebab itu konsep DPA dapat menjadi terobosan baru dalam penyelesaian perkara pidana khususnya korporasi yang melakukan TPPU di Indonesia.
Adapun untuk mengatasi problematik hukum berupa kekosongan hukum yang terjadi, maka konsep DPA perlu untuk dikonstruksi dan dinormakan dalam RUU KUHAP yang sedang disusun oleh regulator. Proses konstruksi norma terhadap penerapan DPA pada peraturan di Indonesia penting untuk memperhatikan konsep DPA yang diterapkan sebagai kewenangan dari kejaksaan dengan memperhatikan sistem peradilan pidana yakni koordinasi dan sinkronisasi dengan elemen penegak hukum lainnya agar nantinya kebijakan DPA yang diterapkan oleh kejaksaan dapat menciptakan keselarasan hubungan dengan elemen penegak hukum lainnya dalam penyelesaian perkara dan tercapainya due process of law.
Berdasar pada pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep umum Deferred Prosecution Agreement (DPA) merupakan konsep penanganan perkara pidana korporasi melalui cara negosiasi dengan Jaksa in casu terdakwa mengakui kesalahannya dan siap menerima konsekuensi yang telah ditentukan sehingga proses penuntutan tidak dilanjutkan dan perkara diselesaikan dengan dibuatkannya perjanjian DPA. Konsep DPA sedemikian dapat diterapkan di
-
32 Santiawan, I. Made, and Gde Made Swardhana. op.cit. 1049.
-
33 Pasal 199 ayat (1) RUU KUHAP dinyatakan bahwa “Pada saat peuntut umum membacakan surat dakwan, terdakwa mengakui semua perbuatan yagn didakwakan dan mengaku bersalah mlakukan tindak pidana yang ancaman pidana yang didakwakan tidak lebih dari 7 (tujuh) tahun, penuntut umum dapat melimpahkan perkara ke siding acara pemeriksan singkat.”
Indonesia dengan proses absorbsi yang tetap memperhatikan budaya hukum di Indonesia. Selain itu, konsep DPA dapat menjadi pembaharuan oleh kejaksaan dalam penyelesaian perkara TPPU guna menghindari proses pembuktian yang cukup rumit sehingga mendukung asas trilogi peradilan dan menawarkan kelebihan jika dilihat dari aspek ekonomi melalui cost-benefit analysis. Proses pelaksanaannya sebagai kewenangan dari kejaksaan sesuai dengan Asas Oportunitas dan peran kejaksaan sebagai dominus litis. Penerapan DPA memiliki tantangan dalam mencapai tujuan sistem peradilan pidana yakni due process of law sehingga perlu adanya koordinasi dengan elemen penegak hukum salah satunya Pengadilan. Pengadilan berperan penting melalui hakim yakni sebagai pihak ketiga atau juri dalam negosiasi antar jaksa dengan terdakwa. Konsep DPA masih mengalami kekosongan norma di Indonesia apabila akan dinormakan maka perlu pengaturan yang jelas dengan memperhatikan sistem peradilan pidana.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Diantha. I Made Pasek. Metode Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi Teori Hukum. (Jakarta, Prenada Media Grup, 2016).
Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia. (Jakarta, Arikha Media Cipta, 1993).
Nelson, Febby Mutiara. Plea Bargaining dan Deferred Prosecution Agreement Dalam Tindak Pidana Korupsi. (Jakarta Timur, Sinar Grafika, 2019).
Jurnal Ilmiah/Skripsi/Tesis/Disertasi/Hasil Penelitian
Dipayana, Satria Fajar Putra, and I Gede Artha. "Implementasi Asas Praduga Tak Berslah Oleh Penguna Media Sosial dalam Pemberitaan Pidana Di Media Sosial." Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 8, No. 10 (2019).
Ferdian, Ardi. "Konsep Deferred Prosecution Agreement (DPA) Dalam PertanggungJawaban Pidana Korporasi Sebagai Bentuk Alternatif Penyelesaian Sengketa." Arena Hukum 14, No. 3 (2021).
Karmilla, Thrisya, I Gusti Ketut Ariawan, and I Gusti Agung Ayu Dike Widhiyastuti. "Penyalahgunan Wewenang Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Putusan No: 25/PID. SUS/TPK/2014/PN. DPS)." Kherta Wicara: Journal Ilmu Hukum 8, No. 1 (2019).
Krismen, Yudi. "Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Kejahatan Ekonomi." Jurnal Ilmu Hukum 5, No. 1 (2014).
Mentari, Keanu Putera, Ida Bagus Surya Dharma Jaya, and I. Gusti Agung Ayu Dike Widhiyastuti. "Urgensi Asas Presmption Of Guilt Dalam Upaya Pecnegahan Dan Pemberantsan Tindak Pidana Pencucian Uang." Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 8, No. 4 (2019).
Nugraha, Agus Cakra. "Pembatsan Transaksi Tunai Di Indoneisa Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang." Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) 6, No. 2 (2017).
Nugraha, Yodi. "Optimalisasi Asas Oportunitas Pada Kewenangan Jaksa Guna Meminimalisir Dampak Primum Remedium Dalam Pemidanaan." Veritas et Justitia 6, No. 1 (2020).
Perwakilan PPATK, dkk., 2021. Penilaian Risiko Indonesia Terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang Tahun 2021. Jakarta: Pusat Pelaporan dan Analisis Keuangan.
Putri, Komang Ariyani, and I Wayan Bela Siki Layang. “Pegnaturan Due Process Of Law dalam Sistem Pradilan Pidana Indonesia Guna Memnuhi Hak Asasi Manusia.” Kertha Desa: Journal Ilmu Hukum 10, No.10 (2022).
Rinaldi, Ferdian. "Proses Bekerjanya Sistem Peradilan Pidana Dalam Memberikan Kepastian Hukum Dan Keadilan." Jurnal Hukum Respublica 21, No. 2 (2022).
Salsabila and Slamet Tri Wahyudi. "Peran Kejaksaan Dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi Menggunakan Pendekatan Restorative Justice." Masalah-Masalah Hukum 51, No. 1 (2022).
Santiawan, I Made, and Gede Made Swardhana. "Konsep Defferred Prosecution Agreement (DPA) Dalam Sistem Pradilan Pidana di Indoneisa." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 9, No. 6 (2021).
Santo, Paulus Aluk Fajar Dwi. "Tinjauan Tentang Subjek Hukum Korporasi dan Formulasi Pertanggungjawaban Dalam Tindak Pidana." Humaniora 3, No. 2 (2012).
Sinaga, Muhammad Ridho. "Konsep Deferred Prosecution Agreement (DPA) Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi Oleh Korporasi Di Indonesia." DE LEGA LATA: Jurnal Ilmu Hukum 6, No. 1 (2021).
Suhariyanto, Budi. "Urgensi Pemidanaan terhadap Pengendali Korporasi yang Tidak Tercantum dalam Kepengurusan." Jurnal Yudisial 10, No. 3 (2017).
Tambunan, Marco Parasian. "Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang." Jurnal mimbar Keadilan, (2016).
Wardana, I Nyoman Jaya dan I Made Dedy Priyanto. “Akibat Hukum Tidak Dilakukanya Penitipan Wasiat Olografis Kepada Notaris.” Kertha Wicara: Journal Hukum 11, No. 3 (2022).
Internet/Artikel
Dentons, 2014. Deferred Prosecution Agreements: the US experience and the UK potential. URL: https://www.lexology.com/library/detail.aspx?g=4f0cc529-
bfdb-49c3-ac8d-e989e87fc84a. Diakses pada 22 Oktober 2022.
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi.
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Federal Rules of Criminal Procedure.
United States Code.
United States Attorneys' Manual (ss9-22.000).
Crime and Courts Act 2013, United Kingdom.
Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No 9 Tahun 2022, hlm. 1626-1642
Discussion and feedback