ONLINE DISPUTE RESOLUTION DALAM SENGKETA HARTA BERSAMA PASCA PERCERAIAN

Reynold Bastian Gedesake Hutabarat, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: reynold.hutabarat15@gmail.com

I Made Dedy Priyanto, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: dedy_priyanto@unud.ac.id

DOI: KW.2022.v11.i09.p3

ABSTRAK

Penulisan artikel ini mengetahui pengaturan mengenai online dispute resolution dan pembagian harta bersama dalam hukum perdata di Indonesia dan untuk mengkaji mekanisme online dispute resolution dalam penyelesaian sengketa harta bersama pasca perceraian. Penggunaan metode yuridis normatif dalam artikel ini dilakukan dengan studi kepustakaan. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah belum ada pengaturan hukum tentang online dispute resolution di Indonesia yang secara spesifik mengatur mekanisme dan ruang lingkup pelaksanaan ODR. Namun, apabila melihat dari peraturan perundang-undangan yang telah ada, ODR dapat dilaksanakan dalam sengketa perdata seperti harta bersama dengan dasar hukum yaitu Pasal 6 ayat (1) dan ayat (4) UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengeketa, Pasal 5 ayat 3 Perma tentang Mediasi serta Pasal 33 dan Pasal 41 UU ITE. Terkait pembagian harta bersama pengaturan hukum yang mengatur yaitu Pasal 119, Pasal 128, Pasal 164 KUHPerdata, Pasal 35, Pasal 37 UU Perkawinan serta Pasal 86 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1989. Dalam hal menyelesaikan sengketa harta bersama dengan ODR, mediasi online dapat dipilih sehingga jalan keluar yang tidak merugikan kedua belah pihak dapat dicapai. Adapun mekanisme pelaksanaannya yaitu pendaftaran perkara, pemilihan mediator, pemeriksaan dokumen, pembuatan putusan dan pemberitahuan putusan dilaksanakan melalui media yang telah disediakan baik chatroom ataupun video conference. Mediator ditunjuk oleh fasilitator dengan persetujuan para pihak yang bersengketa lalu dihadirkan dalam media online yang digunakan. Dengan dipertemukannya para pihak bersengketa dan mediator maka diskusi dapat dilaksanakan untuk menemukan jalan tengah penyelesaian sengketa.

Kata Kunci: Online Dispute Resolution, Sengketa, Harta Bersama, Pasca Perceraian.

ABSTRACT

The purpose of writing this article are to find out the arrangements regarding online dispute resolution also the distribution of joint assets in civil law in Indonesia and to examine online dispute resolution mechanisms in resolving joint property disputes after divorce. The use of the normative juridical method in this article is carried out by means of a literature study. The results obtained from this study are that there are no legal regulation regarding online dispute resolution in Indonesia that specifically regulates the mechanism of Online Dispute Resolution (ODR) implementation. However, the existing laws and regulations can be referenced for ODR to be implemented in civil disputes such as joint property with a legal basis, namely Article 6 paragraph (1) and paragraph (4) of the Law on Arbitration and Alternative Dispute Resolution, Article 5 paragraph 3 Regulation of the minister of religion about mediation as well as Article 33 and Article 41 of the Electronic Information and Transaction Law. Regarding the distribution of joint assets, the legal arrangements that govern are Article 119, Article 128, Article 164 of the Civil Code, Article 35, Article 37 of the Marriage Law and Article 86 paragraph 1 of Law no. 7 of 1989.

In the case of resolving joint property disputes with ODR, online mediation can be chosen so that a solution that is not detrimental to both parties can be reached. The implementation mechanism is case registration, mediator selection, document inspection, decision making and decision notification carried out through the media that has been provided, either chatroom or video conference. The mediator is appointed by the facilitator with the agreement of the disputing parties and then presented in the online media used. By

bringing together the disputing parties and the mediator, discussions can be held to find a middle way to resolve the dispute.

Key Words: Online Dispute Resolution, Dispute, Joint Property, Post-Divorce.

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang Masalah

Manusia terlahir sebagai laki- laki dan perempuan, dimana pada kemudian hari terdapat keinginan untuk memiliki pasangan hidup dan memperoleh keturunan. Perkawinan adalah suatu fenomena dalam hidup manusia yang dilewati secara berpasangan- pasangan. Kebahagiaan mengiringi setiap pasangan yang memulai untuk mengarungi kehidupan berumah tangga bersama. Namun, adakalanya kehidupan rumah tangga tidak berjalan dengan mulus. Permasalahan yang timbul di dalam rumah tangga seringkali mengarahkan pasangan kepada perceraian. Di Indonesia sendiri angka perceraian meningkat sebanyak 291.677 perkara dibandingkan tahun sebelumnya.1 Perkawinan memiliki dasar hukum yang jelas yang tercantum dalam ketentuan Pasal 28B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa “setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah serta Negara menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas pelindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”2 Bagi pemeluk agama, perkawinan merupakan salah satu ibadah. Menjalankan perkawinan di Indonesia perlu sesuai aturan hukum yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Beberapa pasangan mengawali perkawinan dengan pagar hukum seperti perjanjian pranikah. Perjanjian pranikah diartikan sebagai kesapakatan calon pasangan yang akan melaksanakan perkawinan secara sah dimata hukum dan agama yang dimana perjanjian tersebut berisi mengenai akibat- akibat pernikahan terhadap harta kekayaan para pihak. Perdebatan bermunculan terkait pro kontra perjanjian pranikah. Dengan adanya perjanjian pranikah dapat mencegah hal- hal yang tidak diinginkan apabila terjadi perceraian maupun salah satu pihak meninggal dunia. Perjanjian ini dibuat dengan keterbukaan dan tidak berat sebelah sehingga dalam memulai kehidupan perkawinan tidak ada pihak yang akan merasa dirugikan. Permasalahan finansial menjadi salah satu faktor yang umum dijumpai dalam kehidupan rumah tangga. Percekcokan antara suami istri mengenai pendapatan dan pengeluaran tidak dapat dihindari. Apabila diawal perkawinan telah diatur dalam perjanjian pranikah, permasalahan seperti ini tidak akan menjadi lebih besar ataupun merugikan salah satu pihak di kemudian hari.

Setelah melakukan perkawinan, pasangan suami isteri yang telah dikaruniai anak, akan menjadikan buah hati mereka sebagai prioritas utama dalam segala hal. Terlebih sebagai orang tua pasti menginginkan kebutuhan anak supaya bisa tercukupi. Mencari nafkah adalah tugas kepala keluarga, tetapi tidak jarang isteri juga ikut membantu sehingga pemasukan keluarga adalah hasil jerih payah kedua belah pihak. Jika terjadi pertengkaran yang mana berdampak pada harta yang telah dikumpulkan

sepatutnya menjadikan anak sebagai alasan utama supaya pertengkaran tidak berjalan rumit dan segera diselesaikan. Perihal harta bersama juga lekat dibahas apabila terjadi perceraian. Keterbukaan dan kerelaan diperlukan untuk mencari solusi terbaik bagi semua pihak serta tidak berdampak secara negatif kepada banyak pihak, terutama anak.

Putusnya perkawinan yang disebut dengan perceraian adalah peristiwa yang tidak diinginkan. Hal ini telah diatur dalam Pasal 39 UU Perkawinan dan Bab V PP No 9 Tahun 1975. Perceraian dapat menimbulkan beberapa masalah seperti hak asuh dan harta gono gini. Harta gono gini atau harta bersama yaitu harta yang dihasilkan selama perkawinan berlangsung oleh pasangan suami istri. Permasalahan- permasalahan ini juga telah diatur dalam hukum positif sehingga dapat diselesaikan tanpa memperluas masalah yang ada. Harta bersama jika tidak diatur melalui perjanjian pranikah, dapat mengikuti aturan hukum yang berlaku dalam pembagiannya. Pembagian dapat diajukan bersamaan dengan gugatan perceraian ataupun pasca putusnya perkawinan melalui kuasa hukum. Berdasarkan pasal 128 KUHPerdata, harta bersama dibagi untuk suami dan istri, tetapi dapat dibedakan pembagiannya menurut bukti- bukti yang ada.

Penyelesaian pembagian harta bersama dapat dilakukan baik dengan jalur litigasi maupun non litigasi. Jalur penyelesaian tanpa melalui pengadilan biasa dikenal dengan alternative dispute resolution (ADR) bisa menjadi pilihan bagi para pihak yang memiliki sengketa di bidang perdata. Sengketa harta bersama tentunya dapat menggunakan ADR apabila ingin lebih sederhana dan mudah. Dengan memilih jalur ini akan memperkecil dampak yang ditimbulkan baik dari segi biaya, waktu, tenaga dan pikiran. Perselisihan antara suami dan istri yang mengalami perceraian diselimuti dengan emosi sehingga terkadang melupakan metode penyelesaian ini. Perkembangan teknologi yang ada saat ini memungkinkan ADR untuk dilakukan secara jarak jauh atau daring. Di negara- negara Amerika dan Eropa, online dispute resolution (ODR) berawal sebagai penyelesaian suatu permasalahan dalam dunia maya (cybercrime) diadaptasi sehingga dapat menjadi bentuk penyelesaian perkara hukum. Di Indonesia sendiri, pengaturan hukum belum mengatur secara spesifik mengenai ODR. Untuk mengikuti arus perkembangan zaman dan dinamisnya hukum berjalan, alternatif penyelesaian sengketa secara digital perlu ditingkatkan karena memiliki kelebihan seperti menghemat biaya dan dapat dilakukan darimana saja. ODR tanpa disadari juga telah diterapkan atau bahkan dirasakan oleh beberapa kalangan, seperti penyelesaian permasalahan pengguna e-commerce maupun konsultasi permasalahan hukum via website yang dilanjutkan dengan perbincangan menggunakan media online seperti video call ataupun e-mail.

Indonesia dengan masyarakat didalamnya tergolong masih sangat terikat denfan metode penyelesaian sengketa secara tradisional. Dilihat dari masa pandemi covid-19, terdapat kesulitan beradaptasi dengan media digital karena kurangnya literasi dan minimnya fasilitas teknologi di berbagai daerah. Saat keadaan mendesak, baik pemerintah maupun masyaakat diharuskan untuk mencari solusi dengan cepat dan tepat. Meskipun dengan terhambatnya aksesbilitas untuk melakukan pertemuans secara fisik, persoalan hukum di masyarakat tidaklah dapat dihentikan. Online dispute resolution atau ODR sudah muncul dipermukaan dan digunakan oleh berbagai negara seperi Kanada, negara- negara di Amerika dan Eropa. DIgitalisasi yang telah berkembang pesat di negara- negara tersebut memungkinkan penyelesaian persoalan hukum untuk diterapkan secara online. Berawal dari maraknya cybercrime seperti pelanggaran data pribadi membuat penyelesaian permasalahan secara online dihadirkan. Negara- negara yang sudah menerapkan ODR juga telah menetapkan

regulasi hukum sehingga penyedia layanan ODR pun hadir dan dapat memproses penyelesaian sengketa secara online dengan kepastian hukum yang jelas.

Di Indonesia yang tidak awam digunakan adalah alternative dispute resolution (ADR) secara offline. ODR merupakan salah satu bentuk ADR dan yang membedakan hanyalah prosesnya saja yang dilakukan yaitu online dan offline. Penyelesaian sengekta harta bersama kerap kali mengalami kesulitan apabila para pihak sudah tidak tinggal bersama dan tidak memiliki keinginan untuk bertemu tatap muka untuk menyelesaikan sengketa, hal ini membuat titik terang penyelesaian sengketa sulit dicapai. Dengan adanya ODR, apabila para pihak bersepakat untuk menggunakan jalur non-litigasi sebagai langkah yang akan digunakan, maka pihak- pihak bersengketa dapat menggunakan bantuan pihak ketiga untuk memfasilitasi langkah tersebut dengan menggunakan media digital sehingga dapat menyelesaikan sengketa tanpa perlu tatap muka. Melalui Pasal 41 UU ITE dijelaskan bahwa “Masyarakat dapat berperan meningkatkan pemanfaatan Teknologi Informasi melalui penggunaan dan Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan Transaksi Elektronik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.”3 Dengan adanya aturan tersebut maka dapat digunakan sebagai dasar hukum apabil terdapat pihak bersengketa yang ingin mendapatkan solusi untuk permasalahan hukum menggunakan teknologi informasi melalui suatu lembaga dengan fungsi konsultasi dan mediasi.

Terdapat beberapa penulisan ilmiah sebelumnya yang memiliki bahasan yang hampir sama dengan perbedaan pada latar belakang dan rumusan masalah yang diteliti. Penulisan ilimiah sebelumnya juga menjadi acuan sumber bagi penulisan artikel ini, diantaranya jurnal berjudul “Efektivifitas Mediasi Online Terhadap Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Medan Pada Era Pandemi Covid-19” oleh Hasan Matsum, et al, “Online Dispute Resolution (ODR) Perspektif Hukum Positif Dan Hukum Islam” oleh Orivika Anggrain Pangesti dan “Mediasi Online Dalam Penyelesaian Perkara Perceraian Di Era Pandemi” oleh Yusna Zaidah dan Mutia Ramadhania Normas. Perbedaan penelitian ini terletak pada rumusan masalah dimana Penulis akan meneliti tentang pengaturan hukum mengenai online dispute resolution terhadap sengketa harta bersama pasca percerian. Dimana dari hasil penelitian ini, Penulis harapkan dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya dan bahan bacaan masyarakat, pengajar maupun mahasiswa apabila menemui permasalahan sesuai artikel ini. Mengenai isu yang telah diuraikan diatas, Penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut dalam tulisan ini yang berjudul “Online Dispute Resolution Dalam Sengketa Harta Bersama Pasca Perceraian”.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Berdasar dari latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

  • 1.    Bagaimanakah pengaturan mengenai online dispute resolution dan pembagian harta bersama dalam hukum perdata di Indonesia?

  • 2.    Bagaimanakah mekanisme online dispute resolution dalam penyelesaian sengketa harta bersama pasca perceraian?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Dengan rumusan masalah yang telah ditentukan, Penulis memiliki tujuan untuk penulisan artikel ini yakni:

  • 1.    Untuk mengetahui pengaturan mengenai online dispute resolution dan pembagian harta bersama dalam hukum perdata di Indonesia.

  • 2.    Untuk mengkaji mekanisme online dispute resolution dalam penyelesaian sengketa harta bersama pasca perceraian.

  • II.    Metode Penelitian

Penelitian hukum yuridis normatif adalah penulisan dengan prosedur dan cara penelitian ilmiah untuk menemukan suatu kebenaran yang didasarkan pada logika keilmuan hukum dari segi normatif. Substansi dalam penelitian hukum normatif memuat asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, sejarah hukum dan perbandingan hukum. Untuk menopang penulisan hukum normatif ini, digunakan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pemahaman konsep- konsep yang melatarbelakangi suatu isu hukum dan memberikan analisa terkait penyelesaian permasalahan dalam penelitian hukum merupakan langkah yang dilakukan dalam pendekatan konseptual. Pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Sumber yang digunakan dalam metode penelitian ini yaitu peraturan perundang- undangan, jurnal- jurnal, buku, artikel- artikel yang berkaitan dengan bahasan dalam penulisan ini.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

  • 3.1    Pengaturan Mengenai Online Dispute Resolution dan Pembagian Harta Bersama dalam Hukum Perdata di Indonesia

Perkara yang dibawa kepengadilan oleh masyarakat menjadi harapan untuk mencapai jalan keluar dan hasil yang seadil- adilnya. Kenyataannya proses peradilan memakan waktu yang lama dan tidak efisien. Problematika penyelesaian perkara secara litigasi seperti ini melahirkan upaya penyelesaian alternatif yang lebih cepat dan memberikan kesempatan bagi pihak yang bersengketa untuk mencapai solusi yang berkeadilan dan hasil yang memuaskan untuk segala pihak. Konflik dalam masyarakat lazim ditemui baik dari lingkup keluarga maupun lingkup masyarakat. Konflik merupakan suatu keadaan yang ditimbulkan akibat perbedaan kepentingan dua pihak atau lebih. Perbedaan yang tidak menemui jalan tengah untuk memenuhi kepentingan para pihak akan menimbulkan sengketa yang berpotensi merugikan salah satu atau seluruh pihak didalamnya.

Untuk mencapai solusi yang disetujui pihak bersengketa tidak selalu harus melalui jalur hukum (litigasi), bisa digunakan langkah alternatif seperti negosiasi, konsiliasi, konsultasi, penilaian ahli, mediasi, dan arbitrase yang dikenal dengan alternative dispute resolution (ADR). Pengertian ADR yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan alternatif penyelesaian sengketa (APS) dijelaskan dalam Pasal 1 angka 10 UU No 30 tahun 1999 yaitu : “Lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli”4. Definisi yang diterangkan dalam ketentuan ini tidak menjelaskan secara rinci tentang alternatif penyelesaian sengketa. Negosiasi, mediasi dan konsiliasi yang bersifat konsensus dan kooperatif termasuk kedalaman mekanisme penyelesaian sengketa ADR dimana memiliki makna sebagai alternative to adjudication. Alternative dispute resolution adalah upaya penyelesaian permasalahan hukum tanpa melalui pengadilan dan menggunakan bantuan pihak ketiga. Di dalam Pasal 1 UU No 30 tahun 1999 tidak berikan penjelasan

mengenai definisi mediasi, konsiliasi, negosiasi, konsultasi dan penilaian ahli. Masih tidak jelasnya pengaturan hukum mengenai ADR akan menimbulkan berbagai penafsiran yang dapat mengaburkan makna ADR itu sendiri. Alasan kultural bagi eksistensi dan pengembangan ADR di Indonesia tampak lebih kuat daripada ketidakefisienan proses peradilan dalam menangani sengketa.

Alternatif penyelesaian tersebut dapat dilakukan secara online sebagai upaya baru apabila para pihak bersepakat untuk menyelesaikan sengketa dengan tidak tatap muka. Online dispute resolution (ODR) hadir sebagai bentuk baru yang dapat digunakan dalam bidang hukum dengan media baru yaitu teknologi digital. Diawali dengan minimnya akses untuk bertemu secara langsung seperti saat pandemi covid-19 dan juga adanya hambatan jarak apabila para pihak terdapat di dua tempat yang berbeda, maka ODR menjadi solusi yang sudah digunakan oleh negara- negara di Amerika dan Eropa tanpa menghilangkan aspek- aspek hukum yang perlu ditaati.

Mengenai sengketa dalam hukum perdata terdapat setidaknya dua pihak yang berselisih yaitu pihak tergugat dan pihak penggugat. Menggunakan online dispute resolution sebagai pilihan alternatif penyelesaian sengketa secraa digital memiliki kelebihan- kelebihan jika dibandingkan dengan jalur pengadilan yakni terdapat kesukarelaan dan keterbukaan selama proses tanpa adanya paksaan, tercapai hasil yang disepakati bersifat non judicial, kerahasiaan terjaga oleh para pihak dan pihak ketiga yang menengahi, persyaratan dalam menyelesaikan masalah dapat dirundingkan dan bersifat fleksibel, tidak menguras waktu dan biaya untuk bertemu tatap muka, kemungkinan dalam pelaksanaan kesepakatan lebih tinggi karena hasil permusyawaratan antar pihak bersengketa.

Di Indonesia, peraturan perundang- undangan yang digunakan sebagai acuan dari sisi hukum terkait alternative dispute resolution bilamana menghadapi konflik-konflik perdata seperti sengketa harta bersama, sengketa bisnis dan lainnya yang kemudian dapat diselesaikan diluar pengadilan dengan bantuan pihak ketiga melalui metode ADR. Berikut uraian mengenai aturan hukum yang berlaku dalam penyelesaian dengan alternative dispute resolution:

  • 1.    Pasal 1851 KUHPerdata

Pasal 1851 berbunyi : “Perdamaian yaitu suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara.” Untuk mencegah timbulnya suatu perkara, ketentuan ini menjadi salah satu dasar hukum bagi pihak- pihak yang bersengketa dalam mewujudkan perjanjian perdamaian.

  • 2.    Pasal 1855 KUHPerdata

Pasal 1855 KUH Perdata menjelaskan bahwa: “Setiap perdamaian hanya mengakhiri perselisihan-perselisihan yang termaktub didalamnya, baik para pihak merumuskan maksud mereka dalam perkataan khusus atau umum, maupun maksud itu dapat disimpulkan sebagai akibat mutlak satu-satunya dari apa yang dituliskan.” Ketentuan hukum ini dimaksudkan untuk memberikan pengingat bagi para pihak untuk tetap sesuai batas- batas perdamaian akan persoalan yang menimbulkan sengketa.

  • 3.    Penjelasan Pasal 3 UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman

Dalam Penjelasan Pasal 3 Ayat 1 berisi bahwa “Pasal ini mengandung arti, bahwa di samping peradilan Negara, tidak diperkenankan lagi adanya peradilan-peradilan yang dilakukan oleh bukan badan peradilan Negara.” Penyelesaian

perkara di luar Pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrage) tetap diperbolehkan. Penjelasan mengenai pasal ini dimaknai bahwa arbitrase diakui keberadaannya sebagai penyelesaian perkara diluar pengadilan untuk mencapai suatu perdamaian.

  • 4.    UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Di dalam undang -undang ini ditetapkan bentuk- bentuk alternative dispute resolution atau alternatif penyelesaian sengketa yaitu konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Penjelasan selengkapnya mengenai bentuk dalam penyelesaian sengketa melalui alternative dispute resolution yang dibagi ke dalam beberapa jenis lembaga alternatif penyelesaian sengketa, sebagai berikut:

  • a.    Konsultasi

Konsultasi adalah bentuk mencari dan meminta pendapat oleh pihak yang bersengketa kepada pihak tertentu yang disebut konsultan dalam rangka menemukan saran yang bisa memenuhi kebutuhan dan kepentingan pihak tersebut. Konsultan memberikan pendapat hukum yang tidak mengikat, sehingga pihak bersengketa dapat memilih apakah akan menggunakan metode yang diberikan atau menggunakan langkah lain. Pada beberapa kasus, konsultan mendapat kesemoatan untuk menentukan bentuk penyelesaian yang akan dipakai oleh klien yang memiliki sengketa. Keputusan klien tidak didominasi oleh pendapat konsultan dan tidak berakibat hukum apabila digunakan atau tidak sesuai kepentingan klien tersebut. Saat ini konsultasi dapat dilakukan secara langsung ataupun menggunakan media teknologi yang tersedia.

  • b.    Negosiasi

Negosiasi didefinisikan sebagai upaya pihak bersengketa dalam menyelesaikan konflik yang ada dengan mendiskusikan kembali secara damai. Hal yang dibahas dalam negosiasi adalah hak dan kewajiban para pihak serta perbedaan kepentingan yang dialami sampai menemukan titik tengah yang memberikan keuntungan bersama. Asas timbal balik dalam negosiasi diperlukan untuk mencapai kesepakatan yang dituangkan dalam bentuk tertulis untuk ditanda tangani dan dijalankan oleh para pihak. Mengaplikasikan negosiasi sebagai metode ADR tidak selamanya berjalan tanpa hambatan, ada kalanya ditemukan kelemahan seperti kedudukan yang tidak setara antara para pihak, proses yang lambat dan waktu yang lama, serta adanya pendirian salah satu pihak yang dominan dan keras pendiriannya.

  • c.    Mediasi

Menurut Rachmadi Usman, “mediasi adalah cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan melalui perundingan yang melibatkan pihak ketiga (mediator) yang bersikap netral dan tidak berpihak kepada pihak-pihak yang bersengketa serta diterima kehadirannya oleh pihak-pihak yang bersengketa.” Mediasi sebagai upaya yang menggunakan mediator sebagai pihak ketiga dalam menengahi konflik dan mencapai kesepakatan untuk mengahadapi sengeketa para pihak. Mediator memiliki tugas untuk membantu pihak- pihak bersengketa demi mendapatkan penyelesaian tanpa berwenang mengambil keputusan bagi konflik tersebut. Mediator dalam mempertemuka para pihak untuk menuntaskan sengketa, tidak boleh melakukan pemaksaan apapun dan menjamin terciptanya suasana kondusif dan kooperatif.

  • d.    Konsiliasi

Konsiliasi disini dimaksudkan untuk penyelesaian menggunakan penengah baik seseorang, beberapa orang atau badan (komisi konsiliasi) yang selanjutnya akan disebut konsiliator dengan cara memfasilitasi pertemuan pihak- pihak yang bersengketa untuk diselesaikan secara damai. Solusi terhadap sengketa yang dihadapi perlu diberikan oleh konsiliator karena bertindak sebagai penengah yang berperan aktif.

Hukum positif di Indonesia belum mengatur secara spesifik mengenai ODR dan mekanisme pelaksanaannya. Namun, jika melihat kepada peraturan perundang-undangan yang ada sebelumnya, dapat dijadikan acuan pelaksanaan ODR yaitu sebagai berikut:

  • 1.    Pasal 6 ayat (1) UU Arbitrase dan APS menentukan bahwa “sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri”. Dilanjutkan dengan Pasal 6 ayat (4) disebutkan bahwa: “Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasihat ahli maupun melalui seorang mediator”. Mediasi sebagai salah satu ADR tidak memiliki ketentuan yang mengikat untuk dilaksanakan secara tatap muka maupun online. Atas dasar ini, maka pihak bersengketa yang bersepakat untuk melakukan mediasi secara online dapat dilaksanakan.

  • 2.    Dalam Pasal 5 ayat 3 Perma Mediasi menjelaskan bahwa “pertemuan mediasi dilakukan melalui media komunikasi audio visual.” Pengaturan ini menguatkan mediasi online memiliki jalan untuk ditempuh di Indonesia.

  • 3.    Pasal 41 ayat (1) UU ITE menyatakan bahwa “masyarakat dapat berperan meningkatkan pemanfaatan teknologi informasi melalui penyelenggaraan sistem elektronik dan transaksi elektronik”. Pasal tersebut dapat dimaknai bahwa ODR dapat dilakukan dengan bantuan lembaga yang berfungsi dalam konsultasi dan mediasi untuk menyelesaikan sengketa.

  • 4.    Pasal 33 UU ITE dapat menjadi dasar hukum bagi penyedia jasa ODR yang mengatur mengenai perbuatan terlarang. Pasal tersebut memberikan penjelasan bahwa “setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan yang mengganggu sistim elektronik maka dapat dipidana berdasarkan pasal 49 UU ITE dengan penjara maksimal 10 (sepuluh) tahun dan/ atau denda maksimal Rp, 10.000.000.000,- (Sepuluh Miliar Rupiah).” Dapat disimpulkan dari pasal tersebut bahwa terdapat larangan dan sanksi bagi pihak yang mengganggu jalannya ODR.

Memasuki dunia perkawinan, calon suami isteri perlu menelusuri harta yang ada sebelum adanya perkawinan, dimana harta tersebut menjadi harta bawaan. Setelah menjalani perkawinan terjadi peleburan harta kekayaan yang tidak termasuk didalamnya harta bawaan dan warisan seperti halnya tertera dalam Pasal 35 UU Perkawinan. Pemahaman akan harta bersama diperlukan untuk menghindari konflik tidak diinginkan semasa perkawinan dijalani. Tidak mustahil bagi pasangan suami isteri akan menjumpai permasalahan rumah tangga akibat perdebatan harta yang berdampak pada ketidakharmonis rumah tangga. Perceraian dan keputusan mengakhiri hubungan dapat terjadi karena keadaan ini. Tabunya pembahasan sebelum perkawinan mengenai

harta bersama sering terjadi di masyarakat karena dianggap tidak etis. Hal tersebut menimbulkan persoalan apabila terjadi perceraian yang berdampak kepada keluarga besar masing- masing pihak. Mantan isteri dan mantan suami yang dilanda persengketaan harta bersama pasca perceraian akan menimbulkan peristiwa hukum dalam pembagian harta bersa,a. Pasal 126 KUHPerdata menerangkan tentang harta bersama bubar demi hukum dengan adanya faktor- faktor dibawah:5

  • a.    kematian;

  • b.    perkawinan atas izin hakim setelah suami atau istri tidak ada;

  • c.    perceraian;

  • d.    pisah meja dan ranjang;

  • e.    pemisahan harta.

Hukum positif diberlakukan sebagai dasar hukum tentang harta bersama. Pihak yang bersengketa dan pihak ketiga (penengah) perlu memerhatikan aturan hukum terkait. Terdapat beberapa ketentuan yang dapat di telusuri yaitu :

  • 1.    Pasal 119 KUHPerdata

Pasal ini berbunyi “Sejak saat dilangsungkan perkawinan, maka hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami istri,sejauh tentang hal itu tidak di adakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami istri”. Dapat dimaknai dari ketentuan ini bahwa harta bersama nyata adanya dimata hukum sebagai peleburan harta antara suami dan isteri selama perkawinan dilangsungkan.

  • 2.    Pasal 128 KUHPerdata

Isi dari pasal ini adalah “Setelah bubarnya harta bersama, kekayaan bersama dibagi dua antara suami dan isteri tetapi dapat terjadi perubahan pembagian sesuai bukti bukti hukum yang diajukan.” Pembagian harta bersama menurut pasal ini yaitu dibagi dua atau dapat dibagi sesuai bukti- bukti yang dapat diajukan oleh para pihak dimana dapat memengaruhi besaran pembagian tersebut.

  • 3.    Pasal 164 KUHPerdata

Pasal ini menerangkan “Perjanjian, bahwa antara suami istri akan hanya ada gabungan penghasilan dan pendapatan saja, mengandung arti secara diam-diam bahwa tiada gabungan harta bersama secara menyeluruh menurut undang-undang dan tiada pilah gabungan keuntungan dan kerugian.” Ketentuan ini menyatakan penggabungan penghasilan antara suami dan isteri.

  • 4.    Pasal 35 UU Perkawinan

Dalam pasal ini berisi bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama dan hadiah atau warisan dikecualikan karena merupakan harta bawaan masing- masing pihak.

  • 5.    Pasal 37 UU Perkawinan

Di dalam pasal ini dijelaskan bahwa “Apabila terjadi perceraian maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.”

  • 6.    Pasal 86 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama

Pasal ini mengatur tentang pengajuan pembagian harta bersama dan perceraian.

  • 3.2 Mekanisme Online Dispute Resolution Dalam Sengketa Harta Bersama Pasca Perceraian

Alternative dispute resolution seyogyanya menjadi langkah yang digunakan oleh pihak- pihak bersengketa, yang dimana dalam tulisan ini, mantan suami dan mantan isteri pasca perceraian untuk mendapatkan keputusan yang tidak memberatkan salah satu pihak. Langkah yang ditempuh diluar pengadilan memerulkan keefektifan sebagai tolak ukur apakah hasil yang diperoleh memenuhi kepentingan kedua belah pihak. Seluruh rangkaian alternative dispute resolution melibatkan pihak ketiga yang bertugas menjadi penengah dan meningkatkan kualitas keputusan yang akan dicapai. Beberapa faktor yang menjadi kelebihan digunakannya ADR adalah :

  • 1.    Bentuk penyelesaian yang tidak asing di kalangan masyarakat;

  • 2.    Menganut sistem non-adversial;

  • 3.    Memungkinkan untuk melibatkan beberapa pihak baik secara langsung maupun tidak langsung dalam perundingan;

  • 4.    Mencapai win-win solution.

ADR juga dapat dikatakan efektif apabila kesuksesan prosesnya dapat dinilai. Beberapa faktor tersebut adalah:

  • 1.    Tingkat kerumitan sengketa masih bisa ditoleransi dan wajar sehingga dimungkinkan untuk mendapatkan jalan tengah dengan ADR, dimana hasil yang didapatkan akan diterima para pihak bersengketa.

  • 2.    Para pihak memiliki komitmen yang tinggi untuk memaksimalkan jalannya ADR untuk menyelesaikan perkara yang ada.

  • 3.    Itikad para pihak untuk menjaga hubungan baik setelah terselesaikannya sengketa dengan ADR.

  • 4.    Kesetaraan posisi para pihak untuk mendapatkan hasil yang memuaskan sesuai kepentingan masing- masing.

  • 5.    Kerahasiaan terjaga oleh para piuhak terlibat yaitu pihak- pihak bersengketa dan pihak ketiga.

ADR perlu dipertimbangkan oleh pihak bersengketa karena dapat menjadi jalan tengah tanpa melalui pengadilan sehingga asas kekeluargaan dapat lebih diterapkan unutk menyelesaikan sengketa. Saat ini bentuk ADR bisa diterapkan secara digital menjadi online dispute resolution tanpa mengubah cara kerja dan kekuatan hukum yang menaungi. Secara garis besar apabila ODR diterapkan dalam penyelesaian sengeketa perdata, mekanisme ODR dapat dilakukan sebagai berikut:

  • 1.    Negosiasi online terbagi menjadi assisted negotiation dan automated negotiation. Assisted negotiation yaitu saran yang difasilitasi oleh pihak ketiga melalui teknologi informasi untuk mencapai penyelesaian. Automated negotiation yaitu kesepakatan akan otomatis ditentukan oleh AI (Artificial Intelligence) tanpa campur tangan manusia dengan sistem informasi yang sudah dirancang sedemikian rupa. Bentuk- bentuk negosiasi online ini dilakukan penuh oleh sistem informasi yang meneyediakan layanan negosiasi online. Lembaga penyedia jasa atau layanan negosiasi online mempersiapkan alur negosiasi dan juga formular penyelesaian sengketa. Setelah itu lembaga berwenang melakukan ODR dalam bentuk negosiasi baik menggunakan e-mail atau video conference.

  • 2.    Mekanisme penyelesaian sengketa dengan mediasi serupa dengan ADR yang dilakukan secara fisik namun pendaftaran perkara, pemilihan arbiter atau mediator, pemeriksaan dokumen, pembuatan putusan dan pemberitahuan

putusan dilaksanakan melalui media yang telah disediakan baik chatroom ataupun video conference. Mediator ditunjuk oleh fasilitator dengan persetujuan para pihak yang bersengketa lalu dihadirkan dalam media online yang digunakan. Dengan dipetemukannya para pihak bersengketa dan mediator maka diskusi dapat dilaksanakan untuk menemukan jalan tengah penyelesaian sengketa.

  • 3.    Terakhir, arbitrase online dengan ditengahi oleh lembaga berwenang yaitu LAPS memanfaatkan media teknologi yang telah dipilih untuk melakukan sidang arbitrase dan penyerahan bukti serta dokumen menggunakan e-mail. Selanjutnya setelah arbiter atau majelis arbiter menjatuhkan putusan, dokumen putusan tersebut dapat dikirimkan kepada kedua belah pihak melalui e-mail.

Penggunaan online dispute resolution dalam sengketa perdata, khusunya dalam artikel ini yaitu sengketa harta bersama pasca perceraian, pihak – pihak bersengketa dapat memilih bentuk seperti apa yang sekiranya dapat memenuhi kepentingan yang ingin dicapai. Baik mediasi, negosiasi, maupun konsiliasi dapat digunakan dengan berbagai pertimbangan akan keefektifan jalur yang ditempuh khususnya dengan media digital. Penerapan ODR dalam sengketa harta bersama yang dimana para pihaknya sebelumnya memiliki ikatan hukum yaitu perkawinan, ODR menjadi langkah yang akan meminimalisir dampak bagi keluarga maupun anak yang ada didalamnya. Pihak ketiga yang bersifat netral akan membantu untuk memberikan jalan dan mempermudah proses ODR yang dilewati. Lahirnya kesepakatan dan kepuasan para pihak bersengketa atas hasil dari ODR dengan didasari oleh dasar hukum yang berlaku menjadi tolak ukur bahwa ODR dapat diterapkan di Indonesia tidak hanya dalam sengketa bisnis namun juga sengekta perdata lainnya. Efisiensi tenaga, biaya, dan waktu serta kerahasiaan proses yang berlangsung juga akan terjamin karena terdapat pengaturan hukum berlaku meskipun tidak signifikan mengatur tentang skema ODR.

  • IV.   Kesimpulan sebagai Penutup

    4.   Kesimpulan

Sampai saat ini, belum ada pengaturan hukum tentang online dispute resolution di Indonesia yang secara spesifik mengatur mekanisme dan ruang lingkup pelaksanaan ODR. Namun, apabila melihat dari peraturan perundang-undangan yang telah ada, ODR dapat dilaksanakan dalam sengekta perdata seperti harta bersama dengan dasar hukum yaitu Pasal 6 ayat (1) dan ayat (4) UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengeketa, Pasal 5 ayat 3 Perma tentang Mediasi serta Pasal 33 dan Pasal 41 UU ITE. Terkait pembagian harta bersama pengaturan hukum yang mengatur yaitu Pasal 119, Pasal 128, Pasal 164 KUHPerdata, Pasal 35, Pasal 37 UU Perkawinan serta Pasal 86 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1989.

Dalam hal menyelesaikan sengketa harta bersama dengan ODR, mediasi online dapat dipilih sehingga jalan keluar yang tidak merugikan kedua belah pihak dapat dicapai. Adapun mekanisme pelaksanaannya yaitu pendaftaran perkara, pemilihan mediator, pemeriksaan dokumen, pembuatan putusan dan pemberitahuan putusan dilaksanakan melalui media yang telah disediakan baik chatroom ataupun video conference. Mediator ditunjuk oleh fasilitator dengan persetujuan para pihak yang bersengketa lalu dihadirkan dalam media online yang digunakan. Dengan dipertemukannya para pihak bersengketa dan mediator maka diskusi dapat dilaksanakan untuk menemukan jalan tengah penyelesaian sengketa.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Hartanto, J. Andy. Hukum Harta Kekayaan Perkawinan (Yogyakarta, Laksbang Grafika, 2012).

Nurnaningsih, Amriani. Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan (Jakarta, 2012).

Rao, G. Ramachandra, n. d., Problem and Prospects of Online Dispute Resolution.

Syafa’at, Rachmad. Mediasi dan Advokasi Bidang Hukum:  Konsep dan

Implementasinya dalam buku Advokasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Malang, Surya Pena Gemilang, 2015).

Jurnal

Andri, Muhammad. “Rekonstruksi Alternative Dispute Resolution (ADR) Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Perceraian Di Pengadilan Agama Yang Berbasis Keadilan.” Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

Dahlan, Syarif Dahlan dan Haryanto, Iwan.“Eksistensi ADR Dalam Penyelesaian Sengketa Harta Waris Pada Masyarakat.” Jurnal Hukum VI , No. 2 (2018).

Haryanto, Iwan. “Sengketa Usaha Pertambangan Di Wilayah Hutan Elang Dodo Kabupaten Sumbawa.” Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Udayana (2012).

Herawati, Fitria. “Perlindungan Hukum Bagi Pihak Ketiga Dalam Terjadinya Pembatalan Perjanjian Perkawinan (Kasus Pembatalan Perjanjian Perkawinan Oleh Suami ).” Magister kenotariatan Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang.

Khairun, Alfi Ghufran. “Strategi Penyelesaian Perkara Pembagian Harta Gono Gini Melalui Mediasi Di Mahkamah Syar’iyah Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh.” SKRIPSI (2022).

Purwanto. “Efektifitas Penerapan Alternative Dispute Resolution (ADR) Pada Penyelesaian Sengketa Bisnis Asuransi Di Indonesia.” Jurnal Fakultas Hukum Universitas Mulawarman.

Rochani Urip dan Rahadi Wasi Bintoro. “Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Transaksi Elektronik (E-Commerce)”. Jurnal Fakultas Hukum Unsoed Vol.13, No. 1.Purwokerto. (2013).

Veny Rizky Indahsari, et al,. “Penyelesaian Sengketa Harta Bersama Melalui Mediasi.” Jurnal Fakultas Hukum, Universitas Jember.

Widaningsih. “Penyelesaian Sengketa E-Commerce melalui ODR (Online Dispute Resolution)”. Jurnal Panorama Hukum, Vol.2 No.2. (2017)

Zahid, Reza Ahmad dan Badi, Ahmad. “Peranan Mediator Dalam Penyelesaian Sengketa Harta Gono-Gini Akibat Kasus Perceraian (Studi Kasus di Pengadilan Agama kab. Kediri.” Jurnal Hukum Keluarga Islam 2, No. 2. (2020).

Peraturan Perundangan- Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan;

(Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara No. 3019)

Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843)

Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No 9 Tahun 2022, hlm. 1591-1603