PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM MELINDUNGI NILAI EKONOMI ATAS INDIKASI GEOGRAFIS DI INDONESIA
on
PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM MELINDUNGI
NILAI EKONOMI ATAS INDIKASI GEOGRAFIS DI INDONESIA
Ni Nyoman Claudia Nareswari, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : claudyanareswari.nyoman@gmail.com
I Made Dedy Priyanto, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : dedy_priyanto@unud.ac.id
DOI: KW.2022.v11.i10.p4
ABSTRAK
Tujuan dalam penelitian ini ialah untuk dapat memahami terkait dengan peran pemerintah daerah dalam melindungi nilai ekonomi atas indikasi geografis di Indonesia. Indikasi geografis menjadi ciri khas rezim kekayaan intelektual yang merupakan aset kelas masyarakat tertentu yang menunjukkan coraknya yang unik dan layak dihormati dan dilindungi oleh siapapun, termasuk pemerintah daerah serta Negara harus melindungi demi terhindar dari pihak ataupun daerah lain yang ingin mengklaim. Metode penelitian yang dipergunakan yakni jenis penelitian hukum normatif dengan sifat deskriptif analitis terkait peran pemerintah daerah dalam upaya perlindungan hak ekonomi atas indikasi geografis dan implikasi perlindungan nilai ekonomi indikasi geografis berdasarkan “Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis”. Pemerintah daerah mempunyai peranan krusial serta strategis demi mendorong pertumbuhan ekonomi daerah seperti dalam hal pendaftaran, pembinaan, pengawasan dan pemberian perlindungan terhadap indikasi geografis. Meski dapat memberikan nilai ekonomi yang tinggi, kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pencatatan indikasi geografis masih rendah. Dibutuhkan kesadaran hukum dari rakyat serta peranan pemerintah daerah guna mencatat produk daerahnya sebagai elemen perlindungan hak ekonomi atas indikasi geografis.
Kata Kunci: Peran Pemerintah, Indikasi Geografis, Nilai Ekonomi
ABSTRACT
The aim of this research is to understand the role of local government in protecting the economic value of geographical indications in Indonesia. Geographical indications are characteristic of intellectual property regimes that are assets of a certain class of people that show their unique complexion and deserve to be respected and protected by anyone, including local governments and the State must protect in order to avoid other parties or regions that want to claim. The research method used is a type of normative legal research with an analytical descriptive nature related to the role of local governments in efforts to protect economic rights to geographical indications and the implications of economic value protection of geographical indications based on "Law Number 20 of 2016 concerning Brands and Geographical Indications". Local governments have a crucial and strategic role in order to encourage regional economic growth such as in terms of registration, guidance, supervision and providing protection for geographical indications. Although it can provide high economic value, public awareness of the importance of recording geographical indications is still low. It requires legal awareness from the people and the role of local governments to record their regional products as an element of protection of economic rights to geographical indications.
Key Words: The Role of Government, Geographical Indications, Economic Value
Berdasarkan pada “Pasal 1 angka 6 Undang-undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis”, menyatakan bahwa “pengertian indikasi geografis merupakan sebuah tanda yang dapat menunjukkan daerah asal barang tersebut, dikarenakan faktor lingkungan geografis, yang termasuk faktor alam serta faktor manusia, ataupun kombinasi dari kedua faktor tersebut yang mampu menciptakan kualitas, reputasi dan karakteristik
yang bersifat khas pada barang yang dihasilkan”. Indonesia termasuk negara kepulauan paling besar di dunia yang mempunyai kekayaan alam beranekaragam. Hal tersebut sudah pasti dapat memberikan dampak pada melimpahnya komoditas ataupun produk yang berpotensi diberi perlindungan oleh indikasi geografis. Yusril Ihza Mahendra menyatakan “bahwa perlindungan hukum merupakan hak konstitusional setiap warga negara yang meliputi hak untuk mendapatkan perlindungan hukum yang adil dan proporsional, serta kepastian hukum dalam menjalankan hak dan kewajiban hukumnya”.
Perlindungan indikasi geografis ialah elemen dari kekayaan intelektual yang tak dapat lepas dari nilai ekonomi yg menyertai. Ini karena pemakaian label indikasi geografis yang mendeskripsikan kualitas produk yang dihasilkan oleh wilayah tertentu dapat menambah nilai ekonominya. Secara teoretis, produk yg mempunyai potensi indikasi geografis dan diberi perlindungan mampu berwujud hasil pangan, pertanian, serta produk kerajinan, menggunakan catatan produk itu mencantumkan nama daerah asal, serta kualitas konkret yang ditentukan oleh ciri khusus wilayah tersebut.
Walaupun sudah dijelaskan oleh Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights, tetapi sangat disayangkan indikasi geografis belum setenar rezim kekayaan intelektual lain misalnya paten, merek, dan hak cipta. Apabila dilihat dari historinya di Indonesia, ketentuan tentang indikasi geografis adalah ketentuan sisipan dari merek yang baru saja dipopulerkan. Di Indonesia, undang-undang yang membahas perihal indikasi geografis ada pada “Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek”. Undang-undang tersebut ialah hasil akhir amandemen “Undang-undang No. 14 Tahun 1970 jo Undang-undang No. 12 Tahun 1992 tentang Merek” pada “Bab VII Bagian II Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, diletakkan sebagai akibat secara tidak eksklusif dari indikasi geografis yang diklaim sebagai bagian dari merek (merek dengan karakter khusus)”.
Mengingat muatan indikasi geografis memiliki beberapa perbedaan dengan merek, ini menjadi kelemahan, dikarenakan rakyat tak terlalu paham mengenai indikasi geografis yang menyebabkan masyarakat menafsirkan bahwa indikasi geografis adalah merek. Sejak Indonesia memiliki “Undang-undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis”, undang-undang itu membahas perihal muatan indikasi geografis secara terpisah dengan sebuah merek. Namun, masih rendahnya popularitas indikasi geografis di masyarakat hingga saat ini dipicu oleh sedikitnya jumlah indikasi geografis yang sudah didaftarkan di Indonesia. Sesuai data yang diperoleh dari situs resmi Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) keseluruhan terdapat sejumlah 123 produk1 yang telah tercatat menjadi indikasi geografis entah dari dalam ataupun dari luar negeri (sejak tahun 2008-2023). Sangat amat disayangkan, kondisi Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang sangat kaya dengan tradisi, budaya, pengetahuan tradisional juga beriklim tropis yang dengan tak langsung dapat memproduksi beraneka ragam komoditas berindikasi geografis yang mampu memberikan potensi ekonomi yang luar biasa yang pastinya akan memberikan keuntungan bagi masyarakatnya.
Walaupun indikasi geografis tak sama dengan merek, pertumbuhan indikasi geografis yang ada di Indonesia tak luput dari adanya merek. Ini dikarenakan prinsip perlindungan merek senantiasa berlaku untuk indikasi geografis.2 Contohnya, permohonan registrasi indikasi geografis berlaku mutatis-mutandis pada permohonan registrasi merek. Terlihat pada “Pasal 53 ayat (4) Undang-undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis” yang menyebutkan “Pasal 14 sampai Pasal 19 dalam hal pengaturan permohonan pendaftaran merek juga dilakukan secara mutatis mutandis kepada permohonan pendaftaran
indikasi geografis. Kedua, syarat serta norma gugatan merek juga berlaku mutatis mutandis terhadap syarat serta tata cara gugatan indikasi geografis. Ketiga, dalam penegakan hukum, ada beberapa bagian serta tahap sistem perlindungan merek sama persis menggunakan tahap sistem pelindungan indikasi geografis”. Sebagai elemen dari rezim kekayaan intelektual maka sangat diperlukannya perlindungan hukum untuk indikasi geografis.
Kemudian timbul permasalahan ketika komoditas atau produk di Indonesia yang mempunyai potensi menjadi indikasi geografis belum sepenuhnya dilindungi oleh hukum dari pemerintah daerah di masing-masing daerahnya. Mengingat perlindungan indikasi geografis yang didapat mampu menciptakan dan memberikan hak eksklusif serta manfaat ekonomi yang akan sangat bermanfaat bagi pemegangnya. Hal ini menjadi sangat penting, dikarenakan dapat memperlihatkan taraf adab serta budaya sebuah komunitas. Dengan demikian, perlindungan hukum atas indikasi geografis menjadi suatu hal yang mutlak guna dilaksanakan.
Penelitian sebelumnya berfungsi untuk analisa dan memperkaya pembahasan penelitian, serta membedakannya dengan penelitian yang sedang dilakukan. Dalam penelitian ini disertakan jurnal nasional penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan hak ekonomi atas indikasi geografis. Jurnal tersebut yaitu penelitian dengan judul Pelindungan Hak Ekonomi Atas Indikasi Geografis Melalui Peran Pemerintah Daerah, daerah yang dijadikan lokasi penelitian oleh peneliti adalah Provinsi Aceh dan Provinsi Bali. Penelitian ini dilakukan oleh Trias Palupi Kurnianingrum pada tahun 2017. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum empiris. Penelitian ini membahas mengenai pelindungan hak ekonomi atas indikasi geografis, eksistensi peran pemerintah daerah dalam mendorong ekonomi lokal melalui indikasi geografis, hambatan atau kendala, serta upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Hasil kesimpulan dengan metode penelitian hukum empiris ini adalah pemda di Provinsi Aceh maupun Provinsi Bali dinilai kurang tanggap atau sigap dalam memberikan pelindungan atas indikasi geografis.
Berdasarkan hal tersebut, adapun permasalahan yang dapat dirumuskan adalah:
-
1. Apa peran pemerintah daerah dalam melindungi nilai ekonomi atas indikasi geografis di Indonesia?
-
2. Bagaimana implikasi perlindungan nilai ekonomi indikasi geografis sesuai UU No. 20 Tahun 2016 mengenai Merek dan Indikasi Geografis?
Tujuan umum penulisan ini yakni :
-
1. Memahami apa peran pemerintah daerah dalam melindungi nilai ekonomi atas indikasi geografis di Indonesia
-
2. Mengetahui implikasi perlindungan nilai ekonomi indikasi geografis sesuai UU No. 20 Tahun 2016 mengenai Merek dan Indikasi Geografis
Penelitian ini memakai metode yuridis normatif, Penelitian hukum normatif menggunakan data sekunder dengan menjabarkan doktrin dan asas-asas untuk ilmu hukum yang kemudian data terkait diperoleh berdasar proses melaksanakan kajian peraturan perundang-undangan serta bahan-bahan pustaka dan literature hukum lainnya.3 Pada penelitian ini dilakukan dengan mengkaji perumusan masalah yang akan diteliti sekaligus
menyampaikan ilustrasi serta analisis peran Pemerintah Daerah dalam upaya perlindungan hak ekonomi atas indikasi geografis.
-
III. Hasil dan Pembahasan
Peranan negara dalam upaya yang dilakukan guna menjaga indikasi geografis umumnya dinyatakan pada konstitusi negara. “Pasal 33 ayat (3) UUD 1945”, yang menyatakan bahwa "bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya". Penekanan pada kata negara berarti negara harus bertanggung jawab menjaga hasil produk yang ditunjukkan secara geografis, karena indikasi geografis termasuk sumber daya alam yang dikendalikan oleh negara. Adapun wujud pemekaran pemerintah pusat serta sebagai bagian dari pelaksanaan pemerintah daerah, pemerintah daerah berwenang mengendalikan implementasi urusan pemerintahan daerah otonom. “Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemerintah Daerah)” juga secara tegas “memberikan kewenangan penuh kepada daerah dalam mengatur potensi daerah yang mengandung nilai ekonomi”.
Sebagai konsep HKI kolektif, perlindungan hukum terhadap indikasi geografis membutuhkan kerja sama semua elemen, baik itu
pemerintah daerah sebagai regulator melalui otoritas terkait, akademisi, pengusaha, lembaga swadaya masyarakat serta organisasi masyarakat. Peran Negara, khususnya pemerintah daerah, dibutuhkan guna menghindari penyalahgunaan indikasi geografis yang tak sejalan dengan keadaan factual, tak terkecuali perilaku yang arahnya ke kompetisi yang tak sehat ataupun penipuan. Sistem kepemilikan indikasi geografis memperlihatkan diperlukannya mengakui mereka yang dapat mewakili masyarakat lokal dalam mendapatkan perlindungan hukum.4
Peran pemerintah daerah dalam melindungi hak ekonomi atas indikasi geografis di Indonesia dapat dilihat melalui 2 (dua) sisi, antara lain melalui “Undang-Undang Pemerintah Daerah dan UU No. 20 Tahun 2016 perihal Merek dan Indikasi Geografis”. Jika dilihat dari UU No. 20 Tahun 2016 mengenai Merek dan Indikasi Geografis, kewenangan pemerintah daerah untuk dilibatkan guna melindungi hak ekonomi atas indikasi geografis di Indonesia. Selama proses pendaftaran indikasi geografis, pada “Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis” menyatakan pemohon sebagai berikut:
-
a) “Lembaga yang mewakili masyarakat di kawasan indikasi geografis tertentu yang mengusahakan suatu barang dan/atau produk berupa:
-
• sumber daya alam;
-
• barang kerajinan tangan; atau
-
• hasil industri.
-
b) Pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota.
Penegasan kewenangan pemerintah daerah sebagaimana disebutkan di dalam poin huruf (b) diartikan bahwa pemerintah daerah mempunyai tanggungjawab yang krusial dalam melindungi indikasi geografis melalui proses pendaftaran. Penunjukkan lembaga pemerintah ini ditujukan kepada fungsi pengayom, pelindung, serta pelaksana kesejahteraan masyarakat dengan cara mengelola dan memberdayakan secara optimal manfaat
ekonominya. Mengingat melalui pendaftaran, selain memberikan nilai tambah pada produk berpotensi indikasi geografis juga dapat meningkatkan kemampuan ekonomi daerah. Di samping itu, dapat memberikan imbas yang baik pada nama daerah dan dapat menghalangi tindakan persaingan tidak sehat dengan memanfaatkan nama suatu daerah”.
Pemerintah daerah memiliki peran krusial dalam menjaga indikasi geografis melalui proses pendaftaran sesuai dengan penegasan kewenangannya pada poin (b). Dengan mengelola dan memberdayakan manfaat ekonominya secara optimal, penunjukan lembaga pemerintah ini bertujuan untuk berfungsi sebagai advokat, pelindung, dan pelaksana kesejahteraan masyarakat. Dengan mempertimbangkan, melalui pendaftaran, produk dengan potensi indikasi geografis dapat memperoleh nilai dan kemampuan ekonomi daerah dapat ditingkatkan. Selain itu, menggunakan nama wilayah dapat mencegah persaingan tidak sehat dan memiliki efek positif pada nama wilayah tersebut.
Pemerintah daerah memiliki kewajiban dalam pembinaan indikasi geografis. Sesuai “Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis”, pengembangan indikasi geografis dilaksanakan oleh pihak pusat serta daerah, antara lain yaitu :
-
1) “persiapan untuk pemenuhan persyaratan permohonan indikasi geografis;
-
2) permohonan pendaftaran indikasi geografis;
-
3) pemanfaatan dan komersialisasi indikasi geografis;
-
4) sosialisasi dan pemahaman atas pelindungan indikasi geografis;
-
5) pemetaan dan inventarisasi potensi produk indikasi geografis;
-
6) pelatihan dan pendampingan;
-
7) pemantauan, evaluasi, dan pembinaan;
-
8) pelindungan hukum; dan
-
9) fasilitasi pengembangan, pengolahan, dan pemasaran barang dan/ atau produk indikasi geografis”.
“Pasal 71 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis” menyebutkan kewenangan pemerintah daerah terkait pengawasan indikasi geografis. Sementara itu, “Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis” menyatakan bahwa "pengawasan dilakukan untuk memastikan keberlangsungan reputasi, kualitas, dan karakteristik yang menjadi dasar indikasi geografis dipublikasikan dan mencegah penggunaan indikasi geografis secara tidak sah".
Kemudian, dari sudut pandang UU Pemda, peranan pemerintah daerah untuk turut serta menjaga potensi indikasi geografis sejatinya sudah merupakan kewajiban pemerintah daerah, karena penguatan ekonomi daerah termasuk elemen krusial serta pada pembentukan daerah mandiri serta diupayakan lewat program desentralisasi. Tak dapat dipungkiri, pembangunan perekonomian daerah mampu didefinisikan sebagai tahapan dimana pemerintah daerah serta rakyat melakukan pengelolaan sumber daya serta membangun pola kemitraan diantara pemerintah daerah dan swasta guna membangun lapangan pekerjaan yang baru serta mendorong pengembangan aktivitas perekonomian di daerah.
Jadi, pemerintah daerah perlu mengukur sumber daya alam unggulan yang digunakan untuk meningkatkan ekonomi daerah. “Pasal 36 ayat (6) UU Pemda telah menegaskan salah satu bentuk parameter potensi ekonomi, yang dapat dilihat melalui 2 (dua) unsur, yaitu pertumbuhan ekonomi dan potensi unggulan daerah”.
Perhitungan potensi komoditas daerah mampu dilaksanakan oleh pemerintah daerah dengan inventarisasi data komoditas atau produk unggulan tiap daerah. Inventarisasi tak semata dilaksanakan oleh pemerintah daerah, tetapi juga memerlukan kerjasama dengan pihak lain. Ini akan membantu pemerintah daerah meningkatkan dan memperkenalkan nama daerah yang memiliki komoditas dan memperkenalkannya kepada masyarakat lokal dan negara lain. Selain meningkatkan pendapatan masyarakat setempat, pemerintah daerah berperan aktif dalam mendaftarkan komoditas dan produk daerah yang dimiliki masing-
masing daerah sebagai bagian dari perlindungan hak ekonomi terhadap indikasi geografis. Pemetaan data oleh pemerintah daerah akan meningkatkan kualitas dan kenyamanan layanan HKI.
Dalam jurnal Law and Technology, Robert M. Sheerwood mengatakan bahwa pembangunan ekonomi adalah tujuan keseluruhan untuk membangun sistem perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang efektif. Hak milik yang terdapat dalam istilah Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dianggap telah melekat pada nilai ekonomi suatu properti yang merupakan bagian dari hak perbendaharaan. Fakta nilai ekonomi memperlihatkan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) adalah satu dari sekian objek perdagangan. Agus Sardjono pun mengatakan, di mana Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sebagai hak tak akan lepas dari perekonomian. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sangat sering disamakan dengan komersialisasi sebuah produk intelektual. Adapun perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dapat dianggap irrelevan jika tak dihubungkan dengan komersialisasi sebuah Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Djuhaendah Hasan menyatakan, sebagai aset yang memiliki nilai ekonomis, dapat menjadikan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) mampu memberikan manfaat ekonomi bagi pemilik hak (right owner) dan pemegang hak (right holder).5
Indikasi geografis ialah elemen Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang memiliki hak hasil dari kemampuan intelektual individu, dengan tujuan memperoleh perlindungan hukum yang mumpuni memerlukan pertimbangan sesuai kesepakatan Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPs). Dengan masuknya Indonesia ke World Trade Organization (WTO) yang tak lain adalah organisasi perdagangan internasional, Indonesia mempunyai kewajiban untuk menyelaraskan ketentuan undang-undang di Indonesia dengan perjanjian yang dibuat dengan negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) lainnya. Perjanjian ini dimasukkan ke dalam perjanjian Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dengan salah satu perjanjian dikaitkan dengan perjanjian TRIPS6. Perjanjian TRIPS memberlakukan pembatasan pada Negara-negara Anggota WTO dalam penyusunan undang-undang, peraturan, dan ketentuan administratif mereka untuk perlindungan hak kekayaan intelektual7. Maka dari itu, undang-undang di Indonesia juga wajib mengacu ke perjanjian TRIPs. Indikasi Geografis diberi perlindungan selama kualitas, reputasi, serta ciri-ciri di mana perlindungan indikasi geografis diberikan kepada suatu barang.
Salah satu bukti keberhasilan pemerintah daerah demi menciptakan perlindungan indikasi geografis untuk komoditas atau produk daerah adalah Kopi Arabika Flores di wilayah Bajawa Provinsi Nusa Tengara Timur. Sejak tahun 2004, pemerintah daerah telah meningkatkan kualitas petani kopi Arabika di daerah dataran tinggi Bajawa, Nusa Tengara Timur melalui Dinas Perkebunan Provinsi Nusa Tengara Timur, Adapun pemerintah Kabupaten Ngada bersama dengan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka) untuk meningkatkan kualitas kopi dan meningkatkan harga jual kopi. Melalui kerjasama dengan Kementerian Hukum dan HAM tahun 2012 MPIG Flores Bajawa Kopi Arabika berhasil memperoleh sertifikat indikasi geografis dan telah mendirikan empat belas (14) buah unit pengolahan hasil (UPH). Sejak 2012, petani lewat MPIG mulai menjual kopi dari perkebunannya yang pada awal tahun 2004-2010 berjumlah Rp. 3.000,00-/kilo gelendong merah yang kemudian pada tahun 2012 menjadi Rp. 42.500,00-/kilo dan berhasil melakukan
komersialisasi segmen pasar kopi dengan nama Flores Bajawa Kopi Arabika. Ini jelas merupakan peningkatan nilai ekonomi daerah tersebut. 8
Dengan pemberdayaan yang dilakukan, masyarakat di daerah tersebut mampu merasakan manfaat dari perlindungan indikasi geografis yang diberikan, baik dari segi peningkatan keterampilan serta ilmu yang dimiliki petani kopi yang berdampak sangat baik hingga mampu meningkatkan harga kopi, petani juga mengalami peningkatan yang signifikan. Hingga 9 Agustus 2022, sudah ada 127 Unit Pengelola Hasil (UPH) dengan 237 petani serta berhasil memproduksi 3 ton kopi setiap bulan. Indikasi geografis hanya akan dilindungi jika sudah terdaftar. Tujuan pendaftaran ini yakni guna menjamin kepastian perlindungan hukum. Sesuai Pasal 56 ayat (7) UU No. 15 Tahun 2001 mengenai Merek. Masa perlindungan mampu berlangsung tanpa batasan waktu selama karakteristik dan/atau kualitas di mana perlindungan diberikan masih ada.
-
3.2 Implikasi Perlindungan Nilai Ekonomi Indikasi Geografis Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis
Aturan terkait indikasi geografis sangat bervariasi di sejumlah negara, misalnya Amerika Serikat dibahas pada Undang-Undang Merek Dagang, Peraturan ATF dan Hukum Adat, Uni Eropa menurut Peraturan Komunitas Eropa (EEC No.2081/92), Australia mengatur lewat The Wine and Brandy Australia Act 1980 (AWBC), Trade Practice Act 1995, Trademark Law 1995, namun Indonesia memilih untuk digabungkan dengan merek seperti tercantum pada UU No. 15 Tahun 2001 mengenai Merek, namun peraturan itu sifatnya sumir, jadi aturan lebih lanjut dipaparkan pada Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2007. Adapun indikasi geografis dibahas mendalam sesudah pemerintah merevisi UU No. 15 Tahun 2001 menjadi UU No. 20 Tahun 2016 mengenai Merek dan Indikasi Geografis.
Perumusan UU No. 20 Tahun 2016 sebagai penerapan aturan internasional membahas mengenai indikasi geografis dengan lebih kompleks dibandingkan UU No. 15 Tahun 2001, harapannya mampu memberi kepastian hukum sehingga dapat meningkatkan potensi indikasi geografis yang nilai ekonominya tinggi, yang berdampak positif pada pembangunan perekonomian local serta memberi dorongan kesadaran bagi masyarakat dan pemerintah daerah guna mendaftarkannya. Seiring dengan keragaman serta keadaan sumber daya manusia, juga kemauan politik pemerintah daerah yang beragam, secara tidak langsung juga mempengaruhi produk yang terindikasi secara geografis di daerah masing-masing.
Berdasarkan data yang didapat dari situs resmi Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) terdapat total 123 produk9 yang tercatat sebagai indikasi geografis yang ada di Indonesia, entah dari dalam maupun luar negeri (dari tahun 2008-2023).
Tabel 1. Perkembangan indikasi geografis terdaftar di Indonesia Tahun 2008-2023.
No. |
Indikasi Geografis Terdaftar |
1. |
Kintamani Bali Arabica Coffee |
2. |
Jepara Carved Furniture |
3. |
Champagne |
4. |
Muntok White Pepper |
5. |
Pisco |
6. |
Gayo Arabica Coffee |
7. |
Sumedang Black Tobacco |
8. |
Sumedang Mole Tobacco |
8 Hasil Focus Group Discussion penelitian kelompok “Penegakan dan Pelindungan Atas Merek” dengan Adi Supanto (DJKI Kementeriaan Hukum dan HAM) (Jakarta, 15 Maret 2016).
9 Direktorat Jenderal Hukum Kekayaan Intelektual, “E-Indikasi Geografis”, https://ig.dgip.go.id/#. , diakses Minggu 13 Januari 2023.
9. |
Pasuruan Robusta Coffee |
10. |
Baliem Wamena Arabica Coffee |
11. |
Lingga Sago |
12. |
Tanah Karo Arabica Coffee |
13. |
Malonan Kutai Kartanegara Kaltim Pepper |
14. |
Cognac |
15. |
Parmigiano Reggiano |
16. |
Lada Luwu Timur |
17. |
Pala Kabupaten Banda |
18. |
Garam Gunung Krayan |
19. |
Susu Kuda Sumbawa |
20. |
Kopi Arabika Bajawa Flores |
21. |
Nasi Adan Krayon |
22. |
Purwaceng Dieng |
23. |
Vanilla Kep. Alor |
24. |
Carica Dieng |
25. |
Kopi Arabika Kalosi |
26. |
Enrekang |
27. |
Salak Pondoh Sleman Jogja |
28. |
Ubi Cilembu |
29. |
Kopi Arabika Flores Manggarai |
30. |
Beras Raja Uncak Kapuas Hulu |
31. |
Kopi Arabika Sipirok |
32. |
Scotch Whisky |
33. |
Kopi Arabika Pulo Samosir |
34. |
Modena/ Di Modena |
35. |
Bareh Solok |
36. |
Pala Dukono Halmahera Utara |
37. |
Kopi Robusta Kepahiang |
38. |
Sidat Marmorata Poso |
39. |
Ikan Uceng Temanggung |
40. |
Tenun Ikat Alor |
41. |
Tenun Songket Alor |
42. |
Kopi Robusta Sidikalang |
43. |
Gula Lontar Rote |
44. |
Kopi Robusta Java Bogor |
45. |
Tenun Doyo Benuaq Tanjung Isuy Jempang Kutai Barat |
46. |
Songket Silungkang |
47. |
Kopi Robusta Rejang Lebong Bengkulu |
48. |
Sagu Meranti |
49. |
Kopi Arabika Java Sukapura Tasikmalaya |
50. |
Kopi Arabika Bantaeng |
51. |
Kopi Arabika Pasuruan |
52. |
Batik Tulis Complongan Indramayu |
53. |
Batik Besurek Bengkulu |
54. |
Kopi Arabika Pegunungan Dieng Banjarnegara |
55. |
Kopi Robusta Pagar Alam |
56. |
Salak Sibetan Karangasem |
57. |
Kopi Robusta Sumatera Merangin |
58. |
Cabai Rawit Hiyung Tapin |
59. |
Beras Pulu Mandoti Enrekang |
60. |
Kopi Robusta Flores Manggarai |
61. |
Minyak Nilam Aceh |
62. |
Kopi Arabika Java Ijen-Raung |
63. |
Kopi Arabika Java Preanger |
64. |
Bandeng Asap Sidoarjo |
65. |
Kopi Robusta Lampung |
66. |
Kopi Arabika Toraja |
67. |
Tembakau Srinthil Temanggung |
68. |
Gula Kelapa Kulonprogo Jogja |
69. |
Mete Kubu Bali |
70. |
Kopi Arabika Java Sindoro-Sumbing |
71. |
Kopi Liberika Tungkal Jambi |
72. |
Kopi Arabika Sumatera Simalungun |
73. |
Cengkeh Minahasa |
74. |
Kopi Robusta Semendo |
75. |
Beras Pandanwangi Cianjur |
76. |
Pala Siau |
77. |
Garam Amed Bali |
78. |
The Java Preanger |
79. |
Lamphun Brocade Thai Silk |
80. |
Kopi Liberika Rangsang Meranti |
81. |
Jeruk Keprok Gayo Aceh |
82. |
Lada Hitam Lampung |
83. |
Tequila |
84. |
Grana Padano |
85. |
Kayumanis Koerintji |
86. |
Tunun Gringsing Bali |
87. |
Kopi Arabika Sumatera Mandailing |
88. |
Tenun Sutera Mandar |
89. |
Pala Tomandin Fakfak |
90. |
Cengkeh Moloku Kie Raha |
91. |
Jeruk SoE Mollo |
92. |
Mete Muna |
93. |
Sawo Sukatali Sumedang |
94. |
Kopi Robusta Temanggung |
95. |
Kopi Robusta Empat Lawang |
96. |
Duku Komering |
97. |
Tenun Ikat Sikka |
98. |
Kopi Arabika Sumatera Koerintji |
99. |
Kopi Robusta Pupuan Bali |
100. |
Kopi Robusta Pinogu |
101. |
Tenun Ikat Tanimbar |
102. |
Kopi Arabika Sumatera Lintong |
103. |
Kopi Robusta Tambora |
104. |
Kopi Arabika Tapanuli Utara |
105. |
Beras Siam Epang Sampit |
106. |
Kakao Berau |
107. |
Gula Aren Atinggola Gorontalo Utara |
108. |
Garam Kusamba Bali |
109. |
Kopi Arabika Hyang Argopuro |
110. |
Kopi Arabika Toba |
111. |
Tenun Nambo |
112. |
Genteng Sokka Kebumen |
113. |
Batik Tulis Nitik Yogyakarta |
114. |
Gambir Toman Musi Banyuasin |
115. |
Sarung Batik Pekalongan |
116. |
Pinghe Guanxi Honey Pomelo |
117. |
Basmati |
118. |
Gorgonzola |
119. |
Korean Red Ginseng |
120. |
Sangyod Maung Phatthalung Rice |
121. |
Khao Hom Mali Thung Kula Rong-Hai |
122. |
Kangkung Lombok |
123. |
Madu Sumbawa |
Sumber data: DJKI Kementrian Hukum dan HAM RI10
Namun sesungguhnya produk indikasi geografis yang berasal dari Indonesia hanya berjumlah 107 produk, dan 13 lainnya adalah produk dari luar Indonesia. Ini amat disayangkan, sebab Indonesia termasuk negara kepulauan yang amat kaya tradisi, budaya, pengetahuan tradisional, serta memiliki iklim tropis yang dengan tak langsung dapat menciptakan sejumlah produk yang terindikasi secara geografis yang mempunyai potensi perekonomian luar biasa.
Pembangunan ekonomi adalah perubahan konstan dari situasi ekonomi suatu masyarakat ke kondisi yang kian membaik dalam kurun waktu tertentu. Atas dasar wawasan tersebut, pengembangan perekonomian rakyat merupakan usaha untuk meningkatkan penerimaan masyarakat kea rah yang semakin membaik sejalan dengan potensi serta kecakapannya. Dalam implementasinya, tak semata hasil berupa nilai ekonomi yang menjadi target, namun prosesnya pun wajib konsisten dengan program pemerintahan daerah demi memajukan pendapatan asli daerah serta kemakmuran pemilik indikasi geografis. Stakeholder seperti industri, pemerintahan daerah, perguruan tinggi, serta organisasi masyarakat diharap berpartisipasi aktif dalam pengelolaannya sesuai asas pengelolaan modern, namun tetap mempergunakan sumber daya local sebab dilaksanakan oleh wilayah tertentu.
Indikasi geografis mempunyai peran kunci pada pembangunan perekonomian sebuah negara dengan memungkinkan produsen secara bersama menjaga bahkan meningkatkan kualitas produk mereka, mengkonsolidasikan ataupun menaikkan harga yang ada di pasar. Selain itu, citra indikasi geografis mampu menjadi instrument pemasaran yang krusial demi menguatkan kedudukan produk di pasaran dan memasuki pasar baru. Adapun konsumen rela membayar atas harga produk yang begitu terkenal karena adanya informasi mengenai asal, tradisi, serta kualitas indikasi geografis, menciptakan kekuatan dalam kesetiaan. Selain itu, penduduk lokal dengan indikasi geografis di wilayah tersebut dapat memperoleh manfaat secara langsung ataupun tak langsung.
Ada penilaian bahwa indikasi geografis Indonesia telah membuahkan hasil positif sejak terdaftar. Mantan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly mencontohkan bagaimana pengakuan sebagai produk indikasi geografis dapat secara signifikan meningkatkan nilai jual produk. Misalnya produk indikasi geografis kopi arabika Toraja dan
10 Ibid.
kopi arabika Gayo, harga akan meningkat 10 kali lipat dari yang semula Rp25.000 per kg sebelum tercatat sebagai produk indikasi geografis menjadi rata-rata Rp205.000 per kg. Begitupun dengan Muntok White Pepper, kini harganya Rp200.000 per kg, meningkat dari yang semula Rp30.000 per kg11. Peningkatan ini mampu meningkatkan nilai ekspor serta devisa negara.
Tak hanya petani serta eksportir, pengakuan indikasi geografis pun mempunyai nilai tambah ekonomi lainnya berupa pengembangan pariwisata. Adapun potensi ini dikembangkan oleh produsen Apel Batu Malang melalui agriwisata yang menarik bagi Wisman dan Wisnus. Selain petani dan juga eksportir, pengakuan indikasi geografis juga mempunyai nilai tambah ekonomi lain berupa pengembangan pariwisata. Adapun potensi ini dikembangkan oleh produsen Apel Batu Malang melalui agriwisata yang menarik bagi Wisman dan Wisnus. Berdasarkan pemaparan Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual tahun 2018, ditemukan bahwasanya sejumlah produk yang tercatat pada daftar indikasi geografis memiliki perbedaan harga yang signifikan, antara lain vanili Kepulauan Alor yang harganya meningkat 1900% serta diimbangi dengan kenaikan pasar yakni 20%, dan Kopi Arabika Simalungun yang harganya naik 25% serta diimbangi dengan kenaikan pasar yakni 20%.12
Berdasarkan potensi yang ada di sejumlah wilayah, indikasi geografis bernilai ekonomis yang tinggi, menjadikannya sebagai wadah pengembangan perekonomian daerah, namun membutuhkan keterlibatan stakeholders ketika mengelolanya dan dukungan dari pemerintah pusat maupun daerah. Ini konsistendengan sebuah teori kebaikan bersama bahwasanya aset intelektual adalah instrument guna mencapai serta meningkatkan ekonomi13. Inti dari teori ini menyatakan perlindungan kekayaan intelektual termasuk instrumen pembangunan perekonomian, yakni visi menyeluruh untuk membangun tatanan yang efektif untuk menjaga kekayaan intelektual.
-
IV. Kesimpulan sebagai Penutup
4. Kesimpulan
Indikasi geografis termasuk sumber daya alam yang dikendalikan oleh negara seperti dipertegas pada “Pasal 33 UUD 45”. Negara harus bertanggung jawab memberikan perlindungan atas hasil produk yang ditunjukkan berindikasi geografis. Sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat serta unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah, pemerintah daerah berperan krusial serta strategis guna mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, termasuk memberi perlindungan terhadap indikasi geografis. Sejumlah wewenang mutlak tersebut, antara lain perihal pendaftaran, evaluasi, serta pembinaan komoditas yang berpotensi menjadi produk indikasi geografis sejalan dengan aturan pemerintah daerah dan “UU Merek dan Indikasi Geografis”. Dirumuskannya dala ketentuan tersebut merupakan bentuk penerapan aturan internasional membahas mengenai indikasi geografis yang lebih kompleks daripada UU No. 15 Tahun 2001 yang diharap mampu memberi kepastian hukum sehingga dapat meningkatkan potensi indikasi geografis bernilai ekonomis tinggi, yang
berdampak positif pada pembangunan perekonomian lokal serta mendorong rasa kesadaran masyarakat dan pemerintah daerah guna mendaftarkannya.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Badan Penelitian dan Pengembangan HAM Kementrian Hukum dan HAM RI, Perlindungan Kekayaan Intelektual Atas Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional Masyarakat Adat, PT. Alumni, Bandung, 2013.
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementeriaan Hukum dan HAM Republik Indonesia (2015). Buku saku Indikasi Geografis Indonesia. Jakarta.
Saidin, Ok. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013.
Zainuddin Ali, M.A., Metodeologi Penelitian Hukum, (Sinar Grafika: Jakarta, 2016)
Jurnal
Arifin, Zaenal, and Muhammad Iqbal. "Perlindungan Hukum Terhadap Merek Yang Terdaftar." Jurnal Ius Constituendum 5, no. 1 (2020): 47-65.
Azmi, Muhammad Yuris. “Hak Cipta Sebagai Jaminan Fidusia Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia”, Jurnal Privat Law, Vol. IV, No. 1, Tahun 2016.
Hasil penelitian kelompok Peneliti bidang Hukum Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI mengenai “Penegakan dan Pelindungan Hukum di Bidang Merek”, di Provinsi Bali, 16-22 Mei 2016.
Sardjono, Agus, Brian Amy Prastyo, dan Desrezka Gunti Larasati, “Pelaksanaan Pelindungan Hukum Merek Untuk Pengusaha UKM Batik di Pekalongan, Solo, dan Yogyakarta”, Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.4 Oktober-Desember 2013. (496-518).
Supanto, Adi. “Indikasi Geografis”, Makalah disampaikan dalam Focus Group Discussion (FGD) Penelitian Kelompok Peneliti bidang Hukum Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI mengenai “Pelindungan dan Penegakan Hukum di Bidang Merek”, Pusat Penelitian BKD DPR RI, Jakarta, 15 Maret 2016.
Tatty A. Ramli, dkk. “Langkah-Langkah Penyusunan Buku Persyaratan Sebagai Prasyarat Pendaftaran Produk Indikasi Geografis”, Jurnal Litigasi, Vol. 16, No. 1, 2015, Hlm. 2588.
Yanto, Oksidelfa. "Konsep Perlindungan Hak Cipta dalam Ranah Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Studi Kritis Pembajakan karya Cipta Musik dalam Bentuk VCD dan DVD)." Yustisia Jurnal Hukum 4, no. 3 (2015): 746-760
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pelindungan Kekayaan Intelektual
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 8 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyelenggaraan Perkebunan
Webside
Direktorat Jenderal Hukum Kekayaan Intelektual, E-Indikasi Geografis, https://ig.dgip.go.id , diakses Jumat 13 Januari 2023.
Kanwil Kementrian Hukum dan HAM NTT, “Kemenkuhm NTT Dorong MPIG Pertahankan Sertifikat IG Terdaftar Kopi Arabika Flores Bajawa”, https://ntt.kemenkumham.go.id/berita-kanwil/berita-utama/10459-kemenkumham-ntt-dorong-mpig-pertahankan-sertifikat-ig-terdaftar-kopi-arabika-flores-bajawa, diakses Minggu 16 Desember 2022.
Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No 10 Tahun 2022, hlm. 1686-1697
Discussion and feedback