PENYELESAIAN PERKARA RANGKAP JABATAN ANGGOTA BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

(BPD) SIBANGKAJA

Eka Dimas Widya Bhawani, Fakultas Hukum, Universitas Udayana, e-mail: ekadimas061@gmail.com

Putu Edgar Tanaya, Fakultas Hukum, Universitas Udayana, e-mail: edgar_tanaya@unud.ac.id

DOI: KW.2023.v12.i04.p3

ABSTRAK

Tujuan dilakukan penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya pelanggaran hukum (rangkap jabatan) dan untuk mengetahui proses penyelesaian perakara rangkap jabatan. Studi ini menggunakan metode penelitian empiris dengan menggunakan jenis pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach) dan pendekatan fakta (The Fact Approach). Hasil studi menunjukkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pelanggaran yaitu ekonomi, moral, kepentingan dan kesempatan, dengan faktor ekonomi menjadi faktor utama seseorang melanggar hukum. Penyelesaian pelanggaran rangkap jabatan dapat dilakukan dengan dua mekanisme yaitu: 1. Pengunduran diri atau 2. Pemberhentian.

Kata Kunci: BPD, Rangkap Jabatan, Penyelesaian Perkara Rangkap Jabatan

ABSTRACT

The purpose of this research is to determine the factors that cause legal violations (dual positions) and to determine the process of resolving cases of multiple positions.This study uses empirical research methods using a statutory approach (The Statute Approach) and a fact approach (The Fact Approach). The results of the study show that the factors that cause violations are economic, moral, interests and opportunities, with economic factors being the main factor in someone breaking the law. Resolving violations of multiple positions can be carried out using two mechanisms, namely: 1. Resignation or 2. Dismissal.

Keywords: BPD, Multiple Positions, Settlement of Multiple Position Cases

  • I.   Pendahuluan

    1.1  Latar Belakang

Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Pasca Amandemen menyatakan “Negara indonesia adalah negara hukum”. Ini berarti segala sesuatu yang berkaitan dengan negara dan masyarakat harus sesuai dengan hukum yang ada. Hal ini dikarenakan untuk mengatur kehidupan sekelompok orang atau masyarakat diperlukan peraturan didalamnya, dimana peraturan tersebut sebagai tata cara bertingkah laku dalam bermasyarakat, guna untuk melakukan control social dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum hampir menjamah seluruh lapisan dalam masyarakat maupun personal, begitu pula dalam dunia pekerjaan tidak luput dari yang namanya hukum. Hukum dalam dunia pekerjaan dikenal dengan sebutan etika profesi atau juga dikenal dengan istilah kode etik.1

Kode etik profesi merupakan suatu nilai atau norma yang dibuat secara tertulis dan sistematik diterima oleh suatu kelompok profesi, yang dibuat guna dijadikan sebagai dasar dalam menjalankan profesi dan untuk menjamin kualitas profesi tersebut2. Kode etik juga dapat diartikan sebagai pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan. Dalam sebuah organisasi atau institusi, kode etik sangat penting untuk mencapai tujuan dari institusi atau organisasi tersebut. Kode Etik memiliki fungsi untuk, yaitu:

  • 1.    Sebagai alat kontrol social,

  • 2.    Mencegah terjadinya campur tangan pihak ketiga,

  • 3.    Mencegah terjadinya problem,

  • 4.    Mencegah terjadinya tindakan kesewenang-wenangan atau berlebihan.3

Berdasarkan Pasal 1 Angka 10 Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 4 Tahun 2018 Tentang Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang menyatakan “Badan Permusyawaratan Desa yang selanjutnya disingkat BPD adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis”. BPD mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses pemerintahan desa. Dikarenakan sesaui yang disebutkan dalam Pasal 30 Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 4 Tahun 2018 tentang BPD menyatakan “BPD mempunyai fungsi: a. membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa; b. menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa; dan c. melakukan pengawasan kinerja Perbekel”. Pemerintahan Desa berdasarkan Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Desa menyatakan “Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Dalam hal ini, menurut Nurcholis, BPD dalam posisi sebagai bagian dari pemeritahan desa mempunyai peran dalam melaksanakan atau menjalankan kebijakan pemerintah dan desa, di mana BPD bekerja sama dengan kepala desa untuk menentukan dan mengesahkan peraturan desa, dengan mempertimbangkan dan membimbing aspirasi masyarakat.4 Selain itu BPD sebagai lembaga social dengan kata lain sebagai mitra kerja bersama dengan pemerintah desa, BPD berperan penting dalam membantu pelaksanaan pemerintahan desa, meliputi pemenuhan aspirasi masyarakat desa, legislasi dan pengawasan, serta penggunaan dana desa. Pemerintah desa merupakan individu-individu maupun badan yang mempunyai wewenang untuk terlibat dalam penyelenggara perihal pemerintahan desa dan kepentingan masyarakat desa yang menjadi bagian dalam sistem pemerintahan negara Republik Indonesia. Pemerintah desa sendiri didalamnya terdiri atas pemerintah desa, organisasi desa, dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang setiap badan yang ada

didalam pemerintahan desa tersebut, mempunyai fungsi, tugas serta kewenangan yang berbeda.5

Dalam Pasal 17 huruf e Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 4 Tahun 2018 Tentang BPD mengatur terkait larangan yang tidak boleh dilakukan oleh anggota BPD menyatakan “anggota BPD dilarang merangkap jabatan sebagai Kepala Desa dan perangkat Desa”. Namun seringkali ditemukan fenomena perkara laporan anggota BPD yang terbukti melakukan rangkap jabatan yang merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap kode etik. Salah satu fenomena rangkap jabatan anggota BPD terjadi di Desa Sibangkaja, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung. Yang mana terdapat laporan anggota BPD yang terbukti merangkap sebagai pendamping desa.

Sebagai perbandingan serta pembuktian orisinalitas pada penelitian ini, berikut terdapat penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini dan setelah ditelaah terdapat perbedaan dari segi subyek dan obyek pembahasan serta hasil penelitian. Pertama yaitu penelitian oleh Muhamad Rivaldi Kelana yang berjudul “Problem Yuridis Rangkap Jabatan Di Instansi Pemerintahan (Studi Kasus Walikota Tri Rismaharini)”. Penelitian ini membahas terkait apakah rangkap jabatan di institusi pemerintahan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, serta tinjauan fiqih siyasah terhadap rangkap jabatan. Dalam penelitian ini yang cenderung menggali norma-norma atau nilai-nilai terkait pengaturan rangkap jabatan di intitusi pemerintahan dalam peraturan perundang-undangan. Hasil penelitian-nya yaitu rangkap jabatan merupakan larangan bagi Pejabat Negara yang diatur melalui Konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, serta ditinjau melalui Fiqih Siyasah, larangan praktik rangkap jabatan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan sudah sesuai dengan ketentuan larangan ragkap jabatan dalam teori al-wizarah Imam al-Mawardi.6

Kedua yaitu penelitian yang dilakukan oleh Octa Enno Febrianti yang berjudul “Kebijakan Kepala Desa Dalam Menempatkan Rangkap Jabatan Perangkat Desa (Studi Kasus Di Kecamatan Limun Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi)”. Penelitian ini berfokus pada bagaimana Keputusan Kepala Desa Dalam Menempatkan Rangkap Jabatan, Bagaimana Perangkat Desa Dalam Menjalankan tugas secara rangkap jabatan, serta Bagaimana Tanggapan Dari Mayarakat Terhadap Kepuasan Pelayanan Publik yang dilakukan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan yaitu keputusan kepala desa dalam menempatkan rangkap jabatan merupakan sesuatu yang melanggar aturan karena sudah diatur didalam ketentuan peraturan Perundang-Undangan terkait larangan rangkap jabatan oleh perangkat desa, rangkap jabatan ini juga berpengaruh terhadap kualitas kerja dari perangkat desa yang merangkap jabatan ters ebut dikarenakan menimbulkan kurangnya efektivitas dalam menjalankan tugas, serta terdapat beberapa tanggapan dari masyarakat yang berpandangan bahwa hal tersebut telah melanggar aturan yang ada serta tidak adil secara ekonomi dikarenakan

masyarakat merasa hal tersebut menutup peluang bagi pengangguran untuk mendapatkan suatu pekerjaan.7

Ketiga yaitu penelitian yang dilakukan oleh Ryan Anggara yang berjudul “Badan Permusyawaratan Desa Di Desa Neglasari Kecamatan Banjar Kota Banjar Dalam Melaksanakan Fungsi Pengawasan Kinerja Kepala Desa”. Penelitian ini berfokus pada Bagaimana BPD di Desa Neglasari melaksanakan fungsi pengawasan kegiatan pemerintah desa. Hasil penelitian yaitu BPD dalam melaksanakan fungsi pengawasan kinerja kepala desa di desa Neglasari sudah sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 110 Tahun 2016 Tentang Badan Permusyawaratan Desa, sehingga pelaporan kegiatan pemerintahan desa berjalan baik.8

Berdasarkan Latar belakang permasalahan diatas, penulis tertarik melakukan penelitian terkait “Penyelesaian Rangkap Jabatan Anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Sibangkaja”

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Apa yang menjadi faktor-faktor penyebab terjadinya pelanggaran dalam dunia professional (rangkap jabatan) meskipun sudah terdapat peraturan yang mengaturnya atau kode etik?

  • 2.    Bagaimana proses penyelesaian perkara rangkap jabatan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Sibangkaja?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

  • 1.    Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya rangkap jabatan dalam dunia professional, sehingga dapat dijadikan sebagai

evaluasi kedepannya

  • 2.    Untuk  mengetahui  penyelesaian  perkara rangkap jabatan Badan

Permusyawaratan Desa (BPD) Sibangkaja, baik proses penyelesaian perkara maupun hambatan-hambatan dalam penyelesaian perkara rangkap jabatan.

  • II.    Metode Penelitian

Metode penelitian digunakan ialah penelitian hukum empiris yakni studi tentang hukum-hukum yang beroperasi atau terjadi dalam masyarakat.9 Dalam Pasal 17 huruf e Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 4 Tahun 2018 Tentang BPD mengatur terkait larangan yang tidak boleh dilakukan oleh anggota BPD menyatakan “anggota BPD dilarang merangkap jabatan sebagai Kepala Desa dan perangkat Desa”. Namun seringkali ditemukan fenomena perkara laporan anggota BPD yang terbukti melakukan rangkap jabatan yang merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap kode etik. Salah satu fenomena rangkap jabatan anggota BPD terjadi di Desa

Sibangkaja, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung. Yang mana terdapat laporan anggota BPD yang terbukti merangkap sebagai pendamping desa. Menggunakan jenis pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach) dan pendekatan fakta (The Fact Approach). Sumber data dalam studi ini yaitu 1. Data primer yaitu data yang diperoleh melalui studi di lapangan seperti wawancara dan observasi; dan 2. Data sekunder yaitu data yang diperolrh melalui studi bahan pustaka yaitu a). Bahan Hukum Primer yaitu Peraturan Perundang-Undangan, Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 4 Tahun 2018 Tentang BPD, Peraturan Permendagri Nomor 110 Tahun 2016; b.Bahan Hukum Sekunder yaitu jurnal-junal dan skripsi. Teknik pengumpulan data dalam studi ini yaitu Teknik Studi Dokumentasi, Teknik Wawancara, dan Teknik Observasi. Teknik analisis data yang digunakan dalam studi ini adalah analisis kualitatif semua data yang tersedia

  • III.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1    Faktor-faktor penyebab terjadinya rangkap jabatan sebagai bentuk pelanggaran dalam dunia professional

Rangkap jabatan merupakan fenomena umum yang sering di jumpai dalam dunia kerja atau profesi. Berdasarkan pendapat De Georde profesi merupakan suatu pekerjaan pokok mengandalkan keahlian guna untuk menghasilkan uang atau gaji10. Rangkap jabatan seringkali dapat berakibat menimbulkan konflik atau permasalahan karena terdapatnya unsur kepentingan dan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).11 Pemberian kekuasaan yang overload (berlebih) dapat menyebabkan orang dengan mudah melakukan suatu tindakan diluar batas yang dimiliki atau menyalah gunakan kekuasaan yang dimiliki, dikarenakan adanya konflik kepentingan didalamnya.12 Berdasarkan pandangan Lord Acton terkait teori kekuasaan yang berpendapat bahwa “Power tends to corrupt, and absolut power corrupts absolutely” yang berarti bahwa kekuasaan cenderung merusak, dan kekuasaan mutlak benar-benar merusak.13 Sehingga untuk mencegah terjadi pemberian kekuasaan yang berlebih, maka terkait hal tersebut diatur secara tertulis dalam peraturan perundang-undangan ataupun kode etik maupun tidak tertulis dalam norma-norma yang tumbuh dan berkembang dalam masyakarat.

Hukum tertulis mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat, dikarenakan didalamnya menganut asas kepastian hukum. Namun, meskipun telah diatur secara pasti terkait rangkap jabatan, tidak dapat dipungkiri bahwa seringkali terjadi fenomena-fenomena pelanggaran terkait rangkap jabatan. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan Sri Sukra Arnety, SE.Ak selaku penggerak swadaya masyarakat pada tanggal 14 Juni 2022 terkait penyebab terjadinya rangkap jabatan, beliau berpendapat hal ini terjadi karena berbagai faktor seperti faktor ekonomi. Untuk memenuhi kebutuhan baik sandang, pangan dan papan yang kian hari semakin naik. Dalam dunia ekonomi nilai tukar merupakan sesuatu yang sangat

penting, salah satu contohnya ialah uang. Selain itu, faktor regulasi atau aturan (hukum) yang mana hukum ini keluar belakangan atau secara berkesinambungan, menjadi penyebab terjadinya rangkap jabatan, karena dianggap sebagai peluang seseorang dapat melakukan rangkap jabatan tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan Ida Bagus Putu Darma Wijaya, SS., Msi selaku kepala bidang Pemberdayaan Lembaga dan Keswadayaan Desa/ Masyarakat Kabupaten Badung pada 30 Juni 2022 terkait penyebab rangkap jabatan beliau berpendapat faktor utama yang menjadi alasannya ialah ekonomi, guna untuk mendapatkan suatu penghasilan yang lebih, namun dalam pengaturannya anggota BPD dilarang merangkap jabatan yang sumber penghasilannya bersumber dari APBD maupun APBN. Serta, menurut Bayu Surya, SH selaku Staff Kontrak bagian Administrasi pada tanggal 20 Juni 2022 terkait penyebab terjadinya rangkap jabatan, beliau berpendapat pada setiap makhluk hidup pada dasarnya berlomba-lomba untuk mempertahankan kehidupannya, melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, yang mana pada era ini uang merupakan nilai tukar yang paling umum digunakan dalam pemenuhan kebutuhan maupun keinginan. Sehingga seringkali orang-orang berlomba-lomba untuk memperbesar peluang terpenuhinya kebutuhan. Hal ini sering kali menjadi alasan seseorang melakukan pelanggaran terhadap hukum yang ada. Selain itu, kesempatan merupakan faktor pendukung yang menentukan dapat dilakukannya pelanggaran atau tidak. Sehingga berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan faktor ekonomi menjadi salah satu faktor signifikan seseorang melakukan pelanggaran terhadap hukum.

Berikut faktor-faktor yang menyebabkan seseorang atau kelompok melakukan pelanggaran rangkap jabatan yaitu sebagai berikut:

  • 1.    Faktor ekonomi

Ekonomi merupakan salah satu indicator tolok ukur terkait kesejahteraan suatu kehidupan yang dimiliki oleh seorang individu maupun kelompok. Dalam teori ekonomi berkaitan dengan kemampuan untuk memperoleh dan mendistribusikan sumber daya. Ketidak mampuan dalam menghasilkan pendapatan yang sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan menyebabkan seseorang melakukan tindakan diluar batas aturan yang ada14. Umumnya keinginan untuk memiliki barang dan uang sebanyak-banyaknya atau kekayaan, menjadi alasan seorang maupun kelompok untuk melakukan berbagai cara untyk memenuhi hal tersebut termasuk tindakan yang melanggar hukum.15

  • 2.    Faktor Moral

Moral diartikan sebagai suatu keyakinan yang dimiliki dan diyakini individu atau seseorang dalam membedakan dan menentukan sikap baik maupun buruk.16 Ini berarti moral bersumber dari hati nurani setiap orang dalam membedakan baik maupun buruk guna menentukan sikap yang akan dilakukan. Moralitas merupakan suatu penentuan sikap baik maupun buruk yang dipengaruhi oleh keadaan lingkungan individu itu sendiri baik berupa

norma-norma maupun peraturan yang ada.17 Dalam Teori Psikoanalitis oleh Sigmund Freud yang menjelaskan keterkaitan antara “id”, “ego”, dan “superego” dalam mempengaruhi manusia dalam mengambil suatu keputusan maupun bertindak. Id merupakan bagian dari dalam diri manusia yang selalu berusaha meredam ketegangan dengan kepuasan, yang tidak bisa dijangkau melalui alam sadar.18 Ego merupakan faktor penentu terwujudnya id, yang dijangkau secara sadar.19 Superego adalah perwujudan batin dari nilai-nilai dan cita-cita tradisional masyarakat, yang diajarkan orang tua kepada anak-anaknya dengan memberikan hadiah atau hukuman, menuntut agar mereka sempurna dalam apa yang telah diajarkan, meskipun terkadang kesempurnaan ini tidak sesuai dengan kenyataan.20 Seseorang melakukan penyimpangan atau pelanggaran terhadap aturan yang ada dikarenakan ketidak mampuan ego dalam menjembati id dan superego.21

  • 3.    Faktor kepentingan

Menjadi salah satu faktor seseorang melakukan pelanggaran ataupun kejahatan. Faktor kepentingan ini berasal dari dalam maupun luar pelaku. Menurut George B. Vold dan Austin T. Vold yang dikenal dengan istilah teori konflik yang berpendapat bahwa secara alamiah dalam suatu masyarakat terbentuk kelompok yang berlomba atau bersaing dengan kelompok lainnya, untuk memperjuangankan kepentingan masing-masing.22 Timbulnya perilaku menyimpang oleh kelompok berkuasa dalam kehidupan bermasyarakat umumnya terjadi dalam proses pembentukan hukum dikarenakan dipangaruhi faktor kepentingan baik pribadi maupun kelompok.23

  • 4.    Faktor kesempatan

Kesempatan merupakan salah satu faktor pendukung utama dalam keberhasilan seseorang maupun kelompok dalam melakukan sesuatu. Berdasarkan Teori Kesempatan atau yang disebut dengan istilah “opportunity theory” dalam ilmu kriminologi berdasarkan pendapat Richard A. Cloward dan Lloyd E. Ohlin menyatakan kejahatan dan perilakunya bersifat oportunistik, baik potensi untuk menyesuaikan diri dengan norma maupun potensi untuk menyimpang dari standar24, baik kesempatan untuk mematuhi norma maupun kesempatan untuk melanggar norma.25

Dari faktor-faktor diatas, faktor ekonomi menjadi alasan utama yang menyebabkan seseorang melakukan pelanggaran (rangkap jabatan). Faktor-faktor tersebut yang mempengaruhi manusia baik individu maupun kelompok dalam menentukan pengambilan keputusan maupun tindakan. Menjadi dorongan bagi individu maupun kelompok untuk melalkukan hal-hal yang tidak semestinya

dilakukan (melanggar aturan-aturan yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan bermasyarakat). Tindakan-tindakan berupa penyimpangan terhadap norma maupun hukum ini, tentu berdampak negative serta merugikan tatanan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat.

  • 3.2    Proses penyelesaian perkara pelanggaran rangkap jabatan Badan

    Permusyawaratan Desa Sibangkaja

Hukum dalam dunia kerja atau profesionalitas atau yang lebih dikenal dengan istilah kode etik, yang mana meskipun di dalamnya yang secara jelas telah mengatur terkait keanggotaan, tugas, wewenang, fungsi, maupun larangan yang tidak boleh dilakukan. Namun pada kenyataannya tetap saja seringkali ditemukan terjadinya pelanggaran terhadap peraturan yang sudah ada. Sebagai salah satu contoh pelanggaran kode etik yang baru-baru ini terjadi yaitu laporan perkara terkait rangkap jabatan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Desa Sibangkaja yang merangkap jabatan sebagai pendamping desa. Sesuai dengan peraturan yang diatur dalam Pasal 26 Huruf e Permendagri Nomor 110 Tahun 2016 dan Pasal 17 Huruf e Peraturan Daerah kabupaten Badung Nomor 4 Tahun 2018 terkait larangan atau hal yang tidak boleh dilakukan oleh anggota BPD yang menyebutkan bahwa salah satu larangan yang tidak boleh dilakukan yaitu “anggota BPD dilarang merangkap jabatan sebagai Kepala Desa dan Perangkat Desa”. Dalam Keputusan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal Dan Transmigrasi Nomor 40 Tahun 2021 Tentang Petunjuk Teknis Pendampingan Masyarakat Desa pada bagian Bab I huruf f terkait definisi nomor 16 menyatakan “Tenaga Pendamping Profesional yang selanjutnya disingkat TPP adalah sumber daya manusia yang memiliki kualifikasi dan kompetensi di bidang pendampingan pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa yang direkrut oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembangunan Desa dan Perdesaan, Pemberdayaan Masyarakat Desa, percepatan pembangunan daerah tertinggal, dan transmigrasi”. Dan dalam Bab I huruf f terkait definisi nomor 18 yang menyatakan “Pendamping Desa yang selanjutnya disingkat PD adalah TPP yang memiliki wilayah kerja di kecamatan”.

Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan Ida Bagus Putu darma Wijaya, SS., Msi pada 30 Juni 2022 menyatakan bahwa Pendamping Desa dilarang menjabat sekaligus sebagai jabatan yang sumber dananya baik gaji maupun tunjangan berasal dari APBD, APBN, maupun Dana Desa yang sama. Apabila ditelaah berdasarkan isi dalam Bab III Tenaga Pendamping Desa bagian huruf G Etika Profesi TPP Angka 1 Kode Etik huruf b terkait larangan tepatnya pada angka 18 Keputusan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal Dan Transmigrasi Nomor 40 Tahun 2021 Tentang Petunjuk Teknis Pendampingan Masyarakat Desa yang menyatakan“menduduki jabatan pada lembaga yang sumber pendanaan utamanya berasal dari APBN, APBD dan APB Desa”. Dan dalam Huruf c terkait Etika Hubungan Kerja Angka 1 mengenai Etika Hubungan dengan Pihak yang Didampingi Tepat nya pada bagian huruf b). menyatakan “bersikap dan berperilaku sopan, sabar, dan tenang dalam memberikan edukasi, bimbingan, mendengarkan dan merespon pendapat, gagasan, dan pertanyaan dari Pemerintah Desa, BPD dan masyarakat Desa”; huruf c) menyatakan “mendampingi secara langsung dan bekerja bersama dengan kepala Desa, BPD dan masyarakat Desa dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan pertanggungjawaban Pembangunan Desa”; dan huruf d) yang menyatakan“proaktif terhadap pemenuhan hak dan kebutuhan Pemerintah Desa, BPD dan masyarakat

Desa secara profesional, adil, tanpa diskriminasi”. Berdasarkan Bab IV terkait Pengelolaan Tenaga Pendamping Profesional Huruf A Kualifikasi TPP Angka 1 Kualifikasi umum huruf d. menyatakan “tidak sedang memiliki ikatan dinas/ikatan kontrak kerja dengan lembaga/instansi pemerintah maupun nonpemerintahan lain, baik dengan sumber pembiayaan APBN, APBD Provinsi dan Kabupaten/kota maupun dengan sumber pembiayaan lainnya yang sifatnya mengikat”.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan bersama Bapak Ida Bagus Putu Darma Wijaya Selaku Kabid PKLD pada Tanggal 30 Juni 2022 menyatakan Terkait anggota BPD yang merangkap jabatan berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 110 Tahun 2016, yang mana apabila terdapat anggota BPD yang merangkap jabatan sebagai ASN, Polri, ABRI, harus mendapatkan izin dari atasan yang bersangkutan. Namun apabila anggota BPD yang merangkap jabatan sebagai pendamping desa maka anggota tersebut harus memilih salah satu nya. Berdasarkan Pasal 13 huruf e Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 110 Tahun 2016 Tentang Badan Permusyawaratan Desa (BPD) terkait persyaratan anggota BPD menyatakan “bukan sebagai perangkat Pemerintah Desa”. Sehingga apabila dilihat dari bunyi Pasal tersebut seseorang yang merupakan perangkat pemerintahan desa tidak diperbolehkan untuk diangkat menjadi anggota BPD. Dikarenakan BPD dengan Perangkat desa merupakan satu kesatuan dalam sistem pemerintahan yang mana mempunyai posisi yang sejajar, serta berfungsi untuk saling mengawasi dan mengoreksi satu sama lain guna menjalankan amanat dari masyarakat.26

Berdasarkan hasil dari wawancara yang telah dilakukan dengan Bapak Bayu Surya, SH selaku staff administrasi pada tanggal 20 Juni 2022 menyatakan bahwa Seorang kepala desa atau perangkat desa tidak boleh merangkap jabatan sebagai anggota BPD. Dikarenakan salah satu alasan BPD dibentuk yaitu sebagai pengawasan terhadap proses pelaksanaan pemerintahan desa maupun kinerja Kepala Desa dan Perangkat Desa. Sehingga apabila anggota BPD merangkap sebagai kepala desa ataupun perangkat desa, maka hal ini akan memungkinkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Sehingga berdasarkan hal tersebut anggota BPD yang terbukti telah melakukan pelanggaran terkait hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh anggota BPD serta tidak terpenuhinya persyaratan untuk menjadi anggota BPD, maka anggota tersebut harus melakukan pemberhentian baik dengan mengundurkan diri ataupun diberhentikan. Dalam proses penyelesaian perkara ini juga menganut doktrin delik aduan. Yang mana untuk dapat memproses penyelesaian perkara, terlebih dahulu harus adanya aduan atau laporan dari pihak atau badan desa yang diwakilkan, yang merasa dirugikan atau berpotensi akan dirugikan terutamanya bagi kepentingan masyarakat desa yang bersangkutan27. Berdasarkan Pasal 18 ayat (2) Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 4 Tahun 2018 terkait pemberhentian anggota BPD huruf c menyatakan “apabila tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota BPD;” dan huruf e “melanggar larangan sebagai anggota BPD” maka anggota BPD tersebut dapat diberhentikan. Sehingga untuk menyelesaikan perkara ini di mana yang bersangkutan menolak untuk memilih salah satu jabatan

(mengajukan pengunduran diri pada salah satu jabatan), maka yang bersangkutan harus diberhentikan.

Namun dalam proses penyelesaian perkara ini terjadi hambatan dari pihak yang bersangkutan (anggota BPD yang merangkap jabatan sebagai pendamping desa). Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan penggerak swadaya masyarakat Sri Sukra Arnety, SE.Ak pada tanggal 14 Juni 2022 menyatakan bahwa dalam proses penanganan penyelesaian laporan ini ditemukannya hambatan, hal ini dikarenakan yang bersangkutan tidak mau memilih salah satu dari jabatannya tersebut. Dengan dalih yang bersangkutan tidak mengetahui adanya pengaturan tersebut, yang bersangkutan menjabat sebagai anggota BPD sekaligus sebagai pendamping desa di dua desa yang beda, serta yang bersangkutan membandingkan hal ini dengan fenomena-fenomena di luar masih banyak juga anggota BPD yang merangkap jabatan namun tidak di laporkan untuk di proses. Dalam dunia hukum mengenal istilah “Ignorantia Legis Excusat Neminem” atau juga yang dikenal dengan sebutan “fiksi hukum”. Yang berpandangan bahwa setiap individu atau orang telah dianggap tahu hukum semenjak suatu peraturan telah diperundangkan28. Sehingga berdasarkan hal tersebut, ketidaktahuan individu atau kelompok terhadap hukum, tidak dapat begitu saja melepas individu atau kelompok dari sanksi hukum sebagai akibat dari penyimpangan yang telah dilakukan.

Dalam perkara ini, telah adanya laporan dari pihak desa yang diwakilkan terkait pihaknya yang ternyata terbukti tidak memenuhi persayaratan yang ada, dikarenakan terbukti menjabat sebagai pendamping desa dan juga menjabat sebagai anggota Badan Permusyawaratan Desa. Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan dengan Sri Sukra Arnety, SE.Ak dan Ida Bagus Putu Darma Wijaya, SS., MSi menyatakan bahwa untuk melakukan pelaporan terkait pelanggaran kode etik (rangkap jabatan anggota BPD sekaligus menjadi pendamping desa) terlebih dahulu harus adanya laporan berupa berita acara yang diajukan oleh desa yang di wakilkan, sehingga dapat dijadikan sebagai dasar untuk menindak lanjuti permasalahan tersebut. Namun apabila yang bersangkutan tidak berkenan memilih salah satu dari jabatan tersebut (mengundurkan diri dari salah satu jabatan). Maka yang bersangkutan akan diberhentikan. Dengan mekanisme pemberhentiannya yaitu dari bawah yang dalam hal ini yaitu suara yang di wakilkan, yang kemudian dilaporkan ke camat, yang selanjutnya dikeluarkannya SK Bupati suntuk melakukan pemberhentian. Berdasarkan Pasal 19 Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 4 Tahun 2018 Tentang BPD terkait mekanisme pemberhentian anggota BPD dengan mekanisme yaitu “Pemberhentian anggota BPD diusulkan oleh pimpinan BPD berdasarkan hasil musyawarah BPD kepada Bupati melalui Perbekel atau kepala desa. Yang selanjutnya Perbekel menindaklanjuti usulan pemberhentian anggota BPD kepada Bupati melalui Camat dengan rentang maksimal paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usul pemberhentiananggota BPD yang bersangkutan. Yang kemudian Camat menindaklanjuti usulan pemberhentian anggota BPD, kepada Bupati dengan rentang waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usul pemberhentian. Selanjutnya, Bupati meresmikan pemberhentian anggota BPD dengan

rentang waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya usul pemberhentian anggota BPD melalui Surat Keputusan (SK) Bupati”.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut dan mencegah terjadinya hal-hal yang lebih merugikan kedepannya baik bagi masyarakat maupun negara, maka harus dilakukannya pemberhentian terhadap anggota BPD yang telah terbukti tidak memenuhi persyaratan sebagai anggota BPD. Pemberhentian mesti segera dilakukan sebagai tindakan terhadap laporan yang telah diajukan untuk mencegah terjadinya kemungkinan-kemungkinan yang akan merugikan masyarakat maupun negara. Rangkap jabatan berpotensi menyebabkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dikarenakan adanya “power of abuse”. Yang seringkali, dijadikan sebagai kesempatan oleh beberapa oknum-oknum tertentu untuk melakukan praktik korupsi. Penyalahgunaan kekuasaan sering kali dijadikan sebagai dasar dari terjadi korupsi terhadap pengelolaan dana desa yang dilakukan dengan mendistribusikan dana desa untuk kegiatan lain yang menguntungkan untuk kepentingan pribadi maupun kelompok pelaku, namun pertanggungjawaban kegiatan tersebut disesuaikan dengan Rencana Anggaran Belanja Desa, sehingga pendistribusian tersebut tidak dapat dibuktikan pertanggung jawabannya.29

Sehingga diperlukannya upaya penganggulangan untuk mencegah terjadinya persoalan-persoalan yang berpotensi merugikan masyarakat maupun negara. Dilakukan dengan memperkecil kesempatan kemungkinan untuk dilakukannya pelanggaran maupun kejahatan, meningkatkan kualitas sumber daya manusia terkait kesadaran hukum guna kepentingan bersama, penanaman nilai moral pada diri setiap individu, serta meningkatkan kepekaan bersama melalui pengajuan aspirasi-aspirasi maupun pengawasan dari berbagai pihak untuk saling bekerjasama dalam upaya penyelesaian persoalan maupun pencegahan persoalan.30

  • IV.    Kesimpulan sebagai Penutup

    4. Kesimpulan

Faktor utama penyebab seseorang melakukan rangkap jabatan ialah faktor ekonomi. Faktor ekonomi seringkali menjadi alasan utama seseorang bertindak diluar norma yang ada atau bahkan menyakiti orang lain yang menyebabkan terjadinya pelanggaran hukum yang ada di masyarakat. Selain itu faktor-faktor tersebut yang bersumber dari dalam maupun luar diri pelaku pelanggaran hukum seperti faktor moral, kepentingan, dan kesempatan. Yang mana kemudian Faktor-faktor tersebut yang mempengaruhi ego manusia dalam pengambilan keputusan yang akan dilakukan atau telah dilakukan manusia dan menjadi peluang bagi pelaku untuk melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari yang telah diatur dalam hukum, seperti halnya terjadi peristiwa rangkap jabatan anggota Badan Permusyawaratan Desa Sibangkaja. Dalam penyelesaian perkara rangkap jabatan anggota Badan Permusyawaratan Desa Sibangkaja yang merangkap jabatan sebagai pendamping desa dapat dilakukan dengan dua cara yaitu; 1. Memilih salah satu jabatan yang diinginkan dengan mekanisme mengajukan surat pengunduran diri kepada salah satu instansi jabatan, dan 2. Dilakukan pemberhentian kepada yang

bersangkutan. Dengan mekanisme adanya pelaporan dari suara yang di wakilkan yang kemudian dilaporkan pada camat, yang selanjutnya melalui SK Bupati untuk diberhentikannya anggota yang bersangkutan. Serta melakukan upaya penangulangngan dengan memperkecil kesempatan untuk melakukan pelanggaran, dengan kerjasama partisipasi masyarakat dengan pemerintah guna mengatasi dan mencegah kemungkinan-kemungkinan terjadinya hal-hal yang merugikan.

Daftar Pustaka

Buku

Hasibuan, Abdurrozzaq. Etika Profesi Profesionalisme Kerja. (Medan, UISU Press, 2017) Muhaimin. Metode Penelitian Hukum. Mataram: Mataram University Press. (2020).

Rauf, Dr. Rahyunir, and Sri Maulidiah. Badan Permusyawaratan Desa. (Pekanbaru, Zanafa Publishing, 2016)

Susanti, Emilia, and Eko Rahardjo. Hukum dan Kriminologi. (Bandar Lampung, AURA CV. Anugrah Utama Raharja Anggota IKAPI, 2018)

Jurnal

Corputty, Patrick. “Analisis Polarisasi Tindak Pidana Korupsi Dana Desa Di Wilayah Kepulauan”. Jurnal Belo 8, no. 1 (2022): 85-101

Husin, Husin. “Id, Ego dan Superego Dalam Pendidikan Islam”. Al Qalam: Jurnal Ilmiah Keagamaan dan Kemasyarakatan 11, no. 23 (2017): 47-64

Kumendong, Wempi Jh. “ Penyidikan Delik Aduan Tanpa Pengaduan”. Jurnal Hukum Unsrat 23, no. 9 (2017): 53-62

Maxno , Ishak Bagea, and Asrul. “Implementasi Fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Terhadap Pengawasan Kepala Desa”. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran 2, no. 1 (2021): 1-14

Nurohmah, Ai Nurul, and Dini Anggraeni Dewi. “Penanaman Nilai Moral dan Karakter di Era Pandemi melalui Pendidikan dengan Mengimplementasikan Nilai-Nilai Pancasila”. Journal of Education, Physchology and Counseling 3, no. 1 (2021): 119-128

Paraton, Kurniawan Wibisono. “Implementasi Peran Badan Permusyawaratan Desa Dalam Penyusunan Peraturan Desa Di Desa Sidorejo”. Jurnal Sapientia et Virtus 5, no. 1 (2020): 102-121

Rani, Febrina Hertika, Dea Justicia Ardha, and Heni Marlina. “Memahami Hubungan Teori Psikoanalisis dan Teori Pengembangan Moral terhadap Terjadinya Suatu Kejahatan di Masyarakat”. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi 22, no. 2 (2022): 1021-1026

Rizal, Moch. Choirul, M. Lutfi Rizal Farid, Dika Andy Prasetya, Rizki Dermawan, and Mochammad Agus Rachmatulloh. “Setahun Lembaga Studi Hukum Pidana (LSHP): Peningkatan Kapasitas Masyarakat Melalui Media Publikasi Berbasis Partisipasi”. Jurnal Pengabdian Hukum Kepada Masyarakat 1, no. 3 (2021): 242254

Safitri, Rantika. “Analisis Penyalahgunaan Alokasi Dana Desa Oleh Kepala Desa”. Jurnal Petitum 2, no. 1 (2022): 45-55

Septaria, Renny and Siti Mutmainnah Zulfaridatulyaqin. “Tingkat Kriminalitas di Kota Banjarmasin dengan Pendekatan Ekonomi”. Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan 4, no. 1 (2021): 50-64

Sinaga, Niru Anita. “Kode Etik Sebagai Pedoman Pelaksanaan Profesi Hukum Yang Baik”. Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara 10, no. 2 (2020): 1-34

Siregar, Moh. Baris, Catur Wido Haruni, and Surya Anoraga. “Analisis Larangan Rangkap Jabatan Menteri Yang Berasal Dari Unsur Partai Politik Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”. Indonesia Law Reform Journal 1, no. 1 (2021): 88110

Tandungan, Edmondus Sadesto, and Muttaqin, Elfran Bima. “Budaya Longko’ Dalam Penegakan Kode Etik Anggota DPRD Kabupaten Tana Toraja”. Jurisprudentie Universitas Kristen Indonesia Paulus 7, no. 1 (2020): 14-29

Skripsi

Anggara, Ryan. “Badan Permusyawaratan Desa Di Desa Neglasari Kecamatan Banjar Kota Banjar Dalam Melaksanakan Fungsi Pengawasan Kinerja Kepala Desa”. Skripsi Sarjana, Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah), Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta (2018)

Febrianti, Octa Enno. “Kebijakan Kepala Desa Dalam Menempatkan Rangkap Jabtan Perangkat Desa (Studi Kasus Di Kecamatan Limun Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi)”. Skripsi Sarjana, Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Syari’ah, Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifudin Jambi (2021)

Kelana, Muhamad Rivaldi. “Problem Yuridis  Rangkap Jabatan Di Instansi

Pemerintahan (Studi Kasus Walikota Tri Rismaharini)”. Skripsi Sarjana, Program Studi Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah Dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah Jakarta (2022)

Peraturan Perudang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasca Amandemen

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Desa

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 110 Tahun 2016 Tentang Badan

Permusyawaratan Desa

Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 4 Tahun 2018 Tentang Badan

Permusyawaratan Desa.

Keputusan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal Dan Transmigrasi Nomor 40 Tahun 2021 Tentang Petunjuk Teknis Pendampingan Masyarakat Desa

Jurnal Kertha Wicara Vol 12 No 04 Tahun 2023, hlm. 204-216