URGENSI MEDIASI PENAL SEBAGAI INSTRUMEN RESTORATIVE JUSTICE DALAM UPAYA ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

Gde Alex Marind Bujana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: alexmbujana@gmail.com

I Gusti Ngurah Nyoman Krisnadi Yudiantara, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: krisnadiyudiantara91@gmail.com

DOI: KW.2022.v11.i10.p6

ABSTRAK

Jurnal ini bertujuan untuk memahami serta mengulas lebih dalam terkait sebuah alternatif penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan instrument Keadilan Restoratif yaitu Mediasi Penal. Selain itu, kajian ini meneliti mengenai urgensi pelaksanaan mediasi penal yang berporos pada konsepsi keadilan restoratif sebagai alternative penyelesaian perkara khususnya pada tindak pidana ringan dilihat berdasarkan fenomena hukum yang ada. Jurnal ini terklasifikasi sebagai penelitian hukum yang bersifat normatif yang meeneliti hukum dan kedudukan hukum ini sebagai norma. Penulis menggunakan pendekatan berbasis peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Kedudukan Mediasi Penal dalam Prakteknya sebagai alternative penyelesaian perkara pidana. Berdasarkan hasil dari analisis menunjukkan bahwa Mediasi Penal menghadirkan berbagai keuntungan yang dapat mewujudkan proses peradilan yang cepat, biaya ringan dan sederhana sehingga dapat meminimalisir terjadinya penumpukan perkara. Meskipun dengan adanya hal positif tersebut, kedudukan Mediasi Penal dalam Praktek penyelesaian perkara pidana belum diatur dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang lebih rigid karena masih diatur secara sectoral oleh masing-masing instansi sehingga diperlukan adanya sebuah peraturan hukum yang dapat menjadi payung hukum oleh masing-masing institusi.

Kata Kunci: Mediasi Penal, Restorative Justice, Penyelesaian Sengketa Alternatif.

ABSTRACT

This journal aims to understand and review more deeply related to an alternative settlement of criminal cases using a Restorative Justice instrument, namely Penal Mediation. In addition, this study examines the urgency of implementing penal mediation which pivots on the conception of restorative justice as an alternative settlement of cases, especially in minor crimes seen from existing legal phenomena. This journal is classified as normative legal research which examines the law and the position of this law as a norm. The author uses a statutory-based approach related to the Position of Penal Mediation in Practice as an alternative settlement of criminal cases. Based on the results of the analysis, it shows that Penal Mediation presents various advantages that can realize a fast, low-cost and simple judicial process so as to minimize the accumulation of cases. Despite these positive things, the position of Penal Mediation in the practice of settling criminal cases has not yet been regulated in the form of more rigid legislation because it is still regulated sectorally by each institution so that a legal regulation is needed that can become a legal umbrella for each institution.

Key Words: Penal Mediation, Restorative Justice, Alternative Dispute Resolution.

  • I.   Pendahuluan

    I.1.  Latar Belakang Masalah

Manusia sebagai makhluk sosial di dalam menjalani kehidupan bermasyarakat dan bernegara, tidak akan pernah lepas dari perbuatan pidana, kejahatan atau tindak pidana. Untuk menjaga ketertiban umum, eksistensi hukum sangat diperlukan karena hukum menjadi sebuah landasan yang dapat menjaga tercapainya tujuan hidup yang dicita-citakan bersama.

Terdapat sebuah kutipan dari Von Savigny yaitu “hukum itu tidak dibuat melainkan berkembang dan tumbuh bersama masyarakat”.1 Selain itu, Imam Sukadi juga berpendapat bahwa “pelaksanaan hukum dalam kehidupan masyarakat sehari-hari mempunyai arti yang sangat penting karena tujuan hukum adalah menciptakan keadilan, kepastian serta memberikan kebermanfaatan bagi masyarakat. Ketiganya itu bukan hanya kata-kata semata dan harus bisa diwujudkan serta diimplementasikan pada pelaksanaan hukum itu sendiri. Keadilan dalam masyarakat hanya dapat diwujudkan jika hukum itu dilaksanakan. Hukum itu harus dilaksanakan serta dipatuhi oleh semua orang terlebih lagi semua orang itu harus diperlakukan sama di depan hukum (equality before the law). Apabila hukum tidak ditegakkan, maka hukum tidak akan mempunyai makna dalam kehidupan bermasyarakat dan peraturan hukum yang demikian akan mati dengan sendirinya”.2

Salah satu upaya menegakkan dan menerapkan hukum adalah penyelesaian perkara pidana. Negara Indonesia sebagai negara hukum yang dimana dalam proses penegakkan hukumnya tidak akan mengabaikan tujuan hukum. Terdapat pula pendapat dari L.J. Apeldoorn yang mengatakan bahwa “tujuan hukum ialah mengatur pergaulan hidup manusia secara damai. Perdamaian di antara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan hukum manusia tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda terhadap pihak yang merugikannya”.3

Dalam praktiknya sangat sering dijumpai kasus tentang tidak sinkronnya antara das sollen dengan das sein, yang dimana antara cita dan realita, antara law in the book atau hukum yang ada di buku ataupun sesuai peraturannya berbeda dengan law in action atau pengimplementasian hukum di realita. Subekti mengatakan bahwa “hukum itu mengabdi kepada tujuan negara yang dalam pokoknya ialah mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnya. Dalam rangka melayani tujuan negara tersebut hukum menyelenggarakan keadilan serta ketertiban itu sebagai sebuah syarat tercapainya kemakmuran dan kebahagiaan”.4

Fenomena tidak sinkronnya das sollen dengan das sein di Indonesia yang secara langsung mengindikasikan masih banyak proses law enforcement yang tidak menghasilkan kepastian, keadilan serta kemanfaatan bagi masyarakat terlebih kepada masyarakat kecil. Diantaranya menimpa seorang ibu bernama Miniasih yang dipidanakan, berserta kedua anak dan keponakannya yang dituduh mengambil 2 Kilogram buah kapuk. Mirisnya, ketika kita coba rupiahkan harga dari buah kapuk tersebut tidak sampai melebihi dari 10 ribu rupiah. Contoh kasus lainnya adalah kasus yang terjadi kepada seorang wanita parubaya bernama Nenek Minah yang berumur 50 tahun seorang warga desa di daerah Banyumas yang menjadi tahanan rumah selama 3 bulan, karena dituduh mencuri 3 biji buah kakao. Gejala sosial tersebut merupakan beberapa contoh kasus yang benar-benar menyakiti rasa kemanusiaan serta keadilan di dalam masyarakat.

Permasalahan juga kerap timbul ketika korban ingin mencabut laporannya secara sukarela namun tidak bisa melakukannya karena laporan tersebut sudah tidak bisa dicabut. Hal ini bertolak belakang dengan semangat menggaungkan trilogy

peradilan yaitu peradilan yang sederhana, peradilan yang cepat, dan peradilan yang berbiaya ringan) yang menjadi keinginan dari masyarakat. Oleh karena hal tersebut, penyelesaian perkara pidana melalui jalur litigasi yaitu melalui jalur peradilan tidak selalu menjawab keinginan masyarakat yang mendambakan keadilan serta tidak selalu dapat menyelesaikan sebuah permasalahan dengan seadil-adilnya.

Dewasa ini, tujuan peradilan pidana di Indonesia mengalami peralihan dari peradilan pidana yang bersifat retributive ke restoratif-rehabilitatif. Sudah terdapat pengimplementasian praktis bahwa Indonesia bergerak menuju kearah restoratif. Ditandai dengan diundangkan nya Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang mengimplementasikan konsepi restorative justice melalui prosedur diversi yang memungkinkan penyelesaian perkara melalui jalur non-litigasi.

Barda Nawawi Arief berpendapat tentang pentingnya pembaharuan hukum pidana. Ia menyampaikan bahwa “pembaharuan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena pada hakikatnya pembaharuan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan atau politik hukum pada umumnya dan khususnya bagian dari politik hukum pidana (criminal law/penal policy atau strafrechtpolitiek)”.5 Ia juga menambahkan bahwa “Politik hukum merupakan bagian tak terpisahkan dari politik penegakan hukum, politik kriminal dan politik sosial. Oleh karena itu, di dalam setiap kebijakan dipertimbangkan sebagai nilai, maka pembaharuan hukum pidana diharapkan berorientasi pada pendekatan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia maupun negara lain yang dapat dipakai sebagai acuan dalam pembaharuan hukum pidana nasional Indonesia.”

Penyelesaian perkara bisa dilaksanakan dengan menggunakan dua metode maupun pendekatan yaitu dengan proses litigasi yang dimana metode ini melalui proses pengadilan konvensional sedangkan jalur non-litigasi yang dimana tidak menempuh proses pengadilan. Proses non-litigasi memungkinkan adanya keputusan yang bersifat win-win solution yang dilakukan dengan mekanisme Penyelesaian Sengketa Alternatif (PSA) sesuai Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif yaitu “lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian diluar pengadilan dengan cara Konsultasi, negoisasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli”.

Dari bunyi pasal tersebut yang memberikan opsi metode maupun prosedur PSA diantaranya adalah mediasi. Istilah Mediasi berawal dari kata Mediare yang memiliki makna memposisikan diri di tengah. Definisi ini merujuk pada tugas yang memposisikan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya untuk menyelesaikan permasalahan antara pelaku dan korban. Garry Goodspaster menyampaikan pengertian Mediasi yaitu “Proses negoisasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak bekerja sama dengan pihak-pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan.”6

Terdapat salah satu opsi mekanisme penyelesaian perkara pidana yang mengimplementasikan konsep keadilan restoratif yang dikenal dengan mediasi penal. Sebagai sebuah upaya untuk menyajikan keadilan yang seadil-adilnya, yang lebih

spesifiknya terkait perkara tipiring antara pihak yang bersengketa dapat menggunakan mekanisme mediasipenal ini sebagai sebuah instrument ataupun sebagai sebuah konsep dari keadilan restoratif (restorative justice). Hal ini sudah terbukti dapat dikatakan sebagai upaya alternatif ataupun salah satu opsi penyelesaian perkara dengan konsepsi mediasi penal sebagai cara alternative penyelesaian sengketa di beberapa negara serta secara langsung sudah membawa hasil dan dampak yang luar biasa bagi para pihak yang bersengketa.7 Paham atau Konsep Keadilan Restoratif merupakan hal yang mendasari timbulnya mediasi penal tersebut. Yang dimana bahwa keadilan restoratif sebagai sebuah perspektif yang mendasari dari proses pelaksanaan maupun mekanisme mediasi penal.8

Barda Nawawi Arief menyampaikan pengertiannya mengenai mediasi penal yaitu “Mediasi penal adalah salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan (yang biasa dikenal dengan istilah ADR atau Alternative Dispute Resolution; ada pula yang menyebutnya dengan Apropriate Dispute Resolution. ADR umumnya digunakan di lingkup hukum perdata, tidak untuk lingkup atau kasus-kasus pidana. Walaupun demikian, penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya ada dalam dalam ranah perdata, namun dalam praktik sering juga terhadap kasus pidana diselesaikan di luar pengadilan melalui berbagai diskresi aparat penegak hukum atau melalui mekanisme musyawarah atau lembaga permaafan yang ada di dalam masyarakat.” Terdapat pula pendapat dari Umi Rozah menyatakan bahwa “Mediasi penal adalah suatu proses yang mempertemukan korban dan pelaku tindak pidana, jika mereka mengkehendakinya secara bebas untuk secara aktif berpartisipasi dalam menyelesaikan masalah yang muncul dari kejahatan melalui bantuan seorang pihak ketiga yang tidak memihak atau disebut sebagai mediator”9.

Pelaksanaan sebuah upaya mediasi di dalam perkara pidana sangar dimungkinkan karena jika kita melihat prinsip maupun tujuan utama mediasi yang berporos kepada keadilan yang seadil-adilnya bagi kedua belah pihak yang kita kenal saat ini dengan istilah Restorative Justice. Keadilan restoratif ini timbul sebagai upaya alternative yang dapat diberikan kepada pihak yang bersengketa karena dapat menjadi sebuah opsi penyelesaian sebuah perkara pidana yang pada output nya dapat memberikan solusi yang terbaik.

Mediasi dalam hukum pidana merupakan sebuah proses penyelesaian yang dimana dalam mekanisme nya mempertemukan para pihak yang bersengketa untuk dapat menemukan sebuah konsensus yang terkait dengan kejahatan yang telah terjadi. Mediasi ini nantinya akan diperantarai oleh seorang mediator yang kompeten dibidangnya, seperti penegak hukum, pemerintah, tokoh masyarakat maupun LSM. Tingginya jumlah perkara yang dipikul oleh pengadilan saat ini menimbulkan sebuah permasalahan baru dimana besarnya beban yang dimiliki pengadilan untuk dapat menyelesaikan perkara dalam waktu yang relatif singkat danterbatas. Dengan urgensi tersebut, dapat dinyatakan bahwa mediasi penal dalam proses penyelesaian perkara tindak pidana ringan , dengan kerugian relative lebih kecil sangat diperlukan. Namun pada fakta nya legal standing mediasi penal ini belum difasilitasi di dalam sistem hukum pidana yang berlaku di Indonesia saat ini.

  • I.2.    Rumusan Masalah

Atas dasar-dasar yang sudah dipaparkan diatas tersebut dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

  • 1. Apa dasar hukum yang mengatur pelaksanaan Mediasi Penal di Indonesia?

  • 2. Apa urgensi dari pengaturan Mediasi Penal dalam proses penyelesaian

perkara pidana di Indonesia?

  • I.3.    Tujuan Penulisan

Kajian ini bertujuan untuk memahami lebih dalam terkait urgensi Pelaksanaan Mediasi Penal yang berporos pada Konsepsi Keadilan Restoratif sebagai jalan Alternatif Penyelesaian Perkara khususnya pada Tindak Pidana Ringan dilihat berdasarkan fenomena hukum yang ada dan untuk mengetahui tentang urgensi pengaturan atau payung hukum Mediasi Penal dalam menyelesaikan perkara pidana.

  • II.    Metode Penelitian

Kajian ini tergolong sebagai penelitian terhadap hukum dalam kedudukannya sebagai norma yaitu penelitian hukum normatif. Penulis mengkaji dengan pendekatan yang didasarkan oleh peraturan perundang-undangan khususnya dalam penelitian ini yang berkaitan dengan Mediasi Penal maupun keadilan yang berbasis Keadilan Restoratif dengan menganalisis Konsep Hukum. Penelitian ini mendeskripsikan dan menganalisis norma konflik yang ada dalam pengaturan pelaksanaan mediasi penal sebagai implementasi Restorative Justice. Konflik norma adalah keadaan dimana suatu norma telah dibuat tetapi bertentangan atau tidak sesuai dengan norma hukum lainnya. Konflik norma ini terjadi dikarenakan adanya disparitas standar dan syarat yang berbeda antar masing-masing instansi penegak hukum yakni Kepolisian, Kejaksaan hingga Pengadilan.

Selain itu, dalam kajian ini juga menitik-beratkan tentang urgensi dari pengaturan mediasi penal sebagai payung hukum tentang legalitas dari pelaksanaan mediasi penal ini.

  • III.  Hasil dan Pembahasan

    3.1    Dasar Hukum Pelaksanaan Mediasi Penal di Indonesia

Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenalli, artinya tidak ada delik atau pidana tanpa adanya peraturan terlebih dahulu. Adagium ini juga dikenal dengan asas legalitas, dimana pelanggaran hukum pidana hanya dapat ditegakkan dengan mengikuti proses yang ditentukan oleh undang-undang. Namun, inti permasalahannya adalah apakah penyelesaian perkara pidana melalui mediasi penal sudah cukup diperhatikan dan diatur dalam sistem peradilan hukum pidana Indonesia?

Pada saat ini, sistem penyelesaian perkara pidana melalui konsepsi mediasi penal yang berlandaskan Keadilan Restoratif belum diatur di dalam ketentuan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Badan Peradilan Umum masih menafsirkan sendiri dan secara sektoral terkait implementasi Restorative Justice.10

Pertama, “Surat Edaran Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dalam Penyelesaian Perkara Pidana”.

Kedua, “Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.” dimana penyelesaian perkarapidana dengan jalan perdamaian antara pihak yang bersengketa diatur dalam Pasal 12.

Ketiga, “Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.”

Keempat, “Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakukan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice)”.11

Berdasarkan arti penting ketentuan hukum dan kedudukan hukum, dasar hukum mediasi penal di Indonesia sebagai hukum positif terbatas pada pengaturan secara internal institusional saja. Meskipun telah diatur dalam peraturan oleh masing-masing instansi penegak hukum yakni Kepolisian, Kejaksaan, maupun Mahkamah Agung namun pengaturan ini bukanlah sebuah dasar hukum yang memiliki legal standing yang kuat dan hanya mengikat ke dalam masing-masing Lembaga yang menerbitkan peraturan tersebut. Sehingga kondisi tersebut menimbulkan satu konsekuensi yakni adanya pengaturan standar dan syarat yang berbeda satu dengan yang lainnya. Perbedaan tersebut dapat digambarkan dalam table berikut12 :

Perkap No.6 Th. 2019

PerJa No. 15 Th. 2020

SK Badilum

Tidak mengatur secara spesifik mengenai syarat ancaman hukuman.

Mengatur syarat ancaman hukuman yakni lebih dari 5 (lima) tahun penjara

Tidak mengatur secara spesifik mengenai syarat ancaman hukuman

Tidak mengatur syarat minimal kerugian

Mengatur syarat minimal kerugian yakni tidak lebih dari Rp.2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah)

Mengatur sama seperti PerJa No.15 Th. 2020

Tidak memungkinkan keadilan restoratif diterapkan dalam perkara narkotika

Tidak memungkinkan keadilan restoratif diterapkan perkara narkotika

Mengatur kemungkinan keadilan restoratif dalam perkara narkotika.

Dari table tersebut, dapat dipahami bahwa pengaturan penyelesaian perkara pidana melalui mediasi penal dengan pendekatan keadilan restoratif tidak cukup memadai untuk memberikan keadilan, kepastian, serta kemanfaatan hukum bagi para pihak yang bersengketa. Selain itu pengaturan yang demikian juga bertentangan dengan prinsip dasar sitem peradilan pidana yang mengamanatkan pengaturan yang seragam dan sistematis dalam rangka memberikan satu standar yang sama bagi seluruh Lembaga penegak hukum dalam menjalankan tugas dan fungsi masing-masing.13

Mediasi penal sangat pantas dijadikan salah satu alternative dalam penyelesaian perkara pidana di Indonesia. Meski hingga hari ini mekanismenya belum diatur lebih

lanjut di dalam KUHP maupun KUHAP, namun konsepsi mediasi penal guna menciptkan keadilan yang seadil-adilnya maupun tujuan hukum lainnya telah terpatri pada seluruh institusi penegak hukum. InstitusiKepolisian yang memiliki hak diskresi dan jaksa dengan hak oportunitasnya yang tentunya bisa melakukan sebuah terobosan untuk mengambil cara alternative dengan mediasi penal tersebut, terlebih lagi pada penerapan untuk kasus-kasus tindak pidana ringan. Bahkan hakim pun memiliki kewenangan yang cukup luas pula untuk memberikan kesempatan menempuh jalan mediasi guna memaknai proses penyelesaian perkara pidana.

Terdapat sebuah ketentuan yang dapat memberikan kewenangan kepada penyidik untuk dapat melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sesuai dengan kondisi yang sedang dihadapi meskipun mekanisme mediasi penal belum diatur dalam KUHAP secara jelas.14 Hal ini tercantum pada pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP yang berbunyi “mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab”.

Pembaharuan hukum pidana telah membawa ataupun mengarahkan mediasi penal sebagai sebuah proses penyelesaian perkara pidana di masa depan. Konsepsi ini sangat tercermin dari diadakannya asas pemberian maaf atau pengampunan oleh hakim dan adanya pedoman pemidanaan serta penyelesaian perkara diluar pengadilan. 15

Berdasarkan permasalahan tersebut maka sudah sepatutnya pengaturan sistem peradilan pidana khususnya yang berkaitan dengan penyelesaian perkara pidana melalui mediasi penal dengan pendekatan keadilan restoratif diatur dengan undang-undang dibidang hukum acara pidana.

  • 3.2    Urgensi Pengaturan Mediasi Penal Dalam Proses Penyelesaian Perkara Pidana Di Indonesia

Mardjono Reksodiputro menyampaikan pendapatnya bahwasanya “sistem peradilan pidana merupakan sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga Kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan sebagai komponen pengendalian. Pengendalian yang dimaksudkan adalah mengendalikan, menyelesaikan serta menanggulangi kejahatan di kehidupan bermasyarakat agar tercipta tatanan masyarakat yang sejahtera dan toleran. Sistem peradilan pidana mencakup proses penegakan hukum dari awal hingga pengembalian keseimbangan pada tatanan masyarakat.”16

Mediasi penal memiliki peran dan eksistensi yang sangat krusial karena Pengadilan bukan hanya satu-satunya pilihan bagi masyarakat sebagai wadah untuk menyelesaian sengketa, namun mediasi penal sebagai alternative ini mampu untuk menyelesaikan permasalahan diluar proses peradilan (non-litigasi).17

Konsepsi alternative penyelesaian perkara melalui mediasi penal ini mengedepankan kesesuaian karakteristik dari masyarakat di Indonesia yang sangat mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat didalam menyelesaikan

beberapa permasalahan di berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, perlu diperhatikan pula bahwa terdapat urgensi untuk mengadakan sebuah pengaturan yang dapat menjamin dari asas kepastian hukum. Terlepas dari asas kepastian hukum, perlu pula dalam menyelesaikan perkara pidana dengan konsepsi ini harus dapat memenuhi aspek aspek keadilan dan kebermanfaatan. Sebagaimana Gustav Radbruch katakan bahwa “bahwa hukum merupakan suatu unsur kebudayaan, maka hukum seharusnya mewujudkan nilai-nilai dalam kehidupan nyata. Ada tiga nilai yang diperlukan untuk sampai pada pengertian hukum, pertama, ialah keadilan dalam arti kesamaan hak untuk setiap orang di depan pengadilan. Kedua, adalah tujuan keadilan, yaitu sesuatu yang menimbulkan kebaikan atau manfaat. Ketiga, adalah nilai kepastian hukum atau legalitas18.”

Tujuan pemidanaan dapat ditemukan dalam Pasal 54 RUU KUHP19

  • 1)    “Pemidanaan bertujuan:

  • •    mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;

  • •    memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;

  • •    menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan

  • •    membebaskan rasa bersalah pada terpidana”.

  • 2) “Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan

martabat manusia.”

Secara umum, melihat dari pokok-pokok penerapan mediasi penal, jika tujuan pemidanaan adalah sebagai penyelesaian konflik dan perselisihan yang disebabkan oleh sebuah kejahatan maka mediasi penal itu hadir sesuai dengan perkembangan tujuan pemidanaan itu sendiri. Selain itu, mediasi penal juga hadir untuk mengembalikan kembali keseimbangan serta menciptakan suasana dan rasa aman, damai dalam masyarakat. Serta hal yang terpenting dalam tujuan pemidanaan yang bersifat restoratif adalah untuk mengembalikan serta menyiapkan mereka untuk kembali ke masyarakat bukan untuk memberikan penderitaan dan merendahkan martabat dari manusia itu sendiri.

KUHAP sebagai landasan formil yang berisi tentang tata cara atau prosedur sistem peradilan di Indonesia untuk meneguhkan hukum pidana materiil. Penegakkan hukum pidana dimulai dari awal yaitu proses penyidikan yang dilakukan oleh pihak kepolisian, prosespenuntutan yang dilakukan oleh Kejaksaan, serta proses penjatuhan vonis atau hukuman yang dilakukan oleh hakim.

Kepolisian sebagai gerbang awal dalam proses penegakan hukum memiliki kewenangan untuk menilai dan menentukan suatu perbuatan pidana. Apakah harus dilanjutkan atau bahkan dihentikan sesuai dengan kondisi tertentu yang sudah diatur sebelumnya. Hal ini mengacu kepada Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang berbunyi “untuk kepentingan umum dan masyarakat, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.”. Yang selanjutnya dikuatkan pada ayat (2) nya yaitu

“pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan-keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.”

Medasi penal sebagai sebuah terobosan baru dan alternative dalam proses panjang pembaharuan hukum pidana sangat berkesinambungan dengan konsep keadilan restoratif ini. Pengaplikasian mediasi penal dalam perkara yang termasuk tindak pidana ringan ketika dipraktekkan akan menghasilkan sebuah kesepakatan yang bersifat win-win solution. Sejalan dengan yang Savigny sampaikan terkait sifat hukum yakni “hukum akan senantiasa berubah dan dinamis”. Oleh karena itu, alternative ini hadir untuk dapat memberikan manfaat bagi kedua belah pihak yang sedang berperkara.

Contohnya saja dari ranah penyidikan, Polri menerapkan Restorative Justice dalam menyelesaikan kasus pencurian Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa sawit PT. Daria Dharma Pratama. 40 orang petani yang mencuri TBS tersebut telah dibebaskan karena tercapainya mufakat didalam mediasi yang di fasilitasi oleh aparat kepolisian. Selain itu, di ranah penututan yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Kolaka adalah terkait perkara Penganiayaan yang dilakukan oleh seorang berinisal J yang diakibatkan karena adanya adu mulut akibat sapi ternak nya yang memakan buah coklat di kebun milik korban. Alhasil sesuai visum et repertum korban mengalami luka robek pada hidung atas sebelah kiri dan pergeseran tulang hidung kea rah kanan disertai adanya pendarahan. Upaya perdamaian dilakukan di Rumah Restorative Justice Kejari Kolaka yang dilakukan secara sukarela, dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan paksaan dan intimidasi. Tersangka J menyampaikan penyesalan, permintaan maaf dan tidak akan mengulangi perbuatannya. Kemudia sudah ada itikad baik dari tersangka untuk membayar semua biaya pengobatan korban. Di lain sisi, korban menanggapi dengan memaafkan tersangka dengan ikhlas karena antara korban dan tersangka masih ada hubungan kekeluargaan serta merasa apa yang dilakukan oleh tersangka merupakan sebuah ke-khilafan. Kasus lainnya adalah perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang terjadi antara seorang Ayah dan Anak di Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara. Hal ini terjadi dikarenakan sang ayah tersinggung dengan jawaban si anak yang seadanya saja ketika ditanyai mengenai sebuah hal. Lalu dilayangkan lah pukulan beserta tendangan kearah si anak. Berdasarkan visum et repertum , korban mengalami bengkak pada pelipis kiri, lengan bawah kanan, dan pada pergelangan tangan kanan. Upaya perdamaian dilakukan di Rumah Restorative Justice dan difasilitasi oleh Kejaksaan Negeri Muna dengan mempertemukan tersangka dan korban yang telah memperoleh hasil berupa tersangka meminta maaf kepada korban dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya, tersangka dan korban sepakat untuk berdamai, tersangka dan korban terdapat hubungan darah (ayah dan anak) serta disaksikan oleh keluarga tersangka, keluarga korban, penyidik kepolisian, dan Tokoh Masyarakat setempat.

Mediasi penal mengutamakan kepentingan pihak yang bersengketa. Hal yang utama adalah kepentingan pelaku dan korban sehingga dapat tercapainnya win-win solution bagi korban dan pelaku. Dalam mekanisme mediasi penal korban akan dipertemukan dengan pelaku serta bisa berdiskusi serta mengemukakkan secara langsung apa yang diinginkan sehingga dapat menyepakati hal tersebut dan diharapkan menciptakan perddamaian bagi para pihak yang bersengketa.

Lebih lanjut, terkait Tindak Pidana Ringan) yang diatur dalam Pasal 205 ayat (1) KUHAP, yang berbunyi “yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama

3 (tiga) bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 7.500,- dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam paragraf 2 (dua) bagian ini.” Karena pada sejatinya Tindak pidana ringan (Tipiring) adalah sebuah tindak pidana pelanggaran yang terdapat dalam buku III KUHP.

Terdapat beberapa urgensi ataupun kepentingan yang mendesak agar mediasi penal ini dapat dijalankan secara satu kesatuan yang utuh ke dalam sistem peradilan pidana Indonesia, karena :

  • 1.    Dalam perkara pidana, terdapat alternative penyelesaian berupa mediasi penal dan diharapkan dengan cara ini dapat mengurangi jumlah perkara yang masuk ke pengadilan;

  • 2.    Diharapkan dapat mengurangi over capacity dalam LAPAS

  • 3.    Karena mediasi penal diharapkan dapat menjadi salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat, biaya ringan dan sederhana;

  • 4.    Dengan adanya mediasi penal, cara ini dapat memberikan akses yang seluas-luasnya kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan; serta

  • 5.    Dengan adanya mediasi penal ini dapat memaksimalkan tugas pokok dan fungsi lembaga peradilan dan penyelesaian sengketa terlepas dari tugasnya dalam menjatuhkan vonis maupun pemidanaan.

  • IV. Kesimpulan sebagai Penutup

    4. Kesimpulan

Dari argumentasi yang sudah dipaparkan diatas, penulis dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa Mediasi Penal sangat amat bisa dijadikan sebuah pilihan cara dalam menyelesaikan perkara pidana. Namun juga pemberlakuannya harus terbatas, tidak semua perkara pidana bisa atau dapat diproses dengan menggunakan instrument mediasi penal. Hanya terdapat beberapa kategori ataupun klasifikasi tindak pidana yang bisa menggunakan mediasi penal sebagai metode penyelesaiannya. Namun, pada fakta lapangannya belum terdapat pengaturan hukum yang memayungi pelaksanaan mediasi penalini. Praktek mediasi penal hari ini masih dilakukan berdasarkan peraturan masing-masing instansi secara sectoral. Diperlukan hierarki peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sehingga dapat mengatur pelaksanaan mediasi penal secara lebih rigid dan tidak secara sectoral Sehingga transisi tujuan hukum dari tujuan retributive kearah restorative dapat terwujud. Mediasi penal sebagai implementasi nyata keadilan restoratif menjadi sebuah urgensi karena diharapkan akan dapat mengurangi penumpukan perkara, yang implikasi nya dapat pula berkontribusi dalam menanggulangi over capacity Lembaga permasyarakatan, implementasi nyata dari proses peradilan cepat, biaya ringan, dan sederhana, dengan adanya mediasi penal, cara ini dapat memberikan akses yang seluas-luasnya kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan serta Dengan adanya mediasi penal ini dapat memaksimalkan tugas pokok dan fungsi lembaga peradilan dan penyelesaian sengketa terlepas dari tugasnya dalam menjatuhkan vonis maupun pemidanaan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku:

Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Civil Law, Common Law, Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004)

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya, 1996)

Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2007.

Mansyur Ridwan, Mediasi Penal Terhadap Perkara KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), (Jakarta: Yayasan Gema Yustisia Indonesia, 2010)

Suyono, Yoyok Ucok. Dadang Firdiyanto. Mediasi Penal Alternatif Penyelesaian Perkara dalam Hukum Pidana. (Yogyakarta: LaksBang Justitia, 2020)

Theo Hujbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1982), hlm. 162-163.

Jurnal Ilmiah:

Apriani, Titin. Syaifullah, Muhammad Ikbal. Mediasi Penal dalam Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Perspektif Restorative Justice. Jurnal Ganec Swara. Volume 15 No.2. 2021

Choirul Rizal, Moch. Optimalisasi Mediasi Penal di Indonesia. Jurnal Opini Hukum dan Hak Asasi Manusia. Volume 1. 2021

Didik Prayoga, I Wayan. I Ketut Rai Setiabudi. “Relevansi Mediasi Penal di Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana” Jurnal Magister Hukum

Udayana Vol.10 No.4 (2021)

Hariyanto, D, R, S., Yogantara, P, S. 2019.Mediasi Penal Dalam Ius Constitutum dan Ius Contituendum di Indonesia.Volume 13, Nomor 1.

Imam Sukadi, Matinya Hukum Dalam Proses Penegakan Hukum Di Indonesia, Jurnal Risalah Hukum Vol. 7 No.1, ISSN 021-969X, Fakultas Hukum Unmul, hlm. 35.

Lazuardi, Glery. Pendekatan Restorative Justice Dalam Tindak Pelaku Penyebaran Hoaks. Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum. Volume 8 No.9. 2020

Mahendra, Adam Prima. Mediasi Penal Pada Tahap Penyidikan Berlandaskan Keadilan Restoratif. Jurnal Jurist-Diction. Volume 3 No.4. 2020

Umi Rozah. Membangun Konstruksi Politik Hukum Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana, Jurnal Masalah-Masalah Hukum Vol. 39 No.3, 2012

Usman, Andi Najemi. “Mediasi Penal di Indonesia: Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian Hukumnya” Undang : Jurnal Hukum 1, Nomor 1 (2018)

Zondrafia, Kristiawanto, Mohamad Ismed. “Urgensi Penerapan Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia” Jurnal Sosial dan Budaya Syar’I 9 Nomor. 5 (2022)

Peraturan Perundang-Undangan:

Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif

Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif

Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 Tanggal 22 Desember 2020 Tentang Pedoman Penerapan Restorative Justice Di Lingkungan Peradilan Umum

Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No 10 Tahun 2022, hlm. 1709-1719