PARADIGMA HUKUM PROGRESIF MENGENAI PENERAPAN PEMIDANAAN MATI DALAM KUHP NOMOR 1 TAHUN 2023
on
PARADIGMA HUKUM PROGRESIF MENGENAI
PENERAPAN PEMIDANAAN MATI DALAM KUHP
NOMOR 1 TAHUN 2023
Putu Prisca Marselina, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
Diah Ratna Sari Hariyanto, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
DOI: KW.2023.v12.i07.p1
ABSTRAK
Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk menganalisis perubahan posisi pidana mati dari jenis pidana pokok terberat menjadi pidana yang sifatnya khusus dalam RUU KUHP dan penerapan paradigma hukum prpgresif dalam konsep pidana mati yang sifatnya khusus dalam RUU KUHP. Untuk menganalisis hal tersebut penelitian ini menggunakan penelitian normative dengan pendeketana perundang-undangan dan Analisa untuk mengetahui makna perubahan posisi pemidanaan mati yang sebelumnya merupakan pidana pokok terberat menjadi pidana pokok yang bersifat khusus,, pemidanaan mati yang dianggap melanggar HAM dan penerapan pemidanaan mati dari perspektif hukum progresif. Berdasarkan analisis tersebut, atas dasar pertimbangan aspek perlindungan hak hidup setiap orang maka penerapan hukuman mati sebagai satu-satunya solusi harus pula dibarengi dengan kebijakan dan kerangka aksi lain yang lebih konkret dan komprehensif. Salah satunya yaitu menerapkan paradigma hukum progresif yang meletakkan penekanan pada pentingnya pelaku hukum untuk melakukan pemulihan terhadap penerapan hukum. Perumusan RUU KUHP memiliki maksud menggantikan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) warisan kolonial Belanda dengan hukum pidana yang lebih sesuai dengan nilai-nilai ke-Indonesia-an.
Kata Kunci: Hukum Progresif, Pemidanaan Mati dan RUU KUHP.
ABSTRACT
The purpose of writing this article is to analyze the change in the position of the death penalty from the heaviest principal type of punishment to a special crime in the Criminal Code Bill and the application of a progressive legal paradigm in the special death penalty concept in the Criminal Code Bill. To analyze this, this study uses normative research with a statutory approach and analysis to determine the meaning of the change in the position of the death penalty which was previously the heaviest principal crime to a special principal punishment, the death penalty is not considered a violation of human rights and the application of the death penalty from a legal perspective. progressive. Based on this analysis, based on consideration of the aspect of protecting everyone's right to life, the application of the death penalty as the only solution must also be accompanied by other policies and other more concrete and comprehensive action frameworks. One of them is to apply a progressive legal paradigm that places emphasis on the importance of legal actors to restore the application of the law. The formulation of the Criminal Code Bill has the intention of replacing the Dutch colonial legacy of the Criminal Code (KUHP) with a criminal law that is more in line with Indonesian values.
Key Words: Progressive Law, Death Penalty and Draft Criminal Code.
Adanya zaman yang berkembang membuat perseteruan di sektor hukum menjadi semakin rumit dan kompleks setiap harinya. Pada khususnya pada aturan pidana yang menginginkan adanya modifikasi yang baru untuk mengganti Undang-
Undang Pidana (yang selanjutnya nanti diklaim hanya menjadi KUHP) dimana merupakan warisan yang sudah tertinggal zaman. Adanya pembaharuan pada aturan pidana ini menyebabkan adanya berbagai kontradiksi mengenai pendapat yang dapat terjadi diantara pakar hukum dan juga masyarakat. Problem dari adanya pembaharuan hukum pidana yaitu mengenai aturan yang dianggap awam, rumusan delik, serta kebijakan criminal. Kebijakan ini menjadi problem yang dapat mencegah adanya perkembangan yang meluas atau adanya kecenderungan kejahatan. Aturan pidana yang menjadi sebuah aturan yang bersifat publik ini menjadikan perkembangan mengenai hukum pidana menjadi sorotan masyarakat.
Hal serius yang jadi topik yang sering diperbincangkan di kalangan masyarakat adalah pidana mati, dimana dipandang melakukan pelanggaran pada Hak Asasi Manusia (HAM). Hal tersebut terdapat pada Pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945 berisikan: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Pasal tersebut menjadikan hukuman mati tidak dapat dilaksanakan di Indonesia dikarenakan dapat melakukan pelanggaran HAM. Contoh pelanggaran HAM akibat dari pidana mati adalah kasus Freddy Budiman yang menjadi kontroversial terkait dengan hukuman mati dan masalah hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Freddy Budiman adalah seorang narapidana yang terlibat dalam kasus perdagangan narkoba yang melibatkan jumlah besar narkotika, ia dihukum mati dan dieksekusi pada tahun 2016. Namun, ada beberapa isu dan kontroversi dalam kasus ini yang berkaitan dengan masalah hak asasi manusia, yakni: pertama, hukuman mati, beberapa kelompok HAM menganggap hukuman mati sebagai pelanggaran terhadap hak atas kehidupan. Mereka berpendapat bahwa setiap individu berhak atas hak untuk hidup, dan hukuman mati dianggap tidak manusiawi. Kemudian, alih – alih hukuman mati, seharusnya diterapkan hukuman alternatif yang lebih bermanfaat seperti rehabilitasi, dengan memberikan kesempatan kepada narapidana untuk memperbaiki diri dan kembali menjadi anggota produktif dalam masyarakat.
Pidana mati dianggap menjadi pro kontra di Indonesia. Bagi pihak yang pro, pidana mati dapat menyebabkan timbulnya efek jera dan juga dapat memberikan pencegahan pada adanya tindakan yang sama menjadi terulang. Pidana yang diterapkan ini dianggap menjadi sebuah hal yang tidak menentang konstitusi apabila dilaksanakan dengan alasan yang tidak menentang hukum. Namun demikian, pihak yang pro terhadap pidana mati juga menekankan jika terdapat sistem yang perlu dibenahi yang meliputi tingkatan proses penyidikan sampai proses penuntutan. Bagi pihak yang kontra terhadap pidana mati, pidana ini dinilai telah melanggar HAM, dikarenakan hal tersebut mampu mencabut nyawa yang menjadi hak yang hanya Tuhan dapat miliki. Terdapat kekhawatiran adanya kesalahan, dimana terdapat pelaku lain yang memiliki tanggung jawab yang lebih dibandingkan terpidana yang telah divonis pidana mati.
Sejak awal dirumuskannya draf/konsep RUU KUHP, pengaturan sanksi pidana mati mengalami beberapa kali perubahan, semula diatur tetap sebagai pidana pokok, selanjutnya diatur sebagai pidana pengecualian, kemudian diatur ialah pidana dasar bertipe khusus, dan terakhir pidana mati diatur sebagai pidana khusus bagi prilaku pidana tertentu. Adanya perubahan pengaturan pidana mati menunjukkan bahwa pengaturan pidana mati masih menjadi persoalan berkaitan dengan pihak-pihak yang pro dan kontra dengan berbagai argumentasinya masing - masing. Perkembangan pengaturan pidana mati juga menunjukkan bahwa pengaturan pidana ini selalu mengikuti perkembangan kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di tengah masyarakat, pemidanaan mati menjadi perbincangan yang hangat dikarenakan pandangan terhadap pemidanaan mati dapat melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).1 Dilihat dari Pasal 28 A Undang-Undang Dasar 1945 isinya: “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Sebagaimana bunyi pasal tersebut seolah membuat penerapan pidana mati tidak patut karena dianggap dapat melanggar HAM. Pandangan terhadap pemidanaan mati menjadi pro dan kontra,2 pandangan pro nya adalah pemidanaan mati di anggap akan memberikan efek jera yang akan membantu dalam pencegahan terulangnya tindak pidana yang sama.
Penerapan pidana mati di anggap tidak akan bertentangan dengan konstitusi jika pelaksanaanya di dasarkan alasan yang tidak bersebrangan pada hukum. Jadinya, pihak yang pro terhadap pemidanaan mati menekankan bahwa perlu adanya pembenahan sistem hukum seperti dari tingkat penyidikan hingga tingkat penuntutan. Selain pihak pro, ada pihak kontra yang berpendapat bahwa pelanggaran HAM dapat terjadi akibat dari penerapan pemidanaan mati karena hanya Tuhan yang memiliki hak untuk mencabut nyawa seseorang dan kekhawatiran akan adanya kesalahan Ketika penerapan pemidanaan mati tersebut dilakukan seperti jika ternyata pelaku lain yang seharusnya lebih bertanggung jawab dibandingkan pelaku yang sudah sah akan diberikan vonis mati. Sanksi pemidaan mati sejak awal sudah beberapa kali mengalami perubahan, yang awal mulanya menjadi pidana dasar , yang kemudian diubah jadi pidana pengecualian, dan selanjutnya diubah lagi menjadi hukuman dasar bertipe khusus dan diubah Kembali sebagai pidana khusus untuk tindak pidana tertentu. Perubahan posisi terhadap pidana mati memperlihatkan bahwa persoalan terhadap pidana mati belum memiliki titik temu untuk penerapan pidana mati, hal ini bisa dilihat dari adanya argumentasi dari masing-masing pihak pro dan kontra. Perubahan yang terjadi menunjukan bahwa pengaturan ini akan selalu mengikuti perkembangan kondisi disetiap bangsa dan negara.
Di Indonesia, ajaran Satjipto Rahardjo mengenai pemikiran hukum progresif masih belum dapat melandasi pemikiran para pembentuk hukum. oleh karena itu produk hukum di Indonesia masih merupakan produk hukum yang lahir dari produk hukum belanda dan juga masih sediki produk hukum yang diciptakan di Indonesia yang berlandaskan pemikiran progresif dan justru berlandaskan pemikiran positivistik-legalistik. Hukuman mati adalah sanksi pidana yang paling berat dan kontroversial di banyak negara. Di Indonesia, hukuman mati diatur dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Perbandingan antara KUHP lama dan KUHP baru (yang direncanakan) dalam konteks hukuman mati dapat mencakup beberapa aspek, KUHP lama mengatur hukuman mati untuk sejumlah delik, termasuk pembunuhan, pengkhianatan terhadap negara, pencurian dengan kekerasan, penganiayaan berat, dan beberapa lainnya. Sedangkan, dalam RKUHP yang diusulkan, terdapat rencana revisian dalam pengaturan hukuman mati. Beberapa pengamat hukum dan lembaga hak asasi manusia telah mengadvokasi untuk menghapus hukuman mati dari hukum pidana Indonesia sepenuhnya. Perbandingan umum menekankan pada Hak Asasi Manusia, revisi RKUHP lebih berorientasi pada prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia dan keadilan, dengan fokus pada pencegahan
kejahatan dan rehabilitas daripada hukuman mati sebagai balasan. Kemudian, penghapusan atau pembatasan hukuman mati dalam RKUHP telah menjadi topik perdebatan yang signifikan di Indonesia. Beberapa pihak mendukung penghapusan hukuman mati, sementara yang lain masih berpendapat bahwa hukuman mati harus dipertahankan sebagai hukuman yang efektif untuk kejahatan tertentu.
Tujuan penulisan ini untuk mengkaji lebih dalam terkait pemidanaan mati dalam RUU KUHP sehingga diperlukan adanya pengkajian dari beberapa penelitian yang sudah dipublikasi diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Fransiscus Xaverius Ade Kapojos mengenai Analisa sudut pandang hukum progresif khususnya pada upgrade hukum pidana terkait Pasal 100 ayat (1) RKUHP mengenai prinsip hukuman mati. Mengetahui perihal tersebut, maka selanjutnya studi ini memiliki visi memaparkan penjelasan bertipe teoritis tentang pengaturan pemidanaan mati dalam RUU KUHP dan penerapan pemidanaan mati jika dilihat dari persepktif hukum progresif, sehingga dapat memberikan pandangan dan mungkin menjadi ide untuk menerapkan hukum progresif Ketika menciptakan produk hukum Indonesia. 3Adanya latar persoalan diatas, jadi penulis membuat judul “PARADIGMA HUKUM PROGRESIF MENGENAI PENEREPAN PEMIDANAAN MATI RUU KUHP”.
Mengacu pada pemaparan diatas, maka diperoleh 2 (dua) persoalan yang ada di dalam penelitian ini yakni:
-
1. Bagaimana pengaturan perubahan posisi pidana mati dari jenis pidana pokok yang terberat menjadi pidana yang sifatnya khusus dalam RUU KUHP?
-
2. Bagaimanakah paradigma hukum progresif dalam konsep pidana mati yang sifatnya khusus dalam RUU KUHP?
Berlandaskan pada rumusan masalah yang ada di atas, maka adapun tujuan dari kegiatan penelitian ini yakni:
-
1. Untuk mengetahui perlukah adanya perubahan posisi pidana mati dari jenis pidana pokok terberat menjadi pidana yang sifatnya khusus dalam RUU KUHP.
-
2. Untuk mengetahui bagaimana paradigma hukum progresif mengenai
pemidanaan mati RUU KUHP.
Riset ini menggunakan penilitian normatif, penelitian normatif yang dimaksud merupakan penelitian yang mengacu pada bahan kepustakaan, objek dari penelitian ini menggunakan asas hukum, sistematika hukum, dan perbandingan hukum. Titik focus dalam penelitian ini adalah aturan hukum yang pendekatannya menggunakan perundang-undangan dan nilai ilmiah mengenai perubahan posisi pemidanaan mati.
-
III. Hasil dan Pembahasan
-
3.1 Perubahan Posisi Pidana Mati Jenis Pidana Pokok yang Terberat Menjadi
Pidana Sifatnya Khusus dalam RUU KUHP
Tindak pidana ialah kegiatan yang tidak diperbolehkan dan seseorang yang melanggar itu akan diberikan sanksi yang berupa hukuman. Tindak pidana merupakan dasar pokok untuk memberikan hukuman bagi pelanggar dan menjatuhkan hukuman tersebut kepada orang yang dianggap dapat mempertanggung jawaban kesalahan yang telah ia lakukan.4 Selanjutnya mengenai rumusan pelanggaran yang terdapat di buku III KUHP, terdapat 11 unsur tindak pidana mengenai rumusan tindak pidana tertentu seperti unsur melawan hukum, tingkah laku, akibat konstitutif, kesalahan, tambahan syarat guna bisa dituntut pidana, ialah unsur keadaan yang menyertai, persyaratan untuk pemberatan sebuah pidana, poin objek hukum untuk tindak pidana.
Bahwa tujuan dari pidana merupakan alat untuk mencapai tujuan dari pemidanaan, sedangkan pemidanaan memiliki tujuan untuk pembinaan pelaku tindak pidana. Dari dasar dirumuskannya tujuan pemidanaan dapat dilihat bahwa pemidanaan hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan. Hal tersebut bertolak dengan sasaran utama pemidanaan yakni “melindungi masyarakat” yang disebut masyarakat serta pembinaan yang melakukan tindak pidana. Dari rumusan itu, wajar apabila tipe-tipe sanksi berat masih di pertahankan seperti pidana mati dan penjara seumur hidup. Dalam draft RUU KUHP pemidanaan mati memiliki perbedaan posisi Ketika berada di KUHP, pemidanaan mati di RUU KUHP memiliki jenis pidana pokok yang bersifat khusus dan eksepsional. Sedangkan dalam KUHP pemidanaan mati merupakan pidana pokok. Perubahan ini disebabkan pidana mati dalam KUHP dianggap dapat melanggar HAM dan menganggap pidana mati bukanlah pidana pokok karena pidana mati dasarnya bukanlah sebuah alat utama yang tidak berbanding lurus guna mengatur, menertibkan, serta memperbaiki masyarakat agar menyurutkan dalam melakukan tindap pidana. Dengan demikian pemidanaan mati dipakai untuk pengecualian untuk sarana atau jalan terakhir untuk melaksanakan pemidanaan. 5
Adanya perubahan pengaturan pidana mati menunjukkan bahwa pengaturan pidana mati masih menjadi persoalan berkaitan dengan pihak-pihak yang pro dan kontra dengan berbagai argumentasinya masing-masing. Perkembangan pengaturan pidana mati juga menunjukkan bahwa pengaturan pidana ini selalu mengikuti perkembangan kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara“Pasal 99 menyatakan bahwa:
-
1. Pidana mati bisa dijalankan sesudah permohonan grasi terpidana tidak disetujui Presiden.
-
2. Pidana mati mengikuti ayat (1) dijalankan tidak di khalayak umum.
-
3. Pidana mati dijalankan dengan menembak terpidana mati hingga tewas oleh regu tembak atau cara yang diatur pada Undang- Undang.
-
4. Menjalankan pidana mati pada wanita hamil, wanita masih menyusui bayinya, atau orang yang sakit jiwa ada penundaan hingga melahirkan, berhenti menyusui bayinya, atau orang sakit jiwa itu sembuh. “
Jika ada seorang terpidana dijatuhi hukuman mati, maka berdasarkan perspektif RUU KUHP, terpidana memiliki kesempatan selain grasi, peninjauan
kembali dan banding, agar tidak segera ditembak mati, yakni terdapat waktu percobaan 10 tahun pada sanksi pidana mati (selama waktu yang ditentukan), sesuai dengan ketentuan “Pasal 100 ayat (1) RUU KUHP, yang berbunyi:
a.“Hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun jika:
b. terdakwa menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki peran terakwa dalam tindak pidana tidak terlalu penting, atau ada alasan yang meringankan.”
Hak ini dicantumkan tegas pada Declaration of Human Right. Senada memakai gelombang pembaharuan, repleksi proteksi hak asasi manusia itu pada mandemen ke dua UUD 1945 sudah ada dan tegas diatur pada Bab X A Pasal 28 A-28 J. Yang merupakan pelanggaran hak asasi manusi secara yuridis adalah : “Setiap perbuatan seseorang atau sekelompok termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi mansia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapat, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”. Sebagaimana uraian diatas ialah pelanggaran HAM merupakan perbuatan melawan hukum yang di dijalankan sengaja ataupun tidak. Pelaksaan hukum mati di Indonesia di anggap melanggar hak hidup oleh aktivis HAM sesuai Pasal 28 A jo Pasal 28 J Amandemen ke dua UUD 1945 tentang perlindungan hak hidup oleh konstitusi.
Hak hidup setiap manusia juga tercantum secara jelas di Deklarasi Internasional Hak Asasi Manusia yang menggunakan jalan gerakan reformasi, pada UUD 1945 Amandemen ke dua yang merepleksi proteksi Hak Asasi Manusia yang mengatur secara tegas yang tercantum dalam Bab X A Pasal 28A-28 J. Pelanggaran Hak Asasi Manusia yakni secara yuridis ialah “Setiap perbuatan seseorang atau sekelompok termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi mansia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapat, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”. Pelanggaran HAM sebagaimana uraian yang dimaksud ialah kegiatan melawan hukum dengan sengaja maupun tidak di sengaja. Di Indonesia menjalakan hukuman mati sebuah hal yang dapat melanggar hak hidup oleh aktivis HAM yang telah diatur di Pasal 28 A jo Pasal 28 J Amandemen ke dua UUD 1945 mengenai perlindungan perlindungan hukum oleh konstitusi. Perundang-undangan tidak melakukan pengkajian pasal secara terpisah, yang dikarenakan perlunya perhatian mengenai hirarki serta komprehensif dengan semua pasal yang ada.
Pasal 28 J ayat (2) menegaskan bahwa: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Dengan demikian, walaupun setiap orang memiliki hak hidup dan kehidupan, namun hak tersebut tidak absolut adanya. Hak tersebut dibatasi dengan penerapan pidana mati sepanjang dijalankan sesuai norma serta nilai yang berlaku.
Aktivis yang membela HAM menganggap jika hukuman mati harus ditinggalkan. Walau tidak menjadi penentang HAM, hukuman mati menjadi suatu pembunuhan terencana berdasar nama hukum. Jadi hukuman mati tersebut harus
dipergunakan pada sudut pandang yang lebih jelas agar saat menjalankannya tidak menindas kepentingan. Ini oleh Satjipto Rahardjo berfikir harus memakai hukum progresif, dimana lebih emmeikirkan kerangk sudut pandang aksi dibandingkan normatif, dan lebih mementingkan hasilnya. Aturan harus bisa memberi service serta jasa sosial untuk rakyatnya. Sesuai dengan Satjipto Rahardjo yang menganggap hukum progresif adalah aturan yang mengutamakan kerangka berpikir aksi dibanding kerangka berpikir normatif, serta lebh mengutamakan hasil. Hukum harus bisa memeberikan pelayanan bagi rakyatnya. Dimana aturan harus diarahkan untuk memenuhi kesejahteraan masyarakat. Penegakkan hukum perlu memberanikan diri untuk bebas dari status quo 6dan tidak mementingkan aturan (rule) dan juga berfokus pada perilaku(behavior).7
3.2 Paradigma hukum progresif dalam konsep pidana mati sifatnya khusus dalam RUU KUHP
RUU KUHP di Indonesia sudah mengganti perspektif hukum di Indonesia jadi semakin progresif. Pemidanaan mati masih di cantumkan namun pada implementasinya lebih manusiawi, diskusi tentang permasalahan pemidanaan mati di Indonesia telah memberikan ide untuk melakukan Langkah prpgresif mengenai konsep pemidanaan mati di RUU KUHP. Permasalahan pemidanaan mati ini menemukan titik tengah untuk keluar dari perdebatan antara pemidanaan mati ini dianggap dapat melanggar HAM dan penerapan pemidanaan mati ini dapat menyurutkan tindak pidana itu sendiri.
Terdapat sedikit perbedaan apabila hukuman mati di RUU KUHP dibandingkan dengan hukuman mati di KUHP, hal tersebut dapat dilihat dari ketentuan di KUHP (Pasal 338 – 340), Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan berencana menyatakan bahwa barangsiapa dengan sengaja merencanakan membunuh orang lain dengan maksud membunuh, sebelum atau selama berlangsungnya perbuatan, maka perbuatan tersebut digolongkan ke dalam pembunuhan berencana. Kemudian, Pasal 339 KUHP tentang ancaman hukuman mati atau pidana penjara seumur hidup bagi pelaku pembunuhan berencana yang memenuhi unsur – unsur tertentu, seperti perbuatan terencana dengan saksama dan dilakukan untuk mendapatkan barang atau uang. Sedangkan ketentuan dalam RUU KUHP telah menyederhanakan menjadi satu pasal yang mengatur pembunuhan berencana dan hukuman mati yakni Pasal 340A yang secara langsung menggantikan Pasal 339 KUHP yang ada dalam KUHP saat ini.
Pasal 340A RUU KUHP menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja merencanakan membunuh orang lain dengan maksud membunuh, sebelum atau pada saat berlangsungnya perbuatan, melakukan pembunuhan berencana. Di RUU KUHP Indonesia, hukuman mati diatur sebagai hukuman alternatif untuk tindak pidana yang sangat serius, termasuk pembunuhan berencana. Hukuman mati digolongkan sebagai hukuman utama bersama dengan pidana penjara seumur hidup. Namun, hukuman mati sebagai hukuman alternatif dalam RUU KUHP memiliki beberapa prinsi dan mekanisme, yakni: pertama, pemilihan hukuman, hukuman mati dijatuhkan sebagai hukuman alternatif dalam kasus-kasus tertentu, terutama untuk tindak pidana yang
sangat serius seperti pembunuhan berencana yang menyebabkan kematian. Pengadilan akan mempertimbangkan fakta dan bukti dalam kasus tersebut sebelum memutuskan hukuman. Kedua, pembatasan penerapan, hukuman mati hanya diberlakukan dalam tindak pidana yang diatur secara eksplisit dalam hukum, dan tidak dapat diterapkan untuk tindak pidana lainnya.
Selain itu, ada syarat-syarat tertentu yang harus terpenuhi sebelum hukuman mati dijatuhkan, seperti adanya bukti kuat dan memadai. Ketiga, pemisahan tahanan, narapidana yang dijatuhi hukuman mati akan dipisahkan dari narapidana lainnya untuk mencegah pengaruh atau interaksi yang tidak diinginkan, hal ini bertujuan untuk menjaga keamanan dan kestabilan di dalam lembaga pemasyarakatan. Terakhir, pelaksanaan eksekusi, jika hukuman mati dijatuhkan, eksekusi hukuman tersebut akan dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Proses eksekusi akan diatur secara rinci untuk memastikan bahwa pelaksanaan hukuman mati dilakukan dengan menghormati hak asasi manusia. Di Indonesia pemikiran oleh Satjipto Rahardjo memberikan pengaruh terhadap kebaharuan hukum karena hukum progresif telah membantu terciptanya sistem norma hukum menyatu dengan moralitas. Satjipto Rahardjo mencetuskan bahwa konsep hukum progresif sudah mengkritik status quo mengenai cara menjalankan hukum hingga saat ini, serta sudah mencari ide untuk menemukan agar hukum terfokus pada usaha meraih tujuan keadilan secara signifikan. Perspektif hukum di Indonesia telah berubah menjadi lebih progresif karena RUU KUHP. Walaupun pemidanaan mati masih tercantum namun dalam penerapannya masih lebih manusiawi dari sebelumnya. Di Indonesia pemikiran oleh Satjipto Rahardjo memberikan pengaruh atas kebaharuan hukum karena hukum progresif lebih mementingkan unsur kemanusiaan sudah membantu menciptakan sistem norma hukum yang mengikuti moralitas.8
Hukum dengan dasar aliran positivis mempunyai devinisi yang memiliki kandungan prinsip jika hukum terlahir dengan tujuan menjadi sebuah kepastian hukum, oleh karena itu hukum adalah perintah terhadap manusia. 9Menurut hukum progresif, hukum diartikan sebagai sebuah institusi yang memiliki tujuan memberikan kehidupan yang adil dan sejahtera kepada masyarakat. Hukum progresif sangat lues dalam perubahan serta tidak ada keterikatan pada ketentuan hukum tertulis dan berpikir secara progresif menurut Satjipto Rahardjjo berani untuk keluar dari pemikiran absolutism hukum, dan kemudian hukum ditempatkan dalam posisi yang relatif. Mengenai hal ini hukum seharusnya ditaruh pada permasalahan kemanusiaan yang memiliki arti hukum mempunyai peran dalam menjamin kebutuhan manusia terhadapat keadilan dan kepastian hukum itu sendiri.
Hukum yang dikembangkan oleh Satjipto Rahardjo mengenai pemikiran hukum progresif memiliki pandangam jika pembentukan hukum bertujuan untuk manusia bukan tercapainya keadilan. Sehingga subjek hukum yang paling lemah bukanlah wanita dan anak. Hukum progresif menurut konsep pidana mati yang sifatnya khusus dalam RUU KUHP perlu ditempatkan pada perspektif luas serta lintas, sehingga ketikan konsep pemidanaan tersebut akan diterapkan tidak akan menimbulkan perspektif mengalahkan maupun menindas satu dari sekian kepentingan. Menurut Mahmud Kusuma yang di kutip oleh Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa hukum
progresif berada sebagai solusi dari kebuntuan hukum atas keadilan yang solusi utamanya adalah perubahan paradigma serta orientasi dalam memandang hukum kebutuhan masyarakat (manusia). Yang bisa dilakukan dengan cara hakim melakukan sebuah kajian hukum komprehensif yang disebut penafsiran hukum untuk menempatkan hakim pada satu kebebasan untuk memahami dan mengkaitkan hukum sesuai perkembangan masyarakat. Menurut buku yang berujudul Wawasan Due Process of Law oleh Syukri Akub tentang sistem peradilan pidana, menyatakan penyebab hukum progresif terlahir karena adanya ketidakpuasan dan keprihatinan mengenai kulitas hukum di Indonesia, maka spirit hukum progresif adalah spirit pembebasan. Hukum progresif memiliki tujuan untuk melindungi rakyat menuju ke ideal hukum, dan menolak status quo.
IV. Kesimpulan sebagai Penutup
4. Kesimpulan
Berdasarkan analisis tersebut, terlihat bahwa adanya perubahan posisi pemidanaan mati, perubahan tersebut terlihat dari posisi pemidanaan mati yang sebelumnya merupakan jenis pidana pokok terberat dan berubah menjadi pidana pokok bertipe khusus dan eksepsional di RUU KUHP. Hal tersebut terjadi karena pemidanaan mati dianggap bukanlah pemidanaan pokok, pemidanaan mati bukan alat mengatur, menertibkan, serta memperbaiki masyarakat. Pemidanaan mati yang masih memiliki persoalan karena di anggap dapat melanggar Hak Asasi Manusia, sebenarnya jika dilihat walau masing-masing orang mempunyai hak untuk hidup tapi hak itu tidak absolut dikarenakan hak mampu dibatasi pakai implementasi dari pemidanaan mati apabila diterapkan dengan norma yang ada. Menurut hukum prpgresif mengenai konsep pemidanaan mati perlu adanya penempatan perspektif yang lebih luas dan lintas agar konsep tersebut diterapkan tidak ada perspektif mengalahkan, menindas salah satu kepentingan. Dan oleh karena itu untuk melaksanakan hukum dengan sistem hukum progresif tidak hanya melihat pada rule and logic tetapi melihat juga aturan dan kebiasaan. Untuk mencari keadilan diperlukannya kecerdasan spiritual yang digunakan untuk menafsirkan hukum, yang dimaksud kecerdasan spiritual disini merupakan peran hati dari pihak penegak hukum di dalam melakukan penanganan pada kasus hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Moeljatno. “Azas-Azas Hukum Pidana” Jakarta: Rineke Cipta (1993).
Satjipto Rahardjo. “Membedah Hukum Progresif”. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
(2006).
Jurnal
Ade Mahmud, “Problema Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika Dalam Sistem Hukum Indonesia”, Junal Hukum dan Pembangunan 51 No. 2 (2021).
H. Deni Nuryadi, S.H., M.H., “Teori Hukum Progresif dan Penerapannya di
Indonesia”, Jurnal Ilmiah Hukum De’jura Vo.1 N0. 2 (2016).
Islamiyah, “Kritik Filsafat Hukum Positivisme sebagai Upaya Mewujudkan Hukum yang Berkeadilan”, Law & Justice Journal Vol.1, No.1 (2018).
John Kenedi, " Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) dalam Negara Hukum Indonesia: Upaya Mensejahterakan Masyarakat", Jurnal Pemerintah dan Politik Islam Vol. 2, No. 1 (2017).
Melisa Dewi Nur Aeni, Bambang Tri Bawono, "Penjatuhan Pidana Mati Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia", Prosiding Konferensi Ilmiah Mahasiswa UNISSULA (KIMU) (2020).
Roby Anugrah, Raja Desril, “Kebijakan Formulasi Pidana Mati Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia”, Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Vol. 3 No.1 (2021).
Tia Ludiana, “Eksistensi Pidana Mati dalam Pembaharuan Hukum Pidana (Kajian Terhadap Pidana Mati di RUU KUHP)”, Jurnal Litigasi Vol, 21 (2020).
Skripsi
Lumaksono Gito Kusumo, “Penal Reform dan Unifikasi Hukum Terhadap Tata Cara dan atau Persyaratan Upaya Paksa Sebagai Upaya Terwujudnya Asas Equality Before The Law” (2009).
Reza Rahmat Yamani, “Pemikiran Prof Satjipto Rahardjo tentang Hukum Progresif dan Relevasinya dengan Hukum Islam di Indonesia” (2016).
Peraturan Perundang – Undangan
Konsep RUU KUHP. 1964.
Konsep RUU KUHP. 1964. 1983/1984. 1989/1990. 1991/1992. 2004. 2013. 2015.
Konsep RUU KUHP. 1971/1972 dan 1980.
Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang No. 39 Tentang HAM.
Jurnal Kertha Wicara Vol 12 No 07 Tahun 2023, hlm. 337-346
Discussion and feedback