PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN YANG DIRUGIKAN AKIBAT ADANYA WANPRESTASI

DALAM PERJANJIAN JUAL BELI ONLINE DIMASA PANDEMI COVID-19

Wirya Iswari Krisnanda Bhagavata, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : [email protected]

Dewa Gde Rudy, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

DOI: KW.2022.v11.i03.p13

ABSTRAK

Penelitian dari karya ilmiah ini mempunyai tujuan agar dapat mengetahui bentuk kerugian konsumen akibat adanya wanprestasi dalam perjanjian jual beli online di masa pandemi covid-19 serta perlindungan hukum terhadap konsumen yang dirugikan akibat adanya wanprestasi dalam perjanjian jual beli online di masa pandemi covid-19. Penelitian ini tergolong kedalam penelitian hukum normatif dengan menggunakan jenis pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Adapun hasil dari penelitian karya ilmiah ini adalah bentuk kerugian konsumen atau pembeli akibat adanya wanprestasi didalam perjanjian bertransaksi jual beli online di masa pandemi covid-19 yaitu yaitu produk atau barang yang diterima konsumen tidak sesuai dengan kesepakatan, produk atau barang yang diterima konsumen terlambat datang, barang yang diterima konsumen palsu, dan barang yang diterima konsumen cacat. Adapun perlindungan hukum bagi konsumen yang mendapatkan kerugian akibat wanprestasi di masa pandemi covid-19 diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 atau UU ITE, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Menyelesaikan sengketa jual beli online bisa melewati beberapa cara yaitu melalui peradilan umum atau bisa juga di luar pengadilan.

Kata Kunci: Konsumen Wanprestasi, Jual Beli Online, Covid-19

ABSTACT

Research from this scientific paper was aimed to examine the form of consumer losses due to default in online buying and selling agreements during the covid-19 pandemic and legal protection for consumers who are harmed due to default in online buying and selling agreements during the covid-19 pandemic. This research normative legal research using a statutory approach and a conceptual approach. As for the results of this scientific research, it is a form of consumer or buyer loss due to a default in the online buying and selling transaction agreement during the covid-19 pandemic, namely the product or item received by the consumer is not in accordance with the agreement, the product or item received by the consumer is late, goods received by consumers are counterfeit, and goods received by consumers are defective. The legal protection for consumers who suffer losses due to default during the COVID-19 pandemic is regulated in Law No. 11 of 2008 or UU ITE, Law no. 8 of 1999, and the Civil Code. Resolving online buying and selling disputes can be done in several ways, namely through the general court or out of court.

Keywords: Consumer, Default, Online Buying and Selling Transactions, COVID-19

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1.    Latar Belakang Masalah

Tahun 2020 dapat dikatakan menjadi tahun yang sangat memperihatinkan diseluruh dunia, karena dunia sedang terkena dampak pandemi virus baru yang sangat hebat dampaknya. Virus ini diberi nama oleh Organisasi Kesehatan Dunia dengan sebutan Severe Acute Resporatory Syndrome coronavirus-2 dan nama penyakitnya yaitu Coronavirus disease 2019 (Covid-19) (WHO, 2020). Awal mula virus corona ini tumbuh di Kota Wuhan di negara China bagian tengah. Virus ini bisa menyebar sangat cepat bersentuhan secara langsung melalui indra penciuman, indra perasa, dan indra penglihatan, dan berkembang di dalam tubuh pada bagian paru-paru. Apabila seseorang terkena Covid-19 maka akan memiliki gejala seperti suhu tubuh mengalami kenaikan, demam, tidak dapat merasakan, batuk, kepala terasa pusing, susah melakukan pernafasan. Maka dari itu bisa dikatakan virus ini sangatlah berbahaya. Hampir semua kesibukan yang umumnya dilakukan di luar rumah, seperti menimba ilmu di sekolah, pendidikan, bekerja atau beribadah, telah dibatasi karena virus corona ini. Hal ini tentu saja mempengaruhi aktivitas lain seperti belanja, belanja kebutuhan sehari-hari, berbelanja pakaian, ataupun berbelanja kebutuhan lainnya, sehingga terjadi peningkatan dalam belanja online.

Masa pandemi seperti saat ini membuat transaksi online di Indonesia kian berkembang pesat. Teknologi informasi di dunia tentu saja juga berkembang sangat pesat karena masa pandemi seperti ini banyak yang hanya berdiam diri dirumah ataupun Work Form Home (WFH). Di zaman saat ini salah satu keperluan bagi sebagian besar rakyat pada umunya adalah internet, proses bertransaksi jual beli melalui internet tentu saja telah menjadi trend. Karena internet pada masa ini mulai dapat dirasakan oleh segala golongan tanpa terkecuali, semua golongan sudah bisa mengakses internet dan sudah bisa melakukan proses jual beli online. Proses bertransaksi bisnis melalui dunia maya ini dapat dikatakan e-commerce atau electronic commerce atau EC.1 Transaksi online tentu saja menjadi primadona di kalangan masyarakat karena pelayanannya yang andal dan simpel serta efisien maka dari itu masyarakat pada umumnya mempunyai ruang lingkup yang tentu saja lebih luas untuk mencari barang yang diinginkan.2 Transaksi online juga memberikan sebuah pilihan dari aspek pembayaran untuk para pembeli, yaitu dengan tersedianya sistem pembayaran ditempat, atau dapat juga dikatakan dengan proses pembayaran dan pengiriman barang atau jasa tersebut bisa dilaksanakan pada akhir persetujuan kedua belah pihak.3

Bertransaksi jual beli melalui media online mewujudkan transaksi bisnis yang semakin efisien karena kita tidak perlu menggunakan kertas (paperless) dan dalam bertransaksi jual beli melalui media online kita tidak harus bertemu secara berhadapan (face to face) antara pembeli dan penjual yang akan bertransaksi, kemudian dapat dikatakan jual beli online menjadi pelopor ekonomi modern pada bidang media elektronik.4 Dalam UU ITE dapat dilihat pada Pasal 1 ayat (2) yang

mengatur tentang pengertian transaksi elektronik. Merujuk pada pasal tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan yang dimana para pihak dapat menjalankan transaksinya tanpa harus bertemu langsung, melainkan hanya menggunakan media elektronik dan bisa melakukanya dimana saja, hal ini tentunya membuat para pihak dalam bertransaksi menjadi lebh mudah dan praktis.5 Terlepas dari semua keringanan dan keuntungan yang didapatkan oleh proses transaksi online ini, terdapat pula suatu permasalahan-permasalahan hukum. Apabila dilihat dari proses terjadinya sebuah transaksi tentu saja terdapat permasalahan hukum yang berkaitan dengan kontrak sebagai berikut:6

  • 1.    Permasalahan mengenai kapan terjadinya kesepakatan dalam transaksi online;

  • 2.    Permasalahan alternatif hukum dan persoalan bagaimana membuktikan; dan

  • 3.    Permasalahan keabsahan pada digital.

Permasalahan-permasalahan tersebut menunjukkan bahwa transaksi online tidak hanya memiliki kemudahan saja tetapi ada permasalahan juga. Dalam transaksi online sering terjadi permasalahan seperti barang yang diinginkan tidak sama seperti yang dilihat pada platform jual beli online, selanjutnya adapun permasalahan yang lain seperti barang yang dipesan tidak sampai tepat waktu, dan masih banyak lagi. Pelaksanaan transaksi online terikat dalam sebuah perjanjian.7 Bagi transaksi bisnis melalui media online, perjanjian merupakan terjadinya suatu kesepakatan diantara kedua belah pihak yang ikut menyertai didalam melakukan suatu transaksi. Transaksi bisnis melalui media online ini seorang konsumen sering menjadi korbannya seperti salah satu contoh kasus dalam jual beli online yaitu ada seorang pebisnis online bernama Wiwi Laurensia, Wiwi adalah seorang pemilik online shopping dengan nama toko “wiwishop1 makassar”. Wiwi menjual baju pada toko online-nya di Instagram, baju yang diperjual-belikan Wiwi berwarna merah, tetapi ketika baju tersebut diterima oleh konsumen, warna baju tersebut ternyata merah muda. Pada halaman akun instagram “wiwishop1 makassar”, tempat dimana Wiwi menjualkan baju tersebut Wiwi tidak memberikan informasi yang jelas pada halaman instagram online shopping miliknya, seperti halnya perbedaan warna akibat pencahayaan dari kamera. Konsumen mengaku merasa dirugikan karena tidak ada penjelasan yang lebih mendeskripsikan warna baju tersebut pada halaman akun instagram “wiwishop1 makassar”, dan juga barang serta uang tidak dapat dikembalikan.8

Perlindungan hukum menjadi salah satu aspek penting dalam transaksi ecommerce. Perlindungan hak-hak konsumen menjadi bagian yang penting dalam perlindungan hukum ini. Konsumen sering menjadi subjek yang dirugikan pada transaksi ini, misalnya ketika produk yang sampai tidak sesuai dengan barang dipesan, keterlambatan penerimaan produk dan tidak dikirimnya produk yang dipesan oleh konsumen. Kecurangan pelaku usaha ini sering disebut sebagai

wanprestasi.9 Kebutuhan seseorang atau konsumen sebelum memakai dananya untuk mengadakan transaksi pada suatu barang dan jasa yaitu penjelasan yang lebih akurat tentang suatu produk barang dan jasa tersebut.10. Dari banyaknya permasalahan dalam jual beli online yang sebagian besar terkena dampaknya adalah konsumen, membuat pemerintah mewujudkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dan bertransaksi pada media online diatur pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016.

Penulisan artikel ini dibuat berdasarkan pemikiran pribadi penulis dengan melihat keadaan yang sering terjadi di masa pandemi Covid-19 ini, seringkali pelaku usaha dalam jual beli online melakukan kelalaian atau wanprestasi kepada konsumen. Artikel ini secara khusus membahas mengenai Perlindungan hukum bagi konsumen yang dirugikan akibat adanya wanprestasi pelaku usaha dalam perjanjian jual beli online dimasa pandemi covid-19. Setelah menelusuri beberapa sumber-sumber kepustakaan, penulis menemukan beberapa bahan penelitian yang sesuai untuk dijadikan acuan maupun perbandingan dalam penulisan artikel ini. Penelitian tersebut yang pertama adalah Jurnal Fakultas Hukum Universitas Udayana dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap Hak Konsumen Transaksi E-commerce Dalam Hal Terjadinya Wanprestasi yang ditulis oleh A.A. Made Yuni Purnama Sari dan Suatra Putrawan.11 Penelitian selanjutnya yang penulis jadikan acuan dalam penulisan artikel ini adalah Jurnal Fakultas Hukum Universitas Udayana dengan judul Implementasi Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi Jual Beli Melalui Online yang ditulis oleh Rai Agustina Dewi dan I Nyoman Suyatna.12 1.2 Rumusan Masalah

  • 1.    Apa bentuk kerugian konsumen akibat adanya wanprestasi dalam perjanjian jual beli online di masa pandemi covid-19?

  • 2.    Bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen yang dirugian akibat adanya wanprestasi dalam perjanjian jual beli online di masa pandemi covid-19?

  • 1.3 Tujuan Penulisan

  • 1.    Untuk mengetahui bentuk kerugian konsumen akibat adanya wanprestasi dalam perjanjian jual beli online di masa pandemi covid-19

  • 2.    Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap konsumen yang dirugian akibat adanya wanprestasi dalam perjanjian jual beli online di masa pandemi covid-19

  • II.    Metode Penelitian

  • 2.    Metode Penelitian

Penyusunan jurnal dengan judul "PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DALAM TRANSAKSI JUAL BELI ONLINE PADA MASA PANDEMI COVID-19 ini

menerapkan metode Penelitian Hukum Normatif yang disebut "penelitian hukum doktrinal" yang dalam penelitiannya menggunakan perundang-undangan (statue approach) sebagai sumber utama dalam metode penelitian hukum normatif ini. Penulisan jumal ini dilakukan melalui kegiatan Study Literatur yang dimana digunakan dalam mengumpulkan data seperti website, artikel dan dari berbagai jurnal lain yang berhubungan dengan jual beli online. Hal tersebut berkaitan dengan jual beli online/transaksi online termasuk kedalam peraturan perundang-undangan. Disini terdapat dua sumber bahan hukum dalam penelitian karya ilmiah ini, yaitu sumber hukum yang pertama yaitu primer yang terdiri dari : " Peraturan Perundang-Undangan yang memiliki keterkaitan dengan jual beli online atau transaksi online (UU ITE UUPK dan KUHPER)" , kemudian sumber hukum yang kedua yaitu, sekuder yang meliputi : " Buku dan Jurnal Hukum". Analisa sumber hukum yang dipergunakan didalam peraltian karya ilmiah ini merupakan penelitian yang bersifat " Deskriptif".

  • III.    Hasil dan Pembahasan

  • 3.1.    BENTUK KERUGIAN KONSUMEN AKIBAT ADANYA WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI ONLINE DI MASA PANDEMI COVID-19

Bilamana pihak-pihak yang telah melakukan kesepakatan dalam perikatan dan tidak bisa memenuhi kewajibannya dari kesepakatan pada sebuah perikatan tersebut, baik dari perikatan yang muncul akibat adanya sebuah perjanjian yang sudah disepakati maupun undang-undang merupakan suatu wanprestasi. Suatu wanprestasi bisa saja timbul baik karena direncanakan maupun tidak direncanakan. Suatu wanprestasi dapat timbul apabila terdapat pihak yang memang tidak sanggup untuk menyanggupi suatu prestasi yang dibuat atau bisa juga terdesak untuk tidak dapat menjalankan prestasi tersebut, jikalau dilihat dari pihak yang tidak sengaja.13 Jual beli bukan hanya dilakukan di pasar, supermarket, dan lain-lain. Jual beli bisa juga dilakukan melalui internet. Di masa pandemi ini jual beli melalui internet ini sangatlah bagus, karena membantu menurunkan kasus positif virus corona di Indonesia. Menajaga jarak 1 meter ditempat umum merupakan saran dari organisasi kesehatan dunia yang harus dipatuhi, sehingga jual beli online ini menjadi alternatif untuk para penjual dan pembeli agar terhindar dari Covid-19. Belanja melalui media elektronik idealnya berperan sebagai sarana untuk memenuhi keperluan setiap harinya bagi para seorang istri atau seorang ibu dan bukan untuk kepuasan dalam belanja. Kemudahan dan kenyamanan tentu saja didapat dari berbelanja online , namun berbelanja online ini itu sendiri bisa mengembangkan sikap boros, terlebih-lebih pada masa pandemi Covid-19.14 Kesepakatan merupakan hal yang amat sangat penting dalam bertransaksi melalui media online karena pada proses bertransaksi melalui media online ini salah satu sifatnya tidak bertatapan secara langsung, sehingga diperlukan pengaturan tentang kapan waktu terjadinya suatu persetujuan tersebut15.

Wanprestasi dapat dikatakan terjadi bilamana pihak-pihak yang bersangkutan tidak dapat melaksanakan apa yang sudah diperjanjikan, yang dapat diartikan salah satu pihak tersebut tidak mampu menyanggupi suatu prestasi yang sudah diperjanjikan pada perjanjian yang disepakati. Dalam UUPK pada Pasal 4 disebutkan tentang segala hak-hak yang didapatkan konsumen. Pasal tersebut telah memberikan hak yang begitu banyak untuk pihak konsumen, namun pada faktanya semua hak-hak pembeli yang terdapat pada tiap-tiap pasal tersebut tidak didapatkan oleh para konsumen dan dilanggar oleh pihak pelaku usaha16. Keterangan yang benar dan terperinci tentang produksi jasa ataupun barang yang akan dipasarkan oleh pelaku usaha tentu saja wajib diperoleh oleh pihak konsumen itu sendiri karena pada perjanian jual beli online asas itikad baik menjadi bagian yang sangat penting untuk menjaga rasa kepercayaan yang terjalin antara konsumen dan pelaku usaha17. Selain hak konsumen adapula kewajiban konsumen yang dijelaskan didalam Pasal 5 UUPK. Dari Pasal 5 UUPK dapat dilihat agar bisa mengikuti segala upaya pada penyelesaian secara hukum apabila terjadi sengketa perlindungan konsumen, harus bisa mendapatkan sebuah perincian yang lebih lanjut dikarenakan kewajiban ini ditafsir sebagai suatu hal yang baru. Dikarenakan ada kewajiban yang sejenis ini dijelaskan pada UUPK disangka selaras, karena kewajiban ini untuk menyamai hak konsumen agar memperoleh segala usaha untuk menyelesaikan semua sengketa perlindungan terhadap konsumen secara efektif. Dalam perjanjian bertransaksi jual beli online tentu ada saja pelanggaran dari pihak pembeli maupun penjual mengenai setiap kewajiban atau hak yang dimiliki masing-masing pihak supaya mendapatkan keuntungan bagi yang melakukan pelanggaran tanpa memperhatikan kebahagiaan pembeli ataupun penjual sehingga bisa menimbulkan kerugian. Kerugian tersebut bisa dikatakan sebagai wanprestasi, berikut segala bentuk wanprestasi yang dihadapi pihak konsumen ketika melakukan perjanjian jual beli melalui media online pada masa pandemi yaitu:

  • 1.    Produk atau barang yang diterima tidak sesuai dengan kesepakatan

Apabila menjalankan perjanjian jual beli melalui media online adapun situasi yang harus dicermati salah satunya yaitu komunikasi. Jika terjadi komunikasi yang tidak baik maka akan menumbuhkan kerugian baik secara materiil maupun non materiil. Dan kerugian tersebut menjadi salah satu bentuk wanprestasi. Dalam kasus yang sering terjadi hampir sebagian besar konsumen merasakan kerugian dikarenakan barang tidak sesuai dengan keinginannya, seperti barang tersebut tidak cocok dengan foto, warna, ukuran, ataupun kualitas barang yang telah dideskripsikan di platform jual beli online tersebut. Lebih-lebih di musim virus corona seperti saat-saat ini yang tentu saja sangat banyak kasus seperti ini karena konsumen tidak mempunyai pilihan selain berbelanja online.

  • 2.    Produk atau barang yang diterima terlambat datang

Barang yang dibeli tentu saja adalah barang yang sangat ditunggu kedatangannya oleh pembeli, jika mengalami keterlambatan tentu saja akan mengecewakan pembeli. Keterlambatan menjadi salah satu penyebab

wanprestasi di dalam perjanjian jual beli melalui media online, masalah ini dapat dipicu oleh dua penyebab, yaitu:

  • a.    Unsur kesengajaan dari penjual

Keterlambatan barang yang diterima tersebut disebabkan karena kesengajaan penjual seperti barang atau produk yang sudah diperjual belikan tidak ada ketersediaan barangnya atau terjadi sebuah kesalahan dalam proses pembuatan barang atau produk tersebut maka dari itu penjual sengaja memperlambat pengiriman. Hal ini juga disebabkan karena pandemi covid-19 yang membuat kurangnya pegawai sehingga terjadi keterbatas stok ataupun proses pembuatan yang terdapat kesalahan.

  • b.    Unsur keadaan yang memaksa

Keterlambatannya disebabkan karena keadaan yang sangat memaksa seperti pihak penjual telah mengirim barang yang sudah disepakati tetapi kurir melakukan keterlambatan dalam mengantarkannya ataupun tidak mengetahui alamat jelas dari pembeli. Masa pandemi covid-19 membuat semua ekspedisi menjadi terhambat apalagi dengan adanya PSBB atau PPKM

  • 3.    Barang yang diterima palsu

Barang yang dibeli di platform jual beli online belum tentu barang yang memang asli. Sebagian besar kasus transaksi online, konsumen mengalami kekecewaan karena barang yang dijual palsu atau KW. Di masa pandemi covid-19, situs-situs jual beli online sering mengadakan diskon besar-besaran sehingga konsumen sering tergiur dengan diskon dan tidak memeriksa secara detail barang yang akan dibeli.

  • 4.    Barang yang diterima cacat

Barang yang sampai terkadang mengalami kerusakan seperti kerusakan pada pengemasan ataupun pada barang, hal ini bisa saja disebabkan karena pihak ekspedisi yang tidak cermat. Pada masa pandemi ini membuat sebagian besar ekspedisi harus bekerja extra karena membludaknya pengiriman barang, maka dari itu barang yang diterima terkadang memiliki kerusakan.

  • 3.2.    PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN APABILA TERJADI KERUGIAN YANG DIAKIBATKAN KARENA ADANYA WANPRESTASI JUAL BELI ONLINE DI MASA PANDEMI COVID-19

Berjualan dan membeli merupakan sebuah bentuk transaksi umum yang selalu dilaksanakan oleh semua orang, jual beli ini berdasarkan dengan perjanjian. Setiap hubungan yang saling timbal-balik terdapat dua macam subjek hukum, dari tiap-tiap subjek tersebut memiliki sebuah hak dan kewajiban dalam perwujudan perjanjian yang telah disepakati. Perjanjian didalam bertransaksi jual beli melalui media online diwujudkan dalam sebuah kontrak elektronik, perwujudan dari kontrak elektronik itu sendiri bilamana sinkron dengan sesuatu yang sudah disetujui oleh pembeli dan penjual maka dapat dikatakan hubungan hukum diantara keduanya sudah berakhir, namun bilamana didalam perwujudan kontrak elektronik yang dibuat tidak sinkron maka dapat memunculkan persoalan. Persoalan itu sendiri muncul karena tidak terpenuhinya kepuasan dari satu di antara yang ada atau kedua belah pihak yang berhubungan, persoalan terkait pembeli biasanya dikatakan suatu sengketa

konsumen18. Dalam UUPK pada Pasal 5 huruf a dijelaskan bahwa konsumen harus mengikut petunjuk informasi dan prosedur pemakaian karena hal inilah yang terkadang menjadi faktor utama kelemahan pembeli (konsumen). Seringkali karena tingkat wawasan mengenai hukum dan pemahaman pembeli akan tiap-tiap haknya yang terbilang cukup rendah membuat penjual menggunakan kondisi tersebut untuk memperoleh suatu keuntungan yang cukup besar dengan tidak melaksanakan kewajibannya sebagai pelaku usaha. Konsumen selalu memikirkan kemudahan dalam berbelanja online dan tentu saja karena harga belanja di online shop jauh lebih murah daripada di toko, konsumen yang cermat pasti akan melihat penilaian dari pembeli lain atau biasa disebut review. Dalam hal ini hak konsumen tidak digunakan dengan baik, terkadang kewajiban konsumen juga tidak digunakan seperti menanyakan keaslian barang seperti foto atau penjelasan lainnya. Di musim pandemi seperti sekarang ini konsumen hanya fokus kepada kemudahan dalam berbelanja tanpa harus ke toko, apalagi dengan banyaknya trend berbelanja online membuat konsmen terus melakukan transaksi tersebut. Kurangnya pengetahuan dan kesadaran konsumuen dalam transaksi e-commerce yang dilakukan cenderung menempatkan konsumen di posisi yang pasif.19

Suatu perlindungan hukum dalam sebuah perjanjian berjualan dan membeli melalui media online dapat dilihat terdapat adanya sebuah persetujuan dari kedua belah pihak yang bersangkutan sudah patut membuktikan bahwa sudah terbentuk ikatan keperdataan, dimana dapat dikatakan suatu perikatan telah tumbuh dari suatu tindakan hukum antara satu orang atau lebih yang diatur dalam Pasal 1313 KUHPer dan dalam Pasal 1314 KUHPer. Sebuah persetujuan telah dapat menunjukkan terdapat tiap-tiap kewajiban dan tiap-tiap hak yang muncul dari para pihak yang melakukan kesepakatan. Pada mulanya, suatu perjanjian tidak diperlukan dibuat secara tertulis, kecuali diwajibkan oleh undang-undang.20. Dalam UUPK perlindungan mengenai hak-hak konsumen diatur dalam Pasal 7 yang mengatur kewajiban pelaku usaha, apabila terjadi kerugian akibat dari wanprestasi dalam Pasal 7 huruf g UUPK menyatakan kewajiban pelaku usaha “memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian”. Apabila penjual mengunggah foto suatu barang di halaman web jual belinya pada saat pembeli melihat dia sangat senang dan langsung ingin memesan barang tersebut setelah melewati segala proses, barang itupun sampai kepada pembeli tetapi warna dan bentuk barang tersebut tidak sesuai foto di halaman web jual beli tersebut. Contoh yang telah dijelaskan diatas dengan tegas dilarang pada Pasal 8 ayat (1) huruf f UUPK. Mengenai pertanggungjawaban penjual juga diatur dalam UUPK pada Pasal 19. Pertanggungjawaban tersebut berupa penggantian kerugian dan batas waktu mengganti semua kerugian tersebut dilaksanakan dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah tanggal dilakukannya transaksi tersebut.21 Prinsip tanggung jawab mutlak benar-benar berperan penting dan tentu saja berlaku didalam wanprestasi jual beli online karena dalam prinsip tanggung jawab mutlak ini pengelola usaha harus

bisa memberikan tanggung jawab terkait kerugian yang diderita konsumen. Seperti yang diketahui ketetapan tentang mengganti kerugian diatur dalam Pasal 1243 dan 1246 KUH Perdata, dan dalam Pasal 24 ayat (1) UUPK menyatakan “Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila:

  • a)    pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut;

  • b)    pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai degan contoh, mutu, dan komposisi.”

Dalam Pasal 24 ayat (2) juga menjelaskan “Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut”. Dalam Pasal 5 ayat (1) UU ITE menjelaskan “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.” Pasal 9 UU ITE menjelaskan setiap pelaku usaha yang akan mempromosikan suatu barang melewati sebuah sistem elektornik maka seorang pelaku usaha tersebut mampu menyediakan sebuah informasi yang tentu saja harus akurat dan valid terkait dengan syarat-syarat pada kontrak, produsen, dan suatu produk yang ditawarkan. Dapat dilihat dari pasal tersebut menjelaskan hukum yang semakin memperkuat dalam melindungi konsumen. Pasal 18 ayat (1) menjelaskan bahwa “transaksi elektronik yang dituangkan ke dalam kontrak elektronik mengikat para pihak.” Pasal 28 ayat (1) juga mendukung perlindungan konsumen.

Pembeli sebagai pihak yang mengalami kerugian bisa dikatakan termasuk kedalam sebuah wanprestasi dapat mengusulkan upaya hukum berupa gugatan ke jalur pengadilan berdasarkan Pasal 38 Undang-Undang ITE. Tetapi banyak konsumen yang tidak mau memperpanjang masalah apalagi dimasa Pandemi Covid-19 ini, mereka pasti akan berfikir bagaimana susahnya prosedur-prosedur yang harus dilewati apalagi dengan harga barang yang tidak seberapa. Maka dari itu karena konsumen jarang membawa permasalahan ini ke pengadilan membuat sengketa dibidang jual beli online merajalela ditambah sekarang jual beli melalui online kian berkembang karena adanya pandemi Covid-19 ini. Saat pelaksanaan bertransaksi pada platform jual beli melalui media online tetap saja ada beberapa penjual (pelaku usaha) yang menjadikan kondisi yang mendesak sebagai manfaat untuk merugikan konsumen, sedangkan dengan adanya perlindungan konsumen diharapkan bisa membentuk dasar dalam melindungi konsumen agar bisa terus-menerus mendapatkan kenyaman dan rasa aman dalam bertransaksi, dan juga diharapkan bisa menyediakan pelayanan terbaik dalam menciptakan suatu rasa aman dan kemakmuran didalam bertransaksi jual beli online. Maka dari itu diharapkan agar pengelola usaha mampu memaksimalkan segala kewajibannya dalam memperniagakan barang-barang yang akan dijual baik berupa sebuah produk maupun jasa.22 Menyelesaikan sengketa jual beli online bisa melewati beberapa cara yaitu menempuh jalur peradilan umum atau dapat pula menempuh jalur di luar pengadilan. Berikut penjelasan singkat terkait hal tersebut, yaitu:

  • 1.    Litigasi

Bilamana akan mengajukan gugatan di pengadilan dasar hukumnya terdpat pada Pasal 38 ayat 1 UU ITE disebutkan bahwa “Setiap Orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi Informasi yang menimbulkan kerugian.” dan dalam Pasal 45 ayat (1) UUPK menjelaskan “Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.”

  • 2.    Non Litigasi

Dalam pasal 39 ayat (2) UU ITE menjelaskan “Selain penyelesaian gugatan perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1), para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.”. Bilamana ingin menyelesaikan segketa melewati jalur non litigasi bisa dilakukan melewati Direktorat Badan Penyelesaian Konsumen, Lembaga Swadaya Masyarakat, ataupun melalui pengelola usaha (pelaku usaha) itu sendiri dengan menggunakan cara kekeluargaan. Dari ketiga lembaga hukum yang dijelaskan tentu saja mempunyai pendekatan yang berlainan apabila mengatasi suatu perkara yang ada.23

  • IV. Kesimpulan sebagai Penutup

4. Kesimpulan

Bentuk kerugian konsumen atau pembeli akibat adanya wanprestasi didalam perjanjian bertransaksi jual beli online di masa pandemi covid-19 yaitu produk atau barang yang diterima konsumen tidak sesuai dengan kesepakatan, produk atau barang yang diterima konsumen terlambat datang, barang yang diterima konsumen palsu, dan barang yang diterima konsumen cacat. Perlindungan hukum terhadap konsumen yang dirugian akibat adanya wanprestasi dalam perjanjian jual beli online di masa pandemi covid-19 diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 atau UU ITE, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Menyelesaikan sengketa jual beli online bisa melalui beberapa cara yaitu melewati peradilan umum atau bisa juga di luar pengadilan

DAFTAR PUSTAKA Buku:

Santoso Az, Lukman. Aspek Hukum Perjanjian : Kajian Komprehensif Teori Dan Perkembangannya. Yogyakarta: Penebar Media Pustaka, 2019.

Sidabalok, Janus. Hukum Perlindungan Konsumen . Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014.

Jurnal:

Agustina Dewi, Rai, and I Nyoman Suyatna. "Implementasi Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi Jual Beli Melalui Online." Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum 4, no. 2 (2018): 1-13.

Dewi, Mila Nila Kusuma. "Penyelesaian Sengketa Dalam Perjanjian Jual Beli Secara Online." Jurnal Cahaya Keadilan 5, no. 2 (2017): 72-90.

Dwi Andiari, Ni Made, and Desak Putu Dewi Kasih. "Perlindungan Hukum Terhadap Hak Konsumen Terkait Transaksi Barang Palsu Pada Situs Jual Beli Online." Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum 9, no. 6 (2022): 926-935.

Handriani, Aan. "Keabsahan Perjanjian Jual Beli Secara Tidak Tertulis Berdasarkan Hukum Perdata." Rechtsregel: Jurnal Ilmu Hukum 1, no. 2 (2019): : 275-304.

Hardika, Rifan Adi Nugraha Jamaluddin Mukhtar, and Fajar Ardianto. "Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi Online." Serambi Hukum 8, no. 02 (2015): 91-102.

Hari Naraya, Anak Agung, and Dewa Gde Rudy. "Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi Online Melalui Media Facebook." Kertha Negara: Journal Ilmu Hukum 9, no. 2 (2021): 83-91.

Hasibun, Syamsir, and Nika Rahmania. "Tinjauan Yuridis Wanprestasi Atas Perjanjian Jual Beli Online." JURNAL DIMENSI 9, no. 1 (2020): 87-89.

Juniar, Andi Maghfirah, and Jusrianti Uci. "Belanja Online di Masa Pandem Covid-19: Studi Kasus Ibu-ibu Rumah Tangga di Kota Makassar." Emik 4, no. 1 (2021): 3751.

Krisna Wahyu Wijaya, I Gede, and Nyoman Satyayudha Dananjaya. "Penerapan Asas Itikad Baik Dalam Perjanjian Jual Beli Online." Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum 6, no. 8 (2018): 1-15.

Languyu, Novianto. "Kedudukan Hukum Penjual dan Pembeli dalam Bisnis Jual Beli Online." Lex Et Societatis 3, no. 9 (2015): 94-100.

Mahardika, Putu Surya, and Dewa Gde Rudy. "Tanggung Jawab Pemilik Toko Online dalam Jual-Beli Online (E-Commerce) Ditinjau Berdasarkan Hukum Perlindungan Konsumen." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 02, no. 05 (2014): 1-16.

Riawan, Belly, and I Made Mahartayasa. "Perlindungan Konsumen Dalam Kegiatan Transaksi Jual Beli Online Di Indonesia." Kertha Semaya 3, no. 01 (2015): 1-5

Rusviana, Zuni, and Adi Suliantoro. "Perjanjian Jual Beli melalui Internet (ECommerce) ditinjau dari Aspek Hukum Perdata." Jurnal Ilmiah Dinamika Hukum 19, no. 2 (2018): 61-69.

Sumenge, Melisa. “Penipuan Menggunakan Media Internet Berupa Jual-Beli Online.” Lex Crimen 2, no. 4 (2013): 102-112

Wulandari, Yudha Sri. "Perlindungan Hukum bagi Konsumen terhadap Transaksi Jual Beli E-Commerce." AJUDIKASI : Jurnal Ilmu Hukum 2, no. 2 (2018): 199-210.

Yuni Purnama Sari, A.A. Made, and Suatra Putrawan. "Perlindungan Hukum Terhadap Hak Konsumen Transaks E-commerce Dalam Hal Terjadinya Wanprestasi." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 9, no. 3 (2021): 446-457.

Peraturan Perundang-Undangan

UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821).

UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubaahan atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Eektronik (Lembaran Negara Republik Indoensia Tahun 2016 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5952).

KUHPerdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)

Jurnal Kertha Wicara Vol.11 No.03 Tahun 2022, hlm. 615-625