PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER ONLINE (KBGO) DI ERA PANDEMI COVID-19

Ayu Reza Wulandari, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Wayan Bela Siki Layang, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

DOI : KW.2022.v11.i03.p7

ABSTRAK

Penelitian ini mempunyai tujuan untuk memahami dan menelaah dasar hukum, pengaturan kedepannya bagi perlindungan hukum perlindungan terhadap korban Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) di Era Pandemi Covid-19 serta memahami dan menelaah upaya yang dapat dilakukan bila terjadi Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) di Era Pandemi Covid-19 saat ini. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian merujuk pada perlindungan hukum terhadap korban Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) di Era Pandemi Covid-19. Secara umum pengaturannya ditemukan di Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Akan tetapi, untuk perlindungan hukum yang sesuai diberikan kepada korban Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) belum diatur secara khusus dalam Undang-Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban maupun ketentuan hukum lainnya.

Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Korban Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), Era Pandemi Covid-19

ABSTRACT

This research aims to understand and examine the legal basis, future arrangements for the protection of Online Gender-Based Violence (KBGO) in the Era of the Covid-19 Pandemic and understand and examine efforts that can be done in the event of Online Gender-Based Violence (KBGO) in the current Era of the Covid-19 Pandemic.This research uses normative legal research methods. This research approach uses a statutory approach and a conceptual approach. The results refer to the legal protection of victims of Online Gender-Based Violence (KBGO) in the Era of the Covid-19 Pandemic. In general, the arrangement is found in the Constitution of the Republic of Indonesia of 1945 and Law No. 31 of 2014 on Amendments to Law No. 13 of 2006 concerning the Protection of Witnesses and Victims. However, appropriate legal protection provided to victims of Online Gender-Based Violence (KBGO) has not been specifically regulated in Law No. 31 of 2014 on Amendments to Law No. 13 of 2006 concerning the Protection of Witnesses and Victims or other legal provisions.

Keywords: Legal Protection, Victims of Online Gender-Based Violence (KBGO), Era of Covid-19 Pandemic

  • I.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang Masalah

KBGO ikut menyebabkan penggunaan media sosial meningkat di Indonesia yang kini menerpa sejak pandemi Covid-19. KBGO salah satu kejahatan baru terjadi yang disebabkan adanya media baru yang menimbulkan kejahatan ini membuat adanya interaksi sosial dan menimbulkan keleluasan pelaku berulah lewat sistem operasi serta perbuatan yang bermacam. Fenomena ini bersamaan dengan meningkatnya aktivitas di dunia digital yang sangat diperlukan dalam keadaan ini. Pandemi Covid-19 membuat aktivitas masyarakat terbatasi hanya lewat media sosial, misalnya WhatsApp, Instagram, Telegram, Twitter, Facebook dan YouTube. Hal tersebut yang memudahkan mereka mengunggah foto atau video yang dapat dilihat dan di komentari oleh orang asing. Selain itu, melakukan Work From Home atau yang populer disebut WFH serta pendidikan memberlakukan Study From Home atau yang populer disebut juga SFH.

Masyarakat banyak melakukan aktivitas dan menghabiskan waktunya di rumah serta mengurangi aktivitas dari luar rumah. Akibat perkembangan teknologi informasi makin bertahap dengan seiringnya waktu makin populer tetapi disalah gunakan oleh masyarakat. Penyalahgunaan teknologi informasi atau sosial media untuk melakukan KBGO. KBGO adalah suatu hal baru dalam kekerasan yang kini mulai bertambah mau dilapor oleh korban yang sebagian besar yaitu perempuan pada Komnas Perempuan. Komnas Perempuan mengeluarkan isu ini karena hingga kini para pemakai jagat maya di Indonesia per tahunnya mengalami kenaikan, serta per harinya membludak warga internet baru yang baru membuat akses dan memakai internet.

Masa pandemi Covid-19 dalam penggunaan internet ini memiliki banyak manfaat yang dirasakan oleh masyarakat. Tetapi disisi lain, selain manfaat positif dari perkembangan teknologi internet yang dirasakan individual, masih banyak hal-hal negatif seperti kejahatan yang tidak mereka ketahui dan hal itu dilakukan melalui penggunaan internet, yang dapat memicu potensi adanya KBGO.1 KBGO adalah kekerasan yang difasilitasi teknologi terhadap seseorang dilandaskan atas seks atau gender. KBGO tidak berbuat secara fisik, namun dengan beragam upaya yakni kekerasan secara verbal.

SAFEnet merupakan suatu wadah telah mengusahakan agar semua orang dijamin bisa menggunakan media digital di seluruh Asia Tenggara, mengadukan pada Komnas Perempuan ialah sepanjang 2017, paling sedikit terdapat delapan bentuk-bentuk KBGO.2 Kasus KBGO dalam data Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan tercatat bahwa pada tahun 2018, korban KBGO tercatat mencapai 97 kasus. Selain itu, tahun 2019 tercatat memperoleh 241 kasus. Akan tetapi, dengan munculnya pandemi Covid-19 yang serba digital, KBGO di Indonesia tampak jelas semakin meningkat, bahkan tahun 2020 naik sekitar 940 kasus.3 Hal ini menunjukan bahwa kasus KBGO di Indonesia mengalami peningkatan yang sangat drastis.

Data tersebut sesuai dengan data dari Dokumen Rilis Pers SAFEnet 2021 bahwa angka kasus KBGO di era pandemi Covid-19 mengalami peningkatan, malah terjadi berulang-ulang atau mengalami peningkatan hampir 300%4. Penggunaan internet untuk media sosial di era pandemi Covid-19 yang kini semakin meningkat, malah membuat adanya peluang bagi masyarakat semakin banyaknya tindakan kekerasan, apalagi tindakan KBGO. Kekerasan dapat mucul karena berhubungan dengan gender, antara korban dengan pelaku pada kegiatan online atau daring bila memakai teknologi digital, maka ekstensi dari KBG dalam kegiatan luring. Kekerasan dalam kegiatan daring sebenarnya bakal ada serta berlangsung pada laki-laki dan perempuan. Tetapi, kekerasan bisa terus bertambah yang dirasakan pada perempuan dari pada laki-laki. Seiringnya perempuan diklaim menjadi orang yang lemah, sebagai akibatnya dalam segala hal tanpa disadari terjadinya tindakan KBGO yang masih menjadi pekerjaan rumah yang serius bagi aparat negara.

Penggunaan internet ini memiliki banyak manfaat yang dirasakan oleh masyarakat. Tetapi disisi lain, selain manfaat positif dari perkembangan teknologi internet yang dirasakan individual, masih banyak hal-hal negatif seperti kejahatan yang tidak mereka ketahui dan hal itu dilakukan melalui penggunaan internet, yang salah satunya ialah kekerasan berbasis gender. Peristiwa ini memberikan dampak di ciri-ciri korban selaku perempuan, yaitu bagian badan yang terutama serta dorongan seksnya. Masyarakat harus pandai menggunakan media sosial atau teknologi informasi masa kini yang semakin meningkat dengan seiringnya perkembangan jaman. Tindakan kekerasan ini perlu adanya pencegahan, agar dapat terjadinya penurunan kasus dan diberikan pendampingan kepada korban KBGO. Selain itu, APH bisa memberikan payung hukum yang menjadi target KBGO.

Penelitian sebelumnya telah diterbitkan pada Jurnal Negara Hukum tahun 2021 oleh Puteri Hikmawati dengan judul “Pengaturan Kekerasan Berbasis Gender Online: Perspektif Ius Constitutum dan Ius Constituendum (The Legal Policy of Online Gender Based Violence Regulation: Ius Constitutum and Ius Constituendum Perspective)”.5 Adapun dalam penelitian tersebut berfokus pada pengaturan KBGO dalam hukum positif dan penerapannya dalam sistem peradilan pidana serta pengaturannya di masa yang akan datang dalam RUU KUHP 2019 dan RUU PKS, sementara dalam penelitian ini lebih berfokus pada perlindungan hukum terhadap korban KBGO menggunakan perundang-undangan yang berlaku, pengaturan kedepannya bagi perlindungan hukum terhadap korban KBGO dan juga membahas upaya yang dapat dilakukan apabila terjadi KBGO di era pandemi Covid-19.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Bersumber pada masalah telah dijelaskan, sehingga persoalan pokok bisa dibagi menjadi 3 diantaranya yakni:

  • 1.    Bagaimanakah pengaturan perlindungan hukum terhadap korban KBGO di Era Pandemi Covid-19?

  • 2.    Bagaimana pengaturan kedepannya bagi perlindungan hukum terhadap korban KBGO di Era Pandemi Covid-19?

  • 3.    Apa saja upaya yang dapat dilakukan bila terjadi KBGO di Era Pandemi Covid-19?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Beberapa hal ditetapkan dalam penelitian ini mempunyai tujuan untuk memahami dan menelaah adapun yang terkait dasar hukum perlindungan terhadap korban KBGO di Era Pandemi Covid-19 serta memahami dan menelaah upaya yang bisa dilakukan bila terjadi KBGO di Era Pandemi Covid-19 saat ini.

  • II.    Metode Penelitian

Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan meninjau aspek norma serta studi kepustakaan serta bahan sekunder untuk menyelesaikan permasalahan. Setiap bahan hukum yang digunakan mengacu pada sistem norma yang berkaitan dengan rumusan pasal ataupun undang-undang tersebut.6 Penulisan pada penelitiannya memakai pendekatan perundang-undangan serta pendekatan konseptual. Teknik penelusuran bahan hukum memakai teknik studi dokumen, dan analisis kualitatif. Adapun penelitian ini dengan bahan sekunder seperti buku, jurnal, karya tulis hukum, internet yang diperlukan.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

  • 3.1    Pengaturan Perlindungan Hukum Kepada Korban KBGO Di Era Pandemi Covid-19

Perlindungan ialah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini terdapat dalam Pasal 1 angka 8 UU No. 31 Tahun 2014 Tentang Perbuhan UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban atau UUPSK. Menurut KBBI, korban merupakan orang, binatang, dan lain-lain yang selaku mengalami penderitaan (mati, dll) efek sesuatu keadaan, aksi jahat, dll. Pasal 1 angka 3 UUPSK telah menjelaskan korban sama dengan orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Kekerasan ialah suatu yang memakai pengaruh fisik maupun ancaman dapat menimbulkan menderita rusak kepada seseorang. Selain itu, dari sudut pandang bahasa kekerasan dari kata dasar “keras”. Menurut KBBI, kekerasan mempunyai definisi perilaku yang dilakukan akibat seseorang/kelompok yang bisa menyebabkan terjadinya pertengkaran atau membuat seseorang meninggal dunia serta menyebabkan menderita rusak di muatan atau fisik orang lain.7

Kekerasan dibagi menjadi beberapa bentuk, yaitu kekerasan fisik yang berhubungan langsung dengan tubuh manusia serta kekerasan psikis yang berkaitan dengan kejiwaan seseorang. Kekerasan fisik adalah kekerasan yang menyertakan jasmani. Para korban menanggung derita fisik alhasil dari siksaan para pelaku.

Kekerasan psikis merupakan kekerasan yang merembet ke keadaan kejiwaan seseorang. Kekerasan yang dikerjakan pelaku dapat membuat luka di kondisi psikis korbannya maupun kurang sehat secara emosional.8

KBGO ialah suatu gambaran perilaku yang membuat seseorang merasa tidak aman, menentang gender atau mendorong seksnya seseorang, serta disediakan dengan adanya jaringan internet dan teknologi yang tersedia. Korban yang paling rawan, seperti perempuan, transpuan serta transpria.9 Macam-macam KBG yang terjadi dalam media sosial sangat beragam, seperti rekruitmen online, pelecehan online, peretasan, pelanggaran privasi, pencemaran nama baik, ancaman distribusi foto/video pribadi, revenge porn, impersonasi, dan pendekatan untuk memperdaya.10 Perlindungan hukum pada instrumen hukum nasional secara konstitusional, UUD NRI Tahun 1945 sudah memastikan warga negaranya untuk mendapatkan perlindungan. Terkandung di dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 telah mengemukakan: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan”.

Alinea keempat juga memuat pernyataan “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Maka keduanya yang memuat negara memiliki hak demi mengupayakan kebebasannya sebagai negara sudah pernah di jajah, dan setiap warga negara tanpa menyatakan ada bedanya gender maupun jenis kelamin, serta memperoleh hak dengan serupa demi menerima pertahanan berlandaskan Pancasila.

Perlindungan hukumnya dapat dibagikan kepada korban pada semua prosedur penegakan hukum pidana, sehingga dapat menentukan pada pengungkapan tindak pidana. Akan tetapi, di Indonesia mempunyai peraturan perundang-undangan walaupun tidak secara eksklusif membereskan masalah KBGO tetapi mempunyai hubungan yang erat dengan kejahatan baru ini. Korban kekerasan berhak diberikan payung hukum sejalan pada Pasal 5 ayat (1) UUPSK. Dalam pasal telah tercantum menjelaskan ialah sanksi dan korban berhak:

  • a.    memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;

  • b.    ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;

  • c.    memberikan keterangan tanpa tekanan;

  • d.    mendapat penerjemah;

  • e.    bebas dari pertanyaan yang menjerat;

  • f.    mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;

  • g.    mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;

  • h.    mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;

  • i.    dirahasiakan identitasnya;

  • j.    mendapat identitas baru;

  • k.    mendapat tempat kediaman sementara;

  • l.    mendapat tempat kediaman baru;

  • m.    memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;

  • n.    mendapat nasihat hukum;

  • o.    memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu Perlindungan berakhir; dan/atau;

  • p.    mendapat pendampingan.

KBGO sudah menderita gabungan beberapa hal, seperti penindasannya secara fisik, seksual, dan psikologis, baik dilakukan dari luring maupun daring perlu diberikan rehabilitasi yang dijelaskan dalam Pasal 6 huruf b yang memuat mengenai korban memiliki hak dapat memperoleh bantuan rehabilitasi psikologis serta psikososial. Sebab, dengan adanya dukungan tersebut dapat membantu pasien atau korban untuk mencapai dan meningkatkan kemandirian dan kualitas hidup. Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik terdapat dalam Pasal 10 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Informatika (ITE). Adapun dalam pasal tersebut dijelaskan ialah korban tak bisa mendakwa dengan cara perdata maupun cara pidana serta segala sesuatu yang dilaporkan akan, sedang, maupun sudah dibagikan. Namun, hingga kini masih belum terdapat perlindungan hukum secara tegas dapat memberi pertolongan kepada korban dengan menggunakan penuh (vonis hukuman kasus KBGO belum menjawab kebutuhan korban).

Korban KBGO mengalami banyaknya terkriminalisasi di era pandemi Covid-19 serta dapat mengurangi jumlah korban KBGO yang ingin bersuara, para korban takut apabila peristiwa akan hendak menimpa kepadanya. Pada penindakan kasus KBGO, ketika Aparat Penegak Hukum atau yang disebut dengan APH memakai perangkat aturan UU ITE. Secara umum, UU ITE menentukan proteksi data langsung pada elektroniknya seperti keterangan serta negosiasi elektroniknya. Mengenai berita elektro diartikan menjadi satu atau gabungan data elektro, terhitung tak sedikit dalam tulisan, bunyi, rancangan, peta, telegram, electronic data interchange, gambar, surat elektronik, foto, telecopy, telegram, maupun semacamnya, tanda, simbol, angka, huruf, Kode Akses, atau perforasi adapun sudah diselesaikan serta mempunyai definisi ataupun bisa dimengerti pada seorang yang bisa mengetahuinya. Melihat dari aturannya banyak sekali masalah perlu ditanggapi secara daring bisa termasuk

sebagai berita elektro dan data pribadi. Akan halnya, perlindungan pada hak tentang sekumpulan data elektronik telah disusun Pasal 26 ayat (1) UU ITE yang menyatakan bahwa Kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan.

Menurut pernyataan yang tertera di atas ialah seseorang dihentikan memakai informasi elektronik tanpa persetujuannya pemilik informasi pribadi sebab menjadikan bagian dari hak pribadi. Seorang yang dilanggar haknya dapat mengemukakan tuntutan dari kerugian telah dialaminya. Perlindungan hukum tersebut sesuai diberikan kepada korban KBGO belum dibuat dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban terdapat aturan TPT, seperti korban tindak pidana penyiksaan, terorisme, kekerasan seksual, perdagangan orang serta penganiayaan berat. Aparat penegak hukum di era pandemi Covid-19 ini dapat memberikan keadilan terkait perlindungan hukumnya terhadap korban tindak pidana, seperti korban KBGO. Sehingga, dapat mengoptimalkan dan juga mengendalikan adanya korban KBGO untuk yakin melindungi dan memberikan keadilan kepada setiap orang yang membutuhkannya.

  • 3.2    Pengaturan Kedepannya Bagi Perlindungan Hukum Terhadap Korban KBGO Di Era Pandemi Covid-19

Hukum pidana bisa digunakan pada definisi subjektif (ius puniendi), hak dapat memutuskan hukum ialah hak dari negara serta perangkat-perangkatnya dapat menjadikan terkait dengan pidana di perbuatan-perbuatan eksklusifnya, maka bisa menimbulkan adanya ius poenale. Selain itu, hukum pidana pada definisi holistik ketentuannya memutuskan syarat-syarat yang bisa mengikatkan negara, bila hendak untuk menimbulkan aturan mengenai pidana, serta aturan-aturan yang merumuskan pidanannya yang dapat diperkenankan, ialah hukum pidana positif atau sering kita sebut dengan ius poenale. Ius puniendi mengikuti perwujudan, pembenaran dan pengungkapannya tetapi di kenyataanya amat terkait dengan peradilan. Peraturan yang terikat memakai tersebut tadi, misalkan dengan memperlihatkan dengan cara apa aturan pidana seperti itu wajib diselenggarakan (mengikuti sistem peradilan pidana), sering disebut dengan Hukum Acara Pidana (Strafvorderingsrecht), atau sering kita dengan sebutan aturan pidana formil buat melainkan bermula dari Hukum Pidana Materiel.11 Ketentuan pada KUHP berhubungan dengan KBG yang memuat pada pasal mengenai penghinaan, tindakan tak menggembirakan, dan bagian dari bab adapun terdapat di Buku II KUHP BAB Tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan pada beberapa pasal, yaitu 281 -282, 284, 292-297, 310, 315 serta 335.

KUHP adalah aturan lex generalis yang belum terdapat aturan hukum secara eksklusif diatur dalam TPT KUHP masih bisa digunakan, salah satunya tindak pidana kekerasan berbasis gender online belum terdapat aturan yang tegas.12 Pasal 281 KUHP mengenai perbuatan etika yang merusakkan seharusnya dialami menjadi kesusilaan bagi segenap orang layaknya dalam masyarakat tertentu. Sehingga dapat

menimbulkan rasa tersinggung serta rasa akhlak melalui kita seluruhnya.13 Pengaturan ketentuan pidana lain bagi pelaku terdapat pada Pasal 368 ayat (1) KUHP memuat adanya isi delik memiliki beberapa unsur, yakni:

  • •    Menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum.

Sifat melawan hukum terdiri dari 2 macam melawan hukum, seperti materil (materiel wederrechtelijkheid) serta melawan hukum formil (formeel wederrechtelijkheid). Tindakan seorang melakukan suatu perbuatannya bila melangsungkan pemerasan, dengan cara paham formil dan materil dapat dikelompokan sebagai tindakan yang sifatnya tersebut dari pemfitnahan membentuk pengingkaran tindak pidana serta tidak sinkron dalam dasar-dasar tata krama dalam masyarakat.

  • •    Memaksa orang dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan agar memberikan barang tersebut.

Sebesar 45% mulai pada 1631 pelaku kekerasan, melangsungkan kekerasan dimana seorang yang melakukan penekanan sambil memberikan ancaman kepada orang tersebut agar menyerahkan barang tersebut. Pada bagian memberikan barang bisa dikelompokan termasuk dalam pemerasan materil berbentuk uang dan pemerasan secara erotis.14

Menurut Van Bemmelen bahwa doktrin pidana Belanda menjelaskan bahwa “delik kesusilaan biasanya tak sedemikian itu dapat mengagetkan seperti delik berhubungan dengan nyawa, serta kekerapannya kurang lebih menurut delik harta kekayaan.” Peraturan yang ada di Indonesia belum spesifik mengulas tentang kekerasan terhadap gender, sebagian aturan-aturan yang termasuk hal aktual ini ialah pengaturan tentang pelanggaran hukum tata susila yang memuat di KUHP yang memiliki manfaat agar bisa melindungi hak-hak individu dari pelanggaran hak-haknya dan sanksi bagi pelaku. Adapun definisi dari “kesusilaan” yang berkenaan menggunakan etika dan moral yang terdapat dalam perundang-undangan. Kemudian pasal berkaitan dengan KBGO tercatat yang berisi perilaku larangan di Bab VII UU No. 19 Tahun 2016 Tentang ITE, yaitu Pasal 27 ayat (1) ialah “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.” Pasal 45 ayat (1) telah menyusun ancaman hukuman pidananya pada perbuatannya tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00.

Berikutnya aturan Pasal 29 dapatlah diklaim menjadi suatu kemajuan begitu pentingnya dalam aturan-aturan hukum tentang timbulnya gertakan yang terus dilakukan dan/atau dimaksudkan pada orang yang memakai media sosial. Kemajuan benda elektroniknya memiliki peran penting yang sangatlah disepelekan bagi pelaku untuk memudahkan tindakan jahatnya untuk mencapai tujuan yang diidamkan.15 Pelaku sebelumnya melakukan menguntiti kepada korban terlebih dahulu sangat sesuai dengan Pasal 30 dan 31 atau kerap kali melakukan dalam

bentuk menguntiti dan peretasan secara illegal terhadap informasi pribadi korban KBGO. Penyelesaian kasus ini dengan memakai UU ITE menyebabkan persoalan ini dapat menentang seksualitasnya dan identitas gender, serta belum menjamin keadaan aman serta tempat berlindung oleh korban. Peraturan yang sudah terdapat ordinansi yang mengatur, tetapi masih ada konten asusila.

UU ITE diinginkan dapat membagiakan rasa aman dan menjadi regulasi untuk para pemakai jasa IT. Akan tertapi, bila kita cermati norma dalam perturan tersebut berkaitan dengan perilaku yang tidak diperkenankan (Pasal 27-Pasal 37 UU ITE), bisa menyebabkan adanya persoalan-persoalan di beberapa istilah. Frasa dalam pasal tersebut mengenai “melanggar kesusilaan” sesuai di Pasal 27 ayat (1) meskipun memiliki definisi awam, namun bisa mengakibatkan banyak pemahaman, dampaknya APH akan merasa kesusahan dalam melaksanakannya.16 Menurut KBBI, kata “kesusilaan” memiliki definisi sebagai perihal susila dan adab.17

Istilah “susila” pada Bahasa Inggris ialah decent, moral, ethics dapat diartikan lain. Istilah moral diartikan sebagai moril serta kesopanan, selain itu ethics diartikan sebagai Kesusilaan dan decent diartikan sebagai Kepatutan. Kata yang susah dan tetap rancu merupakan “moral” dan “ethics”. Kata-kata tersebut memuat “decent”. Dapat dicermati, terbukti “ethics” makin kurang dari “moral”, dan juga memuat istilah “moral”. Maupun “moral”, “etika” serta “hukum” sebenarnya berdasarkan tanggapan dari masyarakat.

“Moral” adalah peninjauan sesuai dengan ajaran baik atau tidak baik, sebaliknya “etika” adalah norma perilaku (Code of Conduct)/ ketetapan. Menurut tanggapan masyarakat mengenai arti “Kesusilaan” lebih cenderung kepada: “behaviour as to right or wrong, especially in relation to sexual matter”. Pada penjelasan Pasal 27 ayat (3) juga memuat aturan yang melarang terjadinya pencemaran nama baik termasuk KBGO bila terdapat perbuatan yang menyebarkan konten pribadi korban dengan cara tidak bertanggungjawab yang menimbulkan kepribadian korban terkotori. Menurut UU Pornografi atau UU ITE juga terdapat aturan norma kesusilaan. Pasal 9 UU Pornografi yang berisi larangan membuat orang lain menjadi model yang berisi muatan pornografi.

Seorang pelaku bila melakukan kekerasan, seperti menyebarluaskan video maupun foto pornografi milik korban, hingga pelaku juga bisa dikenakan Pasal 4 ayat (1) UU No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi serta juga dikenakan melalui aturan sanksi pidananya yang termuat Pasal 29 UU Pornografi dapat dikenakan pidana penjaranya paling lama 12 tahun dan pidana minimum khususnya selama 6 bulan. Selanjutnya, aturan ini juga dapat dilakukan pidana denda paling banyak Rp 6.000.000.000,00 dan paling sedikit sejumlah Rp 250.000.000,00.18 Baik dalam UU ITE maupun UU Pornografi dilakukan pada pelaku penyebaran video asusila oleh APH. Sementara itu, APH mengenakan pada UU Pornografi ataupun UU ITE kepada pelaku, dan dapat tergarap dengan cara berunding hingga mencapai sebuah kesepakatan.

Penyelesaian masalah KBGO tersebut menyebabkan adanya ketidakpastian hukum serta ketidakadilan bagi korban KBGO. Pengaturan dalam undang-undang tersebut yang tak sinkron pada tujuan pembentukan undang-undang berdasarkan

dari Sudarto untuk meraih perkembangan yang lebih baik, maka mampu adanya keadilan serta efisiensi.19 Keadaan tersebut disebabkan dari sudut pandang pengaturan masih belum jelas atau kabur sehingga perlindungan hukum bagi korban KBGO menimbulkan ketidakpastian hukum serta keadilan. Penyelesaian masalah KBGO pada Indonesia di era pandemi Covid-19 ini masih sangat minim dan solusinya masih terbatas menggunakan undang-undang yang belum mampu mengakomodir perlindungan terhadap korban. Walaupun regulasi di Indonesia belum terdapat secara khusus menganalisis mengenai kekerasan terhadap gender, beberapa peraturan masih masuk kasus baru dalam pengaturan tentang pelanggaran hukum kesusilaan temuat dalam KUHP yang memiliki kewajiban dalam melindungi hak individu dari pengingkaran hak serta sanksi untuk pelaku.

  • 3.3    Upaya Yang Bisa Dilakukan Bila Terjadi KBGO Di Era Pandemi Covid-19

Perlindungan hukum yang diberikan terhadap korban KBGO memang sangat dibutuhkan dan penting. Di era masa pandemi Covid-19 ketika penggunaan internet terlalu rentan dalam mengalami terjadinya KBGO serta tidak menutupi kemungkinan untuk jangkuan internet yang luas dan semua kalangan dapat mengaksesnya. Adapun suatu kegiatan yang terjadi sebab adanya kegiatan yang serba daring menimbulkan terjadinya KBGO. Terdapat dua upaya yang dapat dilakukan apabila terjadi KBGO di era pandemi Covid-19, yakni:

  • 1.    Preventif

Upaya preventif adalah upaya yang dikerjakan oleh pemerintah untuk mengurangi atau mencegah agar tidak munculnya tindak kejahatan atau KBGO di era pandemi Covid-19. Dengan begitu pemerintah memikirkan dan mengambil kebijakan untuk mencegah muculnya KBGO, maka dalam hal ini pemerintah perlu melakukan dengan upaya mengedukasi masyarakat tentang kekerasan seksual agar masyarakat lebih bijak dalam menggunakan media sosial, misalnya dengan menghindari mengupload konten yang berunsur seksual sehingga tidak memicu adanya KBGO, meningkatkan kesadaran masyarakat terkait maraknya KBGO di Indonesia saat ini, dan mengajak masyarakat untuk tidak melakukan serta melawan segala bentuk tindak kekerasan seksual.

  • 2.    Represif

Upaya represif adalah upaya akhir atau penyelesaian dan tindak lanjut yang dapat dilakukan apabila terjadi KBGO di era pandemi Covid-19 dilakukan dengan upaya memperkuat sistem hukum pidana di Indonesia, membuat regulasi yang secara khusus mengatur tentang tindak kejahatan KBGO serta memberikan sanksi yang sepadan kepada pelaku KBGO. Hal ini, pemerintah perlu melakukan dengan upaya pengembangan kapasitas APH serta lembaga layanan untuk mengambil sikap terhadap peristiwa KBGO, pengesahan RUU PKS, serta meninjau kembali pasal di UU ITE dan UU Pornografi yang dapat menimbulkan kriminalisasi pada sasaran KBGO serta menjdikan UU tentang pengamanan data pribadi.20

  • IV. Kesimpulan sebagai Penutup

    4. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan tersebut diatas dapat dipahami bahwa di instrumen hukum nasional secara konstitusional, UUD NRI Tahun 1945 telah menjamin warga negaranya untuk menerima sebuah perlindungan. Perbuatan yang memperlindungi hukum dapat diserahkan pada korban KBGO berhak mendapat sesuatu hal memperlindungi hukum dengan seimbang pada Pasal 5 ayat (1) maupun Pasal 10 ayat (1) UUPSK. Penyelesaian masalah KBGO tersebut menyebabkan adanya ketidakpastian hukum serta ketidakadilan bagi korban KBGO. Keadaan tersebut disebabkan dari sudut pandang pengaturan masih belum jelas atau kabur sehingga perlindungan hukum bagi korban KBGO menimbulkan ketidakpastian hukum serta keadilan. Upaya yang dapat diberikan dengan dua upaya yakni, upaya preventif dan represif apabila terjadi KBGO di era pandemi Covid-19.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Marzuki, Mahmud. Penelitian Hukum: Edisi Revisi. Prenada Media, (2017): 181.

Maskun, S. H. Kejahatan Siber (Cyber Crime) Suatu Pengantar. Prenada Media, (2014): 35. Prodjodikoro, Wirjono. "Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, ed. 3 cet.

4." Refika Aditama, Bandung 1 (2012): 112.

JURNAL

Andhini¹, Alycia Sandra Dina, and Ridwan Arifin. "Analisis perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan pada anak di Indonesia." (2019).

Christian, Jordy Herry. "Sekstorsi: Kekerasan Berbasis Gender Online Dalam Paradigma Hukum Indonesia." Binamulia Hukum 9, no. 1 (2020): 83-92.

Hikmawati, Puteri. "Pengaturan Kekerasan Berbasis Gender Online: Perspektif Ius Constitutum dan Ius Constituendum (The Legal Policy of Online Gender Based Violence Regulation:   Ius Constitutum and Ius Constituendum

Perspective)." Negara Hukum:  Membangun Hukum untuk Keadilan dan

Kesejahteraan 12, no. 1 (2021): 59-79.

Illene, Andriany, Maria Nala Damajanti, and Cindy Muljosumarto. "Perancangan Kampanye Sosial mengenai Kekerasan Berbasis Gender Online." Jurnal DKV Adiwarna 1, no. 14 (2019): 10.

Kang, Cindy. "Urgensi Pengesahan RUU PKS sebagai Upaya Perlindungan Hukum Bagi Korban Revenge Porn." JURNAL YUSTIKA: MEDIA HUKUM DAN KEADILAN 24, no. 01 (2021): 49-62.

Prameswari, Jihan Risya Cahyani, Deassy Jacomina Anthoneta Hehanussa, and Yonna Beatrix Salamor. "Kekerasan Berbasis Gender Di Media Sosial." PAMALI: Pattimura Magister Law Review 1, no. 1 (2021): 55-61.

Ratnasari, Eny, Suwandi Sumartias, and Rosnandar Romli. "Penggunaan Message Appeals dalam Strategi Pesan Kampanye Anti Kekerasan Berbasis Gender Online." Jurnal Ilmu Komunikasi 18, no. 3 (2020): 352-370.

Wahyuni, Wahyuni, and Indri Lestari. "Bentuk Kekerasan dan Dampak Kekerasan Perempuan yang Tergambar dalam Novel Room Karya Emma Donoghue." Jurnal Basataka (JBT) 1, no. 2 (2018): 20-28.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi

WEBSITE

Anggarda. "Kekerasan Berbasis Gender Online: Apakah Benar-Benar Tidak Ada Keadilan Bagi Korban?." Retrieved July 3 (2021): 2021.

Kbbi, K. B. B. I. "Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)." Kementerian Pendidikan Dan Budaya (2016).

Kusuma, Ellen, and Nenden Sekar Arum. "Memahami dan Menyikapi Kekerasan Berbasis Gender Online: Sebuah Panduan." Retrieved June 10 (2019): 2021.

Perempuan, Komnas. "Perempuan Dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan Kekerasan Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan Anak, Dan Keterbatasan Penanganan Ditengah Covid-19." Catatan Tahunan (2021). Perempuan, Komnas. "Perempuan Dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan Kekerasan Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan Anak, Dan Keterbatasan Penanganan Ditengah Covid-19." Catatan Tahunan (2021).

UGM, LM Psikologi. "Satu Tahun Pandemi: Meningkatnya Kekerasan Basis Gender Online." Retrieved June 18 (2021): 2021.

Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No. 3 Tahun 2022, hlm. 539-550