PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KARYAWAN YANG DIRUMAHKAN DAN MENGALAMI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA AKIBAT DAMPAK PANDEMI COVID-19
on
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KARYAWAN YANG DIRUMAHKAN DAN MENGALAMI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA AKIBAT DAMPAK PANDEMI COVID-19
Audric Devnaya, Fakultas Hukum Universitas Udayana e-mail: [email protected]
I Gusti Ngurah Dharma Laksana, Fakultas Hukum Universitas Udayana e-mail: [email protected]
DOI : KW.2022.v11.i03.p6
ABSTRAK
Tujuan studi ini untuk mengkaji perlindungan hukum bagi karyawan dirumahkan dan terdampak pemutusan-hubungan kerja akibat dampak Pandemi Covid-19. Metode yang diterapkan pada penelitian ini adalah hukum normatif dengan pendekatan statute approach (perundang-undangan) dan conceptual approach (pendekatan konseptual). Indonesia menjadi salah satu negara yang terjangkit Covid-19. Hal ini tentu memberikan dampak yang dapat merugikan negara maupun masyarakat. Oleh karenanya, pemerintah mengeluarkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dengan tujuan agar dapat memutus penyebaran Covid-19. Salah satu dampak yang dirasakan masyarakat dengan hadirnya Covid-19 yaitu Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan oleh beberapa perusahaan kepada para pekerja dengan alasan force majeure atau mengalami kerugian. Alasan tersebut menjadi kontroversial. Hasil studi menunjukkan bahwa perlindungan hukum bagi karyawan yang dirumahkan akibat dampak pandemi Covid-19 tercantum dalam Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04/III/2020, sedangkan perlindungan hukum bagi karyawan yang mengalami pemutusan hubungan kerja berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021.
Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Dirumahkan, PHK, Pandemi Covid-19
ABSTRACT
The purpose of this study is to examine the legal protection towards the temporary laid off and permanent laid off employees due to Pandemic Covid-19’s effect. This study uses a normative legal method with a statute approach and conceptual approach. Indonesia is one of the countries affected by Covid-19. This of course has an impact that can harm the country and society. Therefore, the government issued a policy of Large-Scale Social Restrictions (LSSR) with the aim of being able to stop the spread of Covid-19. One of the impacts felt by the community with the presence of Covid-19 is Termination of Employment carried out by several companies to workers on the grounds of force majeure or experiencing losses. This reason is controversial. The study shows that legal protection towards the temporary laid off has been regulated in Ministry of Labour and Employement’s Circular Letter Number M/3/HK.04/III/2020 and legal protection towards permanent laid off employees Constitution Number 13 Year 2003 and Government Regulation Number 35 Year 2021.
Key Words: Legal Protection, Temporary Paid Off, Permanent Paid Off, Covid-19 Pandemic
Pembangunan Nasional adalah upaya pemerintah dalam mencapai tujuan negara yang terdapat dalam kontitusi Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945)
yaitu menciptakan masyarakat sejahtera, adil dan makmur. Dalam mencapai Pembangunan Nasional secara merata tentunya harus memperhatikan sedemikian rupa agar sega bentuk tujuan yang ingin dicapai dapat terpenuhi dengan tidak mengurangi hak dan perlindungan terhadap tenaga kerja.
Indonesia merupakan negara yang sangat merasakan akibat dari pandemi covid–19. Dampak covid ini berdampak sangat signifikan terhadap berbagai sector yang terdapat di Indonesia, baik pada sector industrial hingga sector pariwisata. Dengan adanya dampak tersebut tidak sedikit perusahaan mengalami penurunan terhadap produktivitas sehingga pada kondisi saat ini mengakibatkan banyaknya perusahaan yang mengalami penurunan pendapatan dan berpengaruh terhadap tenaga kerja dalam perusahaan tersebut. Dampak covid-19 membuat pemerintah harus membentuk suatu peraturan agar dapat memberikan solusi terbaik dengan tetap memperhatikan segala sector yang ada di Indonesia. Salah satu upaya pemerintah dalam menangani kasus tersebut dengan menciptakan PP No. 21 tahun 2020 mengenai Pembatasan Sosial Berskala Besar.
Pandemi Corona Virus Disease 19 atau Covid-19 telah melanda dunia sejak November 2019 yang pertama kali terkonfirmasi di Wuhan, China. Virus ini telah memberikan dampak yang sangat signifikan terdapat seluruh sendi kehidupan masyarakat dunia termasuk ekonomi. Pandemi Covid-19 mempengaruhi ekonomi global dan menciptakan banyak ketidakpastian baik secara ekonomi dan kebijakan sosial1. Ketidakpastian ini menyebabkan banyak pelaku ekonomi atau pengusaha mengalami kesulitan dalam menentukan rencana bisnisnya.
Mayoritas usaha merasakan dampak negatif yang signifikan dari pandemic Covid-19 r. 57,29% dari Usaha Menengah Besar (UMB) dan 66,77% Usaha Menengah Kecil (UMK) mengalami penurunan pendapatan di Triwulan III 20202. Berdasarkan hal tersebut, para pelaku usaha harus mengambil kebijakan strategis untuk mempertahankan usaha mereka. Salah satu kebijakan strategis yang diambil adalah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) masal. Gaji karyawan digolongkan sebagai biaya operasional yang berpotensi dapat mengurangi beban usaha ditengah berkurangnya pendapatan perusahaan. Tercatat 23,36 % dari Usaha Menengah Besar (UMB) dan 9,92% Usaha Menengah Kecil (UMK) yang mengurangi jumlah pekerja agar dapat menyeimbangkan dengan produktivitas perusahaan. Hal ini menyebabkan banyaknya masyarakat yang kehilangan pendapatan dan pekerjaannya. Pengusaha memutar otak untuk mempertahankan kelangsungan usahanya dengan mengurangi biaya operasional dari gaji karyawan. Berbagai hal telah dilakukan oleh pengusaha seperti pemotongan jam kerja yang juga diikuti dengan pengurangan gaji/ upah karyawan, merumahkan karyawan, dan bahkan melakukan PHK.
Perlindungi hukum terhadap pekerja pada situasi saat ini tentunya harus diperhatikan oleh pemerintah, agar setiap hak – hak yang dimiliki setiap pekerja dapat terpenuhi dan tidak adanya suatu pelanggaran HAM terhadap para pekerja atauapun buruh. Perlindungan hukum yang diupayakan pemerintah diharapkan dapat menjamin suatu perlakuan yang sama dihadapan hukum tanpa adanya unsur
diskriminasi dengan tujuan mewujudkan kesejahteraan baik terhadap pemberikerja maupun pekerja dalam setiap sector yang ada di Indonesia.
Merumahkan atau Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sering dijadikan alternatif untuk menekan biaya operasional usaha agar usaha tetap dapat beroperasi dengan normal. Namun, pemutusan hubungan kerja memberikan dampak yang signifikan pada hilangnya pendapatan karyawan ditengah sulitnya memperoleh pekerjaan dan meningkatnya kebutuhan sehari-hari3. Pemerintah harus hadir untuk tegaknya hak setiap warganegara dalam memperoleh pekerjaan meskipun pada masa Pandemi Covid-19.
Namun tidak bisa dipungkiri dampak Pandemi Covid-19 sangat mempengaruhi sebagian besar penguasaha yang mempengaruhi hubungan-kerja atara pengusaha dan pekerja. UU Ketenagakerjaan yaitu UU No. 131 Tahun 2003 tidak mengatur tindakan merumahkan atau pekerja yang dirumahkan. Dirumahkan mengacu pada suatu keadaan yang menyebabkan pekerja tidak bekerja, tidak digaji, namun masih dalam perjanjian kerja. Hal ini sangat masif terjadi pada situasi Pandemi Covid-19 ini terlebih beberapa daerah khususnya di Pulau Jawa Bali yang menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang mengatur operasional usaha berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 241 Tahun 2021.4
Hal ini tentunya mengisyaratkan berkurangnya jumlah karyawan yang dibutuhkan untuk menjalankan operasional usaha. Merumahkan karyawan merupakan salah satu cara pengusaha untuk menjalankan instruksi Mendagri tersebut. Pengasaha dengan berbagai alasan memilih merumahkan karyawan, misalnya karena produksi tidak dapat dilaksanakan, restrukturisasi bisnis yang dilaksanakan oleh perusahaan, atau perusahaan mengalami krisis. Istilah “dirumahkan” pada sebagaian besar perusahaan diartikan dengan pemutusan hubungan kerja karena karyawan/ buruh yang dirumahkan tidak mendapatkan suatu kepastian dari pihak perusahaan terkait kapan pekerja tersebut diberikan kesempatan untuk kembali bekerja, dan hal tersebut menguntungkan perusahaan karena perusahaan tidak memberikan kompensasi berupa pesangon bagi karyawan/buruh yang dirumahkan5.
Pemutusan hubungan kerja merupakan pengakhiran hubungan kerja oleh pemberi kerja / perusahaan yang disebabkan oleh keadaan tertentu yang dialami oleh perushaan sehingga perusahaan secara paksa melakukan pemutusan kerja terhadap pekerja6. PHK yang diakibatkan oleh berakhirnya perjanjian yang disepakati karena telah terpenuhi tidak menimbulkan masalah, berbeda halnya dengan PHK-yang disebabkan karena adanya keputusan pengusaha yang sangat berdampak pada karyawan terutama dalam kepastian dalam ganti rugi7. Dalam beberapa kasus pemutusan hubungan kerja, perusahaan mengalami kesulitan dalam membayar upah pekerjanya yang disebabkan oleh kebijakan dalam pembatasan
aktivitas masyarakat sehingga perusahaan mengalami penurunan terhadap pendapatan perusahaan8.
Sejatinya PHK merupakan hak dari perusahaan yang didasarkan pada pertimbangan tertentu. Hal ini tertuang pada Pasal 164 UU No.13 Tahun 2003 “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali” dan Pasal 165 yang berbunyi “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/ buruh karena perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali”9. Pemerintah telah mengeluarkan suatu kebijakan yang menangani terkait dengan Perlindungan Pekerja/Buruh yang diatur dalam SE No. M/3/HK.04/III/2020.
State of Jurnal ini memiliki kemiripan dengan jurnal Yitawati, Krista; Triharyani, Anik; Purwati, Yuni. Karena jurnal ini memiliki kemiripan tentang Pemutusan Hubungan Kerja pada masa Pandemi Covid-19. Jurnal ini ditulis oleh Audric Devnaya yang berjudul Perlindungan Hukum Bagi Karyawan Yang Dirumahkan dan Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja Akibat Dampak Pandemi Covid-19. Pada dasarnya, penulis memakai Judul ini dikarenakan ingin mengetahui bagaimana Perlindungan Hukum terhadap Karyawan yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja akibat Pandemi Covid-19.
Adapun_rumusan masalah yang diformulasikan adalah_sebagai berikut:
-
1. Bagaimana bentuk perlindungan hukum pada karyawan yang dirumahkan akibat dampak Pandemi Covid-19?
-
2. Bagaimana penyelesaian faktor penghambat terhadap perlindungan hukum pada karyawan yang di PHK berdasarkan UU Ketenagakerjaan?
Adapun tujuan dari penulisan artikel ini adalah sebagai berikut:
-
1. Menjabarkan perlindungan hukum pada karyawan yang dirumahkan akibat dampak Pandemi Covid-19.
-
2. Menjabarkan bentuk perlindungan hukum pada karyawan yang mengalami pemutusan hubungan kerja akibat dampak Pandemi Covid-19.
-
II. Metode Penelitian
Dalam pembahasan peneltian ini penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif. Penelitian ini berangkat dari adanya kekaburan norma yang berkembang di masyarakat. Penelitian ini menerapkan metode pendekatan terhadap peraturan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Serta menggunakan teknik studi dokumen, serta mengkaji analisis dengan menerapkan analisis kualitatif terhadap bahan hukum yang telah dikumpulkan.
-
III. Hasil dan Pembahasan
-
3.1 Perlindungan Hukum bagi Karyawan yang Dirumahkan Akibat Dampak Pandemi Covid-19
-
Perlindungan hukum adalah upaya untuk menata kepentingan masyarakat yang beragam sedemikian rupa sehingga tidak timbul benturan kepentingan dan semua hak yang diberikan oleh hukum dapat dirasakan10. Pemenuhan kesejahteraan pegawai/ karyawan merupakan hal yang bersifat keharusan dalam segala situasi sehingga karyawan dapat memberikan kinerja terbaik dan pada perusahaan11.
Perlindungan hukum dalam kaitannya pada kekuasaan ekonomi yang memberikan perlindungan pada yang lemah (ekonomi) terhadap yang kuat (ekonomi), hal ini secara spesifik merupakan perlindungan bagi para pekerja terhadap pihak pemberi kerja. Upaya perlindungan tentunya memberikan jaminan atas pemenuhan hak-hak pekerja atau buruh serta memberikan jaminan pekerjaannya sehingga terwujudnya kesejahteraan bagi setiap pekerja dengan tetap memperoleh haknya untuk bekerja dengan tetap memperhatikan perkembangan dunia usaha12.
Dalam situasi pandemic Covid 19 tentunya memberi dampak bagi sector perusahaan karena dapat menurunkan kegiatan produktivitas perusahaan, hal tersebut sangatlah berdampak bagi tenga kerja dalam perusahaan tersebut maka dari itu suatu perlindungan hukum tentunya sangat diharapkan bagi para pekerja agar tetap mendapatkan hak untuk bekerja. Pekerja merupakan orang yang bekerja dan menerima upah atas pekerjaan yang dilakukan. Perjanjian kerja adalah suatu kesepakatan yang dibuat dalam bentuk perjanjian dengan berdasarkan kesepakatan antara pekerja dengan pemberi kerja untuk menyepakati hubungan kerja yang akan dilakukan13. Perjanjian kerja dibuat secara tertulis berkaitan dengan syarat-syarat kerja14. Perjanjian kerja bersama antar pengusaha dan keryawan merupakan bentuk sebagai bentuk perlindungan hukum baik untuk penguasaha dan karyawan15. Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 perjanjian kerja diklasifikasikan menjadi 2 (dua) jenis perjanjian yaitu PKWT dan PKWTT
Perlindungan hukum diharapkan mampu memberikan kepastian dan jaminan kepada pekerja untuk dapat melanjutkan perjanjian kerja dan memperoleh hak dan dapat memenuhi kewajibannya. Namun sejak diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 menyebabkan iklim ketenagakerjaan semakin tidak menentu. Hal ini sering dijadikan sebagai penetapan klausal force mejeur dalam memutuskan perjanjian kerja. Oleh karena itu perlindungan hukum mutlak diperlukan oleh pekerja/ buruh dalam memperoleh kepastian.
Terdapat lima bidang hukum yang menjadi perlindungan hukum bagi pekerja yakni16:
-
(1) Bidang Pengarahan dan Penemapatan Kerja
Perlindungan hukum tidak hanya dibutuhkan selama perjanjian kontrak; perlindungan hukum telah dilaksanakan sebelum pekerja atau calon pekerja melaksanakan hubungan kerja.
-
(2) Bidang Hubungan Kerja
Perlindungan hukum ini dilaksanakan sejak pekerja melaksanakan hubungan kerja dengan pemberikerja. Hubungan ini ditandai dengan adanya surat perjanjian kerja. Jenis perjanjian kerja dibedakan berdasarkan batas waktunya.
-
(3) Bidang Kesehatan Kerja
Selama hubungan kerja, pekerja berhak atas jaminan kesehatan dalam kurun waktu perjanjian kerja.
-
(4) Bidang Keamanan Kerja
Setiap pekerjaan memiliki resiko terhadap pekerja itu sendiri. Pekerja berhak memperoleh perlindungan keamanan kerja yang menjamin keselamatan pekerja atas alat-alat yang digunakannya selama bekerja. Setiap perkerja wajib difasilitasi dengan alat keselamatan kerja untuk menjamin keselamatan kerja pekerja.
-
(5) Bidang Jaminan Sosial bagi Para Buruh
Pekerja memiliki hak untuk dipenuhinya jaminan sosial yang sesuai dengan pekerjaan dan hubungan kerjanya. Jaminan sosial bagi pekerja tertuang pada UU Jaminan Sosial Tenaga Kerja (UU No. 13 Tahun 1992).
Pemerintah telah mengeluarkan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 1992 namun perlindungan hukum pada Undang-Undang ini belum mampu untuk mengakomodasi semua kondisi dinamika ketenagakerjaan dalam situasi pandemi saat ini. Oleh karena itu sebagai penguatannya diterbitkanlah SE No. M/3/HK.04/III/2020 sebagai aturan yang dapat memberi kepastian hukum dalam perlindungan terhadap pekerja / buruh.
Tenaga kerja dengan pemberi kerja atau yang disebut perusahaan memiliki suatu hubungan kerja yang dimana dengan hubungan tersebut dapat menjamin keadaan suatu perusahaan dalam menghasilakn keuntungan yang progresif. Perusahaan mendapat keuntungan dengan adanya pekerja yang melakukan pekerjaan bagi perusahaan dan pekerja mendapat kesempatan untuk bekerja dan mendapatkan penghasilan yang diberikan oleh perusahaan berupa upah. Berdasarkan hukum positif di Indonesia dapat diketahui bahwa kedudukan antara pengusaha dan pekerja tidak dapat dibedakan atau dengan kata lain adalah setara. Tetapi, pada kenyataannya pekerja/buruh merasa bahwa tidak mendapat padangan yang sama dengan perusahaan /pemberi kerja, hal tersebut disebabkan perusahaan dapat menentukan kesejahteraan terhadap pekerjanya.
Hukum ketenagakerjaan sudah seharusnya memberikan suatu keadaan yang seimbang antara perushaan dengan pekerja, namun masih sering dijumpai adanya suatu diskriminasi sehingga menciptakan keadaan yang tidak adil terhadap para pekerja, salah satunya pihak perusahaan dapat mengambil keputusan yang cepat
dengan melakukan PHK. Pekerja / buruh yang dirumahkan sering disamakan dengan PHK, dalam UU Ketenagakerjaan tidak terdapat pengaturan tentang kondisi merumahkan karyawan. Istilah ini semakin sering digunakan untuk merujuk pada kondisi karyawan yang tidak bekerja, tidak memperoleh upah, namun tidak mengalami pemutusan hubungan kerja atau masih dalam perjanjian kerja.17
Pengusaha sering berasalan bahwa merumahkan karyawan merupakan solusi yang paling mungkin dilakukan disaat pemberlakuan PPKM dan kerugian yang dialami perusahaan. Terlebih hal ini merupakan tindakan solutif dalam mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja yang tentunya akan merugikan kedua belah pihak khususnya pekerja/ karyawan. Namun karena istilah ini tidak diatur dalam ketentuan peraturan perundang – undangan, implementasinya masih kurang jelas. Istilah “dirumahkan” sering diasosiasikan dengan “Pemutusan Hubungan Kerja” karena sering adanya ketidakjelasan kapan karyawan akan bekerja kembali. Bahkan beberapa kalangan beranggapan bahwa “dirumahkan” merupakan istilah PHK tanpa pesangon; karena jika PHK diterapkan perusahaan harus membayarkan sejumlah uang sebagai kompensasi pemutusan hubungan kerja18.
Menjawab keresahan masyarakat khususnya pekerja, Pemerintah mengeluarkan suatu aturan yang tentunya diharpakan dapat menjamin suatu perlindungan terhadap pekerja. buruh dalam masa pandemic ini yang dituangkan dalam SE No. M/3/HK.04/III/2020 yang kemudian ditujukan kepada Gubernur diseluruh Indonesia yang bertujuan untuk melindungi pekerja khususnya pemberian upah.
Surat Edaran tersebut memberikan perlindungan baik bagi pekerja/ buruh dan juga bagi pengusaha/ pemberikerja. Perusahaan yang memberlakukan pembatasan kegiatan usaha yang diakibatkan oleh adanya suatu kebijakan baru yang memberi dampak terhadap pekerja yaitu dirumahkan sehingga tidak dapat bekerja oleh karena itu perusahaan melakukan perubahan besar baik terhadap sector perusahaan tersebut dan tehadap pembayaran upah kepada pekerja dengan membuat suatu kesepakatan Bersama. Perubahan kesepatan dan cara pembaayaran_upah hanya bisa dilaksanakan jika terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak.19
-
3.2 Penyelesaian faktor penghambat terhadap perlindungan hukum pada karyawan yang di PHK berdasarkan UU Ketenagakerjaan?
Perlindungan hukum bertujuan untuk menjamin kepastian hukum terhadap hak asasi manusia bagi para pekerja ataupun buruh yang merasa dirugikan akibat adanya keputusan yang tidak adil oleh pihak pemberi kerja. Perlindungan hukum juga menjamin harkat serta martabat bagi setiap manusia berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. PHK dewasa ini marak terjadi karena perkembangan dunia usaha yang tidak menentu. PHK merupakan determinasi dari hubungan kerja oleh
keadaan tertentu sehingga mengakibatkan terputusnya hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha20.
Perlindungan hukum di masa pandemi terhadap pekerja / buruh haruslah diperhatikan bagi pemerintah, dikarenakan keadaa ini merupakan suatu keadaan diluar kemampuan manusia (force majeure) yang tentunya memaksa bagi setiap pihak manapun untuk mengambil jalur lain agar tidak terjadi dampak yang lebih buruk. Seperti dampak yang dirasakan bagi perusahaan tentunya mengalami penurunan yang signifikan sehingga perusahaan terpaksa harus memangkas ongkos para pekerja hingga memberhentikan pekerja agar perusahaan tidak mengalami pailit. Dalam pengambilan keputusan terhadap pekerja yang dirumahkan, menyebabkan dampak tersendiri bagi pemerintah karena dengan adanya pemutusan hubungan kerja tentunya lapangan pekerjaan yang tersedia akan semakin berkurang dan tentunya akan dapat meningkatkan pengangguran di Indonesia. Maka dari itu, perlindungan hukum harus terus diupayakan pemerintah agar dapat mengendalikan serta mengatasi segala bentuk dampak terhadap pekerja dan perusahaan dalam masa pandemi covid 19.
Peran pemerintah Indonesia dalam covid 19 sangat diperlukan demi keberlangsungan perlindungan hukum terhadap pekerja ataupun perusahaan dalam bentuk penyusunan suatu kebijakan yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan maupun peraturan lainnya. Selain itu pemerintah haruslah mampu menjadi fasilitator terhadap masyarakat dalam menangani kasus yang dialami para pekerja/buruh dan perusahaan. Peran pemerintah lainnya yaitu sebagai pengawas dengan berkoordinasi dengan pemerintah daerah sehingga tugas serta wewenang dalam upaya perlindungan hukum tersebut dapat mencapai tujuan dibentuknya aturan tersebut, karena kebijakan yang diciptakan pemerintah tidak mempunyai arti bila tidak adanya pengawasan.
Dalam mengakhiri hubungan kerja pihak pemberikerja harus memperhatikan jenis hubungan kerja dari karyawan tersebut; baik PKWT atau PKWTT. Perlindungan pada pekerja PKWT pada praktiknya belum dilaksanakan dengan optimal yang menyebabkan hak-hak yang seharusnya diperoleh oleh pekerja belum terpenuhi21. PHK dalam hubungan kerja PKWT dilaksanaksanakan mengikuti jangka waktu yang telah disepakati dalam perjanjian tersebut. PKWT juga dapat dinyatakan batal secara hukum jika memberlakukan masa percobaan.
Pemberikerja atau perusahaan dapat dituntut untuk mempekerjakan pekerja/ buruh jika perusahaan tidak membuat suatu perjanjian antara perusahaan dan pekerja yang dibuat-bersama, sehingga hubungan kerja yang disepakati tersebut diubah Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu22. Peraturan tentang PKWT ditegaskan dan disempurnakan berdasarkan PP No. 35 Tahun 2021 Pasal 15 menyatakan bahwa pemberikerja memiliki kewajiban untuk memberikan uang-kompensasis kepada pekerja dengan hubungan kerja PKWT yang diberikan pada saat berakhirnya
PKWT.23. Perhitungan besaran-uang kompensasi yang dibayarkan telah diatur sesuai dengan ketentuan pada Pasal 16 PP No. 35 Tahun 2021. PHK yang dilaksanakan dalam PKWTT tidak dapat diputuskan dengan kehendak sepihak, jika perusahaan ingin melakukan suatu PHK terhadap pekerjanya maka pengakhiran tersebut haruslah diputuskan berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003.
Klausal pada Pasal 62 UU No. 13 Tahun 2003 dapat diintepretasikan sebagai penjelasan pemutusan hubungan kerja yang menyatkan bahwa ketika pihak perusahaan terpaksa mengambil keputusan untuk mengakhiri kontrak kerja atau PHK terhadap pekerjanya sebagaimana keadaan saat itu kontrak kerja belum selesai maka pemberi kerja berkewajiban untuk ganti rugi pada pihak pekerja sejumlah gaji yang ditentukan hingga berakhirnya kontrak kerja.
Implementasi Pasal 164 UU No. 13 Tahun 2003 mengatur “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali, penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali, dan uang penggantian hak”. Pasal ini kerap dimanfaatkan dalam melaksanakan PHK dengan menggunakan alasan keaadan memaksa (force mejeur) padahal perusahaan masih beroperasi seperti biasanya. Salah satu syarat untuk diterapkannya force mejeur adalah perusahaan mengalami penurunan atau kerugian selama dua tahun24.
Force mejeur atau keadaan memaksa diartikan sebagai suatu keadaan yang dimana dikategorikan sebagai keadaan diluar kemampuan manusia yang sangat berdampak terhadap para pihak yang terlibat dalam perjanjian sehingga menyebabkan perjanjian tersebut tidak dapat dilaksanakan sebagaimana yang telah disepakati karena tidak dapat memenuhi prestasi dan oleh adanya keadaan tersebut tidak dapat disebut dengan wanprestasi25. Penerapan force mejeur diinisiasi oleh terbitnya Kepres Nomor 12 Tahun 2020 yang menimbulkan banyaknya pembatalan kontrak kerja yang didasari oleh klausal ini. Penerapan klausal force majeure seiring ditetapkannya Pandemi Covid-19 sebagai bencana nasional harus dikaji lebih dalam karena dalam pengaplikasiaan ada beberapa syarat yang harus terpenuhi agar klausal ini dapat digunakan sebagai pengakhiran hubungan kerja26.
SE No. SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 merupakan bentuk perlindungan hukum terhadap karyawan agar perusahaan tidak bebas mengambil keputusan sepihak dalam pemutusan hubungan kerja karyawan. Karyawan harus dianggap asset sehingga harus sedapat mungkin dipertahankan yang akan menjamin kelangsungan usaha. Diharapkan hubungan kerja harus selalu dipelihara secara berkelanjutan. PHK merupakan opsi terakhir yang dapat dilaksanakan bagi
perusahaan dalam hal perusahaan mengalami kesulitan dalam bidang ketenagakerjaan. PHK dapat dilakukan setelah dilakukan upaya berikut27:
-
a. Pengurangan biaya dan fasilitas pekerja;
-
b. Pengurangan shift kerja;
-
c. Pembatasan atau penghapusan kerja lewat waktu;
-
d. Pengurangan jam kerja;
-
e. Pengurangan hari kerja;
-
f. Peliburan pekerja secara bergantian;
-
g. Tidak terdapat penawaran atau perpanjang kontrak bagi pekerja;
-
h. Penerapan pensiun dini bagi yang sudah sesuai dengan syarat yang diatur.
Dalam rangka melaksanakan PHK dengan klausa force majeure maka perusahaan harus berhenti akibat mengalami kerugian selama dua tahun dan/ atau telah diterapkannya efisiensi terlebih dahulu seperti yang tertuang pada Surat Edaran tersebut. Sehingga, klausal force majeure untuk pemutusan hubungan kerja tidak dapat diterapan jika persyaratan diatas tidak dapat terpenuhi.
Perlindungan hukum adalah upaya yang dibuat untuk menjamin kepentingan yang berbeda. Untuk situasi ini, perlindungan hukum harus diberikan kepada pekerja / buruh yang diberhentikan dan telah diberhentikan dari perusahaan karena efek dari Pandemi Covid 19. Perlindungan hukum yang sah mengacu pada UU Ketenagakerjaan (UU No. 13 Tahun 2003). Untuk menemukan perlindungan yang sah terhadap pekerja yang terkena dampak Pandemi Covid 19, penting untuk menjamin hubungan yang berfungsi antara perusahaan dan buruh; dengan mempertimbangkan agar tidak terjadinya perbedaan perlakuan dihadapan hukum baik bagi PKWT maupun PKWTT. Berdasarkan uraian dalam pembahasan dapat diketahui perlindungan hukum pekerja yang diberhentikan tidak diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor M/3/HK.04/III/2020 dapat digunakan sebagai kepastian hukum bagi pekerja yang diberhentikan karena dalam aturan tersebut secara khusus mengatur mengenai pelindungan terhadap pekerja atau buruh dalam penghindaran dan pengendalian covid 19 mengingat perusahaan harus tetap memenuhi komitmennya untuk membayar kompensasi sesuai kesepakatan yang ditetapkan. Perusahaan juga dapat mengubah berapa banyak upah sesuai kesepakatan bersama, untuk menghindari akhir pekerjaan. Perlindungan hukum terhadap wakil-wakil yang diberhentikan mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana yang diatur berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 Pasal 164 dan perusahaan wajib memberikan kompensasi dalam perjanjian Pasal 62.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Azhar, Muhamad, Hukum Ketenagakerjaan, 2015 https://bit.ly/3AXDCO5
Badan Pusat Statistik, Analisis Hasil Survey Dampak COVID-19 Terhadap Pelaku Usaha (BPS RI, 2020)
Pujiastuti, Endah, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan (Semarang: Semarang University Press, 2008)
Soepomo, Imam, Pengantar Hukum Perburuhan (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2003)
JURNAL
Ahsany, Fachry, Ahmad Faiz Alamsyah, and Sholahuddin Al-Fatih, ‘Legal Protection_of Labor Rights During the Coronavirus_Disease 2019 (Covid-19) Pandemic’, JurnPU Pembaharuan Hukum, 7.2 (2020), 100, https://doi.org/10.26532/jph.v7i2.10975
Albertin, Grace, ‘Legal Protection Towards Workers Under Collective Labor Agreement’, 3.2 (2018), 88–96
Amilia, N. K. S. I. & Yusa, I. G., ‘Penyebab Terjadinya_Pemutusan Hubungan_Kerja Oleh Pengusaha Terhadap Pekerja Ditinjau Berdasarkan Hukum Ketenagakerjaan’, Jurnal Hukum Bisnis FH Universitas Udayana, 2018, 1–5
Asare Vitenu-Sackey, Prince, and Richard Barfi, ‘The Impact of Covid-19 Pandemic on the Global Economy: Emphasis on Poverty Alleviation and Economic Growth’, The Economics and Finance Letters, 8.1 (2021), 32–43.
https://doi.org/10.18488/journal.29.2021.81.32.43
Cahyono, Joko, ‘Force Majeure Dalam Pemutusan Hubungan Kerja Terhadap Karyawan Di Masa Pandemi Covid-19’, Dinamika Administrasi: Jurnal Ilmu Administrasi Dan Manajemen, 4.12 (2021), 43–52
Hafrida, Helmi, and Retno Kusniati, ‘Health Workers’ Legal Protection Policy to the Coronavirus Disease 19 (Covid-19) Containment Measures’, Fiat Justisia: Jurnal Ilmu Hukum, 15.1 (2021), 51–74. https://doi.org/10.25041/fiatjustisia.v15no1.2101
Indonesia, Republik, ‘Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2021’, 2021
Nola, Luthvi Febryka, ‘Upaya Pelindungan Hukum Secara Terpadu Bagi Tenaga Kerja Indonesia (TKI)’, Negara Hukum, 7.1 (2016), 40
Pohan, Muhammad Regen, ‘Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu: Menurut Hukum Ketenagakerjaan’, MLJ Merdeka Law Journal, 2.1 (2020), 60–71. https://doi.org/10.22225/ah.2.1.1613.124-128
Presiden Republik Indonesia, ‘Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 Tentang
Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional’, 2020
Rasuh, Daryl John, ‘Kajian Hukum Keadaan Memaksa (Force Majeure) Menurut Pasal 1244 Dan Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata’, Lex Privatum, 4.2 (2016), 173–80
Samudra, Ahmad, and Nina Nurhasanah, ‘Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Yang Dirumahkan Dan Di-Phk Pada Masa Pandemi Covid 19’, Lex Jurnalica, 18.1 (2021), 86–91
Transmigrasi, Kementerian Ketenagakerjaan dan, ‘Surat Edaran Menteri
Ketenagakerjaan Dan Transmigrasi Nomor SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 Tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Masal’, 2004
Wijayanti, Ririh, ‘Effectiveness of Legal Protection on Employees/Labours in a Fixed-Term Employment Contract in Golden Tulip Bay View Hotel & Convention-Bali’, Jurnal Hukum Prasada, 5.2 (2018), 90–99. https://bit.ly/39UAyXf
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04/III/2020 Tentang Perlindungan Pekerja/Buruh Dan Kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan Dan Penanggulangan Covid-19, 2020
Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2021 Tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Level 4 Dan Level 3 Covid-19 Di Wilayah Jawa Dan Bali
Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No. 3 Tahun 2022, hlm. 527-538
Discussion and feedback