PEMBAYARAN PESANGON BAGI PEKERJA YANG MENGALAMI PHK KARENA FORCE MAJEUR PADA MASA PANDEMI COVID-19
on
PEMBAYARAN PESANGON BAGI PEKERJA YANG MENGALAMI PHK KARENA FORCE MAJEUR PADA
MASA PANDEMI COVID-19
Ni Putu Vannessa Dellasita Amara, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : [email protected]
Putu Ade Harriestha Martana, Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : [email protected]
DOI: KW.2022.v11.i05.p05
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengkaji pelaksanaan daripada bentuk perlindungan dan kepastian hukum oleh pemerintah terhadap pekerja yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena force majeur pada masa pandemi corona virus serta memahami pedoman yang sehubungan kewajiban perusahaan dalam memberikan pesangon terhadap pekerja yang mengalami pemberhentian kerja selama pandemi corona berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu jenis penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa otoritas publik telah memberikan beberapa kebijakan untuk melindungi dan mengamankan hak-hak kebebasan pekerja dalam menghadapi PHK pada masa darurat kesehatan. Untuk menghasilkan kualitas daripada tenaga kerja, otoritas publik juga berfokus untuk melakukan penciptaan lapangan kerja seluas mungkin dan mencapai peningkatan dalam memberikan perlindungan hak baik saat pekerja sedang bekerja maupun pekerja telah berada di pasca berakhirnya hubungan kerja. Perlindungan yang sah oleh hukum terhadap pekerja yang mengalami pengakhiran atau pemberhentian karena alasan force majeure diatur dalam Pasal 164 ayat (1) UUK. Pedoman kewajiban perusahaan dalam memberikan pesangon bagi pekerja yang di berhentikan selama pandemi corona di Indonesia telah diatur dalam Pasal 153 ayat (1) sampai dengan Pasal 153 ayat (3) UUK sebagaiamana direvisi dalam Undang-Undang Cipta Kerja pada pasal 153 ayat (1) sampai dengan Pasal 153 ayat (2). Dengan mengikuti perundang undangan yang berlaku, aturan turunan UU Cipta Kerja telah mengatur secara detail mengenai pembayaran pesangon dalam ketentuan Pasal 41 hingga Pasal 57.
Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Pesangon, Force Majeur, Covid-19.
ABSTRACT
The purpose of this study is to to review the implementation of the form of protection and legal certainty by the government for workers who experience termination of employment during the COVID-19 pandemic due to force majeure and understand the guidelines regarding the company's obligations to provide severance pay to workers who experience termination of work during the corona pandemic based on legislation -laws in force in Indonesia. The method used in this research is a normative legal research type, with a statutory and conceptual approach. The results show that public authorities have provided several policies to protect and secure the rights of workers' freedom in the face of layoffs during a health emergency. In order to produce a quality
workforce, public authorities also focus on creating the widest possible employment opportunities and achieving improvements in providing protection for rights both when workers are at work and when workers have ended their employment relationship. Legal protection for workers who experience termination or dismissal due to force majeure reasons is regulated in Article 164 paragraph (1) of the UUK. Guidelines for the company's obligation to provide severance pay for workers who have been terminated during the corona pandemic in Indonesia have been regulated in Article 153 paragraph (1) to Article 153 paragraph (3) of the UUK as revised in the Job Creation Law in Article 153 paragraph (1) to with Article 153 paragraph (2). By following the applicable laws, the derivative rules of the Job Creation Law have detailed severance pay in the provisions of Articles 41 to 57.
Key Words: Legal Protection, Severance pay, Force Majeur, Covid-19.
Sejak awal Maret 2020, wabah corona virus dinyatakan sebagai pandemi di segala penjuru dunia. Hal ini dikemukakan langsung oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Di Indonesia, virus corona ini secara masif berpengaruh besar dalam berbagai aspek, baik dalam aspek sektor perekonomian dan sosial. Dengan adanya pandemi corona virus, Presiden Republik Indonesia menetapkan kebijakan Keppres 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran COVID-19 Sebagai Bencana Nasional. Disamping itu terdapat sejumlah produk hukum diantaranya, Undang-udang No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, Keppres 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat COVID-19, dan Peraturan Pemerintah 21 Tahun 2020 tentang PSBB yang secara tersirat menyimpulkan pandemi corona virus bisa digolongkan menjadi bencana nonalam berskala nasional menguatkan argumentasi para pengusaha untuk menjadikan bencana saat ini sebagai suatu force majeure. Pembatasan-pembatasan yang dilakukan tersebut guna mencegah penyebaran COVID-19 yang mana langsung mengintervensi kegiatan atau aktivitas dari bisnis perusahaan, demikian operasional dan fungsional perusahaan seringkali tidak dapat berjalan seperti yang diharapkan. Tentunya hal ini menyebabkan terjadinya penurunan jumlah produksi yang secara otomatis pemasukan perusahaan juga ikut menurun. Sebagian daripada pengusaha kesulitan dalam mengelola keuangan, termasuk dalam memenuhi kebutuhan biaya operasional seperti membayar upah, sebagai hak-hak normatif pekerja. Untuk menjadikan mitigasi kerugian dari kesulitan yang terjadi mendorong pengusaha untuk tetap melaksanakan pengakhiran kerja.
Terjadinya PHK besar-besaran yang ada di Indonesia merupakan dampak di bidang sektor ekonomi pada masa pandemi corona virus. Adapun dampak lain diantaranya jika dilihat dari hasil data 90% pekerja yang dirumahkan dengan sebanyak ≥ 1,5 juta pekerja dan sebesar 10% pekerja terkena PHK.1 Pada Maret 2020, penurunan PMI Manufacturing Indonesia sebesar 45,3%, sebesar 3,7% pada triwulan I terjadi penurunan impor dan inflasi yang telah mencapai 2,96% dari tahun ke tahun dimana telah dihasilkan dari produksi biaya emas dan komoditas kualitas pangan. 2 Mulai januari hingga maret 2020, terdapat 15 bandara mengalami gagalnya penerbangan yang
menghasilkan kerugian sebesar Rp 207 miliar.3 Tak hanya itu, sebesar 50% terjadi penurunan penempatan pada 6 ribu hotel.4 Hal ini mengakibatkan kehilangan devisa pariwisata. 5 Saat ini kurang lebih dari 114.340 perusahaan mengakhiri dan memberhentikan pekerja dengan sejumlah persentase sektor formal sebesar 77% dan sektor informal sebesar 23%, yang di total terdapat sejumlah 1.943.916 orang perusahaan (Kemnaker 2020). Adapun beberapa dalih yang kerap digunakan banyak perusahaan untuk mengadakan PHK. Pertama-tama, perusahaan tersebut ditutup karena selalu mengalami banyak kemalangan sebanyak 2 (dua) kali terus menerus. Kedua, perusahaan yang harus tutup sebab akibat force majeure. Ketiga, perusahaan yang telah mengadakan efisiensi. Terakhir, perusahaan yang menghadapi likuidasi atau pailit. Pasal 164 ayat (1), 164 ayat (3) dan 165 UU Ketenagakerjaan menjelaskan keempat alasan tersebut. Padahal pasal tersebut telah dihapus dalam UU Hak Cipta dan diubah substansinya dalam Pasal 154A ayat (1).
Situasi pandemi yang tak kunjung usai berpengaruh besar bagi berjalannya b anyak usaha, hingga mengakibatkan hubungan kerja pekerja dengan perusahaan terganggu. Tentunya memicu banyak p erusahaan untuk melakukan PHK karena ketidakstabilan ekonomi baik itu keuangan maupun kemampuan perusahaan yang mengalami penurunan secara signifikan. Perusahaan pun akhirnya mengalami kesulitan untuk membayar upah para pekerjanya. Untuk menjauh dari kemalangan besar dengan menjadikan pandemi saat ini sebagai force majeure, pengusaha menilai bahwa PH K dapat menjadi jalan yang dapat digunakan karena mengingat besarnya pengaruh terhadap operasional perusahaan. Padahal, otoritas publik telah memberikan perlindungan yang sah bagi tenaga kerja dengan baik itu melindungi hak istimewa para pekerja yang mendapati pemberhentian kerja maupun kesamaan perlakuan tanpa diskriminasi demi kelangsungan hidup para pekerja setelah di-PHK, hal ini diatur dalam Bagian XII, khususnya Pasal 150-172 UU Ketenagakerjaan. Untuk memberikan solusi atas
kekhawatiran pekerja setelah di akhiri masa kerjanya ditengah tidak kondusifnya penyebaran corona virus, oleh karenanya dalam Pasal 156 Ayat (1) UUK memberikan penjelasan bahwasannya “perusahaan wajib membayarkan uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja serta uang penggantian hak yang seharusnya diterima oleh para pekerja”. Dengan jaminan berupa pemberian uang pesangon ini dianggap sebagai tanggung jawab yang harus dijalankan oleh perusahaan. Pasal 164 Ayat (1) UUK memberikan jenis perlindungan yang sah secara hukum bagi pekerja setelah diberhentikan oleh perusahaan karena alasan force majeure.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandai pedoman bawahan UU Ciptaker beberapa wakt lalu, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Pedoman Tata Usaha ini kemungkinan dapat mempengaruhi besar kecilnya pesangon yang akan diterima oleh pekerja yang mengalami pemberhentian kerja. Dalam PP ini terdapat pengaturan yang dapat memberikan kesempatan kepada perusahaan untuk tidak mengeluarkan semua dana yang diperlukan yang diidentifikasikan dengan pesangon bagi buruh yang telah berakhir dengan syarat tertentu. Meskipun demikian, diketahui hingga saat ini
terdapat banyak perusahaan yang mengabaikan pengaturan pesangon kepada pekerja/buruhnya, dimana pelaku usaha tidak memahami kewajibannya dalam memberhentikan pekerja/buruh. Hal ini berakibat pada tipis dan sedikitnya kebebasan bagi pekerja/buruh dalam memperjuangkan hak-hak istimewa mereka. Oleh karena itu, penulis perlu mengaudit dan mengevaluasi kembali pedoman terkait untuk membuat standar yang jelas dengan mengangkat judul, khususnya yaitu “Pembayaran Pesangon Bagi Pekerja yang Mengalami PHK karena Force Majeur Pada Masa Pandemi COVID-19”.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
-
1. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap hak-hak pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena force majeur pada masa pandemi Covid-19?
-
2. Bagaimana kewajiban pemberian pesangon terhadap pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena force majeur pada masa pandemi Covid-19?
Dengan menitikberatkan pada penggambaran permasalahan di atas, ada beberapa tujuan yang dapat diandalkan yakni memperoleh bentuk perlindungan yang sah atas hukum oleh pemerintah terhadap hak-hak istimewa pekerja diberhentikan dengan alasan force majeur pada masa pandemi corona virus serta pengaturan terkait kewajiban pengusaha dalam memberikan pesangon terhadap pekerja yang mengalami pemberhentian kerja karena force majeur pada masa pandemi corona virus berdasarkan peraturan yang berlaku di Indonesia.
-
II. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian hukum yuridis normatif, dengan menggunakan metodelogi dari pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Penelitian standardisasi ini bertujuan untuk memperoleh hukum dan ketertiban, pedoman yang sah, atau asas yang sah dengan tujuan agar permasalahan hukum yang sedang dihadapi dapat terjawab. Penulis menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang - Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 202 1 sebagai rujukan dalam penelitian. Penelitian ini juga menggunakan bahan tambahan yang cukup memadai yang di dapat dari tulisan/buku, jurnal, artikel dan data dari media elektronik yang membantu penelitian ini. Selanjutnya data dianalisis secara kualitatif untuk menghasilkan sebuah kesimpulan yang benar.
-
III. Hasil dan Pembahasan
-
3.1 Perlindungan Hukum Terhadap Hak - Hak Pekerja Yang Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja Karena Force Majeur Pada Masa Pandemi Covid-19
Dewasa ini, permasalahan dalam perusahaan mengenai sumber daya manusia menuntut untuk lebih diperhatikan. Tuntutan sosial dan moneter telah berubah, mengingat lapangan pekerjaan karena unsur globalisasi dan perubahan cepat inovasi data. Meskipun demikian, dapat dibuktikan bahwa dalam sebuah perusahaan, terlepas dari berapa banyak modal yang dimainkan tanpa didukung oleh sifat pekerja yang
dapat diterima dalam melakukan kewajibannya, itu tidak akan menghasilkan hasil yang baik. Pekerja/buruh dalam melakukan tugas interaksi kreasinya dapat memajukan perusahaan. Namun dalam menjalankannya tentu tidak dapat dipisahkan dari berbagai masalah. Sesuatu yang sedang terjadi adalah penurunan perusahaan, sehingga diperlukan pembangunan kembali terutama mengurangi pekerja karena alasan profesional. Dipahami bahwa antara pekerja dan pengusaha keterkaitannya dalam kerja sama bisns terjalin setelah adanya perjanjian bisnis. Pemahaman pekerja mempersulit dirinya untuk siap dalam bekerja hingga mendapatkan bayaran dan bisnis menyatakan kemampuannya untuk menggunakan spesialis dengan m embayar upah disebut hubungan kerja.6
Pasal 1 angka 15 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UUK) memberikan penjelasan terkait hubungan kerja sebagai “hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah”. Pasal 50 UUK juga menyatakan “hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Hubungan kerja kemudian melahirkan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak baik itu pengusaha maupun pekerja/buruh”. Tekanan di antara buruh dan manajer secara teratur memicu perdebatan hubungan modern, yang berakhir dengan para pekerja yang diberhentikan oleh bisnis.7 Secara yuridis, perusahaan atau pengelola dengan pekerja memiliki aturan peluang dengan alasan bahwa bangsa kita tidak membutuhkan penghambaan untuk dibor oleh siapa pun. 8 Pengaturan ini menyiratkan bahwa perusahaan tidak dapat memanfaatkan secara subjektif, perusahaan sebenarnya memberikan manfaat sebagai bentuk bantuan pemerintah kepada pekerja.
Carut marut perekonomian saat ini mempengaruhi banyak perusahaan di mana banyak yang harus meninggalkan bisnis dan jelas menutup pada akhir pekerjaan yang dilaksanakan secara tunggal oleh pengusaha.9 Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sejak dahulu telah menjadi ketakutan oleh pekerja, karena hal ini merupakan awal mula dari segala pengakhiran, baik itu awal untuk seseorang memiliki pekerjaan maupun kemampuan dalam membiayai keperluan hidup. Para pekerja menjadi kehilangan mata pencaharian dan penghasilan karena PHK ini sampai pada kondisi finansial pekerja. Dilihat dari sisi pelaku usaha, pemberhetian kerja harus dilakukan dengan tujuan agar apa yang terjadi menimbulkan kenaikan remunerasi oleh pelaku usaha sebagai bentuk kewajiban. Saat ini jumlah lapangan pekerjaan pada umumnya akan tipis dan kecil dibanding dengan jumlah yang mencari berbagai bentuk mata pencaharian. Akibatnya, tidak s edikit pula pekerja tidak memperoleh posisi dan berdampak besar pada peningkatan jumlah pengangguran dan kebutuhan.
Disadari bahwa selama pandemi virus corona, ada 1.543 buruh di Kota Bekasi yang di-PHK. Sementara di beberapa tempat seperti Tangerang, seperti industri sepatu yang mengalami sebanyak 1.800 pekerja . Tak hanya itu, 22 pabrik yg berbeda ditangerang
mengalami hal yang serupa. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tak luput dari dalih pekerja. Untuk sementara, sekitar 700 pekerja PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk mengakhiri kontrak kerja. Pengakhiran perjanjian tersebut dilaksanakan sesudah pekerja diberhentikan dengan tangan kosong sejak Mei 2020. Strategi pengakhiran perjanjian tersebut sebenarnya telah dilakukan sejak 2020, tepat awal November. Garuda Indonesia mempercepat kontrak kerja sebanyak 135 pilot dan co-pilot dari jumlah 1.400 pilot dan co-pilot Garuda. 10 Hal ini juga terjadi di perusahaan-perusahaan baru, misalnya Gojek yang mengakhiri usaha (PHK) kepada 430 pekerja, atau 9% dari perwakilan mutlak. Administrasi yang diberhentikan sebagian besar adalah administrasi Go-Life dan Go-food.11 Pandemi corona berdampak pada keseluruhan, baik sebagai pekerja, pengusaha, dan otoritas publik. Sehubungan dengan berbagai resiko yang harus ditanggung, khususnya melahirkan tenaga kerja berpengalaman dan memilih tenaga ahli baru yang tidak benar-benar memiliki hasil yang lebih baik. Seperti yang terjadi sejak pemutusan kerja dilakukan oleh banyak organisasi karena pandemi corona virus.12
Force majeure tidak dapat digunakan sebagai pembenaran untuk penghapusan atau pemutusan kontrak, tetapi dapat digunakan sebagai bagian utama tawar-menawar dalam membatalkan atau mengganti daripada isi perjanjian.13 Perjanjian baik di keadaan apapun harus dilakukan sesuai substansinya dengan meneladan Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) “Setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya”. Perjanjian tetap bersifat membatasi sebagai undang-undang selama tidak diubah dengan perjanjian lain yang telah disepakati bersama. Dalam UU Ketenagakerjaan tidak dijelaskan secara mendasar akan force majeur, namun pada umumnya telah diarahkan pada Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata. Pasal 1244 KUHPer menegaskan:
“Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi, dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.“
Kemudian Pasal 1245 KUHPerdata menyebutkan:
“Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.”
Pengurangan terjadi karena beberapa faktor yang dapat muncul dari pekerja dan perusahaan, termasuk variabel disiplin, moneter, bisnis atau individu. Hadirnya
pengaturan tentang kepastian pandemi corona virus sebagai peristiwa bencana alam dan berbagai kebijakan yang telah diberikan, ini memperkuat tujuan di balik pengusaha menjadikan corona virus sebagai peristiwa yang menyebabkan force majeure. Selama pandemi virus corona, hampir semua pemutusan kerja karena krisis (force majeure). Aloysius Uwiyono menganggap merebaknya wabah corona sebagai force majeure mengingat hal itu membuat para manajer dan pekerja dibatasi. Demikian juga, kemahiran yang sering disalahkan bagi manajer untuk memb erhentikan pekerja di tengah pandemi corona. UUK tidak memberikan kejelasan terkait apa yang dimaksud dengan “efisiensi atau produktivitas”. Diketahui bahwa efisiensi adalah pengurangan jumlah tenaga kerja yg telah disiapkan oleh perusahaan karena alasan keuangan (konservasi).14 Bagaimanapun, sedikit demi sedikit, ini masih menjadi pemikiran yang mempertanyakan bahwa ada dua pemahaman yang tidak sama dalam menguraikan pengaturan Pasal 164 ayat (3) UUK.
Saat ini di bidang usaha, perlindungan yang sah diperlukan bagi pekerja untuk memenuhi kebebasan mengatur hak yang harus dijamin. Kepastian
tersebut diharapkan dapat menjamin kebebasan mendasar pekerja terkait
korespondensi, peluang, dan tindakan tanpa pemisahan atas pertimbangan
apapun untuk memahami bantuan pemerintah terhadap pekerja dengan tetap mempertimbangkan perkembangan di dunia usaha.15 Perlindungan yang sah bagi pekerja sendiri telah dicantumkan pada pengaturan Pasal 27 (1) dan ayat (2), Pasal
28 D ayat (1), dan ayat (2) UUD NRI 1945. Hal ini membuktikan bahwa pilihan bekerja di Indonesia telah m endapat perhatian yang signifikan dan dijamin oleh UUD NRI 1945. UU Ketenagakerjaan juga jelas telah memberikan jaminan dan hak-hak sipil kepada buruh. UU No. 13 Tahun 2003, UU No. 2 Tahun 2004 dan pedoman pelaksana lainnya merupakan kepastian hukum bagi pekerja/buruh. Pedoman jaminan legitimasi untuk pekerja diatur dalam Pasal 67-101 UUK. Kebebasan pekerja yang dimaksud pada Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang pensiun federal bagi buruh, telah dinyatakan bahwa pekerja memenuhi syarat untuk jaminan dan sertifikasi sebagai bayaran atau pengganti dari upah yang hilang. Pada tingkat fungsional, pensiun yang dikelola pemerintah bagi buruh diberikan sebagai perlindungan kerja.
Tugas otoritas publik dalam mengelola pelaksanaan pedoman yang ada, harus mensinergikan dan melakukan kerja team yang baik dengan negara-negara terdekat s ehi ngga semua tugas administrasi dapat berjalan secara ideal. 16 Bentuk jaminan legitimasi dari otoritas publik bagi buruh di tengah arus pandemic
corona virus adalah dengan memberikan beberapa kebijakan yang sesuai
diantaranya Surat Edaran Nomor M/11/HK.04/X/2020 tentang penetapan upah minimum tahun 202 1 selama pandemi corona, Surat Edaran Nomor M/7/AS.02.02/U/2020 tentang rencana keselarasan bisnis dalam menghadapi corona virus, Surat Edaran Nomor M/3/HK.04/III/2020 tentang perlindungan bagi tenaga kerja/pekerjaan dan kemajuan bisnis di tengah gencarnya
pencegahan dan penanggulangan virus corona. Surat edaran tersebut di atas dimaksudkan untuk memberikan rasa aman bagi pekerja dan keselarasan usaha dari dampak pandemi kepada otoritas publik sebanyak mungkin dapat diharapkan untuk mencegah pemotongan dengan melakukan langkah-langkah yang disengaja dan kuat dalam mengelola pandemi virus corona sebagaimana tertuang dalam surat edaran tersebut.
Untuk memperbaiki kualitas angkatan kerja di Indonesia yang berguna, maka
dengan adanya pengaturan perbaikan di bidang pusat-pusat tenaga kerja di sekitar upaya untuk membuka seluas-luasnya kemungkinan usaha dan meningkatkan jaminan kebebasan dan bantuan pemerintah dari buruh/pekerja,
baik pada saat bekerja maupun setelah selesainya pekerjaan. hubungan yang
berfungsi. Untuk melakukan upaya tersebut, keamanan diakui oleh otoritas
publik dengan memberikan beberapa strategi yang diidentifikasi dengan jaminan
hukum bagi pekerja selama pandemi corona virus, antara lain17: a. Penerbitan kartu pra-kerja
Diberikan untuk membina kemampuan para pencari kerja yang membutuhkan bantuan khususnya pekerja cilik yang mengalami PHK. Bantuan kepada masing-masing pemegang kartu dengan takaran Rp. 3.550.000 untuk waktu yang cukup lama dikirim secara terus menerus. Tidak hanya itu, otoritas publik juga bekerja sama dengan BP Jamsostek dalam pengaturan tenaga tambahan untuk setiap buruh yang menjadi korban pemotongan dan telah terdaftar di BP Jamsostek dengan jumlah Rp.600.000.
-
b. Program padat karya tunai
Pandemi corona virus membuat segalanya menjadi serba keterbatasan, program ini diadakan untuk menghasilkan pendapatan tetap bagi buruh harian lepas yang kehilangan gaji karena keterbatasan.
-
c. Penerbitan kebijakan dan perlindungan kepada pekerja
Pengaturan dan program diberikan untuk menjamin kesejahteraan dan kebebasan pekerja dan koherensi usaha, maka Dinas Tenaga Kerja memberikan SE Kementrian Tenaga Kerja RI Nomor M/3/HK.04/V/2020. SE ini menekankan hak istimewa terhadap yang terancam dan terpapar corona virus untuk menerima keamanan program jaminan kecelakaan kerja sesuai dengan ketetapan yang ada.
-
d. Jaring pengaman sosial (JPS)
Untuk mengondisikan jaringan yang terkena dampak pandemi corona virus dengan melalui fase penyelamatan dan pemulihan menuju kondisi yang lebih baik sehigga program ini memberikan bantuan sembako, bantuan sosial tunai Rp 600.000 dalam jangka waktu lama, pengecualian biaya, penurunan harga listrik, pengeluaran akhir, dan wakaf kompensasi pekerja. Peruntukannya diberikan kepada perwakilan yang terdaftar dengan BPJS Kerja dengan santunan di bawah 5 juta.
Undang-Undang Ketenagakerjaan memerintahkan bahwa akhir pekerjaan adalah sesuatu yang organisasi tidak boleh lakukan sebanyak yang dapat
diharapkan secara wajar.18 Dalam hal pemutusan tidak dapat dihindari, oleh karenanya perlu dirundingkan oleh visioner bisnis dan organisasi pekerja atau sebaliknya. Perundingan tersebut dapat dipimpin dengan buruh/pekerja secara lugas. Apabila transaksi yang telah diselesaikan tidak menghasilkan kesepakatan, maka pelaku usaha wajib mengajukan permohonan jaminan ekskusal kepada Badan PPHI (Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial) beserta alasannya. Jika permohonan ekskus ditolak, pekerja yang b ersangkutan harus tetap digunakan. Jika dikabulkan, hubungan bisnis berakhir pada tanggal jaminan yang memiliki kekuatan hukum yang sangat lama. Pada saat pemutusan terjadi, Undang-Undang Ketenagakerjaan telah m emberikan jaminan yang sah terhadap kebebasan para pekerja yang telah diberhentikan. Diantaranya Pasal 156 ayat (1) yang menegaskan “Dalam hal berakhirnya usaha (PHK), pelaku usaha diwajibkan
membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima”. Dijelaskan bahwa pesangon dapat dikatakan sebagai sejumlah uang yang harus dibayarkan ketika perusahaan melakukan pemberhentian kerja kepada pekerjanya jika mereka memang memenuhi kemampuan tertentu, karena tidak semua pemutusan diikuti oleh pesangon. Sepanjang garis ini ada hubungan antara pesangon, pemutusan dan kewajiban serta komitmen pengusaha. Sehubungan dengan jaminan yang sah bagi buruh yang diberhentikan sebab akibat force majeure, maka tindakan terkait telah diarahkan dalam Pasal 164 ayat (1). Pengaturan ini mungkin bisa dilakukan jika pembenaran untuk melaksanakan pemutusan adalah dengan dalih bahwa perusahaan tersebut harus tutup karena kemalangan yang menimpanya tidak berhenti selama 2 (dua) kali atau sebab force majeure. Oleh karena itu dan dengan alasan demikian, pekerja memenuhi syarat untuk mendapatkan uang pesangon 1 (satu) kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (2), pemberian masa jabatan 1 (satu) kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (3) dan remunerasi untuk hak-hak istimewa menyesuaikan dengan pengaturan Pasal 156 ayat (3) dan Pasal 156 ayat (4).19
Saat ini, kepercayaan yang besar diperlukan dari semua pihak dengan cara yang baik. Jika tidak ada cara lain selain mengakhiri hubungan bisnis untuk memberikan jaminan yang sah kepada pekerja setidaknya sesuai dengan norma hukum dan pedoman yang bersangkutan. Umumnya jika terjadi pemberhentian kerja para buruh menjadi lebih rentan karena mengalami lebih banyak dengan harus merelakan kehilangan posisi dan gaji mereka. Untuk menjamin kebebasan para pekerja ini, pemerintah Indonesia juga berupaya memberikan undang-undang dan pedoman-pedoman sebagaimana pedoman pelaksanaan mereka yang mengatur bisnis. Penulis berkeyakinan bahwa dalam hubungan bisnis, khususnya pengusaha dan pekerja sama-sama mampu memahami keadaan virus corona mengingat keduanya terkena dampak yang sama, demikian perusahaan harus menyesuaikan kondisi serta kemampuannya untuk bisa memenuhi hak-hak istimewa yang mengatur pekerja.
-
3.2 Kewajiban Pemberian Pesangon Terhadap Pekerja Yang Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja Karena Force Majeur Pada Masa Pandemi Covid-19
Ditengah pandemi saat ini banyak pengusaha mengadakan PHK tanpa mengetahui kewajibannya, seperti tidak memberikan hak-hak karyawannya dengan semestinya, atau memberikan hak normatif dengan sewenang-wenangnya, disisi lain perusahaan tersebut masih berjalan secara normal. Pemenuhan hak-hak istimewa pekerja karena pemutusan dapat ditemukan dalam Pasal 1 Pengumuman Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep-150/Men/200, khususnya:
-
1. Uang Pesangon
Dapat dikatakan sebagai uang tunai yang diharuskan untuk dibayar saat terjadi pemutusan atau pemberhentian kerja terhadap pekerja oleh pengusaha.
-
2. Uang Administrasi/Penghargaan
Dimaksudkan sebagai uang tunai yang harus diberikan oleh pelaku usaha kepada tenaga ahli/pekerja sebagai upah sepanjang masa berfungsinya buruh/pekerja yang bersangkutan.
-
3. Ganti Kerugian
Uang tunai yang diberikan sebagai pembayaran atas kemalangan yang dialami karena pemutusan, seperti pembayaran istirahat panjang, biaya perjalanan, kantor klinik, kantor penginapan, dan lain-lain.20
Pengusaha wajib untuk membayar uang pesangon, tip untuk waktu administrasi yang sangat lama, dan membayar kualifikasi sesuai pedoman terkait. Perhitungan uang pesangon dan uang administrasi dipengaruhi oleh dua hal, yaitu tempat tinggal pekerja dan tujuan di balik pemutusan hubungan. Merujuk informasi dari Dinas Tenaga Kerja (Kemenaker, 2019) mengacu pada pengaturan UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan hanya 27% bos yang mencukupi angsuran remunerasi. Sebanyak 73% tidak membayar gaji untuk pemotongan sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Tujuan di balik perusahaan bergeser dari menegaskan pasal 11 dengan tujuan agar mereka tidak dapat membayar uang pesangon kepada pekerja yang pergi. Memang, laporan Bank Dunia mengacu pada informasi dari Kajian Tenaga Kerja BPS 2018 mengungkapkan bahwa 66% pekerja tidak mendapatkan pesangon sesuai pedoman, 27% pekerja mendapat pesangon lebih sedikit dari yang seharusnya, dan 7 % buruh
yang mendapat pesangon sesuai kesepakatan. 21 Landasan hadirnya UU tentang Ciptaker adalah untuk memberikan jaminan dan kepastian hukum kepada tenaga kerja yang mengalami akhir masa kerja. Saat ini, ada pedoman baru yang mengarahkan seluk-beluk pembayaran pesangon, khususnya PP Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Outsourcing, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, serta Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Pedoman tersebut merupakan turunan dari UU Nomor 11 tahun 2020. Pedoman tambahan UU Ciptaker memuat pengaturan mengenai besaran pesangon bagi korban pemutusan, termasuk pada tahun 2021. Seluk-beluk perhitungan uang pesangon dikendalikan melalui UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003.
Mengingat Pasal 37 PP No. 35 Tahun 2021, dengan alasan sebagaimana diperjelas dalam Pasal 36 PP No. 35 Tahun 2021 dengan asumsi pengusaha perlu memberhentikan
pekerja, pengusaha wajib mengundurkan diri ke pekerja dan juga organisasi pekerja di dalam perusahaan jika itu adalah orang perseorangan dari perkumpulan. Pemberitahuan akhir usaha dibuat dalam bentuk tertulis dan dijelaskan secara sah dan layak dengan rentang waktu 14 (empat belas) hari kerja sebelum ekskus. Rentang waktu untuk pengajuan selama 7 (tujuh) hari kerja sebelum pemutusan jika dilakukannya untuk uji coba. Dalam Pasal 39 PP No. 35 Tahun 2021, dijelaskan jika tenaga ahli/pekerja menolak pemberitahuan pemutusan, ia wajib memberikan surat pemberhentian dengan memberikan alas an. Dalam hal perb edaan penilaian dalam hal ekskus, penyelesaiannya harus dibantu melalui pertukaran bipatriat antara pengusaha dan pekerja. Jika pertukaran bipatriat tidak setuju, sistem untuk penyelesaian pertanyaan hubungan industrial akan diselesaikan sesuai dengan hukum dan pedoman.
Pasal 156 UUK mengatur pengaturan uang pesangon bagi pekerja yang terkena dampak putus usaha, namun Pasal 40 PP. 35 Tahun 2021 telah mengubah pengaturan remunerasi tunai yang seharusnya diperoleh. Ada penyesuaian bagian-bagian yang penting untuk pembenaran kualifikasi. Sangat terlihat bahwa bagian Pergantian Perlakuan yang nilainya 15% dari UP dan tambahan UPMK dikecualikan. Sementara itu, Pasal 40 Ayat 2 menetapkan pengaturan pembayaran pesangon bergantung pada waktu administrasi. Bilamana pekerja dengan masa kerjanya di bawah setahun maka akan mendapat upah jamak. Sem entara itu, apabila buruh bekerja tidak lebih dari 2 tahun maka akan memperoleh upah dua kali lipat. Ukuran upah diperluas setiap waktu kerja setahun lebih lama. Sementara itu, titik putus paling ekstrim adalah kurang lebih 8 tahun untuk memperoleh gaji selama 9 bulan. Selain itu, pengaturan uang pesangon dalam bagian Pasal 40 ayat (2) berlaku bagi buruh atau pekerja yang diberhentikan karena perpindahan ahli organisasi yang akhirnya menyebabkan terjadi perubahan dari kondisi fungsi. Situasi ini disebabkan oleh pekerja ketika tidak bersedia untuk meneruskan kerja bisnis sebagai akibat dari penyesuaian kondisi fungsi. Ketentuan serupa juga berlaku bagi pekerja yang diberhentikan karena tutupnya perusahaan sebab dari musibah terus menerus dalam waktu yang cukup lama, pemutusan karena perusahaan tutup karena force majeure. Dengan alasan perusahaan tersebut tutup adalah menunda pemb ayaran kewajiban karena perusahaan kehilangan uang, dan karena perusahaan gagal. Kemudian, pada saat itu, uang pesangon dalam ukuran setengah Pasal 40 ayat (2) berlaku bagi penyintas pemutusan dengan alasan pekerja mengabaikan pengaturan pengertian kerja, pedoman dalam perseroan, atau pengaturan kooperasi dan baru-baru ini dilayangkan surat pemberitahuan berturut-turut. Terlebih lagi, sebesar 0,25% pesangon dipotong sebab force majeure yang tidak menyebabkan ditutupnya perusahaan. Untuk keadaan ini, uang pesangon sebesar 0,75 kali di dapatkan oleh pekerja sebagaimana pengaturan Pasal 40 ayat 2, hibah uang tunai dan imbalan kualifikasi. Kualifikasi yang seharusnya diperoleh diperjelas dalam pengaturan Pasal 41 sampai dengan Pasal 58 PP No. 35 Tahun 2021.
Peraturan tersebut juga mengatur berlakunya pemutusan yang terjadi dengan alasan perusahaan tutup karena kemalangan terus-menerus untuk waktu yang lama, perusahaan ditutup karena force majeure, organisasi dalam kondisi pembekuan komitmen angsuran kewajiban, atau organisasi yang bangkrut. Selebihnya, uang pesangon dibayarkan. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 59 PP No. 35 Tahun 2021 bahwa “Para pelaku usaha di Bidang Usaha Kecil dan Menengah ("UMK") diwajibkan membayar atau memberikan uang pesangon, uang administrasi, uang hak istimewa, dan
tambahan uang bagi pekerja yang telah diberhentikan dan tidak benar-benar diatur tergantung pada kesepakatan antara pengusaha juga pekerja”.
-
IV. Kesimpulan sebagai Penutup
-
4. Kesimpulan
Perlindungan atas hak pekerja diberikan baik saat pekerja sedang bekerja maupun pekerja telah berada di pasca berakhirnya hubungan kerja. Oleh karenanya, beberapa kebijakan telah dikeluarkan pemerintah sesuai Surat Edaran Nomor M/3/HK.04/III/2020 terkait perlindungan bagi tenaga kerja dan guna kemajuan bisnis di tengah gencarnya pencegahan dan penanggulangan virus corona. Kebijakan tersebut diantaranya dengan menerbitkan kartu prakerja, padat karya tunai, penerbitan kebijakan dan perlindungan kepada pekerja, serta program jaringan pengaman sosial (JPS). Mengenai putusnya sebuah hubungan kerja sebab akibat dari force majeure, pengaturan terkait perlindungan tersebut telah tertuang dalam Pasal 164 ayat (1) UUK. Besar harapan untuk semua pihak agar memiliki itikad baik secara kompeherensif agar pemutusan hubungan kerja dapat dihindari, pun bila tidak ada solusi atau jalan lain saat ini minimal PHK dilakukan sesuai dengan pedoman hukum yang sesuai. Akhir dari hubungan kerja akan menghasilkan suatu kewajiban bagi pengusaha untuk wajib membayar kinerja dari pekerja. Kewajiban pengusaha saat ini adalah membayar pesangon bagi pekerja yang mengalami pemberhentian kerja. Indonesia memiliki pedoman yang diidentikkan dengan kewajiban perusahaan sebagaimana pada Pasal 153 ayat (1) sampai dengan Pasal 153 ayat (3) UUK, yang telah diperbaiki dalam Pasal 153 ayat (1) sampai dengan Pasal 153 ayat (2) UU Ciptaker. Saat ini telah diterapkan pedoman lain sebagai standar turunan dari UU Ciptaker dimana substansinya mengatur secara menyeluruh perhitungan uang pesangon, khususnya PP No. 35 Tahun 2021 tentang Pengaturan Kerja Waktu Tertentu, Evaluasi Ulang, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Akhir Usaha (PHK). Asas-asas subordinat UU Cipta Kerja memuat pengaturan mengenai besaran pesangon bagi korban pemutusan kerja, termasuk yang berlaku pada tahun 202 1. Pasal 156 UU Ketenagakerjaan juga mengatur pengaturan remunerasi untuk uang pesangon bagi pekerja yang terkena PHK. Namun pengaturan untuk membayar hak-hak istimewa yang seharusnya diperoleh telah diubah dalam Pasal 40 PP No. 35 Tahun 2021. Pengaturan mengenai pembayaran hak istimewa para pekerja yang seharusnya diperoleh telah diperjelas dalam pengaturan Pasal 41 sampai Pasal 57 PP No. 35 Tahun 2021.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Asikin, Zainal. 2004. Dasar-Dasar Hukum Perburuhan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Asikin, Zainal dkk. 2006. Dasar-Dasar Hukum Perburuhan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Trijono, Rachmat. 2014. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan. Jakarta: Papas Sinar Sinanti.
JURNAL
Daniel, Marshal Sojou, Kerenhapukh Milka Tarmadi Putri, Niken Febriana Dwi. 2020.
"Peran Negara Atas Perlindungan Hukum Tenaga Kerja Indonesia Pada Masa Pandemi Covid-19." Jurnal Syntax Transfarmation 1(8). 445-448.
Fathhammubina Rahendra, Rani Apriani. 2018. "Perlindungan Hukum Terhadap Pemutusan Hubungan Kerja Sepihak Bagi Pekerja." Jurnal Ilmiah Hukum DE'JURE: Kajian Ilmiah Hukum 3(1) 108-111.
Hanoatubun, S. 2020. "Dampak Covid-19 Terhadap Perekonomian Indonesia." Journal of Education 2(1). 146-153.
Hernawan, Ari. 2016. "Keberadaan Uang Pesangon dalam Pemutusan Hubungan Kerja Demi Hukum di Perusahaan yang Sudah Menyelenggarakan Program Jaminan Pensiun." Jurnal Kertha Patrika 38(1). 11-13.
Lanov. 2020. "Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja yang Dirumahkan dan Di-PHK Akibat Dampak Covid-19." Skripsi. Universitas Muhammadiyah Mataram. 3235.
Maringan, Nikodemus. 2015. "Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Secara Sepihak oleh Perusahaan Menurut Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan." Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion 3(3). 24.
Nesya, Patricia Mara'Ayni, I Made Sarjana. 2020. "Pengaturan Pemberian Pesangon Bagi Pekerja Yang Mengalami PHK Pada Masa Pandemi Covid-19." Jurnal Kertha Semaya : Jurnal Ilmu Hukum 8(11). 1763-1764.
Putra, Andika Pramana. 2018. "Kajian Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Agung Atas Perkara No. 835k/Pdt.Sus-Phi/2015 Tentang Pemutusan Hubungan Kerja Karena Alasan Efisiensi." Jurnal Hukum Adigama 1(1). 18-21.
Randi, Yusuf. 2020. "Penerapan Perjanjian Bersama Berupa Pemberian Kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja yang Bertentangan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan." Hukum De'rechtstaat 6(1). 36-38.
Santoso, Budi. 2013. "Justifikasi Efisiensi Sebagai Alasan Pemutusan Hubungan Kerja." Jurnal Mimbar Hukum 25(3). 408-411.
Yamali, Fakhrul Rozi dan Putri, Ririn Noviyanti. 2020. "Dampak Covid-19 Terhadap Ekonomi Indonesia". Journal of Economics and Business 4(2). 385-386.
INTERNET
Heryadi. 2020. "UU Cipta Kerja Ciptakan Pesangon". URL:
https://m.mediaindonesia.com/ekonomi/372081/uu-cipta-kerja-kuatkan-sistem-pesangon diakses pada tanggal 1 September 2021.
Pertiwi, Wahyunanda Kusuma. 2020. "Gojek PHK 430 Karyawan, Bgaimana Nasbi Driver Ojol". URL:
https://tekno.kompas.com/read/2020/06/24/08030087/gojek-phk-430-karyawan-bagaimana-nasib-driver-ojol diakses pada tanggal 1 September 2021.
Pratama, Akhdi Martin. 2020. "Dirut Garuda: 135 Pilot Garuda Bukan di-PHK tapi dipercepat Masa Kontrak Kerjanya". URL:
https://money.kompas.com/read/2020/06/05/140000726/dirut-garuda-135-pilot-garuda-bukan-di-phk-tapi-dipercepat-masa-kontrak diakses pada tanggal
1 September 2021
Sembiring, Lidya Julita. 2020. "Corona 1,5 Bulan: Maskapai Rugi Rp207 M, Hotel Tutup & PHK." URL: https://www.cnbcindonesia.com/news/20200417120502-4-
152647/corona-15-bulan-maskapai-rugi-rp207-m-hotel-tutup-phk, diakses pada tanggal 1 September 2021.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK).
Surat Edaran M enteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04/III/2020 tentang
Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka
Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19.
Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No.5 Tahun 2022, hlm. 982-995
Discussion and feedback