TINDAK PIDANA TERHADAP PELAKU

PENYALAHGUNAAN OBAT TRIHEXYPHENIDYL
DALAM PERSPEKTIF HUKUM KESEHATAN

Aditya Wisnu Prabowo Wahyono, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Dewa Gede Dana Sugama, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

DOI : KW.2022.v11.i07.p5

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini bertujuan untuk mengetahui serta mengedukasi mengenai akibat hukum apabila seseorang mengkonsumsi obat trihexyphenidyl tanpa resep dokter dan memperjualbelikan obat trihexyphenidyl secara ilegal. Obat trihexyphenidyl merupakan obat golongan antimuskarinik yang dapat menghentikan kejang otot, mengurangi kekakuan otot dan mengontrol fungsi otot. Efek dari penggunaan trihexyphenidyl yaitu: Meningkatnya detak jantung, penglihatan kabur, mual, muntah, lemas, mulut kering, diare dan halusinasi. Penelitian ini menggunakan metode hukum normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan, Pendekatan analisis konsep hukum, dan pendekatan khusus. Hasil penelitian ini yaitu, menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa mengedarkan obat trihexyphenidyl tanpa otorisas/ilegal dan pengiriman tidak sesuai standar akan mendapatkan denda dan sanksi pidana, sedangkan bagi para pecandu diwajibkan mengikuti program rehabilitasi. Dengan adanya kebijakan hukum pidana mengenai penyalahgunaan obat triehexyphenidyl dapat mengetahui upaya penanggulangan dan pencegahan kepada masyarakat dan aparat penegak hukum untuk lebih meningkatkan perhatian terhadap obat-obatan khususnya obat triehexyphenidyl.

Kata kunci : Tindak Pidana, penyalahgunaan, obat trihexyphenidyl.

ABSTRACT

The purpose of this study aims to find out and educate about the legal consequences if a person consumes trihexyphenidyl drugs without a doctor's prescription and sells trihexyphenidyl drugs illegally. Trihexyphenidyl is an antimuscarinic class drug that can stop muscle spasms, reduce muscle stiffness and control muscle function. The effects of the use of trihexyphenidyl are: Increased heart rate, blurred vision, nausea, vomiting, weakness, dry mouth, diarrhea and hallucinations. This research uses normative legal methods with a statutory approach, a legal concept analysis approach, and a special approach. The results of this study are, according to Law Number 36 of 2009 concerning Health states that circulating trihexyphenidyl drugs without authoritarian / illegal and non-standard delivery will get fines and criminal sanctions, while for addicts are required to follow a rehabilitation program. With the criminal law policy regarding the misuse of triehexyphenidyl drugs, we can find out countermeasures and prevention efforts to the community and law enforcement officials to further increase attention to drugs, especially triehexyphenidyl drugs.

Keywords : crime, abuse, drug trihexyphenidy.

  • I.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang Masalah

Seiring Peningkatan ilmu pengetahuan dalam suatu bangsa, mendorong pelaksanaan masyarakat yang bergerak cepat dan produktif. Prestasi dalam ilmu pengetahuan dapat membawa Negara Indonesia berkembang, tentunya kemajuan ilmu pengetahuan dan inovasi dapat meningkatkan suatu penyimpangan dan kejahatan dalam bidang sosial dan ekonomi, karena di suatu negara khususnya di Negara Berkembang tingkat kejahatan dan penyimpangan semakin meningkat. Tingginya peradaban suatu negara maka semakin maju pula ilmu pengetahuan dan teknologi pada negara tersebut. Jika ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut tidak diimbangi dengan tingkat sumberdaya manusia dapat berpengaruh dan menjurus kepada hal yang negatif, terjadinya tindak pidana sains/ilmu pengetahuan khususnya di bidang kesehatan antara lain yaitu: pemalsuan obat dan penyalahgunaan obat tanpa izin dan malpraktek.1 Masalah kesehatan merupakan suatu hal yang sangat serius bagi suatu negara, negara memiliki kewajiban yang harus dipenuhi dan memberikan layanan pada kesehatan dan menetapkan pengaturan hukum mengenai perlindungan kesehatan.

Kesehatan merupakan salah satu kesejahteraan yang harus diwujudkan di Negara Republik Indonesia seperti yang tertuang didalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945.2 Dapat disimpulkan kesehatan merupakan hal yang sangat fundamental terhadap kelangsungan hidup bangsa, jika terjadi tindak kriminal mengenai bidang kesehatan akan merujuk kepada masyarakat secara materiil dan immeteril hingga masyarakat akan susah untuk menjalankan hidup dengan baik. Hukum Kesehatan sebenarnya sudah diperkenalkan, pada perkembangannya hukum pada bidang kesehatan ini memang kurang mendapatkan simpati oleh pakar hukum yang ada di Indonesia. Maka jika dilihat masih jarang ditemui tentang buku yang membahas tentang hukum di bidang kesehatan.

Contoh bentuk pada bidang kesehatan ialah obat. Sebagai aturan umum, obat adalah suatu bahan atau kombinasi yang digunakan untuk bagian dalam ataupun luar guna menyembuhkan, meringankan dan mencegah pada penyakit. Obat memiliki berbagai jenis dan golongan yaitu Obat Bebas, Obat Bebas Terbatas, Obat Keras, Obat Golongan Narkotik, Obat Herbal.3 Pada golongan obat yang disebutkan hanya obat bebas, obat bebas terbatas dan obat herbal yang dapat diperjualbelikan secara bebas tanpa menggunakan resep dokter. Sedangkan obat keras dan obat golongan narkotik hanya bisa dibeli menggunakan resep dokter atau spesialis.

Penyalahgunaan obat-obatan merupakan penyalahan aturan seperti yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Penggunaan obat terlarang adalah penggunaan obat-obatan yang tidak digunakan untuk pengobatan, sesuai Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO) obat tersebut tidak digunakan untuk pengobatan atau medikasi, tetapi digunakan untuk kesenangan. Obat-obatan yang secara teratur digunakan umumnya adalah obat G-list (dalam bahasa Belanda “Gevaarlijk” yang berarti berbahaya) obat G-list adalah obat keras yang harus dibeli dan dimakan menggunakan solusi spesialis,

salah satu contoh adalah Obat Trihexyphenidyl.4 Menurut Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 28 Tahun 2018, jenis obat tertentu yang ditangani adalah obat yang bekerja dalam sistem sensorik fokus.5

Trihexyphenidyl merupakan jenis obat yang sering disalahgunakan dan tidak mengindahkan cara aturan pemakaian. Trihexyphenidyl adalah obat golongan antimuskarinik yang bekerja dengan menghambat zat alami asetikolin maka dari itu membantu kekakuan otot dan mengontrol fungsi otot, obat ini biasanya diperuntukan untuk para penderita Parkinson ataupun penyakit syaraf.6    Dampak dari

mengkonsumsi trihexyphenidyl adalah: Peningkatan denyut nadi, penglihatan menjadi kabur, mual, muntah, mulut kering, halusinasi. Obat ini gemar disalahgunakan karena harganya yang murah, obat ini membuat mabuk dan tenang sesaat.7 Obat tersebut dapat ditemukan dengan mudah di beberpa apotek dan lingkungan sendiri karena diperjualbelikan oleh sesama pengguna. Penggunaan obat trihexyphenidyl dalam jangka panjang hanya dapat diperbolehkan apabila menggunakan resep dokter yang menangani penyakit syaraf, masalah kesehatan yang timbul akibat mengkonsumsi obat trihexyphenidyl tanpa memperhatikan dosis dapat menyebabkan penyumbatan perut atau usus, prostat membesar, glukoma, hipertensi, penyumbatan saluran kencing, penyakit ginjal dan penyakit hati.8

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana tindak pidana penyalahgunaan Obat Trihexyphenidyl dalam perspektif hukum kesehatan?

  • 2.    Bagaimana pengaturan hukum pidana terhadap pelaku pengedaran dan penyalahgunaan Obat Trihexyphenidyl dalam hukum positif Indonesia?

  • 3.    Bagaimana penanggulangan dan pencegahan penyalahgunaan Obat Trihexyphenidyl?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Tujuan untuk menulis artikel ini adalah untuk memberikan pemahaman tentang tindak kriminal pelaku penyalahgunaan obat trihexyphenidyl dalam sudut pandang hukum kesehatan dan untuk mengetahui sistem hukum mengenai penyalahgunaan obat trihexyphenidyl dalam perspektif hukum kesehatan.

  • II.    Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penulisan artikel ini menggunakan metode hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah suatu penelitian untuk mengemukakan kebenaran berdasarkan logika keilmuan dari sudut pandang normatifnya.9 Pendekatan yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah pendekatan perundang-undangan, Pendekatan analisis konsep hukum, dan pendekatan khusus. Penggunaan penelitian normatif menggunakan permasalahan yang terjadi dan dikaitkan dengan perundang-undangan yang berlaku, bahan hukum yang digunakan sebagai sumber hukum yaitu, Pasal 196 dan 197 Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Teknik analisis yang digunakan ialah teknik deskripsi analisis yang menjelaskan suatu maslah yang dianalisis menggunakan bahan hukum yang dipadukan menggunakan hukum positif yang berlaku.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

  • 3.1    Tindak Pidana Penyalahgunaan Obat Trihexyphenidyl Dalam Perspektif Hukum Kesehatan

Dasar Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 mengenai bidang kesehatan menggantikan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 mengenai bidang kesehatan adalah jenis penyempurnaan dari otoritas publik agar bidang kesehatan menjadi jauh lebih baik. Dasar Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 lebih baik dari yang diharapkan siapa pun dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 memanggul pedoman anyar atau model hukum serta ketertiban yang ideal di bidang kesehatan. Dalam pedoman baru ini ada artikel yang mengarahkan penyalahgunaan obat-obatan antara lain:

  • a.    Pasal 102 Ayat (1)

Pemanfaatan pengaturan obat dan psikotropika harus dilakukan tergantung pada resep menurut spesialis dan spesialis gigi yang tidak untuk disalahgunakan.

  • b.    Pasal 103 Ayat (1)

Setiap individu yang membuaat, mendistribusikan, dan menggunakan obat yang mengandung zat psikotropika harus memenuhi pedoman dan prinsip-prinsip khusus.

  • c.    Pasal 196

Setiap individu yang dengan sengaja membuat atau mendistribusikan alat dan bahan farmasi yang tidak memenuhi standar khasiat, mutu, serta keamanan sebagaimana yang diatur pada Pasal 98 Ayat (2) akan dikenakan sanksi kurungan paling lama 10 tahun dengan membayar denda maksimal Rp1.000.000.000.00

  • d.    Pasal 197

Setiap orang dengan sadar membuat dan mendistribusikan farmasi tidak memiliki izin edar seperti yang terdapat pada Pasal 106 Ayat (1) akan dikenakan sanksi kurungan maksimal 15 Tahun dan membayar denda maksimal Rp15.000.000.000.00

Penggunaan UU Nomor 36 Tahun 2009 mengenai bidang kesehatan tentang tindakan pidana penyelewengan obat kronis, klasifikasi psikotropika dapat bergantung pada 2 pasal yang tercatat pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 terkait bidang Kesehatan, khususnya di Pasal 196 dan 197, mengingat fakta bahwa dalam Pasal tersebut dijelaskan bahwa tidak ada orang yang boleh menjual obat selain obat yang dapat dijual secara bebas. Sementara untuk obat yang tergolong dalam obat keras atau obat daftar G tidak dapat diperjualbelikan secara bebas di apotek, karena syarat untuk dapat membeli obat keras tersebut hanya diperbolehkan untuk pedagang besar farmasi.

Obat ini dapat diperjual belikan jika pasien memiliki resep dokter dan pasien tidak boleh membeli dengan jumlah yang banyak. Dalam pengedaran obat trihexyphenidyl terhadap pengguna untuk keperluan umum harus mengantongi izin edar dan disetujui oleh pihak Dinas Kesehatan, BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan), dan harus memenuhi standar farmakope, yaitu standar kualitas mutu. Umumnya penyalahgunaan obat trihexyphenidyl dapat dikenai Pasal 196 dan 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang berisi sanksi kepada para pihak yang mengedarkan dan memproduksi diluar standar mutu, hal ini merupakan sebuah keuntungan bagi pihak konsumen dikarenakan tidak dapat di proses secara hukum.

  • 3.2    Pengaturan Hukum Pidana terhadap Pelaku Pengedaran dan Penyalahgunaan Obat Trihexyphenidyl Menurut Hukum Positif Indonesia.

Faktor yang mutlak dijatuhkannya hukuman pidana adalah adanya perbuatan yang memenuhi rumusan delik yang terdapat pada peraturan Perundang-undangan, serta merupakan pertanggungjawaban mengenai sikap yang melanggar peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Perumusan delik merupakan prinsip yang bersifat pasti dan tidak dapat diganggu gugat, maka dari itu dapat diketahui apa saja yang dilarang dan apa saja yang harus dipatuhi oleh seluruh rakyat Indonesia. Unsur pidana yang bersifat melawan hukum, unsur ini merupakan perilaku yang dengan sengaja melanggar hukum yang berlaku. Pada hukum terdapat pertanggungjawaban tindak pidana yang memiliki suatu pengertian yang universal, pada hukum pidana terdapat sikap tanggung jawab pidana yang terdapat pada ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.10

Pertanggungjawaban tindak Pidana merupakan pertanggungjawaban pada suatu tindakan yang bersifat kriminal yang dilakukan. Pada kenyataannya responsibilitas ialah suatu cara yang didirikan oleh hukum agar saling terkoneksi pada kecacatan kesepakatan dengan mengelakkan sikap yang diwujudkan pada larangan mengenai tindak pidana pada sikap yang dilakukan.11 Pasal 42 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memiliki akidah pada limitasi dan sistematis terhadap pendistribusian narkotika yang dirancang oleh aturan yang dibuat oleh kementrian, tindakan pidana dalam penyalahgunaan obat trihexyphenidyl diingat pada Pasal 114 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 tentang Narkotika. Resep terkandung pada Pasal ini yaitu setiap individu jika tidak mengantongi izin dengan ilegal membawa, memperdagangkan dan memproduksi dapat dihukum dengan penahanan

sekitar 5 tahun dan batas maksimal 15 tahun dan membayar denda pidana Rp 1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah) sampai Rp 10.000.000.000.00 (sepuluh miliar rupiah) untuk denda maksimal.

Pasal 197 Undang-Undang No 36 Tahun 2009 mengenai Kesehatan, pada pasal ini menetapkan setiap orang yang dengan sengaja membuat farmasi (obat trihexyphenidyl) dengan sengaja dan tidak mempunyai surat edar yang dimaksud pada Pasal 106 Ayat 1, ialah sediaan alat kesehatan maupun farmasi didistribusikan selepas mendapatkan surat izin. Unsur objektif dan subjektif dalam penyalahgunaan

obat trihexyphenidyl yaitu:

  • 1.    Unsur Objektif

  • a)    Kegiatan

  • b)    Objek

  • c)    Kondisi

  • d)    Setiap orang


: Mendistribusikan dan memproduksi.

: Perlengkapan farmasi dan alat-alat kesehatan.

: Tidak mengantongi izin edar.

: Terdakwa.

  • 2.    Unsur Subjektif

  • a) Tindakan Secara  Sengaja:  orang  dikatan mampu melakukan

pertanggungjawaban jika orang tersebut bilamana pada umumnya dilihat dari berapa aspek meliputi: Keadaan Jiwanya, Tidak cacat pertumbuhan dan amarah meluap, tidak terganggu saat terkejut, demam serta berkata dalam keadaa sadar, Tidak terganggu oleh penyakit secara terus menerus ataupun sementara. Kemampuan

jiwanya,  dengan menentukan tindakan atas kehendaknya dan

mengetahui ketercelaan atas tindakan yang diperbuat, pertanggungjawaban hukum pidana sering disebut dengan Criminal Responsbility yang berarti orang yang telah melakukan sebuah tindakan kriminal tidak menentukan seseorang dapat hukuman pidana namun orang tersebut harus mempertanggungjawabkan tindakan yang diperbuat, mempertanggungjawabkan perbuatan untuk dapat ditentukan bahwa pelaku bersalah atau tidak, dapat menyesali tindakan yang diperbuat.12

Kesalahan harus diluputi dengan suatu pertanggungjawaban pidana. Jika seseorang melakukan suatu pelanggaran tindak pidana maka harus dilihat dari syarat yang patut dicela dan melakukan delik, maka demikian seseorang mendapatkan hukuman pidana yang harus memenuhi syarat pada 2 hal yaitu:

  • 1.    Pelaku memiliki kesalahan dalam unsur kesengajaan maka dapat melawan hukum dan harus dipertanggungjawabkan sehingga memiliki unsur subjektif.

  • 2.    Harus memiliki suatu perbuatan melawan hukum, maka dari itu memiliki tindakan melawan hukum sehingga memiliki unsur yang objektif.

Tindakan melawan hukum tidak hanya dalam memvonis sanksi dalam bentuk pidana, suatu tindakan dalam melawan hukum harus memiliki orang yang berani mengakui kesalahan atas tindakannya. Pelaku mengenai tindak pidana tidak bisa mendapatkan penghapusan atas kesalahan.13

Tanggungjawab mengenai hukum pidana diperbuat dengan dasar kesalahan yang membuktikan atas dasar kesalahan yang dilakukan. Kesalahan terbagi menjadi dua yaitu: kealapan serta kesenjangan. Kealapan merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh pelaku karena tidak berhati hati, sedangkan kesenjangan adalah suatu kehendak yang dilakukan agar terwujudnya kehendak seperti yang telah dirumuskan pada undang-undang. Akibat terjadinya kealapan dan kesenjangan dipandang sebagai adanya suatu kesalahan namun konsekuensi yang terumus dalam Undang-Undang tindak pidana tidak perlu dirumuskan dengan kealapan dan kesengajaan. Maka apabila kesalahan merujuk pada hukum normatif memungkinkan mengakui indikator untuk menentukan sebuah kesalahan selain psikologis pengguna dan pembuat tersebut.

Pertanggungjawaban tindak pidana kesehatan hanya dapat diterapkan pada orang yang melakukan tindakan yang tergolong dalam tindak pidana kesehatan. Menurut penulis, terdakwa harus mempertanggungjawabkan tindakan yang telah diperbuat, Karena suwaktu melakukan tindakan penyalahgunaan obat trihexyphenidyl tanpa izin maka terdakwa memenuhi unsur yang harus dipertanggungjawabkan. Unsurnya meliputi :

  • a.    Kejiwaan pelaku tidak terganggu/normal karena pelaku dapat menyadari tindakan serta dapat menentukan kehendak mengenai tindakan yang dilakukan dapat terlaksana atau tidak terlaksana.

  • b.    Kondisi kejiwaan pelaku tidak terganggu dan tidak dalam pengaruh seperti: sakit, terkejut, amarah yang meluap, dan sebagainya.

Seorang pelaku tindak pidana kesehatan yang memiliki sebuah tindakan unsur pidana harus dipertanggungjawabkan secara pidana. Pelaku wajib bertanggungjawab atas pemberian sanksi yang dijatuhkan mengenai suatu tindak kriminalitas penyalahgunaan dan mengedarkan obat trihexyphenidyl tanpa menggunakan izin maka tindakan tersebut harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan tindak pidana yang telah diperbuat yang memiliki unsur disengaja, maka karena itu Penulis menganggap bahwa keputusan yang dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku sangat pantas untuk dipertanggugjawabkan oleh pelaku.

  • 3.3 Penanggulangan dan Pencegahan Tindak Pidana Penyalahgunaan Obat

Triheyphenidyl

Penanggulangan Tindak Pidana Terhadap Penyalahgunaan Obat Trihexyphenidyl merupakan Suatu perbuatan yang dapat dihukum apabila sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan seperti yang tercantum pada Pasal 1 Ayat (1) KUHP, maksud dari Pasal ini iyalah suatu perbuatan akan mendapatkan sebuah hukuman pidana jika telah diatur di dalam perundang-undangan, maka tindak pidana dalam penyalahgunaan obat trihexyphenidyl dapat diancam dengan hukuman pidana.14 Gagasan hukum pidana mensyaratkan bahwa disiplin sebagai persetujuan yang digunakan untuk kepentingan orang umum dengan kata lain memaksakan suatu penderitaan. Menurut sistem hukum positif Indonesia mengenai tindakan dan kebijakan terbagi menjadi 2 garis besar yang dapat dilakukan terkait delik, mencakup kebijakan non penal dan penal.

Kebijakan Penal merupakan suatu usaha demi terwujudnya aturan yang baik pada situasi maupun kondisi yang tepat. Secara khusus dekemukakan bahwa kebijakan penal merupakan aturan negara melelalui alat perlengkapan yang berhak dalam menerapkan peraturan yang diinginkan dan bisa diterapkan untuk mengekspresikan isi yang terkandung di dalam rakyat umum untuk dicapainya sesuatu yang diimpikan. Kebijakan yang harus dilakukan adalah hukuman tindak pidana, pengartian pidana ialah terlihat dalam sebuah tindak kriminalitas yang diperbuat oleh terpidana. Maka mereka harus mempertanggungjawabkan atas kesalahan di dalam sel penjara. Tujuan adanya hukuman penjara yaitu untuk menakuti calon pelanggar serta pelanggar hukum dan sebagai pembalasan atas segala kejahatan yang diperbuat oleh terpidana agar memberi efek jera dan tidak lagi melanggar serta melakukan tindak kejahatan.

Hukuman pidana menurut positif yang berlaku di Indonesia terdapat dalam Pasal 10 KUHP yang dikenal sebagai “Lembaga Pemasyarakatan”. Peran hakim sangat diharapkan pada proses pemeriksaan dan memvonis setiap peristiwa tindak kejahatan pidana, dalam menetapkan vonis pada suatu tindak pidana. Dalam penanggulangan suatu tindak pidana harus menggunakan instrument penal dengan memperhatikan hal-hal berikut ini:

  • a.    Pemakaian hukum pidana harus melihat kemampuan serta kapasitas kerja oleh badan penegak hukum dan tidak overbelasting/kelebihan mengenai beban yamg meliputi tugas dapat mengakibatkan berkurangnya suatu peraturan.

  • b.    Pemakaian hukum pidana harus memperhatikan tujuan khususnya dalam pembagunan nasional demi mewujudkan keadilan serta kemakmuran dalam materil serta sprititual sesuai pancasila.

  • c.    Perbuatan mencegah yang harus ditanggulagi oleh hukum pidana adalah perbuatan uang tidak dikehendaki dikarenakan dapat menimbulkan dampak kemudaratan bagi umum. Perbuatan yang tidak merugikan tidaklah boleh ditetapkan sebagai perbuatan yang tidak diinginkan/dikehendaki. Namun, tidak semua perilaku yang berdampak kerugian harus diselesaikan hukum pidana.

  • d.    Usaha untuk mencegah perilaku menggunakan instrumen hukum pidana dengan sanksi negatif berupa kurungan dengan perhitungan demi hasil yang diharapkan tercapai.

Pasal 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menerapkan vonis pidana kurungan paling lama 15 tahun merupakan suatu kebijakan panel yang dapat diimplementasikan.

Prosedur Non Penal adalah suatu prosedur penanggulangan yang bersifat tindakan sebelum terjadianya tindak kejahatan. Faktor kondusif menyebabkan suatu tindak kriminal yang bertumpu pada masalah dan situasi sosisal secara langsung dan tidak langsung berdampak pada tindak kriminal. Demikian dapat dilihat melalui kebijakan dalam penanggulangan kriminalitas, usaha non penal memiliki posisi yang memegang peranan penting yang harus dimaksimalkan. Kebijakan Non Penal diperlukana untuk menanggulangi tindak kejahatan yang tidak memakai sarana hukum pidana sebagai hukumnya tetapi harus melihat aspek seperti ekonomi, sosiologi, dan psikologi sebagai sikap kongkrit, serta melakukan tindakan administrasi

berupa pencabutan izin.15 Kebijakan non penal ini dapat ditujukan pada tindak kriminalitas penyalahgunaan obat trihexyphenidyl tanpa izin edar sebagai berikut:

  • a.    Tindakan administrasi pencabutan izin apotek dan toko obat.

  • b.    Tindakan yang bermoral seperti penyebarluasan ajaran agama yang dilakukan oleh tokoh agama.

  • c.    Dalam tindakan ingin membasmi demi mengakhiri tindak kejahatan atas penyalahgunaan obat triehexyphenidyl maka harus menggunakan sifat memberantas.

  • d.    Mencabut izin pabrik besar obat trihexyphenidyl yang mendistribusikan kepada apotek dan toko obat yang tidak memiliki izin.

  • e.    Peran pemerintah dalam membina industri secara komprehensif mulai dari pembuatan hingga pengedaran supaya masyarakat terhindar dari penyelewengan terhadap obat trihexyphenidyl.16

Dalam menangani hal tersebut dapat dibagi menjadi 2 hal yang harus diterapkan, khususnya melalui jalur yang sah jika telah terbukti menjadi pelanggaran hukum dan jalur pemulihan, khususnya pemulihan keadaan bagi para pengguna penyalahgunaan untuk dibebaskan dari ketergantungan pada obat trihexyphenidyl dengan kata lain rehabilitasi. Pemulihan bagi para pengedar yang mengabaikan pengaturan Pasal 196 dan Pasal 197 Undang-Undang Kesehatan akan ditangani sesuai hukum positif Indonesia, jika mereka merupakan pecandu sekaligus pengedar maka mereka akan menerima masa tahanan dan dianjurkan untuk mengikuti rehabilitasi.17

Pencegahan Tindak Pidana Penyalahgunaan Obat Trihexyphenidyl merupakan suatu usaha yang harus dilakukan dalam penyalahgunaan obat trihexyphenidyl yaitu menggunakan teknik prevensif. Pihak berwenang khsusunya pihak kepolisian dan instansi terkait harus melakukan penyuluhan terjadwal khususnya ke sekolah, agar para pelajar tidak menjadi para pelaku penyalahgunaan obat trihexyphenidyl dikarenakan pola pikir para pelajar yang masih labil sehingga dapat dengan mudah terjerumus dalam penyalahgunaan obat-obatan. Polisi dan instansi terkait harus melakukan konseling pada masyarakat untuk mengedukasi masyarakat tentang berbahayanya penyalahgunaan obat trihexyphenidyl. Kepolisian yang dibantu oleh instansi terkait berperan dalam pencegahan dan menindak lanjuti penyalahgunaan obat trihexyphenidyl. Dalam tindakan pencegahan penyalahgunaan obat trihexyphenidyl kepolisian menerapkan sesuai dengan program BNN yakni P4GN (Pencegahan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap).18

  • IV. Kesimpulan sebagai Penutup

    4.  Kesimpulan

Menurut UU Kesehatan terkait pengaturan mengenai pendistribusian yang tidak mengantongi izin dan produksi obat trihexyphenidyl yang tidak memenuhi standar, penyalahgunaan obat untuk kepuasan pribadi yang bukan untuk kepentingan medis tidak dikenakan sanksi kurungan penjara melainkan dikenakan sanksi pemulihan secara medis dan pemulihan secara sosial. Sanksi pidana bagi penyalahgunaan adalah denda serta pidana bagi pelaku pengedaran obat trihexyphenidyl tanpa izin dan memproduksi obat tidak sesuai standar. Bagi pecandu obat akan menjalani program rehabilitasi. Dalam upaya pencegahan penyalahgunaan obat trihexyphenidyl kepolisian memegang peran penting bagi penanggulangan dengan memberi sanksi pidana bagi para pengedar dan memberi sanksi rehabilitasi bagi para pecandu. Penanggulangan tindak kriminal penyalahgunaan trihexyphenidyl dapat melalui kebijakan penal, kebijakan dilakukan menggunakan instrumen hukum pidana yang merupakan sanksi seperti: hukuman denda, hukuman penjara, dan lainnya. Namun kebijakan yang sering digunakan ialah hukum penjara. Tujuan adanya hukum penjara agar memnberikan efek jera kepada para pengedar dan calon pengedar terhadap sanksi yang akan didapatkan jika mengedarkan tidak menggunakan izin. Upaya pencegahan terhadap penyalahgunaan obat dapat dilakukan dengan teknik preventif, yaitu dengan melakukan penyuluhan terkait penyalahgunaan obat-obatan.

Daftar Pustaka

Buku

Arief, Moh, Penggolongan Obat Berdasarkan Khasiat dan Kegunaannya, (Yogyakarta, Gajah Mada Press, 2015).

Ibrahim, Jhony, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang, Bayu Media, 2013).

Kusumo, Eko, Klasifikasi Obat Berdasarkan Keguanaannya, (Yogyakarta, Gajah mada Press, 2011).

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, (Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 2012).

Suharto, R.M., Hukum Pidana Materil, (Jakarta, Sinar Grafika, 2012).

Zaeni, Ashadie, Aspek Hukum Kesehatan, (Depok, Raja Grafindo, 2017).

Jurnal

Atmadja, Dewa Gede. “Asas-Asas Hukum dalam Sistem Hukum.” Jurnal Kertha Wicaksana 12, No 2 (2018): 143-148.

Eleanora, F.N. “Bahaya Penyalahgunaan Narkoba Serta Usaha Pencegahan dan Penanggulangannya.” Jurnal Hukum 25, No 1 (2011): 40-49.

I.R., Priescisila “Beberapa Faktor yang Berhubungan Dengan Penggunaan Trihexyphenidyl Pada Remaja di BNN Kota Surabaya” Jurnal Universitas Airlangga 102, No.6 (2016): 2-11.

Mahal, Al.“Trihexyphenidyl Misue in Delusial Disorder.” Jurnal of Neurosciences in Rural Practice 9, No 3 (2018): 28-39.

Mizuno, Shimoda. “Treatmen of Parkinson.” Jurnal Neural Transmission 125, No 1 (2018): 35-39.

Sholihah, Q. “Efektifitas Program P4gn Terhadap Pencegahan Penyalahgunaan NAPZA.” Jurnal Kesehatan Masyarakat 10, No 3 (2015): 15-20.

Singgih, Herry, Mukti. “Pelaksanaan Pendidikan Moral Pada Peserta Rehabilitasi Pecandu Narkoba di Panti Rehabilitasi Narkoba Pondok Pemulihan Daulos Kota Batu.” Jurnal Hukum 2, No 1 (2013): 12-19.

Situngkir, Ratih. “Kebijakan Hukum Pidana dalam Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika di Indonesia.” Diponegoro Law, No 2 (2016): 4-10.

Surya, Adi. “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Penyalahgunaan Psikotropika Golongan IV Berdasarkan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika.” Jurnal Hukum Universitas Udayana 6, No. 05 (2017): 2-5.

Ummah, Khaira. “Penegakan Hukum Pidana Terhadap Penyalahgunaan Narkoba Polda Jateng.” Jurnal Hukum UNISSULA 12, No 3 (2017): 3-5.

Wicaksono, A.W. “Sanksi Tindakan Sebagai Sarana Alternatif Penanggulangan Psikotropika Bagi Pecandu dan Anak Dalam Perspektif Hukum Pidana.” Jurnal Hukum Universitas Sumatera Utara 3, No 1 (2015): 28-31.

Wulandari, Silvi. “Upaya Pengawasan BPOM dalam Potensi Penyalahgunaan Obat.” Farmaka 15, No 4 (2017): 2-9.

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang Undang Hukum Pidana.

Peraturan BPOM Nomor 28 Tahun 2018.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No. 7 Tahun 2022, hlm. 1463 -1473