PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA
on
PANDANGAN HUKUM PADA KUHP TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI YANG MELIBATKAN KORPORASI SEBAGAI PELAKU
Ni Putu Linda Rahmadini, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: lindarahmadini24@gmail.com
I Wayan Bela Siki Layang, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: belasikilayang@unud.ac.id
DOI: KW.2022.v11.i06.p15
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengobservasi bagaimana pandangan hukum di Indonesia terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukakn oleh korporasi. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan metode pendekatan Statue Approach pendekatan undang-undang. Hasil studi menunjukkan bahwa di Indonesia suatu korporasi sebagai subjek hukum pidana hanya didapati dalam undang-undang pidana khusus. Jika memungkinkan, perusahaan dihukum sesuai dengan Hukum Pidana dan tidak lagi terbatas pada hukum pidana khusus. Pada tahun 2013, pemerintah mengajukan "Rancangan Undang-Undang Pidana", yang mencakup modernisasi hukum pidana, yang menetapkan bahwa perusahaan harus menjadi subjek hukum pidana agar dapat dipertanggungjawabkan secara pidana corporate criminal liability. Menurut Pasal 20 (3) sampai (6) undang-undang perseroan terbatas telah ditetapkan undang-undang acara pidana khusus untuk perusahaan yang melakukan korupsi oleh perusahaan. Undang-undang tersebut menetapkan bahwa mengenai wakil dari korporasi yang akan secara fisik mewakili korporasinya dipersidangan.
Kata Kunci: Korporasi, Korupsi, KUHP
ABSTRACT
The purpose of this study is to determine the criminal responsibility of Indonesian companies in the Draft Corruption Criminal Code in Indonesian Positive Law. This study uses the normative legal research method with the approach method used is the Statue approach approach to the law. . The results of the study show that in Indonesia, corporations as subjects of criminal law are only found in special criminal laws. If possible, the company is punished in accordance with the Criminal Code and is no longer limited to specific criminal laws. In 2013, the government submitted a "Draft Criminal Code", which includes the modernization of criminal law, which stipulates that companies must be subject to criminal law in order to be held accountable for corporate criminal liability. According to Articles 20 (3) to (6) "UUPT", a special criminal procedure law has been stipulated for companies that commit corruption by the company. The law stipulates that the representative of the corporation who will physically represent the corporation in court.
Keywords: Corporations, Corruption, Criminal Code
-
I. Pendahuluan
-
I.1. Latar Belakang Masalah
-
Hampir pada setiap kelas sosial tercemar oleh korupsi. Salah satunya adalah kasus korupsi dimana melibatkan perseroan terbatas yang merupakan suatu badan hukum yang berpedoman pada Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Konteks pemberantasan korupsi yang ada belum optimal dalam pelaksanaannya atas pemberian hukuman yakni korporasi. Beberapa kasus korupsi yang ada menunjukkan terdapat beberapa korporasi yang terlibat dalam kasus tindak pidana.1 Sehingga kejahatan tindak pidana yang di dalamnya terlibat sebuah korporasi dinamakan dengan Corporate Crime (Kejahatan Korporasi). Mengacu pada ketentuan Pasal 8 ayat (2) “Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering”, makna “corporatie” merupakan sesuatu yang serupa seperti “person” yakni “rechtspersoon”.2
Kejahatan yang dilakukan oleh lembaga atau pihak korporasi dapat diklasifikasikan sebagai bentuk tindak pidana yang terorganisir transnasional yang melibatkan sistem teristematis, yang dapat mengarah pada kejahatan sistemik. Kejahatan korporasi memiliki unsur-unsur yang kondusif (faktor-faktor yang menguntungkan).3 Unsur-unsur kondusif yang terlibat dalam kejahatan tersebut ialah penegak hukum serta pihak profesional yang disebut dengan oknum dan kelompok masyarakat yang menjadi sasaran dari bentuk tindak pidana tersebut.4 Kejahatan termasuk termasuk pelanggaran kepercayaan (breach of trust), kecurangan (deceit), penyembunyian fakta (concealment facts), penyesatan (misrepresentation), penipuan (deception), manipulasi (manipulation), serta penggelapan hukum (illegal circumvention) yang dampaknya dapat membahayakan seluruh komunitas.
Korporasi adalah kumpulan dari organisasi profesi atau perusahaan yang berbadan hukum, organisasi atau organisasi tersebut mempunyai anggota namun mempunyai hak dan kewajiban masing-masing anggotanya. Keikutsertaan anggota pada sebua korporasi sama merupakan istilah serupa dengan partisipasi anggota pada sebuah perseroan. Banyak orang yang tidak menerima jika suatu perseroan dianggap dapat melakukan tindak pidana atau criminal karena dalam adagium “Universitas Delinguere Non potest” (badan hukum tidak dapat dipidana) dimana alasannya yaitu suatu badan hukum/perusahaan tidak memiliki Mens area (niat jahat) dan badan hukum tersebut bukan perseorangan. Di Indonesia tindak pidana korupsi sudah menjadi kejahatan luar biasa (Extra ordinary crime). Dalam perkembangannya korupsi sudah melibatkan badan legislatif, lembaga peradilan, banker, konglomerat, dan juga korporasi. Pengaturan korporasi sebagai “Subjek Hukum” dalam keputusan UURI No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Dalam beberapa perundang-undangan dan peraturan dengan menarik badan hukum atau korporasi ke dalam sistem pertanggungjawaban, yaitu telah dianut sistem pertanggungjawaban Strict Liability (pembebanan tanggungjawab pidana tanpa melihat sistem kesalahan) dan Vicarious Liability (pembebanan tanggung jawab pidana kepada selain si pembuat) kedalam pertanggungjawaban pidana.5 Permasalahan tindak pidana atau perilaku kriminal di Indonesia kini semakin pelik dan memprihatinkan, dimana sejauh ini baru terdapat dua kasus tindak pidana korporasi yang menghukum korporasi. Hal inilah yang menjadi pertanyaan maupun masalah publik dan telah menjadi keraguan dan pertanyaan tersendiri bagi masyarakat dan publik mengenai kinerja para aparat yang menangani hal ini di Indonesia dalam menuntut kasus korporasi yang melakukan tindak pidana, sehingga tulisan dari penelitian ini akan membahas tentang pertanggungjawaban yang dibebankan kepada lembaga atau korporasi mengenai tindak pidana korupsi menurut perspektif sistem peradilan pidana Indonesia.
-
I.2. Rumusan Masalah
Mengacu pada penjelasan sebelumnya, maka penelitian ini memiliki dua permasalahan yang terumus sebagai berikut:
-
1. Bagaimana pandangan hukum pidana tentang tindak pidana korupsi di Indonesia berdasarkan KUHP?
-
2. Bagaimana sanksi pidana bagi Korporasi yang melakukan Tindak Pidana menurut KHUP di Indonesia?
-
I.3. Tujuan Penulisan
Untuk melakukan analisis mengenai pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia dalam rancangan KUHP dan Hukum Acara Pidana Korupsi bagi Korporasi dalam Hukum Positif Indonesia.
-
II. Metode Penelitian
Penelitian yang dilakukan dalam penulisan jurnal ini merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif merupakan metode penelitian hukum yang dilakukan dengan cara mengecek maupun meneliti bahan pustaka.6 Metode pendekatan yang digunakan adalah metode Statue approach, yaitu pendekatan undang-undang yakni pendekatan yang dilakukan dengan cara menelaah maupun memeriksa semua peraturan perundang-undang dan regulasi yang terkait dengan isu atau masalah hukum yang sedang ditangani.7 Penelitian ini menggunakan 4 jenis pendekatan, yaitu Pendekatan Undang-Undang (The Statue Approach), Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical and Conseptual Approach), Pendekatan Sejarah (Historical Approach), dan Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach). Pengumpulan data hukum dimulai dengan kegiatan inventarisasi, dengan pengumpulan dan penataan bahan-bahan hukum kedalam suatu sistem informasi, sehingga memudahkan kembali penelusuran bahan-bahan hukum tersebut. Bahan-bahan hukum tersebut dikumpulkan dengan studi
dokumentasi. Analisis bahan-bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif normatif.
-
III. Hasil dan Pembahasan
-
3.1 Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia dalam rancangan KUHP
Istilah “tindak pidana korporasi” yang disebut juga dengan “kejahatan korporasi” didalam beberapa literatur yang menunjukkan seiring dengan perkembangan zaman dan perkembangan masyarakat. Dapat dikatakan bahwa perkembangan korporasi di Indonesia sebagai subjek hukum pidana tidak mengikuti secara tegas perkembangan Belanda. Di Belanda korporasi secara keseluruhan telah dianggap menjadi subjek hukum pidana, dan tidak lagi hanya berada dibawah kendali dan ketentuan khusus hukum pidana. Dengan lahirnya KUHP Belanda pada tahun 1976, semua ketentuan hukum pidana khusus kecuali yang tersebar diluar WvS (Wetboek van Straftrech) Belanda yang isinya mengatur pertanggungjawaban pidana korporasi dicabut/dihapuskan karena tidak perlukan, karena ketentuan menurut yang diaturnya pertanggungjawaban korporasi dalam Pasal 51 WvS Belanda, “kemudian pada aturan umum sesuai dengan berdasarkan Pasal 91 WvS Belanda (pasal ini memuat ketentuan yang sama dengan Pasal 103 KUHP Indonesia) sebagai aturan umum, ditetapkan bahwa ketentuan yang terkait dengan tanggung jawab pidana korporasi tersebut berlaku untuk KUHP dan semua peraturan di luar kodifikasi sepanjang tidak dilampirkan.”8 Selama ini di Indonesia korporasi yang menjadi subjek hukum pidana hanya terdapat pada hukum pidana khusus. Dimana jika memungkinkan, pemidanaan pada suatu korporasi dalam KUHP dihukum sesuai dengan hukum pidana dan tidak lagi dibatasi hanya pada hukum pidana khusus atau tertentu, seperti misalnya yang terdapat pada hukum pidana ekonomi, pidana politik ataupun pidana korupsi dan pidana pencegahan pencucian uang. Di Belanda peraturan mengenai pertanggungjawaban dalam tindak pidana korporasi ada dalam Pasal 51 KUHP-nya, dimana berkembangnya tindak pidana tersebut dipertimbangkan oleh anggota parlemen tidak perlu untuk segera diikuti maupun ditiru oleh pembuat undang-undang di Indonesia, sebab berpacu pada perkembangan korporasi yang ada di Indonesia tidaklah secepat dan seluas yang terjadi dinegeri Belanda. Adanya suatu alasan/dalih lain, yaitu bahwa kuatnya penolakan untuk menempatkan korporasi dalam subjek hukum pidana sangat kuat, mengingat korporasi bisa dianggap sebagai subjek hukum pidana sekaligus sebagai badan hukum yang tidak dapat berbuat salah, serta dapat ditanyakan dengan pandangan yang bisa saja mempertanyakan bagaimana cara menjatuhkan suatu hukuman atau putusan pidana terhadap korporasi, sebab dalam korporasi tidak memiliki organisasi yang dapat menanggung tanggung jawab pidana. Jika diperhatikan perkembangan tersebut layak ditiru oleh Indonesia, karena sebagai suatu badan hukum korporasi dapat dianggap sebagai subjek hukum, serta selama tuntutan pidana dapat dibuktikan, maka subjek hukum dapat dimintai pertanggungjawaban termasuk pertanggungjawaban pidana.9
Indonesia mulai mengakui perluasan subjek hukum pidana yang semula hanya pada manusia kemudian menjadikan lembaga atau korporasi termasuk ke dalam subjek hukum pidana. Perkembangan yang terjadi di Indonesia beriringan dengan
perkembangan hukum yang terjadi di luar Indonesia. Korporasi termasuk ke dalam subjek hukum dapat dilihat dari beberapa undang-undang yang dirancang baru-baru ini. Namun demikian, sudah sejak 1951 sudah ada kaitan mengenai larangan perbuatan tercelah yang dilakukan oleh korporasi. Salah satunya larangan penimbunan barang yang termaktub dalam UU Darurat Mo. 17 Tahun 1951. Hanya saja kelemahannya adalah masih belum jelas terperinci mengenai pertanggungjawaban yang dilimpahkan atas perbuatan tercela yang dilakukan oleh korporasi.
Diakuinya bahwa badan hukum (korporasi) adalah sebagai subjek hukum sehingga berhak menggunakan hak untuk bertindak sebagaimana manusia (person in the law) dalam hukum, sehingga dalam hal ini pun konsekuensinya logis walaupun dalam hal ini korporasi pun akan menjadi subjek tindak pidana meskipun tetap akan menjadi tuaian obyek perdebatan. Pertanggungjawaban korporasi sebagai badan hukum tindak pidana merupakan suatu hal yang tidak bisa disebut permasalahan yang sederhana. Hal tersebut dipangkali oleh asas “tidak ada pidana tanpa kesalahan”, yang bermakna sebagai mens rea yakni sebuah kesalahan merupakan bentuk sikap dari sanubari sehingga setiap tingka laku dianggap akan dimintai pertanggungjawaban terlebih jika menimbulkan kesalahan10. Semula, yang dijatuhi tanggung jawab hukum hanyalah manusia atas perbuatannya sehingga hanya manusia yang masuk ke dalam kategori subjek hukum. Akan tetapi, seiring berjalan waktu perbuatan tindak pidana yang dilakukan manusia terselubung di dalam organisasi terstruktur sehingga justru memudahkan setiap individu atau kelompok untuk berlaku sewenang-wenang dan melanggar undang-undang pidana. Hal demikian kemudian menjadi landasar dimasukkannya korporasi ke dalam bagian dari subjek hukum.11
Nilai-nilai Pancasila harus diimplementasikan ke dalam pasal-pasal RUU KUHP yang menjadikan korporasi sebagai subjek12. Kemajuan serta kemandirian tekonologi dalam bidang perekonomian dan perdangan merupakan menjadi salah satu landasar dijadikannya korporasi sebagai subjek hukum13. Era yang segalanya serba terorganisir seperti dewasa ini menjadikan subjek hukum tidak hanya terbatas pada perorangan atau individu atau manusia (natural person) melainkan sudah menjadikan lembaga, organisasi, bahkan korporasi sebagai organisasi yang dijalankan oleh manusia sebagai subjek hukum. Namun demikian, Utrecht menyebutkan bahwa dijadikannya korporasi menjadi subjek hukum pidana termasuk ke dalam undang-undang pidana khusus atau di luar KUHP. Sementara korporasi dalam KUHP tidak termasuk ke dalam subjek hukum. Pendapatnya tersebut mengandung makna bahwa subtansi ancaman yang tertera dalam undang-undang terkait mengenai tindak pidana korporasi atau badan hukum (rechtperson) pada pasal 59 KUHP apabila secara kelembagaan terbukti melakukan hal-hal yang dianggap melanggar. Pasal tersebut menjelaskan bahwa yang mengharuskan menjalani hukuman atas pelanggaran yang dilakukan adalah bagian manajerial, komisaris, atau pemilik dari suatu korporasi. Sehingga pertanggungjawaban yang diberikan tidak bersifat kolektif (collektieve aansprakelikheid)
Pandangan mengenai tentang korporasi sebagai subjek hukum pidana dapat diargumentasikan sebagai berikut:14
-
1. Fakta membuktikan bahwa memvonis manajemen saja tidak cukup untuk menekan korporasi atau kejahatan yang dilakukan dengan perusahaan. Oleh karena itu, dimungkinkan juha hanya menghukum lembaga terkait, lembaga serta manajernya atau hanya manajer.
-
2. Mempertimbangkan sosial maupun ekonomi yang faktanya korporasi juga dapat berperan yang sedemikian pentingnya.
-
3. Hukum pidana memegang peranan yang sangat penting dalam lingkup masyarakat, yaitu melindungi serta menegakkan norma-norma dalam masayarakat serta mematuhi peraturan yang ada di masyarakat. Jika hukum pidana menekankan bahwa hal tersebut hanya berlaku untuk seluruh aspek individu saja yang hanya berlaku bagi manusia, maka tujuannya tidak sah sehingga alasan untuk dapat menekan dan menentang kriminalisasi korporasi tidaklah ada.
-
4. Ancaman kriminal yang terdapat dalam suatu korporasi adalah menghindari proses pidana terhadap sebagian karyawan dari korporasi itu sendiri.
Menerima korporasi menjadi subjek hukum pidana memungkinkan korporasi bisa saja berbuat seolah layaknya manusia, memiliki maupun menikmati hak maupun kewajiban, sehingga bertindak suatu kewajiban dan tanggung jawabnya diatur oleh undang-undang. Meskipun telah diatur dalam banyak undang-undang, namun menunjuk korporasi sebagai subjek hukum memiliki kelebihan dan kekurangan. Berdasarkan pendapat mengenai kelebihannya dapat dikatakan korporasi menduduki posisi penting dalam masyarakat dan dapat merugikan pihak lain dalam masyarakat dan manusia. Menurut asas hukum yaitu asas hukum persamaan di depan hukum (setiap orang sama di depan hukum), memperlakukan korporasi seperti orang perseorangan dan bertanggung jawab atas perbuatan pidana korporasi. Namun, anggapan yang berlawanan mengungkapkan bahwa korporasi tidaklah memiliki ide sendiri, maka dari itu tidak mungkin untuk menampakkan nilai-nilai moral yang harus dituduh secara kriminal.15
Legislator telah mengadopsi beberapa ekspresi atau sistem dalam model tanggung jawab pidana korporasi. Mengenai status korporasi sebagai produsen dan sifat tanggung jawab pada pidana korporasi, tanggung jawab tindak pidana korporasi memiliki tiga model, yaitu sebagai berikut:
-
I. Pada tahap ini, manajer perusahaan bertanggung jawab atas model sebagai pembuat dan manajer, tetapi tetap menerima prinsip/asas “societas/universitas delinquere non potest” (badan hukum yang tidak dapat melakukan tindak pidana). Prinsip maupun asas tersebut sebenarnya telah diterapkan di semua negara Eropa kontinental pada abad yang lalu. Hal ini konsisten dengan sudut pandang hukum pidana pribadi dari aliran klasik populer dan aliran hukum pidana modern.
-
II. Pada model ini disebutkan korporasi sebagai produsen serta manajer bertanggung jawab, oleh karena itu penting untuk ditekankan bahwa
korporasi dapat menjadi produsen. Menunjuk personel manajemen sebagai penanggung jawab, menganggap pekerjaan yang dilakukan oleh korporasi adalah pekerjaan yang dilakukan dengan peralatan korporasi sesuai dengan anggaran dasar sesuai dengan kewenangannya. Perilaku kriminal suatu korporasi mengacu pada perilaku kriminal seseorang sebagai pengelola badan hukum. Sifat dari tindakan yang merupakan kejahatan adalah "onpersoonlijk". Yang bertanggung jawab atas kejahatan tersebut, baik dia mengetahui kejahatan tersebut maupun tidak ialah orang yang memimpin korporasi itu sendiri.
-
III. Korporasi menjadi pembuat dan penanggung jawab model, korporasi juga pembuat dan penanggung jawab yang memiliki motivasi untuk mengawasi perkembangan maupun kelanjutan dari korporasi itu sendiri, yang digunakan untuk beberapa kegiatan ilegal, karena manajemen saja tidaklah cukup. Dalam kejahatan ekonomi denda yang dikenakan sebagai hukuman bagi manajer dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh oleh korporasi melalui perbuatan tersebut, serta kerugian yang diderita masyarakat maupun pesaing terkait, dan keuntungan dan/atau kerugian yang dihasilkan mungkin akan menjadi lebih besar daripada denda sebagai pidana. Pengurus yang dihukum karena melakukan kejahatan tidak dapat sepenuhnya menjamin bahwa korporasi tidak lagi melanggar tindakan yang terlarang tersebut. Dapat dilihat terpidananya pengurus tidaklah cukup untuk melaksanakan suatu represi pada delik-delik yang diperbuat oleh maupun dengan suatu korporasi. Oleh karena itu, menghukum korporasi maupun pengurus, atau pengurus saja juga sangat diperlukan.
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan atas tindak pidana korporasi ialah pidana denda (fine), namun jika dijatuhkan dalam bentuk penutupan seluruh korporasi, yaitu merupakan corporate deadth penalty (hukuman mati perusahaan), dimana sanksi dari perbuatan tersebut berupa pembatasan dalam kegiatan korporasi.
Indonesia percaya bahwa ketentuan pidana perlu tanggung jawab yang diatur dalam KUHP, karena hubungan antara negara-negara yang ada semakin terbuka, dan semakin banyak hukum dan peraturan di berbagai negara menetapkan bahwa korporasi ialah orang hukum yang bisa menanggung tanggung jawab pidana dan memaksakan kewajiban pidana serta tanggung jawab hukum tidak terbatas hanya pada penjahat khusus. Hal tersebut kemudian dimuat pada Rancangan KUHP yang telah disiapkan dari beberapa tahun lalu. Pemerintah mengajukan draf Rancangan KUHP 2013 pada 6 Maret 2013. Pokok utama dalam pernyataan keterangan Presiden tentang Rancangan KUHP tersebut antara lain mengatur mengenai keberadaan modernisasi hukum pidana yang menjadikan korporasi masuk kedalam bagian dari subjek hukum pidana untuk meklasifikasikannya sebagai suatu tindak pidana serta dapat bertanggung jawab secara pidana atau corporate criminal liability (tanggung jawab pidana korporasi) 1. Hal itu kemudian dimuat dalam ketentuan umum RUU Pidana Jilid pertama tahun 2013, yang mengatur tentang definisi korporasi dan pertanggungjawaban pidana korporasi. Dengan menggunakan konsep ini, tidak menutup kemungkinan bahwa pihak-pihak tertentu dapat mengajukan keberatan atas gagasan pemisahan dua bagian (double sectioning) atau tidak melakukan apa-apa (nebis in idem) sebab sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap orang maupun korporasinya. Selain itu korporasi cenderung menggabungkan berbagai teori maupun metode kesalahan dalam prakteknya mengenai penegakan hukum sehingga dapat
menimbulkan bertambahnya beban maupun tanggung jawab penuntut umum dalam proses pembuktian.16
Berbagai peraturan perundang-undangan khusus selain KUHP mencakup ketentuan tentang korporasi sebagai pelaku pidana, dan ruang lingkupnya diawasi secara garis besar (lebih luas dari pengertian perusahaan dalam hukum perdata). Oleh karena itu, korporasi hanya dapat bertanggung jawab atas prilaku individu yang bertindak dalam korporasi, dan orang tersebut mempunyai posisi atau jabatan maupun pangkat tinggi atau memegang peran penting dalam sistem pengambilan suatu keputusan dalam korporasi.17
-
3.2 Hukum Acara Pidana Korupsi bagi Korporasi dalam Hukum Positif Indonesia
Hal-hal yang terkait dengan undang-undang acara pidana khusus yang dilakukan oleh korporasi akibat praktik korupsi diatur melalui Pasal 20 (3) sampai (6) "UUPT" yang memuat mengenai hal-hal yang dianggap dapat menjadi wakil korporasi dalam sidang. Empat hal ini merupakan tidak bisa diyakini mampu menjadi pemenuhan yang dibutuhkan dalam proses hukum acara. Keterbatasan yang ada dalam hukum acara hendakanya tidaklah menjadi salah satu alasan keraguan terhadap tentang penegakan-penegakan hukum, yang tentunya akan merusak rasa keadilan, karena kemungkinan adanya kekurangan hukum acara yang ada dapat disembunyikan melalui terobosan hukum di pengadilan. Meskipun peraturan perundang-undangannya tidak mendukung, namun banyak praktik penegakan hukum terkait pertanggungjawaban pidana korporasi yang dikembangkan melalui berbagai putusan pengadilan. Deskripsi dari penjabaran ini dimaksudkan sebagai contoh penegakan hukum di Indonesia. Satu hal yang perlu diperhatikan ketika menerapkan regulasi terhadap perwakilan korporasi dalam proses hukum pertanggungjawaban pidana korporasi adalah keputusan yang dikemukakan oleh Hoge Raad. Meskipun UUTPK tidak membahasnya, namun memuat informasi tentang siapa yang berhak mengajukan pertanyaan atas nama korporasi tersebut yaitu selaku tergugat. Namun, pertanyaan ini berhak dapat dijawab oleh direksi, karena direksi sebagai badan pengelola memiliki hak mengurus dan mewakili korporasi didepan maupun diluar pengadilan.
Mengenai wakil badan hukum, putusan Hoge Raad der Nederlanden tanggal 26 Januari 1988, NJ 1988.815 harus dapat dijadikan acuan. Undang-undang menyatakan bahwa adalah hak badan hukum untuk memilih pengurus yang mewakili badan hukum di hadapan pengadilan. Badan hukum dapat menunjuk beberapa anggota dewan untuk mewakili mereka pada saat yang bersamaan. Jika ini terjadi, hak untuk diam menjadi milik setiap anggota direksi. Perwakilan dari badan hukum ini memiliki hak untuk diam selama persidangan, fakta ini berkaitan dengan hak asasi manusia yang dijelaskan pada Konvensi Eropa mengenai Hak Asasi Manusia, yang tercantum pada Pasal 6 Dokumen S Instrumen Regional Tentang Hak Asasi Manusia.
Mekanisme pertanggungjawaban serta sistem pidananya telah diatur dengan rinci, yaitu jika pada tindak pidana korupsi diperbuat oleh korporasi atau dengan atas nama korporasi, maka perusahaan serta pengurusnya bisa dituntut maupun dipidana
secara pidana (dapat dilihat Pasal 20 (1) UU Tipikor). Artinya jika sanksi tersebut dijatuhkan oleh atau mengatas namakan korporasi, maka sanksi tersebut dapat dituntut dan dihentikan sehingga sanksi tersebut dapat dijatuhkan pada "korporasi dan pengurus" atau hanya "korporasi" atau hanya "pengurus" saja.18 Selain itu, perlu juga ditentukan apakah suatu korporasi melakukan criminal atau korupsi yang diperbuat oleh seseorang atau individu yang melakukan perbuatan di lingkungan pribadi atau secara bersama-sama di lingkungan korporasi berlandaskan hubungan kerja ataupun hubungan lainnya (dapat dlihat pada Pasal 20 ayat (2)) "UU Pemberantasan Korupsi".19
Selain dari kejahatan yang tercantum dalam KUHP, hukum positif di Indonesia juga menetapkan bahwa, jenis kejahatan lainnya yang tertera dalam undang-undang yang khusus mengatur kejahatan terkait ialah perbuatan korupsi, tertuang pada UU No. 31 tahun 1999 dan tahun 2001 sesuai perubahan atas UU No. 20 tahun 1999 yang terkait dengan UU No. 31 tahun 1999 yang mengatur mengenai hal “Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.
Sanksi tambahan yang diatur pada Pasal 18 (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi , yaitu berupa:20 a). Penyitaan harta benda berwujud maupun tidak berwujud, ataupun tidak bergerak yang digunakan untuk atau didapat dari kejahatan tindak pidana, termasuk korporasi yang dimiliki oleh terpidana yang melakukan tindak pidana tersebut, dan harga barang sebagai pengganti barang tersebut;
-
b) . Pembayaran uang pengganti yang setara dengan jumlah aset, harta benda atau kekayaan yang diperoleh dari perbuatan kejahatan tindak pidana korupsi;
-
c) . Menutup perusahaan atau bagian dari perusahaan dalam jangka waktu maksimal yang telah ditetapkan, yaitu satu tahun;
-
d) . Pencabutan dari pemerintah yang memiliki atau dapat memberikan terpidana semua atau beberapa hak tertentu atau semua atau beberapa manfaat tertentu.
Jika pelaku gagal dalam membayar ganti rugi dalam waktu yang ditentukan, yaitu satu bulan setelah diterimanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap maka dari itu harta bendanya maupun kekayaannya dapat disita serta dilelang oleh jaksa yang digunakan untuk membayar pasokan atau menutupi uang pengganti. Hal ini tercantum pada Pasal 18 (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ayat (1) huruf b. Bahwa sebagaimana dijelaskan pada ayat (3), jika yang terpidana tidak memiliki harta yang cukup sebagai pembayaran dana pengganti atau pelengkap berdasarkan pada ayat (1) huruf b, maka menurut undang-undang hukumannya yaitu pidana denda paling banyak ialah sebesar ancaman pidana pokok dan mengikuti ketentuan pada undang-undang tersebut dan oleh sebab itu pidana tersebut telah ditetapkan pada putusan pengadilan.
Pada Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur tata cara pertanggungjawaban kejahatan korporasi.
Pasal ini juga mengatur dimana pokok utama tindak pidana yang bisa dijatuhkan, yaitu apabila pada perusahaan atau atas nama perusahaan telah melakukan suatu perbuatan kejahatan tindak pidana korupsi, maka dikenakan tuntutan secara pidana dan mengadili perusahaan dan / atau pengurusnya. Kemudian, apabila tindak pidana diperbuat oleh karyawan secara individu maupun kolektif di lingkungan perusahaan berdasarkan hubungan kerja atau hubungan lainnya, maka perusahaan melakukan tindak pidana yaitu korupsi 2.
Jika tuntutan pidana diajukan kepada korporasi, oleh karena itu korporasi yang disebut akan diwakili oleh pengurus. Wakil pimpinan dari badan hukum (korporasi) yang tercantum dalam ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain. Hakim bisa mengintruksikan atau menugasi pengurus korporasi untuk hadir menghadap pengadilan, atau memerintahkan menghadap ke persidangan dari pengurus korporasi. Jika tuntutan pidana diajukan terhadap korporasi, panggilan pengadilan yang muncul di tempat kejadian dan tempat pengiriman surat panggilan harus dipindahkan ke kediaman pengurus dari korporasi atau kantor pengurusnya. Hukuman utama atau hukuman pokok yang dapat dijatuhkan kepada suatu korporasi ialah denda, dan pidana denda maksimum tersebut dinaikkan 1/3 .
Terkait sanksi yang berlaku bagi perusahaan dalam KUHP, mengingat dalam KUHP tidak disebutkan korporasi, dimana tidak disebutkan bahwa korporasi merupakan subyek hukum. Namun mengingat pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa kejahatan korporasi ialah suatu subyek hukum, maka sanksi bagi korporasi dibahas lebih rinci pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Menurut penelitian penulis, kejahatan utama yang berlaku bagi korporasi adalah denda. Namun, pada UU No 31 Tahun 1999, jika perusahaan gagal membayar denda, tidak ada pilihan lain.
Sanksi alternatif dimuat pada UU No.31 Tahun 1999. Jika korporasi divonis atau dihukum dalam bentuk uang pelengkap/pengganti, berarti korporasi tidak bisa membayar dalam jangka waktu 1 (satu) bulan, kejaksaan bisa menyita serta melelang propertinya. Ketentuan mengenai tata cara pembayaran denda dalam UU No 31 Tahun 1999 belum lengkap, kapan dan bagaimana cara membayarnya, sejauh ini tidak ada pengaturan yang jelas maupun pasti, terutama denda pidana bagi korporasi dalam suatu kasus korupsi.21
Penulis berpendapat bahwa pidana pokok yang bisa dijatuhkan maupun dikenakan kepada korporasi ialah denda yang setelahnya akan dikaitkan dengan tujuan dari hukum hukum yang berupa nilai manfaat, yang dapat dijelaskan sebagai berikut, yaitu sanksi utama yang dapat dijatuhkan pengadilan kepada korporasi ialah denda 3. Denda ialah kewajiban korporasi sebagai terdakwa untuk divonis oleh pengadilan. Namun apabila kewajiban tersebut tidak bisa terlaksana, menurut pendapat penulis dapat dijatuhkan denda dalam batas waktu tersebut, sehingga jika batas waktu terlampaui dan korporasi masih belum dapat memenuhi kewajibannya (denda) maka dapat terus dillakukan tindakan sebagai berikut, yaitu eksekutor/pelaksana (dalam hal ini jaksa) untuk menyita aset atau kekayaan maupun harta benda yang dimiliki oleh korporasi tersebut. Sebagaimana mengenai pemikiran maupun pernyataan tersebut, penulis berpendapat bahwa diperlukan adanya penambahan klausul pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan Pasal 20 UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tanggal 31 Maret 1999, menambahkan ketentuan sebagai berikut: “Jika terpidana dibayar selambat-lambatnya satu (satu) bulan setelah putusan pengadilan berlaku permanen yaitu denda sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk membayar denda pidana”. Oleh karena itu, tujuan undang-undang tersebut adalah menerapkan denda alternatif pidana berupa kepastian hukum yang lebih jelas dan terukur.
Penyusunan Peraturan Tanggung Jawab Pidana (Tanggung Jawab Pidana) Pemberantasan Korupsi Korporasi telah tunduk pada Undang-Undang Anti Korupsi. Namun masih memiliki beberapa kekurangan, antara lain:
Pertama, yaitu permasalahan mengenai kapan suatu korporasi melakukan atau memperbuat tindak pidana korupsi telah diatur, namun pemahaman tentang hubungan kerja dengan hubungan lainnya masih belum jelas, yang dapat menimbulkan kebingungan dalam penafsiran, yang mungkin sebagai salah satu permasalahan pada saat melamar/mengajukan;
Kedua, yaitu korupsi yang dilakukan atau diperbuat maupun yang terjadi oleh korporasi khususnya dalam bidang persekongkolan (pemufakatan yang jahat); dan
Ketiga, yaitu persoalan sanksi maupun hukuman pidana kepada korporasi, antara lain: bobot sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), kapan melakukan tindak pidana korupsi berulang kali, dan sanksi pidana utama yang dijatuhkan kepada korporasi menurut Pasal 20 ayat (7).22
Perma Nomor 13 Tahun 2016 juga bisa dijadikan acuan Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk menangani atau memproses tindak pidana yang dilakukan maupun oleh korporasi tersebut. “Pengumuman Tetap Nomor 13 Tahun 2016” ini mempunyai maksud dan tujuan, yang mana Pasal 2 huruf b memperjelas salah satu maksud dan tujuan. “Teks Permanen” tersebut bertujuan untuk mengisi celah hukum, khususnya yang berkaitan dengan badan hukum dan / atau pengurus perusahaan dimana mengatur hukum acara pidana untuk pengurus dalam kasus pidana korporasi.
-
IV. Kesimpulan sebagai Penutup
4. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa pidana pokok yang bisa dijatuhkan atas tindak pidana korporasi adalah pidana denda (fine). Korporasi hanya bisa bertanggung jawab atas tindakan maupun perilaku individu yang bertindak di dalam sebuah korporasi atau individu pemegang kendali korporasi tersebut. Perusahaan beserta pengurusnya jika terlibat dalam tindak pidana korupsi bisa dituntut dan dipidana secara pidana yang diatur pada Pasal 20 (1) UU Tipikor. Hukum acara pidana korupsi bagi korporasi yang terdapat dalam hukum positif di Indonesia dapat ditemukan pada Perma 13 Tahun 2016 dimana tujuannya yaitu untuk mengisi kekosongan maupun kesenjangan hukum ,terutama pada hukum acara khususnya pidana yang dilakukan oleh suatu lembaga atau korporasi (pihak yang terlibat alam internal korporasi terkait).
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Hasbullah F.Sjawie, 2015, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Tindak Pidana Korupsi, Kencana, Jakarta
Adami Chazawi, 2016, Hukum Pidana Korupsi di Indonesia, Edisi Revisi, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta
Soerjana Soekanto Dan Sri Mamudji, 2010, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta
Mardjono Reksodiputro, 1994, Kemajuan Ekonomi dan Kejahatan, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, Jakarta
Jaya, Nyoman Serikat Putra. Pembaharuan Hukum Pidana, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2017.
JURNAL
Puspitasari, Ikka, and Erdiana Devintawati. "Urgensi Pengaturan Kejahatan Korporasi dalam Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korporasi Menurut RKUHP." Kanun Jurnal Ilmu Hukum 20, no. 2 (2018): 237-254.
Suhariyanto, Budi. "Restoratif justice dalam pemidanaan korporasi pelaku korupsi demi optimalisasi pengembalian kerugian negara." Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional 5, no. 3 (2016): 421-438.
Suhariyanto, Budi. "Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berdasarkan Corporate Culture Model dan Implikasinya Bagi Kesejahteraan Masyarakat." Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional 6, no. 3 (2017): 441-458.
Arofa, Endi. "Korporasi Sebagai Subjek Hukum Dan Bentuk Pemidanaannya Dalam Tindak Pidana Korupsi." jURNAL SURYA KENCANA DUA DINAMIKA MASALAH HUKUM DAN KEADILAN 5, no. 1 (2018).
Yusrizal, Yusrizal. "Tanggung Jawab Korporasi terhadap Korban Kejahatan Tindak Pidana Lingkungan Hidup." Kanun Jurnal Ilmu Hukum 14, no. 2 (2012): 217-232.
Anindito, Lakso. "Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Inggris, dan Prancis." Integritas Komisi Pemberantasan Korupsi 3 (2017).
Suhariyanto, Budi. "Progresivitas Putusan Pemidanaan Terhadap Korporasi Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Progressivity Of Criminal Decision On Corporate Actors Corruption)." Jurnal Penelitian Hukum De Jure 16, no. 2 (2016): 201-213.
Anjari, Warih. "Pertanggungjawaban Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana." EJournal Widya Yustisia 1, no. 2 (2018): 116-121.
Disemadi, H. S., & Jaya, N. S. P. (2019). Perkembangan Pengaturan Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana Di Indonesia. Jurnal Hukum Media Bhakti.
Juliansyah AF, Putri AE, Suryadana ML, Endyana C, Wardhana AK. Global Muslim Response to Bandung Halal Tourism Branding. Int J Appl Sci Tour Events. 2021;5(2):197–206.
Ratomi, Achmad. Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana (Suatu Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Menghadapi Arus Globalisasi Dan Industri), Jurnal Al’Adl, 2018, Vol. 10 No. 1.
Suhariyanto, Budi. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berdasarkan Corporate Culture Dan Implikasinya Bagi kesejahteraan Masyarakat, Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, 2017, Vol. 6 No. 3.
Wangga, Maria Silvya E. Pertanggungjawaban Pidana Partai Politik Sebagai Badan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Integritas, 2018, Vol.4 No.2.
Krismen, Yudi. "Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Kejahatan Ekonomi." Jurnal Ilmu Hukum 5, no. 1 (2014): 61-70.
Ridwan, Ridwan. "Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Melalui Peran Serta Masyarakat." Kanun Jurnal Ilmu Hukum 16, no. 3 (2014): 385-399.
Rizanirarli, Rizanizarli. "Kriminalisasi di Luar KUHP dan Implikasinya terhadap Hukum Acara Pidana." Kanun Jurnal Ilmu Hukum 16, no. 2 (2014): 277-302
Malik, Hapip. "Analisis tentang Pertanggungjawaban Pidana di dalam Kejahatan Korporasi." PhD diss., University of Muhammadiyah Malang, 2016.
Wardhana AK. JANJI (WA’AD) SEBAGAI JARING PENGAMAN PADA TRANSAKSI KEUANGAN DAN BISNIS SYARIAH. J Keislam. 2022;5(1):124–32.
Wardhana AK. The Application of Waqf and Endowment Fund Based on the Principles in the Sharia Maqashid Pillar Society. Prosper J Soc Empower. 2021;1(2):107–19.
Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No. 06 Tahun 2022, hlm. 1343-1355
Discussion and feedback